Sabtu, 09 Agustus 2008 ] Para (Calon) Pemimpin Muda, Bersatulah! Oleh Salahuddin Wahid *
Dunia politik kita mengalami perubahan menarik dengan munculnya tradisi baru, mengiklankan diri di TV secara luas dan terus-menerus dalam waktu lama. Nama yang pernah populer muncul kembali seperti Prabowo Subianto dan Wiranto. Nama yang sudah agak terkenal, menjadi tambah tenar, yaitu Soetrisno Bachir. Dan, tiba-tiba melejit nama baru yang hampir tidak dikenal kecuali sebagai pembawa acara di Metro TV, yaitu Rizal Mallarangeng (RM). Iklan di TV dan koran tentang diri Rizal bagus dan menarik serta kuat pesan kebangsaannya. Tetapi, mengapa harus ada kalimat bahasa Inggris sebagai kalimat kunci? Sebenarnya sudah ada pepatah Indonesia: "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan". Iklan satu halaman di Kompas menjelaskan mengapa dia tampil menawarkan kepemimpinan dirinya yang muda. Jargon yang diusung RM ialah Generasi Baru, Harapan Baru. Rizal yang lain, Rizal Ramli, menawarkan Jalan Baru, Pemimpin Baru. Fadjroel Rachman juga menyatakan diri ingin menjadi capres untuk 2009. Yudhi Krisnandi tidak mau ketinggalan. Dari kalangan partai ada sejumlah tokoh muda, yaitu Hidayat Nurwahid (PKS), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan Laksamana Sukardi (PDP). Munculnya sejumlah tokoh muda untuk menawarkan diri menjadi pimpinan nasional diilhami oleh munculnya Barack Obama. Bahkan, mungkin mereka mengidentifikasi diri dengan Obama. Karena itu, mereka menganggap bahwa masyarakat akan menerima mereka seperti masyarakat AS menerima Obama. Seorang tokoh AS mengatakan, Obama tidak bisa dibendung bukan semata-mata karena kehebatannya, tetapi karena ada kesadaran bersama bahwa dibutuhkan perubahan untuk memperbaiki Amerika. Obama muncul pada saat yang tepat. Dia tentu sudah melakukan investasi politik walaupun bersifat lokal, tetapi bisa dikembangkan menjadi bersifat nasional. Obama muncul melalui proses konvensi nasional Partai Demokrat, di mana dia telah menjadi bagiannya, yaitu salah seorang senator dari Partai Demokrat. Langkah Bersama Di sini tidak ada tradisi konvensi oleh partai sehingga tidak tersedia peluang munculnya tokoh muda. Muncul pertanyaan, mengapa sekian banyak calon pemimpin muda itu tidak duduk dan membahas bersama bagaimana mencari mekanisme yang terbuka, transparan dan akuntabel, steril dari permainan uang, dalam memilih calon pemimpin nasional yang muda usia, muda semangat dan dewasa? Apakah mereka akan mengulangi kesalahan generasi pendahulu yang berebut sehingga mengurangi peluang pemimpin muda untuk menang? Kalau itu yang terjadi, jangan menyalahkan kaum tua. Mengapa para tokoh muda itu tidak berkumpul dan membahas bersama mekanisme di atas supaya bisa muncul tokoh yang cerdas, punya kemampuan, punya karakter bagus, punya etika, dan didukung rakyat? Alih-alih berebut, mereka harus menekan ego pribadi dan melakukan upaya bersama seperti di atas. Alih-alih rumongso biso, lebih baik biso rumongso. Kita melihat ada perbedaan pandangan mengenai siapa yang dianggap muda. PKS mengatakan harus berusia di bawah lima puluh tahun. Apa perbedaan berarti antara usia 55 tahun dan 50 tahun? Yang sungguh berbeda sebenarnya adalah kesehatan. Tetapi, kesehatan orang usia 50 tahun dengan usia 55 tahun tidak banyak bedanya. Tokoh yang kreatif akan tetap sama kreatifnya pada usia 50 tahun dan 55 tahun. Dia akan tetap sama beraninya dan sama tegasnya. Juga akan sama cerobohnya kalau dia memang ceroboh. Kemudaan adalah suatu keuntungan, tetapi masalah utamanya bukan kemudaan itu sendiri. Yang utama ialah kemampuan (kompetensi) dan karakter serta kepedulian dan pemihakan kepada rakyat. Kemampuan menyangkut banyak hal seperti kecerdasan, wawasan, pengambilan keputusan, andal dalam memilih pembantu, serta memilah dan memilih informasi. Karakter meliputi banyak hal seperti kejujuran, keberanian, ketegasan, tidak mudah menyerah, kerja keras, adil, tenang, tidak emosional, tidak ceroboh. Presiden Kennedy menulis buku Profiles in Courage tentang kisah keberanian para pemimpin dalam sejarah AS. Begitu pentingnya karakter sehingga Jenderal Schwarzkropf (Perang Gurun) mengatakan bahwa dia lebih mengutamakan karakter daripada kemampuan strategi. Presiden, tua atau muda, harus seorang negarawan, yang lebih mengutamakan negara dan bangsa di atas partainya, my duty to my party ends when my duty to my country begins. Dulu Bung Karno tidak menjabat di dalam partai setelah menjadi presiden. Pak Harto menjadi ketua Dewan Pembina Golkar. Pak Habibie juga. Gus Dur tidak menjabat apa pun di PKB saat terpilih menjadi presiden, lalu menjadi ketua umum Dewan Syura DPP PKB. Bu Mega tetap menjadi ketua umum DPP PDIP. Pak SBY menjabat ketua Dewan Pembina DPP PD. Politisi memikirkan pemilu berikut, negarawan memikirkan generasi berikut. Terserah kepada masyarakat untuk menilai apakah para presiden kita kecuali BK, cenderung menjadi negarawan atau politisi. Etika Ada sesuatu yang mengganggu kalau tidak ditanyakan. Mengapa RM yang semula menjadi konsultan Soetrisno Bachir dalam promosi dirinya, tiba-tiba muncul menjadi pesaing? Bukankah di situ ada prinsip konflik kepentingan yang dilanggar? Apakah telah terjadi pelanggaran etika? Kalau sebagai konsultan dia tidak bisa membedakan adanya konflik kepentingan, apakah sebagai pemimpin dia nanti bisa membedakannya? Kalau sebagai konsultan tidak bisa menjaga etika, apakah nanti sebagai pemimpin akan bisa? Tantangan dan godaan sebagai pemimpin pasti lebih besar daripada sebagai konsultan. Kita tentu tidak bisa memvonnis, hanya boleh mengajukan pertanyaan. Saya pikir RM tidak keberatan dengan pertanyaan semacam itu, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban publik atas apa yang dilakukannya. RM yang lama hidup di AS yang terbuka untuk masalah yang menyangkut kepentingan umum, tentu sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Pada Pilpres 2004, selaku anggota Dewan Pembina YLBHI saya harus menjelaskan keputusan saya menjadi cawapresnya Wiranto, yang dianggap tidak sesuai prinsip YLBHI. Sebuah stasiun TV dari Australia mewawancarai saya cukup panjang. Tentu ada yang memahami sikap saya dan ada yang tetap menyalahkan saya. Itu adalah risiko dari sebuah sikap. Salahuddin Wahid , pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. http://jawapos.com/