Kalau puasa tidak ada godaan bisa berarti tidak ada ujian keimanan. Yang tahan 
godaan itulah yang istimewa imannya. Bukankah begitu?

  ----- Original Message ----- 
  From: Nana P 
  To: Rumahkitabersama 
  Cc: Sastra ; Jurnal Perempuan ; Perempuan ; media-jateng ; Zamanku ; 
Psikologi ; PPI India ; FPK Kompas ; Iscab ; Spiritual 
  Sent: Monday, October 06, 2008 9:31 AM
  Subject: [ppiindia] Puasa tahun ini ...


  http://serbaserbikehidupan.blogspot.com/2008/10/puasa-tahun-2008.html

  Ini sudah bulan Syawal tanggal 3, namun aku baru mendapatkan ‘urge’ untuk 
menuliskan pengalamanku berpuasa tahun ini hari ini, setelah menyempatkan diri 
membaca tulisan Ulil tentang pengalamannya berpuasa di Boston.
  Mulai pertengahan bulan Agustus, aku bekerja di sebuah International school 
dimana mayoritas siswa-siswi beragama non Muslim, mungkin berkisar antara 10% 
(Muslim) dan 90% (non Muslim). Sedangkan para pegawai—guru, kepala sekolah, 
tenaga administrasi, dll, mungkin prosentasenya 25% Muslim, 75% non Muslim. Ini 
sebab tahun ini adalah pengalaman pertamaku berpuasa di tengah-tengah non 
Muslim, meskipun masih berada di Indonesia.
  Jam masuk kerja mulai seperti biasa, pukul 07.00, beda dengan sekolah-sekolah 
negeri (atau mungkin juga sekolah nasional lain) yang memulai sekolah pukul 
07.30. Lama pelajaran tiap slot pun tidak mengalami pengurangan, sehingga para 
siswa-siswi tetap menyelesaikan jadual sekolah pukul 14.15, khusus untuk 
siswa-siswi kelas 9 kelas usai pukul 15.00 karena mendapatkan pelajaran 
tambahan untuk persiapan ujian nasional. Jam istirahat pertama tetap pukul 
09.45-10.00, dan istirahat makan siang pukul 12.15-12.45.
  Ini kali pertama aku merasakan ‘nasib sebagai kaum minoritas’ sehingga aku 
pun benar-benar mempraktekkan satu bahan candaan, “Tolong yang puasa memahami 
mereka yang tidak puasa”, kebalikan satu doktrin yang kuterima sejak kecil, 
“Yang tidak puasa HARUS menghormati yang puasa dengan menghindari makan maupun 
minum di hadapan orang-orang yang berpuasa. Pertama kali aku mendapatkan 
menstruasi, Ibu-ku pun mendoktrinku hal ini: aku TIDAK BOLEH terlihat makan 
maupun minum di hadapan anggota keluarga lain yang sedang berpuasa, seolah-olah 
aku adalah pesakitan. Kalau aku melakukannya, maka tuduhan pengikut setan dan 
ahlun naar (calon penghuni neraka) pun dilabelkan, karena menggoda orang yang 
sedang berpuasa. Orang yang sedang berpuasa harus diistimewakan, harus dijaga 
dari godaan (itu juga konon selama bulan Ramadhan, setan pun ‘diikat’ oleh 
Tuhan di neraka, sehingga tidak bisa gentayangan menggoda kaum Muslim yang 
sedang berpuasa). Hal ini pun
  mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah Indonesia yang sebenarnya bukan 
negara Islam, juga bukan negara sekuler, berupa himbauan agar rumah makan tutup 
di siang hari, sehingga nampak tidak ada toleransi sama sekali kepada mereka 
yang tidak puasa. Untunglah tidak ada paksaan dari pemerintah agar semua warga 
negara—tanpa memandang agama—untuk berpuasa, demi menghormati orang-orang 
Muslim yang sedang berpuasa.
  Betapa manjanya orang-orang Muslim itu, mentang-mentang karena mayoritas.
  Aku tidak ingin menjadi seorang Muslim yang manja di tengah-tengah rekan 
kerjaku yang mayoritas non Muslim. Saat istirahat siang, di ruang guru, maupun 
di tempat-tempat lain di dalam sekolah yang diperuntukkan anak-anak untuk makan 
siang (di sekolah tidak ada kantin, sehingga anak-anak harus membawa bekal 
makan siang sendiri, namun pihak sekolah menyediakan tempat-tempat khusus 
dimana anak-anak biasa berkumpul untuk makan bersama) terlihat orang makan, 
ditambah dengan bau makanan yang menggoda hidung dan perut yang mulai lapar. 
Aku perhatikan beberapa guru expat tidak menunjukkan ekspresi wajah, seperti, 
“Sorry, I am enjoying my lunch now while probably you are hungry at the 
moment.” Tentu aku paham sekali akan hal ini, bukankah kita sendiri memiliki 
pilihan, untuk berpuasa, mengikuti ajaran agama, atau tidak berpuasa. Setelah 
kita menentukan pilihan untuk berpuasa, tak selayaknya kemudian kita minta 
diistimewakan, misal dengan mengatakan, “Please
  respect me by not eating before my nose!” 
  Ketika seorang rekan kerja, non Muslim, orang Indonesia (bukan expat) 
bertanya kepadaku dengan hati-hati, “So, how is your fasting in this month?” 
aku tidak langsung ‘ngeh’ kemana arah pertanyaannya, sehingga dia pun perlu 
menjelaskan,
  “I believe it must be hard for you to fast among non Muslim?”
  Maka aku pun menjawab, dengan nada bercanda, “You know the harder the 
tempation is, the more reward I will get from God. It is not a big deal for me 
to fast in the middle of people who do not fast. Don’t worry. Thank you for 
concern though.”
  Aku yakin sebagai orang Indonesia, rekan kerja ini tentu sudah terbiasa 
dengan ‘himbauan’ pemerintah Indonesia, sehingga perlu merasa ‘tidak enak’ 
kepadaku dengan situasi yang ada. Berbeda dengan para guru expat yang tidak 
mendapatkan atau mengalami ‘indoktrinasi’ dari pemerintah mereka untuk 
‘menghormati’ (atau memanjakan) orang-orang yang berpuasa.
  Di sekolah ini aku belajar (lebih jauh lagi) untuk mempraktekkan toleransi 
antar agama.
  PT56 22.19 031008

  Minds are like parachutes, they only function when they are open. (Sir James 
Dewar)
  visit my blogs please, at the following sites
  http://afemaleguest.blog.co.uk
  http://afeministblog.blogspot.com
  http://afemaleguest.multiply.com

  THANK YOU
  Best regards,
  Nana



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke