On 3/25/07, azmi abu kasim azmi abu kasim
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Assalamu'alaikum.w.w
>

Wa'alaykumus salaam warahmatullahi wabarakaatuh,

>   3. Apakah kita nan ado sekarang, mengetahui siapa anak dari mamak atau
> niniak moyang pengarap terdahulu ?, Karen jika mau jujur dialah, anak yang
> berhak, itupun batantangan juo dengan niat si pemberi, karena bukan untuak
> anak.
...
> Dan jika ini nan dilakukan, apakah ini tidak bertentangan pula dengan ajaran
> Agam Islam ?, karena kita telah merobah niat seseorang, yaitu niat
> pemeberian kepada kemanakan bukan kepada anak, dan itu berlaku secara umum
> di Minangkbau.
>     6. Apakah menuruik ajaran Agamo Islam, kita ber hak  untuk  merobah niat
>   seseorang  ?. Dan orang itupun sudah tidak ada.
>

Sebelumnya perlu diperjelas bahwa jika yang dibicarakan adalah masalah
waris maka pihak pemilik harta yang dibicarakan telah meninggal dunia.
Oleh karena itu, masalahnya berbeda dengan hadiah. Kalau hadiah secara
umum boleh-boleh saja seseorang menghadiahkan atau mensedekahkan
hartanya walaupun dalam Islam ada beberapa ketentuan misalnya:

- jangan sampai memberi hadiah ke anak secara tidak adil. Seorang
shahabat pernah menghadiahkan sebuah kebun ke salah satu anaknya lalu
ditanya Rasulullah apakah anaknya yang lain juga dapat. Ketika dijawab
tidak maka Rasulullah menyuruh agar kebun itu diambil lagi oleh si
bapak (maaf saya lupa redaksi lengkapnya, CMIIW).

- jangan sampai menelantarkan keluarga setelahnya karena bapak punya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anaknya.

Yang lebih cocok dengan masalah ini adalah wasiat. Dalam Islam pun
wasiat dibatasi maksimal sepertiga.

Ketika Rasulullah menjenguk Sa'ad bin Abi Waqqas, Sa'ad bertanya:

"Wahai, Rasulullah! Saya orang yang banyak harta, sementara saya tidak
punya ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah saya
berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Beliau bersabda,"Jangan!" Sa'ad
bertanya,"Dengan setengah hartaku?" Beliau bersabda,"Jangan!" Sa'ad
bertanya,"Dengan sepertiga hartaku?" Beliau bersabda,"Boleh dengan
sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak," Kemudian Rasulullah
bersabda,

"Sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
kekurangan, menjadi beban orang lain. Dan sungguh tidaklah kamu
memberi nafkah, kecuali menjadi sedekah buatmu hingga satu suapan yang
kamu berikan kepada isterimu." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Jadi memang dalam Islam penggunaan dan penyaluran harta tidak
diserahkan sepenuhnya pada niat pemiliknya.

Juga jika dikatakan bahwa niat pemilik tidak dapat diubah, bagaimana
jika pemegang hak pusaka tinggi sekarang mewasiatkannya tidak sesuai
aturan adat? Apakah akan diterima dengan alasan mengikuti niat
pemberi? Saya rasa tidak begitu kan.

Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman (yang artinya):

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan." (QS. an-Nisaa' 4:7)

Allahu Ta'ala a'lam.

-- 
Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad Hamim
(l. 1400 H/1980 M)

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke