Jilbab, Tubuh dan Seksualitas

       Khotimatul Husna


FAKTA penubuhan telah memaksa manusia memperhatikan persoalan seksualitas,
reproduksi, penderitaan, kesenangan, dan lain- lain. Fakta penubuhan yang
berhubungan dengan seksualitas erat kaitannya dengan relasi jender. Relasi
jender laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial yang bias
mengakibatkan relasi kuasa antarjenis kelamin (seks) laki-laki dan
perempuan yang tidak seimbang dan menjadi sebab ketidakadilan jender
(gender inequality).
BUDAYA dominan (baca: patriarki) lebih sering menguasai perempuan dalam
fakta penubuhan. Perempuan tidak diberi kuasa untuk mendefinisikan
tubuhnya sendiri. Dalam arus utama budaya ini, otoritas untuk
mendefinisikan tubuh menjadi hak istimewa laki-laki sehingga terjadi
kontrol atas tubuh perempuan, badan, status, seksualitas, serta perannya,
baik dalam ruang domestik (keluarga) maupun ruang publik (masyarakat).
Lebih jauh lagi, dominasi fakta penubuhan oleh laki-laki tidak hanya dalam
pola relasi laki-laki dan perempuan, melainkan juga dalam kekuasaan kelas,
yakni dominasi penguasa, raja, kaisar, pembesar, tuan, majikan, suami atas
mereka yang inferior dan disubordinasikan di dalam rumah tangganya.
Tindakan diskriminasi atas tubuh dan seksualitas perempuan yang bersumber
dari doktrin agama merupakan fakta dan contoh diskriminasi oleh kekuatan
dan kekuasaan dominan (penguasa agama). Dalam Islam, misalnya, anggapan
bahwa tubuh perempuan adalah aurat yang bisa membangkitkan nafsu seks
lawan jenis sampai saat ini masih diyakini sebagai kebenaran.
Anggapan negatif ini membatasi ruang gerak dan kreativitas perempuan dalam
semua bidang kehidupan karena semua aturan hidup (hukum yang dibuat
penguasa) tidak berpihak kepada perempuan. Misalkan, kewajiban berjilbab
bagi perempuan yang diyakini sebagai perintah syariah. Kewajiban berjilbab
ini merupakan tindakan pengasingan sosial terhadap perempuan karena
mengakibatkan kesulitan bagi perempuan dalam memenuhi fungsi sosialnya.
Menurut Qasim Amin (intelektual Mesir), alienasi sosial ini merupakan
kejahatan terhadap intelektualitas dan kesehatan, dan yang bertanggung
jawab atas kemunduran perempuan muslimah secara umum (Tahrir al-Mar’a,
1928).
Padahal, penafsiran ayat tentang jilbab ini masih menjadi perdebatan
(ikhtilaf) dan silang pendapat oleh para ahli fikih (ra’yul basuar) atau
bukan hukum agama yang jelas, tepat, dan pasti. Ada tiga ayat Al Quran
yang ditafsirkan sebagai perintah penggunaan jilbab atas perempuan, serta
dua hadis nabi yang dijadikan landasannya.
Pertama, ayat hijab (kewajiban hijab), meskipun ayat tersebut ditujukan
untuk istri-istri Nabi, ayat tersebut tetap berlaku bagi perempuan
mukminah lainnya karena mengandung perintah kemuliaan akhlak, yang tentu
tidak berlaku pengkhususan. Bagi yang menuntut peniadaan hijab, ayat
tersebut tidak bersinggungan sama sekali dengan tradisi model penutup
rambut bagi perempuan mukminah. Penamaan penutup kepala dengan hijab dan
melandaskannya pada ayat tersebut merupakan tindakan salah kaprah karena
hijab secara bahasa adalah as-satir (penutup tertentu/sekat), bukan jilbab
atau penutup kepala.
Kedua, ayat khimar, QS 24:31, yakni anjuran untuk menjumbaikan kerudung ke
atas dada sebagai koreksi atas tradisi perempuan yang memperlihatkan
dadanya. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat Al Quran tersebut
memerintah untuk bertutup dan telapak tangan. Bagi yang mendukung
peniadaan kewajiban berjilbab, ayat ini meluruskan tradisi berbusana pada
zaman itu dengan penekanan pada penutup dada dan agar tidak
memperlihatkannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan penutup kepala.
Ketiga, ayat jalabib, QS 33:59, yakni perintah memanjangkan pakaian
perempuan untuk membedakan perempuan merdeka dan budak agar tidak digoda
oleh laki-laki. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat tersebut
menyuruh seluruh perempuan mukminah-budak atau bukan-untuk menutup organ
tubuh dan bertindak sopan. Bagi yang tidak mendukung, hukum yang tetap
dari ayat tersebut adalah kesopanan dan tidak berlaku pamer yang tidak ada
kaitannya sama sekali dengan perintah berjilbab (Muhammad Sa’id
al-Asyamawi, 2003).
PEMAKNAAN tubuh perempuan sebagai aurat adalah suatu tindakan kekerasan
oleh kekuatan yang merasa mempunyai otoritas untuk memaksa dan mengatur
pihak yang dikuasainya. Pemaknaan itu muncul akibat dari proses budaya
yang timpang, yakni tafsir ajaran agama oleh dominasi laki-laki. Tafsir
ajaran agama hanya oleh laki-laki menyebabkan kekosongan tafsir perspektif
perempuan sehingga tidak ada harmoni dan keseimbangan dalam tafsir
keagamaan.
Dominasi patriarki yang memasuki wilayah agama secara otomatis melahirkan
aturan dan dogma agama terhadap tubuh manusia yang bias jender. Bahkan
dalam agama seperti Islam dan Kristen, diyakini bahwa problematika
tubuhlah yang telah menyebabkan kejatuhan manusia, sebagaimana yang
dikisahkan dalam kitab suci tentang dosa Eva dan Hawa. Stereotip atas
watak seksualitas Eva dan Hawa (baca: perempuan) inilah yang menciptakan
mitologi tubuh dan seksualitas perempuan sebagai yang negatif inferior.
Tubuh perempuan dianggap sebagai media pembawa dan penyebab kejahatan,
seperti tuduhan terhadap korban perkosaan sebagai penyebab terjadinya
kejahatan perkosaan terhadap dirinya. Definisi dan gerak tubuh perempuan
didefinisikan dan dikontrol sedemikian rupa oleh kuasa patriarki.
Dalam Islam, kontrol terhadap tubuh perempuan yang dilegitimasi oleh teks-
teks keagamaan bukan hanya dalam tafsir (seperti tafsir ayat tentang
jilbab), bahkan syariat. Menurut Masdar F Mas’udi (Menakar Harga
Perempuan, 1999), pandangan atau wacana agama yang mendiskreditkan
perempuan di antaranya:
Pertama, dalam fikih terdapat ajaran yang menyatakan perempuan adalah
kelemahan dan aurat, maka tutuplah kelemahan itu dengan diam, tak banyak
bicara, dan tinggal di rumah. (Kitab Makarim Al-Akhlaq karya Syaikh Radhi
Ad-Din)
Kedua, harus adanya izin bagi perempuan bila keluar dari rumah, baik izin
dari suami atau ayah, atau harus ditemani muhrim. Bahkan terdapat ajaran
yang mengatakan, "Barang siapa tunduk kepada perempuan, maka Allah akan
menyusupkan mukanya ke dalam api. Istrilah yang harus tunduk kepada suami,
tidak menentang perintah, tidak memberikan sesuatu dan keluar rumah tanpa
izin suami."
Ketiga, bahwa suara perempuan adalah aurat, karena itu haram didengar oleh
laki-laki yang bukan muhrim. (Kitab Uqud Al-Lujjaini)
Keempat, laki-laki dianggap berhak memukul istri bila istri durhaka
menurut pandangan suami. (Kitab Uqud Al-Lujjaini)
Kelima, ibadah perempuan tidak ada artinya bila tidak mau atau menolak
untuk melayani suaminya. Tentang ini, Aisyah berkata, "Wahai kaum
perempuan, sekiranya kalian menyadari kewajiban kalian kepada suami,
niscaya kalian akan bersedia menyeka telapak laki suami dengan muka
kalian."
PANDANGAN dan wacana agama yang diskriminatif terhadap perempuan di atas
telah melahirkan berbagai tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama,
baik kekerasan fisik maupun psikis (mental) serta kekerasan dalam wilayah
domestik atau kekerasan di wilayah publik.
Kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama terjadi karena
pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas
perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah (kodrat).
Padahal, kekuasaan itu tidak lepas dari proses sosiologis dan kultural.
Kekuasaan yang diterjemahkan sebagai milik laki-laki inilah yang mengatur,
bertanggung jawab, melindungi warga yang berada di bawah kekuasaannya,
sekaligus mengesahkan kekuatan dan kekerasan untuk menjaga kepentingan
umum. Dalam kerangka "kuasa patriarki" ini, perempuan mengalami
marjinalisasi, diskriminasi, tindak kekerasan, subordinasi, dan tindakan
lain yang tidak sensitif jender.
Lebih parah lagi, berbagai tindak kekerasan yang menimpa perempuan
dianggap hal sepele dan tidak layak mendapat perhatian khusus atau
prioritas di antara problem sosial yang lain. Selama ini perempuan masih
dianggap sebagai warga kelas dua yang semua aktivitasnya ditentukan oleh
kelas di atasnya, dikontrol seksualitasnya, dibedakan mana good women dan
bad women (meminjam istilah Saraswati Sunindyo), dan perlakuan tidak adil
lainnya.
Untuk itu perempuan harus memiliki kekuatan tawar dalam menghadapi
kekuasaan dalam bentuk apa pun sehingga perempuanlah yang lebih berhak
atas tubuhnya sendiri. Sudah tidak sepantasnya terdengar lagi ratapan
perempuan "...homeless in own body" (Sheila Jeffreys, The Idea of
Prostitution).

Khotimatul Husna Editor Buku Indonesia Tera dan Alumnus Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke