Assalamualaikum Wr. Wb.

Secara prinsip saya sependapat dengan Tan Bagindo Nagari. Alasan saya sederhana. Yang diwariskan Nabi Muhammad SAW kepada perdaban tidak hanya sistem kekhalifahan, tetapi Islam yang tidak hanya sekedar agama, apalagi sebuah institusi, tetapi rakhmat bagi sekalian alam. Membangun sebuah kekhalifahan---andai kata ini memang mungkin---hanya akan membuat garis batas: ini kami dan itu kamu, yang  hanya akan menjadikan  Islam eksklusif dan kerdil.

Dan sunnatulah mengajarkan kita, di mana aksi pasti ada reaksi. Kalau satu pihak mengedepankan ekslusivisme, apakah kita dapat mengharap pihak lain akan mengucapkan: ”congratulation” lalu mengalungkan karangan bunga?

Lalu kapan dan di mana kita akan meletakkan Islam sebagai rakhmat bagi sekalian alam?

Segitu dulu

Wassalam, St Bandaro Kayo

basrihasan wrote:
Assalamu'alaikum wr. wb.

Post pembajakan (mudah-mudahan bukan seorang Muslim pelakunya), sanak
Adrisman keluar dengan judul yang sangat pas sekali dengan partai kawan kita
Hizbut Takhrir. Penjelasan tambahan cukup panjang lebar, kurang menarik bagi
saya. Saya lebih tertarik pada segi praxis suatu pemikiran, karena itu
sekali lagi tolong dijelaskan praxisnya seorang khalifah dipilih dan
bagaimana pula menurunkannya, pada kondisi post Muhammad SAW. Seandainya
sistem khalifah itu masuk akal dan merupakan solusi yang meyakinkan, pasti
digandrungi oleh seluruh ummat manusia dong, kenyataannya tidak demikian,
toh negara-negara super power memakai demokrasi (karena mereka menjadi besar
aibat demokrasi).
Ini terlepas dari perasaan dan keimanan, apalagi keimanan dalam hal ini
adalah hal yang menjadi private domain, sehingga pencarian khalifah
sebagaimana yang telah dilansir oleh Hizbut Tahrir = does not make sense.
Kalaulah sanak Adrisman dapat menjelaskan akan sangat bermanfaat (maaf bukan
mengutip) pemikiran orang Arab (tanpa pretensi menghina).
Salam

SBN

----- Original Message -----
From: "Adrisman" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "<b>Milis Komunitas MINANGKABAU (Urang Awak)</b> sejak 1993"
<[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Sunday, March 07, 2004 5:58 PM
Subject: [EMAIL PROTECTED] System negara khilafah, theokrasi dan demokrasi


  
Assalamu'alaikum wr.wb

Berikut ini adalah penjelasan tentang bentuk negara khilafah yang telah
diwariskan oleh rasulullah saw, sekalipun ada kemiripannya dengan sistim
demokrasi namun secara mendasar tetap ada yang membedakannya, diantaranya
yaitu kekuasaan khilafah tidak bisa dicabut oleh rakyat, namun bisa
diturunkan jika khilafah sudah mengingkari hukum2 Allah. Secara teori
sebenarnya negara khilafah lebih mirip dengan negara theokrasi, terutama
mengenai legitimasi kekuasaan, yang membedakannya adalah sumber hukum
    
negara
  
khilafah adalah Syari'at Islam (dari Allah) sedang negara theokrasi
mengambil sumber hukum yang dibuat oleh manusia atau penguasa.

Semoga bermanfaat.

Wassalam


    
============================================================================
  
========================

Sistem Khilafah adalah sistem negara Islam yang diwariskan oleh Rasulullah
saw. dengan perangkat sistem yang sudah lengkap yaitu:

  1.. Menjadikan syahadat "LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH", sebagai
asas kehidupan dalam seluruh aspeknya.

  2.. Mengangkat para Pejabat yang membantu beliau dalam menjalankan tugas
pemerintahan, seperti :

  a. Mu'awin (Wazir)

  b. Wali dan Amil (Penguasa Wilayah)

  c. Qadli (Hakim)

  d. Al Jaisy (Angkatan Bersenjata)

  e. Pejabat Administrasi

  3.. Melakukan musyawarah dengan kaum muslimin (majelis syura).

Sistem pemerintahan versi Rasulullah saw. itu merupakan sunnah beliau saw.
yang harus menjadi pedoman bagi kaum muslimin sepanjang masa. Kaum
    
muslimin
  
pun harus memahami bahwa sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan yang
diwariskan Rasulullah saw. itu sama sekali berbeda dari sistem theokrasi.
Paling tidak ada empat perbedaan.

Pertama, legitimasi kekuasaan para penguasa dalam sistem theokrasi berasal
dari Allah atau Tuhan atau Dewa. Mereka mengaku wakil Allah. Rakyat hanya
menerima pengakuan mereka. Dalam sistem khilafah, legitimasi kekuasaan
diperoleh oleh seorang khalifah dari umat karena khalifah dipilih oleh
    
umat
  
atau rakyat secara keseluruhan atau mayoritasnya, baik secara langsung
    
atau
  
melalui perwakilan mereka (majelis umat/syuro). Khalifah bukanlah wakil
Allah, melainkan wakil umat. Jadi sumber kekuasaan dalam sistem khilafah
adalah umat (As Sulthan lil Ummah). Lalu umat menyerahkan pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan itu kepada seseorang yang mereka bai'at menjadi
khalifah untuk mewakili mereka. Rasulullah saw. dan para khulafaur
    
Rasyidin
  
mendapat- kan baiat dari kaum muslimin untuk menjalankan kekuasaan
menerapkan hukum-hukum Islam dalam negara Islam. Bahkan dalam sebuah
    
hadits
  
yang diriwayatkan Abu Hurairah beliau saw. pernah bersabda: "Dulu urusan
kemaslahatan Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi
meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tak ada nabi
sesudahku (yang akan memimpin kalian kaum muslimin). Yang ada adalah para
khalifah yang boleh jadi jumlahnya banyak". Para sahabat bertanya: Apa
    
yang
  
anda perintahkan kepada kami? Nabi menjawab: "Penuhilah baiat yang
    
pertama,
  
yang pertama..." (lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Hukm, hal 39-41)

Kedua, hukum yang diterapkan dalam sistem theokrasi adalah hukum yang
    
dibuat
  
sendiri oleh para penguasa yang mengklaim telah mendapatkan legitimasi dan
wewenang dari Allah untuk membuat hukum sesuka mereka. Sedangkan dalam
sistem khilafah, khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi khalifah
dibai'at oleh umat Islam untuk melaksanakan hukum Allah yang terdapat
    
dalam
  
al Qur'an dan Sunnah. Karena dimungkinkan adanya pluralitas hukum Islam
    
pada
  
masalah-masalah cabang yang bersifat zhanniyyah dan pelaksanaannya
melibatkan interaksi antar umat, syara' memberikan wewenang kepada
    
khalifah
  
untuk mentabanni salah satu hukum untuk dilaksanakan bersama. Hukum cabang
yang ditabanni khalifah itu bisa merupakan ijtihad khalifah itu
sendiri --jika dia seorang mujtahid, bisa juga ijtiohad mujtahid yang
bertebaran di antara masyarakat kaum muslimin. Ijtihad apapun dalam hukum
Islam tentunya bersumber kepada nash syara, Al Qur'an dan As Sunnah, serta
dua sumber hukum yang ditunjukkan keduanya, yaitu Ijma shahabat dan Qiyas.
Jadi sumber hukum itu adalah syari'at Allah SWT (As Siyadah lis Syar'i).
Dengan demikian negara khilafah mampu menjawab tantang zaman dengan
    
jawaban
  
yang bersumber dari Allah SWT yang Maha Tahu. Sedangkan, dalam negara
theokrasi, para pemimpin/penguasa membuat hukum seindiri dengan segala
kelemahan pengetahuannya sebagai manusia.

Ketiga, dalam negara theokrasi, penguasa sebagai wakil Allah atau Tuhan di
muka bumi tidak bisa berbuat salah. Penguasa ma'shum, dijaga oleh oleh
    
Allah
  
dari kesalahan dan dosa. Dalam sistem khilafah, penguasa justru tidak
ma'shum. Dalam hadits-hadits tentang ketatan, Rasulullah saw. antara lain
menyebutkan adanya penguasa yang baik dan penguasa yang buruk. Hisyam bin
Urwah meriwayatkan hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a. yang
menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Setelahku akan ada para
penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya,
    
sedangkan
  
yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Maka dengar dan
taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq
(kebenaran/Islam). Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu hak bagi
kalian. Dan apabila mereka berbuat jelek, maka kejelekan itu hak bagi
    
kalian
  
untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakan
kebaikan".

"Mendengarkan dan mentaati penguasa tetap wajib atas seorang muslim dalam
hal yang ia sukai atau ia benci, selagi tidak diperintahkan berbuat
    
maksiat.
  
Apabila dia berbuat maksiat, maka dia tidak boleh mendengarkan dan tidak
boleh mentaatinya" (HR. Muslim).

Keempat, karena kemaksuman dalam poin ketiga, maka penguasa dalam sistem
theokrasi tidak bisa dikritik dan dikoreksi. Sedangkan dalam sistem
khilafah, kritik dan koreksi (muhasabah) adalah hak kaum muslimin
    
sekaligus
  
kewajiban mereka sebagai rakyat yang mewakilkan kekuasaan melaksanakan
    
hukum
  
Allah SWT kepada khalifah. Sebab, khalifah sebagaimana umat adalah manusia
yang bisa melakukan kekeliruan dalam melaksanakan hukum Allah SWT. Dan
pelanggaran hukum Allah SWT atau kemungkaran yang dilakukan penguasa, bisa
menjadi sebuah bencana yang besar. Oleh karena itu, Allah dan rasul-Nya
memerintahkan amar ma'ruf nahi mungkar, termasuk kepada para penguasa.
    
Allah
  
SWT berfirman:

"Hendaklah ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada
kebaikan (Islam), serta menyuruh kepada perbuatan ma'ruf (dikenal dan
    
diakui
  
kebaikannya oleh Islam) dan mencegah perbuatan yang munkar (perbuatan
    
buruk
  
yang diingkari oleh Islam keberadaannya)" (QS. Ali Imran 104).

Nabi saw. bersabda:

"Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, hendaknya kalian
benar-benar memerintahkan kepada yang ma'ruf serta mencegah dari perbuatan
yang munkar, atau sampai Allah betul-betul akan akan memberikan siksa
    
untuk
  
kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdoa
kepada-Nya, niscaya Dia tidak akan mengabulkan doa kalian" (HR. Ahmad dan
Tirmidzi).

"Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan
seorang penguasa yang zhalim, lalu memerintahkannya berbuat makruf dan
mencegahnya dari perbuatan munkar, lalu penguasa itu membunuhnya" (HR.
    
Hakim
  
dari Jabir).

Khilafah Tidak Sama dengan Demokrasi

Jelaslah, bahwa negara Islam atau khilafah bukanlah negara theokrasi.
    
Namun
  
demikian tidak berarti negara khilafah sama dengan negara demokrasi.
    
Memang,
  
dalam sistem khilafah, kekuasaan di tangan umat dan ini mirip dengan
    
sistem
  
demokrasi. Perbedaannya, umat tidak berwenang men- cabut kekuasaan
    
khalifah
  
sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, rakyat melalui
wakilnya mengangkat kepala negara, memberikannya kekuasaan dalam masa
jabatan tertentu, lalu memberhentikannya. Dalam sistem khilafah, rakyat
menyerahkan kekuasaan kepada khalifah tanpa pembatasan masa jabatan. Hal
    
ini
  
tidak bisa ditafsirkan bahwa dalam sistem khilafah seorang kepala negara
mutlak berkuasa selama hidupnya sebagaimana halnya sistem monarki maupun
theokrasi. Khalifah tetap harus terikat dengan hukum syara' dan
syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh hukum syara. Jika khalifah
kehilangan syarat-syarat tersebut, bisa jadi ia kehilangan jabatannya
    
dalam
  
tempo seminggu bahkan sehari!

Dalam demokrasi memang ada kritik dan koreksi. Biasanya, hal ini dilakukan
oleh pihak oposisi untuk kepentingan politik mereka, semisal untuk
memenangkan pemilu berikutnya, bahkan untuk menjatuhkan kekuasaan. Dalam
sistem khilafah, kritik dan koreksi dilakukan oleh partai politik maupun
perorangan untuk meluruskan jalannya pemerintahan tanpa kepentingan
    
politik,
  
karena partai dalam sistem politik Islam tidak melakukan aktivitas
pemerintahan maupun oposisi, melainkan amar ma'ruf nahi mungkar.

Lagipula kritik dan koreksi dalam sistem demokrasi menggunakan standar
hukum- hukum kufur yang diadopsi oleh sistem demokrasi. Sedangkan dalam
sistem khilafah, standar kritik dan koreksi adalah hukum Allah SWT.
Karenanya, dalam sistem demokrasi tidak ada amar makruf nahi munkar.
    
Sebab,
  
standar amar makruf nahi mungkar itu adalah hukum syari'at Islam yang
    
justru
  
tidak diinginkan oleh sistem demokrasi.

Khatimah

Dengan demikian, secara fundamental, justru sistem demokrasi lebih dekat
kepada sistem theokrasi ketimbang sistem khilafah. Bila dalam sistem
theokrasi penguasa mengaku mendapat legitimasi dari Tuhan untuk berkuasa
    
dan
  
membuat hukum sendiri di dalam menjalankan kekuasaannya, dalam sistem
demokrasi rakyatlah (demos) yang mengklaim bahwa mereka telah dibebaskan
oleh Tuhan untuk membuat hukum sendiri lalu mengontrak penguasa untuk
menjalankan hukum itu.

Sedangkan dalam sistem khilafah, kaum muslimin menyerahkan kekuasaan
    
kepada
  
seorang khalifah agar menjaga keberlangsungan kehidupan kaum muslimin itu
sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka se- sungguhnya dia telah sesat, sesat
yang nyata" (QS. Al Ahzab 36).

Jika demikian, umat tidak perlu khawatir terhadap sistem khilafah. Justru
mereka harus menghindari sistem theokrasi maupun demokrasi, karena
    
keduanya
  
adalah sistem yang tidak diridloi oleh Allah SWT.

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________


    

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________


  
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke