Assalamualaikum ww para sanak sapalanta, Bagaimana tanggapan para Sanak terhadap pendapat ini ?
Teriring salam. Dikirim dari iPad saya Begin forwarded message: > From: "K. Prawira" <k.praw...@ymail.com> > Date: 14 Mei 2012 21:23:58 WIB > To: "nasional-l...@yahoogroups.com" <nasional-l...@yahoogroups.com> > Cc: "perhimpunanpersaudar...@yahoogroups.com" > <perhimpunanpersaudar...@yahoogroups.com>, "gelor...@yahoogroups.com" > <gelor...@yahoogroups.com>, "wahana-n...@yahoogroups.com" > <wahana-n...@yahoogroups.com>, "jaringan-kerja-indone...@googlegroups.com" > <jaringan-kerja-indone...@googlegroups.com>, "l...@yahoogroups.com" > <l...@yahoogroups.com> > Subject: [GELORA45] Fw: FPI DAN NAHY MUNKAR YANG MUNKAR > Reply-To: gelor...@yahoogroups.com > > FPI DAN NAHY MUNKAR YANG MUNKAR > Akhmad Sahal > Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada > (Dimuat di Majalah Tempo edisi 14/5/2012) > > Saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan > menyusuri Madinah. Begitu sampai di suatu sudut kota, Khalifah Umar mendapati > suatu rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang > Khalifah ingin mengecek untuk memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. > Ahirnya beliau memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang > asik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikankannya, > dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia > mengakui memang telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. > Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga > perintah Allah sekaligus. Yakni, mematai-matai (tajassus) yang jelas dilarang > dalam AlQur’an (Q49:12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti > yang diserukan Qur’an (Q2: 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah > memerintahkannya (Q24: 27). Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar > akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat. > > Pelajaran apa yang bisa kita petik dari cerita yang dikutip Imam Al-Ghazali > dalam Ihya’ Ulum al-Din (II: 320) tersebut? Umar, dalam kapasitasnya sebagai > kepala negara saat itu, mestinya punya otoritas yang sah untuk mencegah > kemunkaran yang dilakukan salah seorang rakyatnya. Namun berhubung cara nahi > munkar beliau terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut > akhirnya lolos. Moral story: mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan > cara yang tidak munkar. > > Kisah di atas kiranya relevan sekali untuk bahan rujukan manakala kita > berbicara tentang Front Pembela Islam (FPI) yang senantiasa menempuh jalan > kekerasan dalam aksi-aksinya. Dalam berbagai kesempatan , Rizieq Shiha, > pimpinan FPI, membenarkan vigilantisme kelompoknya dengan dalih bahwa negara > dan aparat peneguk hukum yang ada dianggap gagal atau lembek dalam > memberantas kemaksiatan. Akibatnya, kemaksiatan semakin merajalela. Karena > itulah ia dan organisasinya merasa sah untuk turun tangan. > > Begitulah, dengan alasan menjalankan misi nahi munkar, ormas Islam radikal > ini merazia dan merusak kafe, hotel, dan kantong kebudayaan yang mereka > tengarai menjadi tempat kemaksiatan. Dengan alasan yang sama, mereka juga > menyerang kelompok keagamaan yang mereka tuduh sesat dan kafir. Yang terakhir > terjadi adalah penggerudukan FPI ke Salihara untuk membubarkan diskusi > pemikiran Irshad Manji, yang mereka tuduh menghalalkan lesbianisme. > > Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru Islami karena didasarkan pada > hadits Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: “Sesiapa melihat > kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, > maka dengan lesan. Jika tidak mampu juga, maka dalam hati. Yang terakhir > itulah selemah-lemahnya iman.” Bagi FPI, jalan kekerasan merupakan > manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk “mengubah kemunkaran dengan > tangan (falyughayyirhu biyadih),” yang mencerminkan keimanan yang paling kuat > dan tegas. Makanya tidak heran kalau dukungan terhadap FPI juga muncul dari > sejumlah kalangan Islam di luar FPI, dari ustadz sampai orang awam. > > Tapi seberapa jauh alasan FPI bisa diterima dari sudut pandang Islam? Apakah > kemunkaran niscaya identik dengan kemaksiatan seperti digambarkan FPI? Apakah > cara main hakim sendiri dengan dalih nahi munkar bisa dibenarkan? Dan di atas > semua itu, apakah klaim FPI sebagai agen penegak nahy munkar bisa dibenarkan > dari perspektif doktrin dan sejarah Islam? > > FPI mengartikan kemunkaran sebagai identik dengan kemaksiatan. Tapi benarkah > demikian? Dari kisah Umar bin Khattab di awal tulisan, kita bisa menyimpulkan > bahwa kalau ada orang bermaksiat di rumah sendiri secara tertutup dan > tersembunyi dari mata publik, maka perbuatannya sama sekali bukan menjadi > urusan publik. Negara, masyarakat, ataupun individu lain tidak punya hak > untuk mengintervensi rumah seseorang. Bahkan memata-matai, mengintai, atau > menelisiknya saja tidak dibenarkan. Dengan kata lain, kemaksiatan yang tidak > kelihatan oleh tatapan publik tetaplah kemaksiatan, tapi tidak bisa diinvasi > orang lain dengan dalih nahy munkar. Apa yang terjadi di dalam ruang privat > yang tertutup sepenuhnya menjadi urusan si pelaku dengan Tuhan. Kalaupun ia > bermaksiat, ia sendiri yang menanggung dosanya. > > Hal itu karena apa yang disebut munkar bertaut erat dengan kepublikan. Di > sini saya sepakat dengan pendapat Dr. Moch Nur Ichwan dalam artikelnya > tentang amar ma’ruf dan nahy munkar yang dimuat dalam Dinamika Kebudayaan dan > Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (2011). Di situ dosen UIN > Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memaknai amar ma’ruf dan nahy munkar sebagai > etika sosial atau etika publik. Ia menjelaskan, term ma’ruf dan munkar > sebenarnya sudah ada sebelum Islam, dan erat kaitannya dengan urf (adat > kebiasaan yang baik) yang terbentuk berdasarkan kearifan budaya setempat > (local wisdom). Ketika diserap oleh Islam, kedua term tersebut mengalami > transformasi menjadi etika Islami yang spiritnya dibimbing oleh wahyu, dan > pada pada saat yang sama mengacu pada kebaikan dan keburukan yang diketahui > melalui akal sehat dan kearifan kemanusiaan pada suatu masa dan waktu > tertentu. > > Singkatnya, amar ma’ruf nahy munkar dalam pandangan Nur Ichwan berporos pada > perjuangan nilai-nilai bersama demi kemaslahatan bersama, sedangkan nahy > munkar adalah eliminasi dosa-dosa sosial yang mengancam kemaslahatan publik. > Dimensi kemaslahatan publik inilah yang dalam kenyataannya diabaikan oleh FPI > dalam aksi-aksinye memberantas kemunkaran. > > Seberapa jauh ormas partikelir seperti FPI punya lisensi untuk mengangkat > diri sendiri sebagai eksekutor nahy munkar? Hadits yang saya kutip di atas > memang memberi kesan bahwa mengubah kemunkaran adalah kewajiban setiap > muslim. Dari sinilah barangkali FPI merasa bahwa kekerasan adalah bagian dari > upaya menjalankan misi mengubah kemunkaran “dengan tangan”. > > Tapi masalahnya, kalau setiap orang merasa punya wewenang untuk mengubah > kemunkaran “dengan tangan,” maka yang kemudian terjadi adalah menjamurnya > ormas Islam, semua dengan bendera nahi munkar, tapi masing-masing punya > agendanya sendiri, dengan disokong laskarnya sendiri. Situasi seperti ini > pada gilirannya bisa mengancam ketertiban umum dan memicu kekacauan politik > dan anarki dalam masyarakat, suatu situasi yang justru dianggap momok paling > mengerikan sepanjang sejarah politik masyarakat muslim. Kita ingat ungkapan > terkenal Al-Mawardi, pemikir politik Islam klasik: “seribu tahun di bawah > tirani lebih baik dari sehari dalam anarki.” > > Atas dasar itulah maka penegakan nahy munkar sepanjang sejarah > dinasti-dinasti Islam tidak dipercayakan pada orang perorang atau kelompok > swasta, melainkan menjadi wilayah kekuasaan negara. Dengan kata lain, lembaga > nahy munkar adalah lembaga publik. Asumsinya, karena amar ma’ruf nahy munkar > berporos pada kemaslahatan publik, maka aneh kalau penanganannya diserahkan > kepada pihak swasta. Lembaga publik ini lazim dikenal wilayatul hisbah. > > Di sini saya perlu buru-buru menambahkan bahwa saya bukannya menyetujui > keberadaan wilayatul hisbah dihidupkan lagi. Saya berpendapat bahwa > pembentukan wilayatul hisbah sebagai polisi syari’ah seperti yang terjadi di > Aceh adalah sebentuk salah kaprah dalam penerapan syari’ah. Perlu diketahui, > wilayatul hisbah bukanlah institusi yang secara otentik lahir dari rahim > Islam. Lembaga tersebut baru terbentuk pada masa dinasti Abbasiyah, sebagai > hasil dari adopsi lembaga pengontrol pasar yang sudah berkembang lebih dulu > di Yunani Kuna, yang bernama agoranomos. Dan memang wilayatul hisbah pada > awalnya bukanlah polisi syari’ah dalam artinya yang kita kenal sekarang. > Tugas utamanya pada mulanya lebih untuk mengontrol pasar agar transaksi > ekonomi di situ berlangsung secara fair dan adil. Tapi lama-lama tugas > lembaga ini meluas, mencakup kontrol atas perilaku dan moralitas di tempat > publik. Pada masa dinasti-dinasti Islam, keberadaan wilayatul hisbah sebagai > agen nahy munkar boleh jadi merefleksikan aspirasi publiknya, yang memang > homogen. Tapi untuk diterapkan dalam konteks saat ini, wilayatul hisbah malah > mencederai aspirasi publiknya, yang cenderung heterogen. > > Tapi lepas dari itu, poin yang ingin saya tekankan adalah bahwa lembaga nahy > munkar adalah lembaga publik, yang dibentuk dan diresmikan oleh negara. Ini > berarti, pengertian mengubah dengan “tangan” mestinya diartikan sebagai > “kekuasaan.” Dengan demikian, klaim FPI sebagai lembaga nahy munkar > sebenarnya tidak punya dasar yang kukuh ditinjau dari perspektif sejarah > Islam. dalam konteks Indonesia, saya malah cenderung menganggap bahwa lembaga > nahy munkar yang sah bukanlah FPI melainkan lembaga semacam KPK. > > Hal lain yang juga bermasalah pada FPI adalah kecenderungannya untuk selalu > menghalalkan kekerasan dalam aksi-aksi mereka. Ditinjau dari sudut pandang > hukum Islam, tindakan semacam itu sama sekali tak bisa dibenarkan. Dalam > al-qawa’id a-fiqhiyah (legal maxims), terdapat kaidah yang menyatakan: > al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada juga kaidah lain > yang berbunyi: al-dlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak boleh > dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan patut diingat, dua kaidah > tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan. > > Dengan bersandar pada dalil di atas, kita bisa mengatakan bahwa kemunkaran > mesti dihilangkan karena kemunkaran adalah bagian dari kemudaratan. Tapi pada > saat yang sama, kemunkaran tidak boleh dihilangkan dengan kemunkaran yang > lain. Artinya bisa bercabang dua: kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan > cara yang munkar; dan juga, kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan cara > yang justru melahirkan kemungkaran baru. > > Dengan menghalalkan kekerasan, FPI sejatinya mengidap dua jenis kemungkaran > sekaligus: memakai cara yang mungkar, yakni kekerasan dan main hakim sendiri; > yang kedua: memunculkan kemungkaran baru, yang bisa jadi lebih parah > (keresahan dan > anarki sosial). Jadi, kalau kita punya komitmen serius untuk menegakkan nahy > munkar di negeri ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memberantas > kemungkaran FPI. > __._,_.___ > Reply to sender | Reply to group | Reply via web post | Start a New Topic > Messages in this topic (1) > RECENT ACTIVITY: > Visit Your Group > Berita dan Tulisan yang disiarkan GELORA45-Group, sekadar untuk diketahui dan > sebagai bahan pertimbangan kawan-kawan, tidak berarti pasti mewakili pendapat > dan pendirian GELORA45. > Switch to: Text-Only, Daily Digest • Unsubscribe • Terms of Use > . > > __,_._,___ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/