Muhammad Arfian writes:

Assalaamuâalaykum wa Rahmatullaahi wa Barakatuhu

Wa 'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,


Sanak Ahmad Ridha, tidak ada yang menyangkal bahwa tauhid adalah prioritas utama dalam agama kita, dan usaha-usaha untuk memperbaiki aqidah dan tauhid umat Islam adalah usaha-usaha yang perlu didukung oleh setiap orang yang mengaku dirinya seorang muslim.

Benar dan semoga memang hal itu diketahui setiap orang yang ingin memperjuangkan Islam. Tentunya dengan pemahaman tauhid yang sesuai dengan salafushshalih atau generasi terbaik Islam (Rasulullah, sahabat-sahabat beliau, tabi'in, tabi'ut tabi'in) serta para ulama yang mengikuti jalan tersebut.


Terkait dengan dukungan terhadap usaha-usaha perbaikan tauhid tersebut,
banyak hal yang bisa dilakukan oleh umat Islam, baik itu dengan dia
mempelajari ilmu agama secara menyeluruh, beramal dengan hartanya, mendidik keluarganya, mendukung secara politis bahkan kalau perlu berjuang dengan mengorbankan jiwanya.

Menjadikan tauhid sebagai prioritas utama tidaklah berarti menghentikan langkah yang lain tentunya tetap dalam kerangka panduan Allah dan Rasul-Nya. Namun jangan sampai demi - katakanlah - persatuan dan kesatuan pemahaman tauhid (aqidah) ditawar-tawar. Na'udzubillah min dzalik.


Ingatlah dulu orang-orang Khawarij pun mengorbankan jiwanya. Begitu juga orang-orang Mu'tazilah yang ahli ibadah. Apakah itu menjadikan mereka ada di jalan yang benar?

Dukungan secara politis melalui pemerintah dan sistemnya adalah satu bentuk dukungan terhadap penegakan tauhid Islam yang tidak bisa dinafikan. Kalau sanak merenungkan Sirah Nabawiyah, sanak tentu mengetahui dengan jelas dukungan Abu Thalib sebagai orang yang disegani di kalangan bani Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW dalam usahanya menyebarkan tauhid Islam di Mekkah. Juga ketika kaum muslimin diboikot selama tiga tahun di Mekkah, Bani Hasyim yang merupakan keluarga Nabi Muhammad SAW tetap melakukan transaksi dagang dengan kaum muslimin, dan tidak ada yang berani mengganggu mereka melakukan itu.

Bukankah Rasulullah menegakkan pemerintahan Islam setelah hijrah? Bukankah kafir Quraisy memegang kekuasaan di Makkah sebelum Rasulullah hijrah? Bukankah Rasulullah menolak kekuasaan jika itu berarti menghentikan dakwah tauhid?


Kisah Abu Thalib sesungguhnya memberikan pelajaran yang sangat berharga. Sedemikian besar bantuan yang ia berikan kepada Rasulullah namun hal itu tidak menyelamatkannya dari siksa karena ia menolak untuk bertauhid.

Allah bahkan melarang Rasulullah untuk mendo'akannya.

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam." (QS. At-Taubah 9:113)

dan juga menunjukkan bahwa petunjuk datangnya hanya dari Allah.

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash 28:56)

Ketika Nabi hijrah ke Mekkah, beliau mengadakan perjanjian bersama
orang-orang Madinah yang bukan hanya terdiri dari kaum muslimin, tetapi juga kaum Yahudi dan Nasrani dalam usahanya mendirikan pondasi yang teguh bagi kelancaran penyebaran Islam di sana. Kemudian beliau pun mengadakan perjanjian Hudaibiyah yang memberikan kesempatan untuk memperluas da'wah Islam kepada raja-raja Arab dan negara sekitarnya ketika itu.

Apakah dalam perjanjian itu memberikan hak kekuasaan bagi kaum Yahudi dan Nasrani atau menganggap baik akrab dengan ahli bid'ah?


Maaf, perjanjian yang saya dapatkan adalah dengan orang-orang Yahudi dan tidak menyebutkan Nasrani. Saya mendapatkan teks perjanjian Rasulullah dengan orang-orang Yahudi tersebut dalam terjemah As-Sirah An-Nabawiyah li Ibni Hisyam (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Darul Falah, 2002) jilid 1 hal. 454 bab 91.

Di dalamnya disebutkan secara ringkas antara lain (mohon maaf tidak menuliskan semua karena cukup panjang):

- Kaum muhajirin dari Quraisy dan Yatsrib serta kaum-kaum di Madinah tetap dalam tradisi mereka yang dilegalkan Islam, mereka membayar diyat kepada sebagian yang lain, menebus tawanan mereka dengan cara yang baik dan adil kepada kaum Mukminin.

- Sesungguhnya kaum Mukminin yang bertakwa itu bersatu dalam menghadapi orang yang berbuat aniaya terhadap mereka atau orang yang menginginkan kezaliman besar, atau dosa, atau permusuhan, atau kerusakan terhadap kaum Mukminin.

- Barangsiapa di antara orang Yahudi mengikuti kami, ia berhak mendapat pertolongan, kebersamaan, mereka tidak dizalimi dan mereka tidak boleh dikalahkan.

- Sesungguhnya kaum Mukminin yang bertakwa berada pada petunjuk yang paling baik dan paling lurus.

- Sesungguhnya orang Mukmin yang beriman kepada isi perjanjian ini, beriman kepada Allah dan beriman kepada Hari Akhir haram membela pelaku bid'ah dan melindunginya.

- Barangsiapa membela pelaku bid'ah dan melindunginya, ia mendapatkan kutukan Allah dan murka-Nya pada Hari Kiamat.

- Sesungguhnya orang-orang Yahudi juga terkena kewajiban pendanaan jika mereka sama-sama diperangi musuh.

- Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf dan lainnya di Madinah satu umat bersama kaum Mukminin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Mukminin agama mereka.

- Seorang pun dari orang-orang Yahudi tidak boleh keluar dari Madinah kecuali atas izin Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam

- Sesungguhnya orang-orang Yahudi terkena kewajiban pembayaran dan kaum Muslimin juga terkena kewajiban pembayaran

- Jika mereka diajak berdamai dan bersahabat,mereka harus berdamai dan bersahabat. Jika mereka diajakn kepada hal tersebutm mereka mempunyai hak atas kaum Mukminin kecuali terhadap orang-orang yang memerangi agama.

- Sesungguhnya kebaikan itu berbeda dengan keburukan.

Itu adalah beberapa poin yang ada dalam teks perjanjian. Namun sayang orang-orang Yahudi tetap dalam permusuhan terhadap Rasulullah sehingga diusirlah Bani An'Nadhir yang disebutkan dalam surat Al-Hasyr. Kemudian terjadi perang dengan Bani Quraidhah.

Sedangkan, Perjanjian Hudaibiyah merupakan perjanjian gencatan senjata yang menjadi petunjuk bahwa dibolehkan membuat perjanjian damai dengan orang-orang kafir jika kaum muslimin dalam keadaan lemah. Namun perjanjian tersebut tidak berarti kita tidak bara' terhadap mereka.

Jadi kita
melihat bahwa perjuangan Nabi SAW mengajarkan tauhid Islam berjalan secara paralel dengan aktifitas politik yang beliau lakukan. Dukungan dari Allaah SWT pasti ada tetapi tidak menafikan usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, seperti yang Allaah SWT firmankan: Sesungguhnya Allaah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasibnya sendiri (QS Ar-Ra'd 11).

Politik berkaitan dengan pengurusan keperluan masyarakat dan tentunya ada dalam Islam. Namun perlu diingat sebagaimana aktifitas lainnya, politik harus berada dalam batas-batas syar'i termasuk orang yang boleh melakukannya dan cara melakukannya.


Sebagai contoh, dalam Islam ada hudud dan qishash yang wajib diterapkan. Namun apakah setiap individu muslim harus melakukannya (main hakim sendiri)? Tentu tidak.

Saya rasa tidak ada ulama yang mengharamkan politik secara mutlak dan sungguh aneh jika ada yang mengatakan begitu. Saya pernah menerima e-mail yang isinya menuduh bahwa ada golongan yang mengharamkan politik bahkan ada tokoh Islam yang berkata seperti itu juga.

Dalam Islam juga diatur cara berhubungan dan beramar ma'ruf nahi munkar terhadap pemerintahan.

Dari Iyadh bin Ghanim berkata : Bersabda Rasulullah SAW :
Barangsiapa berkeinginan menasehati sulthan (penguasa), maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan (di depan umum) dan hendaknya dia mengambil tangannya (dengan empat mata dan tersembunyi). Jika dia mau medengar (nasehat tersebut) itulah yang dimaksud, dan jika tidak (mau mendengar), maka dia telah menunaikan kewajiban atasnya. (Hadits Shahih riwayat Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal hal. 507 no. 1096)


Dari Wail bin Hujr, berkata: Kami bertanya:
Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika kami punya amir (yang) menahan hak kami dan mereka meminta haknya dari kami? Maka beliau menjawab : (Hendaknya kalian) dengar dan taati mereka, karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat, dan atas kalian yang kalian perbuat. (HR. Muslim no. 1846 dari hadits Asyats bin Qais)


Dari Hudzaifah bin Yaman berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul (pula) ditengah-tengah kalian orang-orang (di kalangan penguasa) yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia. Aku (Hudzaifah) bertanya: Apa yang harus saya perbuat jika aku mendapatinya? Beliau bersabda: (Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu. (Hadits shahih riwayat Muslim dalam Shahihnya no. 1847 (52))


Dari Ibnu Umar ra. berkata : Rasulullah SAW bersabda :
Wajib atas seorang muslim (untuk) mendengar dan taat (kepada pemimpin) pada apa yang ia sukai ataupun yang ia benci, kecuali kalau ia diperintah (untuk) berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat. (HR. Bukhari dan Muslim)


Kemudian pada masa sekarang pun, kita melihat bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Arab mendapat dukungan politis secara penuh dari Raja Ibnu Sa'ud dan anaknya Abdul Azis sehingga gerakan pemurnian Islam (tasfiyah) yang beliau lakukan dapat berjalan di Jazirah Arab. Apakah beliau mendapatkan dukungan politik setelah semua orang Arab Saudi benar aqidahnya? Tentu tidak, karena dukungan politis itu didapatkannya agar pelaksanaan pemurnian Islam dapat juga berjalan secara top-down, bukan hanya bottom-up dengan melakukan pembinaan kepada tiap individu.


Karena Rasulullah-lah yang harusnya kita jadikan teladan mungkin Uda dapat menerangkan ke saya, apakah Rasulullah menjadi penguasa Makkah dulu atau mendakwahkan tauhid dulu?


Bukankah Rasulullah menolak tawaran menjadi Raja atau pemimpin dari orang-orang kafir Quraisy karena dengan demikian beliau harus menghentikan dakwah tauhid? Padahal kafir Quraisy telah mengakui tauhid rububiyah seperti disebutkan dalam ayat berikut:

"Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?" (QS. Yunus 10:31)

Mengenai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, apakah beliau belum mendakwahkan sebelum bekerja sama dengan Ibnu Sa'ud? Apakah perjanjian beliau dengan Ibnu Sa'ud mensyaratkan tawar menawar aqidah?

Saya berhusnudzdzon bahwa orang-orang yang saat ini memperjuangkan syari'at Islam secara politis di Indonesia berpikir bahwa perjuangan memperbaiki aqidah Islam di Indonesia juga perlu didukung dengan pemerintahan yang mempedulikan hal ini.

Seperti saya ungkapkan di atas perjuangan di segala bidang tentunya harus selalu dalam kerangka panduan Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan pemahaman salafushshalih.


Melalui kaum muslimin yang ada di pemerintahan, bisa dilakukan perbaikan kurikulum pendidikan anak-anak kita, pembuatan hukum-hukum yang lebih merefer kepada syari'at Islam daripada hukum-hukum barat. Mungkin saja tidak semua orang Indonesia akan mendukung penerapan hal-
hal seperti itu, tetapi dengan adanya dukungan politis kesempatan untuk melakukan perbaikan tauhid insya Allaah akan lebih terbuka.

Pemerintahan dahulu baru tauhid? Uda, ingatlah pengalaman Masyumi di Indonesia dan FIS di Aljazair. Dan Rasulullah-lah sebaik-baik teladan.


Semoga Allah menetapkan kita pada jalan yang benar dan tidak keluar dari jalan yang ditunjuki Allah dan Rasul-Nya.

Wa Allahu a'lam bish shawab.

Ahmad Ridha


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Reply via email to