Saya rasa yang dimaksud dalam kaidah yang disebutkan Ibnu Rusyd tersebut bukanlah pendapat aqal namun tentang fakta yang nyata. Pada dasarnya tidak mungkin suatu dalil yang shahih bertentangan dengan kenyataan karena dalil yang shahih datang dari Allah 'Azza wa Jalla baik dalam bentuk Kalam-Nya atau melalui Sunnah Rasul-Nya.
Ketika suatu dalil dikira bertentangan dengan sesuatu fakta yang yakin (bukan pendapat atau dugaan) maka yang keliru adalah pemahaman kita akan dalil tersebut. Contohnya begini. Dalam Al-Qur'an Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman (yang artinya): "Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS. al-Ghaasyiyah 88:20) Salah satu pemahaman ayat ini adalah bumi ini datar. Namun secara fakta yang yakin adalah bumi ini berbentuk seperti bola. Berarti bahwa pemahaman bahwa bumi adalah datar tadi keliru (bukan dalilnya yang keliru) dan yang benar adalah bahwa bagi manusia dalam kesehariannya bumi seperti hamparan karena besarnya ukuran bumi. Para ulama pun telah sepakat tentang bulatnya bumi bahkan sejak masa Ibnu Taymiyyah (661-728 H). Tidak tepat jika kaidah itu digunakan untuk menolak dalil yang shahih berdasarkan pendapat akal. Sebagai contoh haramnya babi telah tegas dalam dalil yang shahih. Tidak dapat dalil itu ditolak atau dianggap keharamannya berubah karena sudah ada teknologi yang dapat menghilangkan kuman atau cacing dalam daging bagi. Keharaman babi bukanlah karena adanya bahaya kesehatan di dalamnya namun karena diharamkan oleh Allah Ta'ala. Kita meyakini bahwa ada keburukan dalam setiap yang diharamkan dan ada kebaikan dalam setiap yang diperintahkan walaupun kita belum menyadari keburukan atau kebaikan tersebut. Kita dapat menggunakan akal kita untuk menemukan dan memahami hikmah-hikmah tersebut namun tidak untuk mengubah-ubah ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan perkataan sanak Benni bahwa jika Rasulullah hidup maka beliau akan mencabut sebagian hadits, maka perkataan ini adalah bathil karena bertentangan dengan firman Allah 'Azza wa Jalla (yang artinya): "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. al-Maa-idah 5:3) Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan perubahan lagi. Mungkin sanak Benni menolak ini dengan alasan adanya hal-hal baru yang membutuhkan ijtihad. Itulah kehebatan Allah Ta'ala. Kalaupun tidak ada dalil khusus yang membahas suatu masalah namun ada kaidah-kaidah yang berdasarkan dalil shahih yang dapat digunakan untuk menentukan hukum masalah tersebut. Sebagai contoh, apakah hukum minum Vodka? Tidak ada dalil yang secara khusus menyebutkan nama Vodka namun ada dalil-dalil yang menentukan hukum dzat yang memiliki sifat yang dimiliki Vodka maka Vodka pun termasuk khamr dan berarti haram. Jadi ketika ada suatu benda baru, dapat dilihat substansi dan karakteristik benda itu. Jika misalnya memang jelas penggunaannya adalah pemborosan dan membahayakan kesehatan maka benda itu pun terkena larangan membahayakan diri dan boros dan jatuhlah hukum haram walaupun nama benda itu tidak disebutkan secara khusus dalam dalil. Sedangkan dalam masalah tata cara peribadatan ada kaidah bahwa harus mengikuti apa yang telah dicontohkan. Jadi tidak bisa orang kemudian merevisi shalat atau membuat-buat tata cara berdo'a karena tata cara ibadah telah sempurna diatur dan secara tegas dilarang Rasulullah untuk mengada-adakan perbuatan baru dalam urusan agama. Allahu Ta'ala a'lam. Wassalaamu 'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh, -- Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad Hamim (l. 1400 H/1980 M) --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---