“Harta itu Amblas Begitu Saja” Saya malu tiap ingat perjalanan hidup saya. Tapi buat contoh yang lainnya, saya putuskan biarlah saya ungkap. Waktu kecil saya nggak tahu yang namanya hidup susah. Saya dan empat saudara, semuanya laki-laki, tahunya cuma makan enak, sekolah, main, beli apa saja yang kami mau, pokoknya happy-happy aja. Tiap pulang kerja, bapak bawain kami buah, macam-macam, anggur, jeruk, apel. Tiap hari selalu ada susu, mulai susu cair sampai kalengan. Lemari es juga selalu penuh makanan.
Saya ingat ibu sering bikin macam-macam makanan. Di meja selalu penuh lauk tiap makan siang dan malam. Kalau tetangga beli baju hanya tiap lebaran, kami justru sering banget beli baju baru. Sampai kalau teman datang, mereka sering pengen lihat lemari saya, mau lihat baju-bajunya. Saya sih kasih saja, nggak kepengen sombong sih, tapi lucu aja ngelihat mereka heran, isinya banyak amat. Rasanya semua itu jauh sekali sekarang, kayak mimpi (terdiam). Seingat saya, hingga saya di bangku SMP kelas satu, bapak kerjanya bangun rumah buat dijual atau bangun kos-kosan. Saat itu saya juga baru tahu, tanah peninggalan almarhum kakek tersebar di Jakarta. Mungkin ayah saya, yang anak laki-laki satu-satunya dapat warisan paling banyak. Tapi saya kadang dengar, bibi-bibi saya kalau datang ke rumah bukannya ramah-tamah, tapi marah-marah. Malah sering juga nangis. Karena penasaran, pernah saya tanya sama ibu, “Mereka kenapa?” Ibu bilang mereka kesal, soalnya belum Juga dikasih warisan sejumlah hak mereka oleh bapak. Waktu itu saya tidak terlalu ngerti. Tapi saya lihat ibu seperti malu kalau mereka datang. Cuma ibu takut sama bapak kalau ikut campur. Rumah kami dekat dengan bibi-bibi, tapi saya masih ingat, kondisinya kontras. Rumah kami luas, ada pekarangannya, ada garasi, ruang tamunya besar. Tiap hari libur, kami jalan-jalan sama bapak, ke Puncak, ke rumah teman bapak yang bagus-bagus, naik mobil sedan, tapi saya lupa merknya. Cuma seingat saya, kalau kami parkir, orang-orang kelihatan hormat, mungkin sedannya masih gress. Sedang bibi malah ada yang rumahnya masih dari bilik (bambu yang dianyam). Kalau ingat itu sekarang, saya sering ingin nangis (matanya nampak berlinang). Kondisi ini berlanjut terus sampai saya lulus SMA. Sampai kami pindah rumah dan makin jauh dengan para bibi. Mereka juga, seingat saya, sudah jarang datang ke rumah, mungki udah capek, ngomong soal warisan nggak di tanggapi. Saya pernah dengar, sewaktu saya main sama sepupu dirumah seorang bibi, ia bilang,”Sudahlah, orang yang memakai warisan orang lain nggak akan senang. “Ia tidak tahu kalau saya mendengar. Semua bibi sama saya tetap ramah, tulus. Makanya saya selalu sedih kalau ingat itu. Pada 1988 saya kuliah di suatu universitas swasta di Jakarta. Bapak tiba-tiba sakit, padahal waktu mau pergi, saya masih ketemu bapak yang sehat-sehat saja. Nggak lama saya datang, bapak meninggal (matanya berlingang). Syukurlah semua bibi ada disana, mereka menangis melihat bapak yang sepertinya ingin bilang maaf, tapi kondisinya udah parah. Ibu menangis terus, memohon mereka memaafkan bapak. Baru setelah mereka bilang sudah ikhlas, ibu bisa tenang. Tapi saya tetap heran, kok bisa mereka nggak silau sama harta. Kok bisa nggak menghitung-hitung, berapa tanah dan uang hak mereka yang musti diambil. Padahal sangat mungkin masih ada haknya. Saya dan keluarga merasa malu. Lantas dua abang saya minta ijin buat mengelola warisan itu, hasilnya akan dibagi ke mereka, sedang hak mereka berapapun jumlahnya, tetap tidak dikurangi. Sekarang kami tinggal di rumah kontrakan. Kasihan ibu, sudah tua, mulai sakit-sakitan. Ibu masih sering minta maaf sama bibi-bibi. Alhamdulilah, mereka ikhlas, dan tidak marah warisannya malah ludes. Sya benar-benar heran masih ada orang kayak mereka. Cuma ada beberapa sepupu yang kesal. Sya terima, karena mereka berhak marah. Sekarang banyak yang saya sesalkan. Kenapa kami dulu begitu tamak. Padahal harta sebanyak apa pun benar-benar gampang saja kalau Allah mau ambil. Kenapa kami ketakutan banget kehilangan duit, padahal ada milik orang lain disitu. Kenapa kami nggak peduli kesulitan orang. Mudah-mudahan Allah mengampuni orang tua saya, mengampuni saya dan abang-abang (matanya berlinang kembali). Mudah-mudahan Allah terus memberi rahmat buat bibi dan sepupu. Saya belajar banyak dari mereka, yang bisa bahagia bukan karena harta. ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________