Server mailing list RantauNet berjalan atas sumbangan para anggota, simpatisan dan 
semua pihak yang bersedia membantu. Ingin menyumbang silahkan klik: 
http://www.rantaunet.com/sumbangan.php
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~



Dikompas hari Minggu 2 Nov ado artikel mengenai arsitektur Bukittinggi
dikelompok "iptek".

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/02/iptek/646847.htm







                 "Mendaki Naik, Bajanjang Turun"
                 Arsitektur Kota Bukittinggi 

                                       Marco Kusumawijaya

                 PEPATAH mendaki naik, bajanjang turun berpetuah bahwa
untuk tiap tujuan ada
                 tertibnya. Alam yang terkembang di ranah Minangkabau
menjadi ilhamnya. Sedang
                 Bukittinggi, yang membentang pada ketinggian 1,000
meter di atas muka laut, adalah
                 miniatur alam itu. Di batas saujana kota ini, menganga
Ngarai Sianok dan menjulang
                 Gunung Singgalang di sebelah selatan. Di timurnya,
Gunung Merapi. Gunung yang
                 pertama berpuncak danau, yang lainnya berapi.

                 DI dalam Kota Bukittinggi, mendaki naik, bajanjang
turun bermakna harafiah: seluruh
                 kota dibangun pada, dan di antara, bukit-bukit kecil
dan lembah- lembah elok. Inilah kota
                 bertingkat majemuk yang tiada bandingnya di Indonesia.
Di pusat kota, berempu dua
                 bukit terpenting yang mengapit jalan raya utama. Yang
di sebelah barat adalah sebuah
                 taman di situs Fort De Kock. Yang di timur kebun
binatang kecil dengan museum
                 berbentuk rumah bagonjong. Sebuah jembatan besi
menghubungkan keduanya,
                 menggantung di atas jalan raya dan kesibukan kota,
mengambil jarak dari kehidupan di
                 bawahnya. Enam puluh empat anak tangga menuntun
khalayak turun dari bukit timur ke
                 jalan raya itu, bertemu mesjid raya di penghujung.
Jalan-jalan sederhana mendaki naik ke
                 puncak Fort de Kock dari arah sebaliknya.

                 Sedang bukit ketiga, di sebelah selatan dari dua
terdahulu, adalah tempat Istana Bung
                 Hatta, bersebelahan dengan Hotel Novotel karya arsitek
Thailand Lek Bunnag. Jam
                 Gadang yang sohor itu dibangun di atas lapangan yang
juga berjenjang-jenjang, yang
                 membuka ke lembah di arah timur, setia menanti basuhan
sinar Matahari terbit dari
                 belakang Gunung Merapi. Lebarnya pun tak
berlebih-lebih, secukupnya untuk duduk
                 sendiri bersempit-sempit, duduk bersama
berlapang-lapang, bertenggang rasa. Ukuran ini
                 menjadikannya taman yang mudah dimasuki, aman, serta
sopan karena setiap sudut
                 tampak dari yang lain. Pasar Atas di utaranya menarik
orang ramai melintas.

                 Rupa bumi Bukittinggi sendiri telah sediakan pola bagi
terbentuknya urbanitas yang
                 khas. Lebar jalan secukupnya, melengkung, atau patah
pendek-pendek. Petak rumah
                 rapat menempel di tebing, atau bertengger di punggung
bukit, menatap jalan dari
                 ketinggian. Beberapa lintasan anak tangga memintas
jalan-jalan pada ketinggian berbeda.

                 Ruang-ruang terbuka mudah dimasuki dengan jalan kaki,
ramai dikunjungi khalayak
                 segala usia segala waktu sehingga kota menjadi wadah
berlatih homo homini socius
                 (manusia sebagai sahabat bagi manusia lain), bukan homo
homini lupus (manusia
                 menjadi serigala bagi manusia lain). Demikianlah tampak
dari jendela terbuka lantai atas
                 rumah makan Simpang Raya di muka Lapangan Jam Gadang,
di seberang Istana dan Balai
                 Sidang Bung Hatta. Inilah pusat kota yang sejati.

                 Di dalam daerah yang luasnya terjangkau jelajah
angkutan alamiah (jalan kaki dan
                 kendaran tak bermotor), semua unsur keragaman kota
hadir: rumah makan cina (yang
                 sajikan buah campur sembilan jenis dengan siraman
madu), rumah makan minang (yang
                 sajikan teh bercampur adukan telur), rumah biasa maupun
yang megah, toko barang
                 antik, pasar, universitas, taman, museum, mesjid,
vihara, dan gereja

                 Salah kaprah

                 Namun, Bukittinggi, kota yang telah lahirkan modernisme
Indonesia, tak bebas dari
                 patologi modernisasi mutakhir yang salah kaprah ialah
ketika rezim ekonomi memaksakan
                 yang serba besar. Proses nilai tambah pun memaksa
pengembangan pinggir kota secara
                 tak seronok. Kabarnya sebuah mal akan dibangun di
sebelah barat Lapangan Jam
                 Gadang. Memperalat teknologi, ia mau sangkal skala rupa
bumi yang ada.

                 Untuk bertahan, setidaknya dua pantangan harus dipegang
teguh oleh penata Kota
                 Bukittinggi: jangan sekalipun melebarkan jalan dan
jangan ceroboh melebarkan kota!
                 Apa pun yang hendak dicapai, kedua pantangan itu dapat
dicapai tanpa melakukannya.

                 Perkara ini tidaklah sesulit mencari tepung di benang
sehelai. Aksesibilitas-bukan
                 sekadar mobilitas-justru rusak oleh ketergantungan pada
jalan lebar dan mobil pribadi.
                 Pelebaran jalan akan merusak rupa bumi serta ekosistem
yang telah menjadi dasar
                 urbanitas Bukittinggi sekarang. Trotoarlah yang justru
harus dilebarkan dan dibuat
                 nyaman.

                 Pemekaran kota yang ceroboh akan mematikan pusat kota
yang akan termiskinkan
                 menjadi pusat komersial semata, bukan lagi pusat
kekhalayakan yang beragam demi
                 homo homini socius. Kehidupan kota akan tercerai-berai,
bagian-bagiannya terpisah
                 jauh.

                 Agar tidak mengkhianati dirinya sendiri, proses cipta
nilai tambah di Bukittinggi harus
                 melalui intensifikasi pemanfaatan ruang dengan
meningkatkan dua hal, yaitu keragaman
                 fungsi dan kepadatan yang meninggikan kapasitas,
bersamaan dengan pemberdayaan
                 ekonomi lokal berdasarkan modal yang ada, misalnya
kerajinan perak dan pariwisata
                 home-stay. Skala pembangunan pun, dalam arti wujud
fisik dan investasi, harus beragam
                 dan tidak berskala besar-besar dikuasai hanya oleh
segelintir orang.

                 Semoga Bukittinggi tidak menjadi batang terendam
seperti kawasan Puncak yang harus
                 dibangkitkan kembali pada masa depan, hanya karena
transformasi pasar membuat orang
                 terkecoh oleh cara membangun yang tak tertib,
menyangkal petuah, dan yang oleh
                 modernitas palsu menghancurkan harkat.

                 Bukittinggi telah memiliki Jam Gadang sebagai simbol
modernitas yang sejati-waktu,
                 disiplin, kemajuan-dalam proporsi yang tepat ruang dan
rupa bumi. Ia adalah monumen
                 saksi lahirnya modernisme Indonesia, bahkan sebelum
Jawa memulainya, dengan
                 sejumlah watak cemerlang lahir di sana: Hatta, Sutan
Sjahrir, Agus Salim, Buya Hamka.

                 Sebagai salah satu kota terpenting dalam sejarah
intelektual Indonesia dan sekaligus
                 pusat genesis kebudayaan Minangkabau, segenap saujana
Bukittinggi selayaknya diberi
                 status sebagai pusaka nasional Indonesia.

                 Marco Kusumawijaya Arsitek Tata Kota, Peserta Kongres
Kebudayaan V di Bukittinggi
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ingin memasarkan produk anda di web RantauNet http://www.rantaunet.com 
Hubungi [EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
----------------------------------------------------
Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
========================================

Kirim email ke