Betul, pertanyaan yang juga menjadi pertanyaan orang banyak itu 
memang hanya bisa dijawab dengan praktek.

Tetapi, apa yang bisa dilakukan kaum tertindas di tataran politik? 
Ya tidak ada. Apa pun yang dilakukan kaum tertindas pasti dicap 
anarkis, melanggar aturan. Dalam hal ini, melanggar aturan 
penindasan yang oleh kakitangan nekolim disahkan menjadi undang-
undang. 

Sebagai contoh, UU Pemilu (UU No.15 tahun 2011), yang terang-
terangan mengingkari keberadaan rakyat. Isi undang-undang itu 
melulu mengenai penyelenggaraan pemilu berikut perangkat 
pelaksananya. Tidak sebaris kalimat, apalagi pasal, tentang apa 
yang dimaksud 'rakyat' / 'pemilih'. Bahkan di Bab awal tentang 
Ketentuan Umum pun tidak. 

Akibatnya, rakyat yang memilih bersuara abstain atau golput 
seperti dienyahkan dari muka bumi. Surat suara mereka langsung 
dilempar ke bak sampah bertuliskan "suara rusak" atau "tidak sah". 
Berapa pun jumlahnya, "suara rusak" tidak pernah dihitung sebagai 
bagian dari aspirasi rakyat. Jutaan rakyat dinyatakan nihil. 

Bagaimana dengan rakyat yang memberikan suara kepada gacoannya? 
Apakah mereka dihitung sebagai rakyat? Diakui sebagai rakyat? 

Tentu saja. Terutama mereka yang gacoannya menjadi juara pemilu. 
Tetapi ya cuma diakui sampai saat penghitungan suara saja. 
Sebab, begitu pemilu usai, para pendukung itu pun segera dilupakan 
sang juara dan gerombolannya yang keburu sibuk berpesta-pora di 
atas penderitaan orang banyak. Dan, semua itu sah menurut undang-
undang bikinan kaum penindas. Tidak ada rakyat di dalam pemilu. 
Yang ada cuma angka. Artinya, pemilu diselenggarakan hanya untuk 
kepentingan partai dan jago aduannya, bukan untuk kepentingan rakyat. 

Karena tidak ada yang bisa dilakukan rakyat di wilayah politik, 
maka satu-satunya jalan untuk menyeruak dari himpitan undang-undang 
adalah bertindak sebagai golput. Cara inilah yang dirasakan rakyat 
memberi kedaulatan berpolitik. Memberi kebebasan dalam menyuarakan 
aspirasinya. Tidak terpaksa memilih si buruk dari kumpulan yang 
busuk. 

Jika pengusiran penjajah tempo doeloe dipimpin para tokoh & cerdik 
pandai, mestinya para tokoh & cerdik pandai jaman sekarang juga 
melakukan hal yang sama, memimpin rakyat menghapus penjajahan lewat 
undang-undang. Kalau mereka lebih suka menjadi boneka imperialis, 
ya biarlah rakyat memimpin dirinya masing-masing untuk golput. 

Disadari atau tidak, suka atau tidak, jawaban atas pertanyaan 
orang banyak rupanya sedang mengkristal. Sedang berproses. Yaitu, 
dengan bertambahnya jumlah golput dari pemilu ke pemilu. 

Biarlah proses ini berjalan. Biarlah jumlah golput terus bertambah 
dan bertambah sampai suatu saat suara dukungan untuk kakitangan 
nekolim menjadi sangat minim dan samasekali tidak masuk akal untuk 
disebut mayoritas. Kalau ini terjadi maka artinya rakyat menjawab 
dengan perbuatan. Dengan praktek. 

Biarkan juga orang-orang partai terus berteori tentang memilih 
yang "terbaik" di antara yang terburuk; untuk kemudian diam 
sepanjang 5 tahun ke depan lalu mengulang teori yang sama untuk 
diam selama 5 tahun lagi, lagi, dan lagi-lagi cuma diam tanpa 
merubah apa pun. 

Boleh saja mereka menyebut itu sebagai memelihara cahaya optimisme. 
Tapi bagi kita, rakyat biasa, itu jelas kobaran oportunisme. 


--- hidayat purnama <hidayat_trans@...> wrote: 

> Hemat saya, pertanyaan bung Nurman pada akhir tulisan sudah benar. 
> Namun dalam kondisi kekosongan kepemimpinan gerakan rakyat yang 
> sejati, artinya yang bergaris massa, yang berasal dari massa dan 
> untuk massa, pertanyaan bung hanya bisa dijawab dengan praktek, 
> tidak perlu memperpanjang lagi perdebatan yang membenarkan 
> demokrasi liberal dengan pelbagai alasannya. Paling rendahnya, 
> itulah kaum apologis, yang memaafkan atau membela diri atas 
> ketakmampuan subyektif dalam mengetahuai kondisi perjuangan massa 
> secara konkrit.
> 
> Semua perspektif atau sudut pandang dalam respon Pemilu hanya 
> terdiri dari 2 akar: 1. oportunisme (membenarkan sepenuhnya 
> demokrasi liberal) dan 2. revolusioner (mengantarkan kelas 
> tertindas dalam merebut kedaulatan ekonomi politiknya).
> 
> Dalam kondisi tersebut, berikut ini pertanyaan panjang saya:
> 
> Kelas pekerja industri (perkebunan, pertambangan dan manfaktur atau 
> pabrikan) di Indonesia secara kuantitas belum diketahui secara 
> pasti. Data-data statistik yang ada secara formal masih belum 
> secara ketat dan tepat menggambarkan jumlah kelas pekerja ini. 
> Demikian pula jumlah pekerja di sektor pertanian yang belum 
> terindustrikan sepenuhnya. Kelas kapitalis terdiri dari tiga 
> bagian: kapitalis perbankan atau bankir, kapitalis 
> manufaktur/industri, kaptalis rente. Ini pun belum diketahui secara 
> pasti, sehingga juga belum mengetahui secara jelas siapa saja 
> mereka, wilayahnya, pemilikannya dan proses akumulasi kapitalnya. 
> Selain itu, kelas antara (atau middle class atau borjuis kecil) 
> belum juga diketahui. Pengetahuan tentang susunan kelas-kelas 
> secara kuantitas dan kualitas ini belum diketahui secara jelas, 
> sehingga kondisi ekonomi sebagai basis kehidupan masyarakat belum 
> diketahui dengan jelas, dan parahnya, kaum gerakan hanya mengetahui 
> abstraksi-abstraksi, frase atau ungkapan umum saja tentang 
> komposisi kelas sosial. Oleh karena itu, terbukti sendiri atau 
> sangat wajar bilamana kelas dan perjuangan kelas di Indonesia tidak 
> diketahui secara pasti bagaimana ia berlangsung. Kelas yang ada 
> secara obyektif di masyarakat saja belum diketahui, apalagi 
> kesadaran kelas secara subyektif dari kelas pekerja yang tertindas 
> dalam sistem ekonomi politik.
> 
> Kondisi ini menunjukkan bahwa kaum gerakan dari pelbagai organnya 
> belum bisa menemukan solusi konkrit dalam perjuangan kelas di 
> Indonesia, apalagi membangun organisasi politik gerakan yang mampu 
> memimpin semua aliran politik gerakan. Persatuan gerakan rakyat tak 
> akan bisa diwujudkan tanpa pengetahuan konkrit tentang kondisi 
> ekonomi dan struktur kelas secara konkrit di Indonesia. Secara 
> laten, sesungguhnya idealisme mengakar dalam ideologi gerakan, 
> karena itu kaum gerakan tidak akan pernah bisa secara mandiri 
> menyatu dan memimpin gerakan rakyat secara umum. Menerima begitu 
> saja konsep kepemimpinan kelas pekerja dalam revolusi sosial di 
> Indonesia, tanpa analisa konkrit dari kondisi sosial yang konkrit, 
> sama saja dengan menerima ilusi dan idealisme gerakan perjuangan. 
> Jika demikian, kaum gerakan akan terus menjadi oportunis atau 
> sektarian, atau tak mampu memimpin gerakan rakyat meskipun semangat 
> perlawanan atas struktur penindasan terus bergolak.
> 
> 
> From: gri. mhmd <gri.mhmd@...> 
> 
> > Bagi yang merasa bahwa negeri dan masyarakat Indonesia sekarang 
> > ini adalah negeri dan masyarakat jajahan model baru dan sisa-sisa 
> > feodalisme.
> > Penguzasa negara did Indonesia afdalah sepenuhnya menjadi 
> > kakitangan atau boneka imperialis (kaum penjajah). Kalau kita 
> > berbicara tentang penyelenggara negara, tidak berarti ansich 
> > hanya ditujukan kepada pemerintah dalam pengertian lembaga 
> > eksekutif atau bioropkrasi.
> > Penyelenggara negara itu adalah seluruh ledmbaga-lembnaga negara 
> > termasuk juga lembaga legislzatif yang membuyat undang-undang 
> > untuk memayungi negarza. Maka alangkzah lucu sekali apabila dalam 
> > aksi-aksi atau unjuk rasa, tuntutan atau tuduhan sebagai boneka 
> > hanya ditujukan kepada kepala pemerintahan SBY-Budiono. Untuk itu 
> > para penuntut sebaiknya lebih banyak dbelajar dan memadhami 
> > pengertian tentang negara dan seluruh perangkatnya.
> > Terpilihnya SBY-Budiono menjadi kepala pemerintahan adalah 
> > melalui poemilu ala kapitalisme dan nyatanya sebagian rakyat 
> > telah memilihnya, terlepas baik karena uang ataupun terobsesi 
> > oleh iming-iming yang dijanjika pada waktu kampanye.
> > 
> > Pemilu adalah arisan lima tahunan untuk pengganytian kekuasaan di 
> > antara para komoprador dan pembantu setia kaum i9mperialis 
> > Tujuannya tidak lain agar sistrem penjajahan bisa berlangsung 
> > terus untuk menggerogoti kekayaan alam milik rakyat Indonesia. 
> > Dengan demikian para komprador dan boneka imperialis bisa 
> > mendapat keuntungabn besarf bagi keluargza dan kelompoknya.
> > 
> > Kita tahu, mereka telah membuat persekongkolan bahwa berapapun 
> > jumlah rqakyat Indonesia yang ikut dalam pemilu didpastikan 
> > dianggap sah, walaupun kurang dari separuh rakyat Indonesia yang 
> > iku5 dalam pemilu. Sebab, itu pesta demokrawsi kqaum kapitalis, 
> > bukan pesta demokrasi 9untuk rakyat.
> > 
> > Meskipun demikian, mereka yang GOLPUT masih l;ebih baik, karena 
> > dia tidak ikut mengotori tangannya dalam mengesahkan pemerintahan 
> > boneka.
> > 
> > Kalau ingin perubahan secara total dan menyeluruh, maka sistem
> > penjajahanlah yang harus diohapuskan, tidak pedulu siapa yang 
> > berkuasa, yang pzasti, bukan para boneka dan antek-antek 
> > imperialis.
> > 
> > Kalau sebelum Republik Indonesia ini berdiri dan masih dikuasai 
> > oleh imperialis Belanda yang disusul oleh fasisme Jepang, maka 
> > rkyat Indonesia berhasil mengusir penjajahn melalui revolusi. 
> > Bagaimana untuk mengusir penjajah model baru? Bisakah melalui 
> > pemilu yang diselenggarakan oleh para boneka?
> > 
> > Mei, 013,
> > 
> > salam,
> > nrmn
> > 
> 




------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke