‘Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam Senin, 07 Maret 2011, 
19:27 WIB Komentar : 0     123people.com Dr Jeffrey Lang A+  |  
Reset  |    A- REPUBLIKA.CO.ID-Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin 
tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan 
perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali 
kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing 
peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang 
menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain 
logika. Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA 
Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan 
keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan 
sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan 
membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan 
Tuhan di usia 18 tahun. Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 
tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, 
S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam. Adalah beberapa saat sebelum atau 
sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut 
penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu: Kami berada dalam sebuah ruangan 
tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak 
abu-abu. Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang 
menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, 
yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan 
melalui jendela itu. Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. 
Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit 
kami, menghadap arah jendela. Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. 
Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami 
menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. 
Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke 
depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi 
kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya 
bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan 
selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun. 
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami 
mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya 
merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa 
itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu 
berulang. Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di 
University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. 
Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin 
persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat 
Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa 
waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey. 
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran 
dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka. “Anda tak bisa 
hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda 
harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, 
‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey. Ia kemudian mendapati dirinya berada di 
tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, 
secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) 
malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya 
berada di wilayah yang berseberangan.” “Saya menderita kekalahan parah (dalam 
pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui 
saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan 
seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah 
pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan 
berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan. 
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya 
bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba 
melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia 
kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain 
satu pilihan.” Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, 
University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement 
sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai 
pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat 
itu. Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap 
syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk 
berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, 
dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat 
berjamaah. Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. 
Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali 
duduk di antara dua sujud. “Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat 
Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi 
ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih 
panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.” 
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah 
benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini 
mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk 
memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. 
Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang 
berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.” Ucapan ayahnya sepuluh tahun 
silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian 
tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan 
intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total 
kepada Allah SWT. Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada 
Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan 
lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan 
krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini. Jeffrey kini professor jurusan 
matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku 
yang banyak dibaca oleh Muslim AS:    Struggling to Surrender 
(Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: 
A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan 
menjadi pembicara di banyak konferensi Islam. Ia memiliki tiga anak, dan bukan 
sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini 
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada 
ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan 
tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita 
shalat?” “Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia 
delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim 
diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi 
pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di 
kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita 
melakukannya’,” “Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali 
bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu 
melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun 
ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.” Paulus anak wedus.

------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke