......
Ambo salamo bakarajo dan berkenalan jo bisnis di industri dan
marketing-marketing ubek farmasi tageleang geleang sajo mandanga carito mrk.
karano bisa bisa mereka menargetkan penjualan obat sampai milyaran rupiah
untuk 1 dokter per periode.  dan untuk itupun mereka berani memberikan
investasi milyaran di depan semisal jalan-jalan keluar negeri, mobil mewah,
pelayanan pribadi dalam hal-hal yang pribadi juga buat dokter tersebut.
Alun manggaleh alah baragiah oto jo tiket... kama-kama dokter tu diservis,
padahal alun manjua lai.  tantu adoh dibelakangnyo?  tantu adoh yaitu target
itu tadi, sehingga dokter pun sampai-sampai (adoh; nan ambo pernah danga)
maagiah resep harus ubek maha ko dan bisa balabiahan untuak mancapai target
nan dibebankan perusahaan ubek... dan korbannyo khan pasien sebagai
konsumen, yaitu (1)  bisa tabali resep ubek maha padahal masih bisa diubek
jo nan murah (2) dosis nyo bapasoan banyak saketek (balabiah) agar mancapai
target --> iko istimewa bana mah untuak dokter nan indak bautak.
................


===> He3x…. iyo manjalejeh aie liyue mbo dek nyo mah…. Ambo nan baru manjadi
dokter 16 tahun alun pernah di iming imingi sarupo itu. Antah ko bisuak.
Atau urang2 farmasi tuh alun datang ka ambo. Mudah2an lakeh nyo datang
supayo ndak baganti pulo oto butuik  mbo jo oto baru,  supayo bajalan2 pulo
wak kalua nagari tuak pelesiran… 

Permainan pebisnis di dunia farmasi, strategi marketing oleh pakar marketing
suatu perusahaan farmasi, ternyata memberikan citra buruk kepada profesi
dokter. Itu adalah suatu kenyataan dan dapat kita baca dari curito pak Fikri
diatas. Dokter diberikan fasilitas macam2 (bahkan miliaran katanya) tapi
masih banyak dokter yang hidup kurang layak. Itupun suatu kenyataan.  Kita
jangan hanya melihat dokter senior di jakarta yang sudah mapan, sudah punya
kelas kemampuan diagnostik dan terapi tersendiri, sudah punya pasar
tersendiri, sudah punya brevet macam2, punya patent, dsb tapi saya yakin
mereka punya integritas yang bisa dipertanggung jawabkan sebagai seorang
professional, seharusnya juga melihat para dokter di pinggiran jakarta yang
jaga 24 jam meninggalkan isteri dan anak melebihi jam kerja, di puskesmas
daerah terpencil, atau dokter tentara yang ikut bertempur di daerah operasi
yang jatuh bangun, hidup mengenaskan. Sebagian besar dokter di Indonesia
masih banyak yang hidup memprihatinkan. Cerita mengenai seorang dokter
dibiayai macam2 dengan milyaran dan dibiayai ke luar negeri berjuta-juta
barangkali adalah kisah sukses dokter yang sudah berkelas tadi, dan
pasiennya pun juga punya kelas tersendiri. Bargainingnya dengan farmasi
tidak di rumah sakit pemerintah yang pasiennya orang miskin tapi adalah
pasien orang berduit kaya raya. Saya kira hal ini wajar-wajar saja. Dan
dokter seperti ini sudah pasti menjadi target para pebisnis farmasi,
tentunya mereka akan berani investasi macam2. Toh tidak semua dokter bisa
mencapai kemapanan seperti itu. Di satu sisi saya kira hal ini adalah suatu
prestasi dunia kedokteran Indonesia memiliki pakar-pakar berkemampuan
diagnostic dan terapi berkelas tsb. Adapun ada banyak orang yang memiliki
pandangan negatif terutama kompetitor farmasi yang tidak berhasil meyakinkan
dokter tsb menggunakan obat nya adalah masalah lain. Saya yakin harga obat
tidak berpengaruh significant akibat perilaku dokter macam ini (karena
jumlah dokter mapan seperti ini tidak banyak, mungkin hanya 1% dari jumlah
dokter Indonesia saya gak punya datanya). Nah sebaliknya mungkinkah seorang
dokter baru praktek 16 tahun dan belum punya pasien berkelas dibiayai macam2
oleh perusahaan farmasi?? Dibiayai milyaran, diberi mobil, pelayanan pribadi
dsb?? Boro2 dikasih duit, meminta pun mungkin akan di tolak. 


Saya kira secara ekonomi kita dapat menghitung berapa besar pengaruh
strategi pebisnis di dunia farmasi (dalam konteks bagi2 duit tadi) terhadap
penurunan kualitas pelayanan kesehatan (mudaraik bagi konsumen). Dugaaan
saya pengaruhnya tidak ada (kalau ada mungkin tidak bermakna). Justru yang
berpengaruh terhadap rendahnya kualitas pelayanan kesehatan adalah kemampuan
diagnostik dan deteksi penyakit oleh dokter-dokter junior di berbagai rumah
sakit negeri di Indonesia. Kenapa??? Pertama adalah umumnya pasien kelas
menengah ke bawah berobat ke Puskesmas, RSUD, RSUP. Mereka ini ditangani
oleh dokter-dokter junior yang kemampuan deteksi penyakitnya jauh dibawah
kemampuan dokter senior yang mapan tadi ditambah oleh pembatasan-pembatasan
penggunaan sarana diagnostik oleh pihak rumah sakit (pihak manajemen RS
takut rugi dsb...). Kedua adalah ketersediaan sarana terapi di RS pemerintah
yang cenderung dibatasi. Kalau kemudian  obat2 yang mahal digunakan oleh
para praktisi kedokteran di RS pemerintah biasanya dengan gampang obat tsb
diganti oleh pihak apotik dengan obat generik yang katanya murah dan kalau
mereka ragu mereka biasanya menghubungi dokternya (Setahu saya pun di RS
pemerintah tidak banyak obat mahal masuk standarisasi). Itu adalah suatu
kenyataan. Jadi saya kira gembar-gembor berita di media massa yang
menyatakan harga obat melambung karena strategi pemasaran para pebisnis
farmasi (bahasa lain kerjasama farmasi dgn praktisi kedokteran) tidaklah
beralasan (kalau pun ada kontribusinya kecil). Namun saya kira harga obat
bisa diregulasi dengan mudah oleh pemerintah (depkes dan instansi terkait),
asal pemerintah mau. Kasarnya berapapun harga obat sangat tergantung kepada
pihak pelaku bisnis farmasi dan pemerintah, si praktisis kedokteran tabao
rendong se nyo... kenapa??? mau diresepin ataupun gak di resepin harga obat
itu tetap segitu. Mau ada kerjasama atau tidak kerjasama harga obat tetap
segitu. 

Selain itu kalau tidak salah sekitar 10 sd 20% harga obat memang
dikembalikan untuk menunjang kegiatan ilmiah  dan semacamnya.  Barangkali
ini komponen yang sering menimbulkan kecemburuan dikalangan orang awam, dan
masyarakat non kesehatan yang tidak mengetahui permasalahan dan sering
menjadi omongan. Sedikit komentar saya mengenai 10 sd 20% ini; saya tidak
tahu persis darimana angka ini dulu turunnya, namun semua farmasi memasukkan
komponen ini dalam salah satu harga obat baik itu obat PMDN, mau pun obat
dari PMA. Kalau tidak salah (lagi2 saya tidak punya datanya) ide komponen
ini adalah untuk menunjang keberlangsungan proses pendidikan, penelitian dsb
yang menyangkut perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. Pelaksanaannya
seperti apa, masing2 praktisi kedokteran di berbagai negara memiliki cara
masing2. Wallahu a lam.

Demikian

 

rahyussalim

 


No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.467 / Virus Database: 269.6.8/800 - Release Date: 5/11/2007
7:34 PM
 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan 
email yang terdaftar di mailing list ini.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke