Pak Saaf ysh, Mudah-mudahan bahan-bahan diskusi yang ada dapat dikompilasi dalam suatu himpunan dan dapat berguna sebagai referensi untuk generasi di belakang. Wassalam, -datuk endang
Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Assalamualaikum w.w. Ananda Dt Endang dan Ananda Ahmad Ridha, Wacana Ananda berdua ini penting dan perlu segera dikristalisir sebagai 'stepping stone' untuk mengkonsolidasikan sistem nilai serta kelembagaan adat dan budaya Minangkabau. Jelas sekali bahwa Ananda Dt Endang selain mempunyai dedikasi yang luar biasa terhadap adat Minang juga memahami ajaran Islam dengan baik. Bersamaan dengan itu juga telah melakukan pengamatan lapangan mengenai orang Minang di perantauan. Rasanya tidak banyak orang Minang dengan bekal selengkap Ananda Dt Endang ini. Saran saya adalah: tuliskanlah seluruhnya itu secara sistematis dan terpadu dalam sebuah buku, sehingga kita dapat mempunyai gambaran yang lebih utuh tentang Minangkabau, tidak terbatas pada kesan-kesan sesaat atau pada asumsi dan mitos belaka, seperti selama ini. Generasi sekarang serta generasi muda Minang yang akan datang memerlukan gambaran serta konsepsi yang lebih utuh itu, sebagai wahana untuk membangun serta memelihara identitas diri Minangkabau dalam bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk ini. Dalam penulisan itu, kita perbincangkan jalan keluar dari beberapa masalah yang telah kita bahas, yang terkesan seakan-akan 'adat bak kato adat, syarak bak kato syarak'. Selamat untuk Ananda berdua. Wassalam, Saafroedin Bahar (70 th kurang). ----- Original Message ---- From: Datuk Endang To: [EMAIL PROTECTED] Cc: [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, September 23, 2006 10:51:25 AM Subject: [EMAIL PROTECTED] Beradat 2 Adik Ahmad Ridha yss, Saya merasa berkewajiban untuk menanggapi dikotomi adat-agama, dengan pengetahuan yang terbatas saja. Ada empat buku yang pernah saya baca pada masa muda, yaitu Kuliah Tauhid merupakan kumpulan ceramah Bang Imad, Monoloyalisme dalam Islam karya Syed Qutb, sebuah buku karya Jalaluddin Rahmat yang judulnya saya lupa, dan Ilmu Jiwa Agama (mantiq) karya Nurhayati Amir. Buku pertama saya dalami setelah mengikuti LMD Bang Imad tahun 1986, menjelaskan pengertian tauhid dalam sistem keyakinan. Praktek tauhid dilanjutkan dalam memimpin berbagai perjuangan keIslaman pada masa itu, dan terus membekas hingga saat ini. Buku kedua menjelaskan puncak kepatuhan adalah hanya pada Allah SWT semata. Sebenarnya tiada sulit memahami buku ini bila telah membaca buku pertama. Buku ketiga, kurang lebih menjelaskan dalam beberapa tatacara peribadatan kita, terkadang muamalah dapat mendahului syariah. Jalal mencontohkan, ketika perhatian kita semata tertuju pada Allah semata, dan tiba-tiba ada orang mengetuk pintu, maka kita dapat mengeraskan bacaan kita atau mengucapkan subhanallah. Sebenarnya saya kurang pas dengan kesimpulan ini, mudah-mudahan para ahli dapat menjelaskan. Buku keempat, kebetulan karya ibunda sendiri, yang akhirnya mendorong saya untuk mendalami system of thinking. Pada masa tersebut, sebenarnya saya telah diangkat sebagai seorang penghulu adat. Dengan demikian secara bersamaan saya juga harus mempelajari sistem nilai adat. Cukup lama hal ini menjadi kontradiksi dalam pemikiran. Hingga pada suatu ketika saya mendapatkan keyakinan tentang bagaimana menempatkan diri dalam berbagai amanah tersebut. Bahwa pemahaman esensi mengenai adat justru bisa ditemukan bila mendalami makrifat. Bahwa sebagai orang Minang kita seharusnya dapat lebih bertauhid dan berIslam. Suatu realita perbandingan dari perjalanan dari Banda Aceh sampai Jayapura, bila orang Minang adalah relatif lebih bertauhid, dan juga adalah lebih memakai adat. Hal ini telah saya buka disini, bahwa kelebihannya adalah peta mental orang Minang. Saya belum menemukan istilah yang tepat untuk hal ini, mungkin juga bisa dengan istilah otak kanan (atau otak kiri?). Bahwa hal ini bersifat genetik, karena terasah dari zaman ke zaman. Bekasnya tertuang dalam berbagai pituah adat. Coba perhatikan logika aneh ini: baju dipakai usang, adat dipakai baru, atau taimpik nak di ateh, takuruang nak di luar. Banyak contoh lagi, beberapa disebutkan juga dalam ceramah Dt. Parapatiah. Dalam logika tradisional (linier) hal ini dirasakan tidak mungkin. Atau perhatikan bagaimana suatu nasehat itu diberikan: nak luruih rentangi tali, supayo jaan manyimpang kiri jo kanan, condong jaan kamari rabah, luruih sasuai barih adat; nak tinggi naiakkan budi, supayo jaan kalangkahan, tagak jaan tasundak, malenggang jaan tapampeh; nak haluih baso jo basi, jaan barundiang basikasek; nak elok lapangkan hati, basuluah jalan di nan tarang; nak mulia tepati janji, kato nan bana nan dipacik, tibo di ikrar sasuai lidah, tibo dijanji tepati juo; nak labo bueklah rugi, namuah bapokok babalanjo, marugi kito dahulu, pokok banyak labo basakik, lamo lambek dapek juo. Logika ini bukan logika linier, atau, kembali, sementara saya menyebutkan sebagai logika lateral atau sistemik. Dengan sedikit sentuhan eksternal, logika ini berkembang luar biasa. Contoh ke-3 haji di awal Paderi untuk menanggapi situasi pada saat itu. Yang lebih tepat adalah Bung Hatta pada tahun 1920 mencetuskan Perhimpoenan Indonesia di Belanda, dan Dt. Tan Malaka pada tahun 1927(?) berpikir tentang Indonesia Raya di Cina, serta tentunya beberapa tokoh lain. Hanya satu orang yang mempunyai pemikiran setara saat itu, yaitu SAM Ratoelangie 1931 alumni Swiss. Saya tidak memaksudkan tentang ideologi, tetapi adalah logika itu telah membuka inklusivisme. Jiwa inklusif ini pada banyak suku bangsa adalah keajaiban, tapi khusus untuk orang Minang adalah tipikal. Hipótesis ini telah coba saya cari bukti di dalam sejarah, dan telah sama kita kaji. Orang Minang belum pernah dijajah oleh Melayu, Sriwijaya, Majapahit, Aceh, dan kekuasaan apa pun hingga Belanda 1821. Dapat dibayangkan sejak 1596 armada Belanda hilir-mudik di Samudera Indonesia, namun tidak pernah mau menyentuh Minangkabau. Merantau pun orang Minang, yang dikibarkan bendera Minangkabau juga. Hal ini menunjukkan suatu bakat genetik atau tipikal yang tidak mudah punah. Saya sudah menemukan banyak perantau hingga ke perbatasan Timor Leste, Pulau Rote yang merupakan pulau paling selatan, hingga ke pedalaman Papua. Yang ditampilkan adalah lambang adat dengan tanpa malu dan segan, yaitu rumah gadang, apakah sekedar gambar atau sebagian arsitektur bangunan. Sewaktu di Sorong kemarin saya cukup terkesima dengan sebuah bangunan yang termasuk terbesar di situ yaitu sebuah hotel dengan arsitektur rumah gadang, sebuah bangunan kecil di depannya malah disewakan untuk menjadi kantor DPRD Kota Sorong. Di Rótterdam di tepi sebuah danau di Kralingen, dulu ada sebuah restoran besar berdiri sendirinya secara mencolok dengan arsitektur rumah gadang. Mudah-mudahan ini bukan pandangan chauvinistik, tapi upaya menemukan jatidiri kita. Bila kita dapat lebih merumuskan hal ini dengan baik, siapa tahu kita malah dapat menemukan kembali hakekat kemanusiaan terdalam sebagai makhluk Allah bagi orang Minang. Intinya adalah membenahi kembali peta mental kita secara lebih dan kurangnya. Sesuai sebuah pandangan, sudah bukan saatnya mempertentangkan adat dan agama sebagai suatu sistem keyakinan. Terbukti usaha seperti ini dalam seabad ini senantiasa membuat kita kian terpuruk, dan kian menjauhkan kita dari jatidiri yang sebenarnya. Wallahu alam. Mudah-mudahan Allah meridhoi. Wassalam. -datuk endang --------------------------------- Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell? Check outnew cars at Yahoo! Autos. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---