Gulo TEM wong atheistpun Prof lagi bisa tergugah oleh Kitab saya,tapi kamu krn 
memang matamu sudah dipicakkan Allah,kupingmu sudah dibudekkan Allah yo jangan 
harap ada yg  bisa menggugah kamu.  
 Paulus anak wedus. 

--- In proletar@yahoogroups.com, <proletar@yahoogroups.com> wrote:

 Nyatanya ga ada yg bs ngebuktikan kebenaran Quran ke gua, Quran itu penuh

dgn kbejadan, kekonyolan dan kesalahan, hehehe...



Emang ga salah jg yg dibilang si Lang, tinggal nentang QUran krn kekonyolan

dan kebejadan yg ada di Quran, atau terima aja apa yg ada di Quran, jadi

kebo dungu yg dicocok hidung.







2013/9/2 < tawangalun@... >



 > **

>

>

> �Kalah� Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam Senin, 07 Maret

> 2011, 19:27 WIB Komentar : 0 123people.com Dr Jeffrey Lang A+  |  Reset

> | A- REPUBLIKA.CO.ID-Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia

> kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan

> perspektif rasional. �Ayah, surga itu ada?� tanya Jeffrey kecil suatu 
kali

> kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama

> anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey

> Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat

> selain logika. Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High,

> sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap

> keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah,

> orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang

> keberadaan Tuhan. �Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!� kata 
ayahnya

> ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun. Ia akhirnya

> memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10

> tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya

> memeluk Islam. Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi

> atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang

> tentang mimpinya itu: Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak

> ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.

> Satu-satunya �hiasan� adalah karpet berpola dominan merah-putih yang

> menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah

> tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi

> ruangan melalui jendela itu. Kami membentuk deretan. Saya berada di deret

> ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di

> atas tumit kami, menghadap arah jendela. Terasa asing. Saya tak mengenal

> seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak,

> muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua

> suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat

> saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan

> yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri

> sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah

> putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain

> merah. Saat itulah saya terbangun. Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis,

> Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak

> terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah

> perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik

> itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang. Sepuluh tahun

> kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco,

> dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang

> murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga

> sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan

> waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu

> anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey. Kendati tak

> sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan

> membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka. �Anda tak 
bisa

> hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius.

> Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau

> kedua, �menantangnya�,� ungkap Jeffrey. Ia kemudian mendapati dirinya

> berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. �Ia (Alquran)

> �menyerang� Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat,

> mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran)

> menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.�

> �Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi 
jelas

> bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya

> sendiri,� kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca

> pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan,

> namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia

> membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan. �Alquran selalu 
jauh

> di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun

> bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.� Jeffrey mencoba 
melawan

> dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah

> dalam pergulatan. �Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain 
satu

> pilihan.� Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya,

> University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di

> basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat.

> Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi

> tempat itu. Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya

> mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun

> diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para

> mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai

> mengikuti mereka shalat berjamaah. Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya

> menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan

> semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud. �Saat

> saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di

> tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia

> sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang

> (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.� �Mimpi itu! 
Saya

> berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar

> melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi?

> Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk

> memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh

> saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa

> hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.� Ucapan ayahnya

> sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di

> lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan

> dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah

> penyerahan total kepada Allah SWT. Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang

> menuntunnya kepada Islam. �Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan

> hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun

> tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,� ujar Jeffrey kini. 
Jeffrey

> kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga

> anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS:    Struggling

> to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan

> Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah

> di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam. Ia

> memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa

> keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi

> pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya.

> Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun,

> Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. �Ayah, mengapa kita 
shalat?�

> �Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia 
delapan

> tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan

> shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman

> dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala,

> saya memulai dengan, �Kita shalat karena Tuhan ingin kita 
melakukannya�,�

> �Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?� Jameela kembali bertanya.

> �Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu

> melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun

> ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.� Paulus anak

> wedus.

>  

>





 [Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke