TEMPO, 14 Juli 2008

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127
668.id.html

MENJELANG -subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Rombongan keluarga Mohammad
-Natsir dan Bur-hanudin Harahap tiba di Desa Muara Pauh, Sungai Batang
Maninjau. Ini tempat persing-gahan ketujuh selama pengungsian di Sumatera
Barat, setelah rehat di Lubuk Linggau, Su-ngai Dareh, Sawah Lunto, Padang
Baru, Batu Sangkar, dan Koto Tuo, Bukittinggi.

Sejak memutuskan terlibat dalam gerakan Pemerintahan Re-volusioner Republik
Indonesia alias PRRI, Natsir dan Burhanudin hijrah ke Sumatera Barat. Istri
dan anak-anak diboyong serta. Begitu pula rekan seperjuangan mereka,
Sjafroeddin Prawiranegara, beserta keluarga.

Semua berawal pada suatu siang di bulan Januari 1958. Seorang kurir membawa
surat yang ditulis Natsir untuk keluarganya di Jalan Jawa 28 (sekarang Jalan
H O.S. Cokroaminoto), Menteng, Jakarta Pusat. Isinya, meminta Nurnahar
(istri Natsir yang biasa dipanggil Ummi) dan anak-anak mereka berangkat ke
Padang. "Situasi sudah gawat," begitu alasan yang didengar Sitti Muchliesah
alias Lies, putri sulung Natsir-yang menuturkannya kepada Tempo dua pekan
lalu.

Waktu itu, situasi Jakarta tidak menentu. Pemerintah Bung Karno memaksakan
paham na-sionalisme, agama, komunisme alias Nasakom kepada rakyat. Pamflet
disebar ke rumah-rumah. Di daerah, banyak komandan tentara dan pemimpin
sipil kecewa karena pembagian kekayaan hasil bumi yang tim-pang dengan
Jakarta.

Situasi tambah runyam lantaran Peristiwa Cikini pada 1957. Letupan granat
tiba-tiba menggegerkan perayaan ulang tahun Perguruan Cikini-tempat
anak-anak Bung Karno bersekolah. Presiden selamat, tapi kelompok komunis
langsung menuduh pihak Masyumi bertanggung jawab atas Peristiwa Cikini.

Setelah menerima surat Natsir, Ummi dan anak-anak bersiap ke Padang. Kala
itu, Lies sedang kuliah tingkat II Jurusan Sastra Inggris Universitas
Indonesia. Adik-adiknya, Asma Faridah dan Hasnah Faizah, masih di sekolah
menengah atas. Lalu Aisyahtul Asriah dan si bungsu, Ahmad Fauzie, duduk di
bangku sekolah menengah pertama.

Sebelum berangkat, Lies sempat membeli koper ke Pasar Baru, Jakarta. Di
sana, ia bertemu dengan kawannya yang menanyakan tujuannya bepergian. "Naar
Holland (Ke Belanda)," Lies menjawab sambil berseloroh. Kebetulan, saat itu
sedang terjadi aksi nasionalisasi perusahaan Belanda. Banyak warga Belanda
diusir pulang ke negeri mereka.

Keberangkatan ke Padang dilakukan dengan pesawat komersial via Palembang,
karena hubungan udara Jakarta-Padang sudah terputus. Tiba di ibu kota
Provinsi Sumatera Selatan, keluarga Natsir dijemput dan di-tampung keluarga
pengikut Masyumi selama dua pekan. Di sini, mereka dijamu aneka makanan khas
Palembang: tekwan, pempek, dan sejenisnya. "Rasanya seperti liburan saja,"
kata Lies.

Perjalanan dilanjutkan ke Lubuk Linggau, masih di Sumatera Selatan, dengan
kereta api. Hari sudah gelap ketika rombongan dari Jakarta itu tiba.
Keesokan harinya, mereka menumpang bus ke Sungai Dareh, lalu ke Sawah Lunto.
Di sini, Aba-panggilan keluarga untuk Natsir-sudah menjemput dengan sedan
dan jip. Mereka meluncur ke Padang Baru. Rumah adik Natsir, Etek Tjoen,
sudah disiapkan.

Di kota ini anak-anak Natsir bersekolah kembali, kecuali Lies lantaran belum
ada jurus-an sastra Inggris di Universitas Andalas. Suatu pagi, terdengar
suara bom menggelegar. Ummi dan Lies melompat, menyusup ke kolong tempat
tidur. Rupanya, studio Radio Republik Indonesia yang berjarak 100 meter dari
rumah mereka dibom.

Malam itu juga, mereka angkat koper ke Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar.
Dua malam di sana, mereka kemudian bergeser ke daerah pedalaman yang
dianggap lebih aman. Dari sana, rombongan berpindah lagi ke Koto Tuo,
Bukittinggi. Di sini, keluarga Burhanudin dan Sjafroeddin bergabung.

Untuk menghindari serbuan Jakarta, pusat PRRI dipindahkan dari Kota Padang
ke peda-laman. Agar Bukittinggi aman, sebuah jalan di Singgalang diputus.
Pertempuran secara gerilya berlanjut. Keluarga Natsir dan Burhanudin pindah
ke Maninjau, sedangkan keluarga Sjafroeddin ke Koto Tinggi. Di Maninjau,
mereka ditampung oleh aktivis Masyumi, Buya H. Jusuf (paman Buya Hamka), di
Desa Muara Pauh, di tepian Danau Maninjau.

Di sini, anak-anak Natsir, yang biasa tinggal di daerah Menteng, resah
lantaran tak ada kamar mandi dan jamban. Lies dan adik-adik perempuannya
yang beranjak dewasa mesti memakai sarung seperti kemben bila mandi.
"Rasanya mau menangis," ujarnya mengenang. 

Pagi harinya barulah sebuah rumah kosong disiapkan. Jamal, warga yang
membantu keluarga Natsir, membersihkan rumah itu. Sumur yang lama tak
dipakai dibersihkan, didesain menjadi kamar mandi. Jamal juga membuat WC
berdinding nonpermanen di tepi danau.

Posisi Natsir sebagai juru bicara pergerakan membuatnya harus berada di
markas PRRI di Koto Tinggi. Meninggalkan Ummi dan anak-anak di Maninjau,
komunikasi mereka tersambung melalui kurir. Di kota ini, adik-adik Lies
kembali bersekolah. Setiap bakda magrib, mereka belajar mengaji kepada Buya
Jusuf. Lies belajar merenda kepada Ummi serta membikin abon dan rem-peyek
kepada Ibu Burhanudin.

Sekitar setahun di Maninjau, tempat persembunyian keluarga tokoh PRRI ini
tercium tentara Jakarta. Mereka menembaki kampung-kampung di tepi da-nau
dari arah utara. Tak lama, mereka sudah menduduki kota kecamatan tersebut.
Namun para gerilyawan sudah meninggalkan wilayah itu ke arah daerah hi-lir
Maninjau, Koto Kaciak. Wilayah ini lebih aman karena berada di balik bukit
Desa Tantaman, Palembayan. Empat bulan kemudian mereka pindah ke Sitalang,
di daerah Lubuk Basung. Di tempat ini, Natsir kembali bergabung dengan
keluarga.

Selanjutnya rombongan masuk ke hutan Pasaman. Pengungsian dilakukan berjalan
kaki, mendaki dan menuruni bukit. Mereka hanya membawa bekal pakaian
secukupnya. Koper dititipkan di rumah warga di tepi hutan. Lies yang tak
memiliki celana panjang kerepotan. Dari Jakarta ia hanya membawa rok lebar
atau rok berlapis-lapis. "Saya merombak rok-rok itu menjadi celana panjang,"
ujarnya.

Untuk menuju rimba Pasaman,- mereka harus menyeberangi- Ba-tang Masang,
sungai lebar yang deras. Seorang pegawai Telkom yang ada dalam rombongan
menemukan ide membuat jembatan dari kabel telepon. Kabel direntangkan,
diikat di batang pohon hingga ke seberang. Sebuah katrol dipasang untuk
menggerakkan keranjang rotan berkapasitas dua orang.

Petualangan menyeberangi sungai menggunakan pelayang-an alias rakit
penyeberangan dan merambah belantara Pasaman ini melekat di ingatan Fauzie.
Beruntung, mereka tak pernah bertemu dengan binatang buas. "Kami lebih takut
bila bertemu dengan tentara," kata Fau-zie. Sebab, banyak cerita ber-edar,
TNI akan langsung menembak bila bertemu dengan orang-orang PRRI.

Di dalam hutan, anak buah Natsir membuat dua pondok. Satu untuk staf,
sekaligus kantor PRRI. Satu lagi untuk tempat tidur, makan, dan dapur kecil
keluarga. Di kantor Natsir, ada radio baterai yang cukup kuat menangkap
siaran radio BBC dan VOA. "Pemilihan Presiden Kennedy pun dapat diikuti,"
kata Lies.

Tidak terasa sudah tiga setengah tahun keluarga Natsir meninggalkan Jakarta.
Agustus 1961, melalui siaran radio, Jakarta meminta para tokoh PRRI
menyerah. Para pemimpin, baik sipil maupun militer, akan diberi amnesti dan
abolisi. Seorang anggota staf Natsir ngotot tetap bertahan di hutan. "Aba
mengatakan tinggal kami sendirian karena militer saja sudah keluar dari
hutan," ujar Hasnah-salah satu putri Natsir. Rombongan Natsir memang
kelompok PRRI terakhir yang menyerah di Sumatera.

 

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke