--- Adrisman Yunus <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Assalamu'alaikum wr.wb.

Wa'alaikum salam sanak Ad.

    Saya akhir-akhir ini agak sibuk sedikit, tapi 
saya coba juga sedikitnya memberikan penjelasan.
   Sanak Ad sudah dapat memilah-milah, kita berbicara
dalam konteks apa ?. Di sinilah letak bedanya.
Demokrasi tidak pernah mengenal batasan dimana harus
dilakukan demokrasi, bahkan sampai kepada benturan hak
azasi mereka tetap bertahan dengan demokrasinya.

> Eh kita bicara dalam konteks apakah ini...?
> Saya setuju kalau kita berbicara tentang keimanan
> dan ketauhidan bahwa tak ada kata demokrasi untuk
itu...

  Cobalah bertanya pada orang-orang yang pro demokrasi
dan yang paham demokrasi. Apakah ada batasan dalam
demokrasi ?. Pasti mereka menjawab tidak.  
Apakah soal keimanan tidak boleh dilakukan demokrasi.
Pasti mereka menjawab boleh dan malah harus karena
menyangkut hak azasi. 
Di sinilah bedanya.

> We have to agree, no matter what. Bahwa Allah itu
> Esa dan Nabi Muhammad rasulnya Allah...

  Bagi orang-orang pro demokrasi tidak ada kata
seperti
itu. Karena keyakinan adalah kebebasan semua orang.

> Seingat saya setelah nabi wafat, sewaktu mencari
> pengganti yan...... sejak umar,
> usman, ali. Selalu melalui proses pemilu..., artinya
> calonnya lebih dari satu.

   Silahkan dinamakan itu demokrasi bila memang sesuai
tapi, dengan catatan tidak melanggar undang-undang
Allah swt, nanti saya beri contoh.

   Begini sanak Ad.
Bila dalam dewan legislatif (DPR misalnya) terdapat
misalnya 500 orang anggota yang terdiri dari 249 para
ulama, kiyai, ustad dan semua orang yang beratribut
agama Islam, kemudian selebihnya adalah anggota yang
entah bagaimana caranya dapat terpilih terdiri dari
preman-preman, tukang becak, jeger-jeger,
prokem-prokem dan lain sebagainya, diadakan
persetujuan mengenai undang-undang perselingkuhan
suami/isteri, apa yang akan terjadi ?.
  Lobi punya lobi, debat punya debat tidak didapatkan
kesepatakan karena keduanya berbeda pendapat. Para
preman menganggap hal itu sudah lumrah terjadi di
masyarakat dan haruslah dikeluarkan undang-undang yang
membolehkannya sebagaimana di barat yang makin maju
dengan kemodernannya. Sementara para ulama atau kiyai
atau yang beratribut agama Islam tidak setuju karena
tidak sesuai dengan pemahaman mereka selama ini. 
Akhirnya mau tak mau dilakukan voting untuk mengambil
keputusan. Al-hasil sudah dapat dibayangkan bahwa sang
preman dan tukang-tukang becak dan sebagainya itu
pasti
menang karena suara mereka lebih banyak 2. 
  Dalam demokrasi, keputusan bersama harus didukung
dan
akibatnya mau tak mau orang-orang yang beratribut
agama Islam itu terpaksa mendukung keputusan itu. Coba
pikirkan apakah dalam hal ini mereka tidak berdosa ?.
  Di sini letak bedanya sanak Ad.
Itu sebabnya dikatakan bahwa demokrasi tidak identik 
dengan musyawarah mufakat dalam Islam. Dalam Islam
segala keputusan yang diambil tidak boleh keluar dari
undang-undang Allah swt., tidak boleh keluar dari
ketentuan Qur'an dan hadits. Tidak boleh keluar dari
rambu-rambu agama.
  Dalam soal kepemimpinan, salah satu rambu-rambu yang
pernah disampaikan oleh Nabi saw. adalah bahwa
orang-orang yang berambisi untuk jadi pemimpin tidak
boleh diangkat jadi pemimpin.
  We can not agree to disagree dalam hal ini.

> sekian sanak sekedar pendapat. lebih dan kurangnya
> harap dimaafkan.

  Maaf sanak Ad, masih banyak yang harus dituliskan
untuk menjelaskannya sehingga dapat disimpulkan
musyawarah mufakat dalam Islam tidak identik dengan
demokrasi, tapi waktu saya cukup sempit. Nanti Insya
Allah dapat kita sambung.
Aqulu qauli hadza. 
Astaghfirullahu lii wa lakum

> wassalamu'alaikum wr.wb.
> Adrisman 

Wa'alaikum salam. w.w.

St. Sinaro

__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Finance: Get your refund fast by filing online.
http://taxes.yahoo.com/filing.html
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Reply via email to