Biasonyo kalau informasi nan samo diulang-ulang, 

"Iko Jaleh Promosi".

Kalau promosi ndak bisa man-deliver apo nan disampaikan, namonyo

"Iko Janji Palsu".

Dek "Iko Jaleh Piaman" lah baulang-ulang sampai 17 kali kalau indak juo jaleh,

"Iko Jaleh Pakak!"

Kalau indak juo paham-paham,

"Iko Jaleh Pandia".

Beko kalau lah babao-babao limbagonyo, lah buliah dikatoan,

"Iko Jualan Partai".

Beko kalau tapiliah,

"Iyolah Jadi Pejabat".

Kok isuak jadi wako nan dicintoi rang banyak,

"Iyolah Jadi Pujaan".

Namun kok kalah,

"Iyo Jadi Pecundangnyo".

Kalau sampai putuih aso dek,

"Itu Jelas Petaka!"

Kok program-programnyo masuak aka,

"Inshaallah Jadi Pemenang".

Salam,
ZulTan, L, Bogor

>From Sinyal Bagus XL, Nyambung... Teruuusss... Putuuusss!

-----Original Message-----
From: Indra Jaya Piliang <pi_li...@yahoo.com>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Mon, 28 Jan 2013 00:53:58 
To: Rantau Net<RantauNet@googlegroups.com>
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Cc: Koran Digital<koran-digi...@googlegroups.com>; 
Forahmi<fora...@yahoogroups.com>; Kahmi<kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com>; 
Lisi<l...@yahoogroups.com>; p...@yahoogroups.com<p...@yahoogroups.com>
Subject: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (17)

http://indrapiliang.com/2013/01/28/iko-jaleh-piaman-17-/

Iko Jaleh Piaman (17) 
Oleh
Indra J Piliang*)

Masih banyak orang Pariaman belum tahu tentang cerita Anggun Nan Tongga. 
Buktinya, waktu acara talkshow di Radio Dara FM tanggal 15 Januari 2013 
lalu, saya sempat bertanya tentang gelar atau nama lainnya. Ada memang 
yang berhasil menjawab, yakni Magek Jabang. Namun ketika ditanya soal 
Nangkodo Baha, semakin sedikit yang tahu. Padahal, dua ikon inilah yang 
sudah menjadi bagian dari mitologi sosial Rang Piaman. 

Guna 
mengingatkan kembali tentang dua ikon itu, saya sudah lama ingin 
menerbitkan kembali kisah mereka yang pernah ditulis. Kebetulan, dua 
tahun lalu saya berjumpa dengan Abrar Yusra. Novelis ini pernah menulis 
tentang Anggun Nan Tongga, Nangkodo Baha, Gondan Gondoriah dan 
lain-lain. Baru minggu lalu saya mendapatkan naskah novel berjudul 
“Dendang Pelayaran” karya Abrar Yusra ini. Naskah yang menghentak, tentu dengan 
versinya sendiri. 

Setelah membaca naskah Abrar Yusra, 
saya baru paham cerita Nangkodo Baha, Anggun Nan Tongga dan lain-lainnya itu 
dalam versi Abrar. Walau langgamnya tidak terlalu sesuai dengan 
kaidah sebuah naskah yang akan beredar di Minangkabau, melainkan lebih 
ditujukan kepada pembaca Indonesia, cerita ini mengurai hubungan banyak 
pihak di dalamnya. Bagaimanapun, saya akhirnya memutuskan untuk 
menerbitkan (kembali) naskah ini. Biarlah nanti publik yang menilai. 

Pentingnya mengangkat (lagi) naskah tentang Anggun Nan Tongga dan nama-nama 
yang 
terkait dengannya ini, adalah bagian dari usaha saya untuk “Menikam 
Jejak, Mencari Akar”. Tidak hanya sekadar membangkit batang terendam, 
tetapi juga membersihkan batang-batang itu untuk menelusuri seluruh 
lekuk-lekuknya. Dan ini bukan usaha pertama, tetapi menjadi bagian dari 
proses yang sudah lama saya lakukan secara pribadi. 

Saya termasuk orang yang sedih, ketika Tugu Layar di Simpang Tugu Tabuik 
sekarang 
dibongkar. Bagaimanapun, sejarah TNI Angkatan Laut pernah hidup di 
Pariaman, terbukti dengan Tugu Layar itu. Ada kalimat yang saya selalu 
ingat di Tugu Layar itu: “Panakiak pisau sirauit, Ambiak galah batang 
lintabuang, Salodang ambiak ka nyiru. Nan satitiak jadikan lauik, Nan 
sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru.” Sejak mengenal 
kata-kata itu, saya menjadikannya sebagai pedoman hidup, baik di rantau, 
apalagi di ranah. Sebagai seorang pembelajar, kata-kata itu membekas 
dalam diri saya. 

Sampai sekarang saya tidak mengerti, kenapa Tugu Layar hilang. Saya tentu 
setuju dengan adanya Tugu Tabuik, tetapi bukan berarti yang lain harus 
dihilangkan. Apalagi, para tetua Pariaman masih ingat, betapa setiap Hari 
Angkatan Laut (atau Hari Dharma Samudera, 
setiap tanggak 15 Januari) ada semacam defile dari TNI AL di Pantai dan 
Kota Pariaman. Simbol sebagai kota maritim tertanam, dengan Tugu Layar 
menjadi salah satu ikonnya. Dengan atraksi defile TNI AL setiap tahun di Kota 
Pariaman saja, sudah menjadi kebanggaan tersendiri warga kota. 
Apalagi sepanjang sejarahnya, Kota Pariaman memang terkenal sebagai 
basis armada laut, baik pihak asing, maupun pribumi. 

*** 

Mitologi
 Anggun Nan Tongga dan Nangkodo Baha adalah bagian dari kejayaan maritim
 Rang Piaman. Piaman disini meliputi tidak hanya Kota Pariaman sekarang,
 melainkan juga Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam (bagian Barat,
 seperti Tiku), Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Itulah 
yang disebut sebagai Piaman Laweh. 

Penjelajahan yang dilakukan 
oleh Anggun Nan Tongga, juga sampai ke sejumlah pulau lain yang tentu 
“sulit” diterjemahkan secara geografis, seperti Pulau Malabari. Tugas 
ilmuwanlah mengungkap nama-nama yang tersembunyi di balik mitos, 
terutama para ahli antropologi. 

Tanpa keinginan yang kuat untuk 
mempertahankan apa-apa yang sudah pernah dimiliki oleh Kota Pariaman, 
justru akan memicu proses destruksi budaya. Bukan berarti semua benda 
dari masa lalu harus dipuja, tetapi tanpa masa lalu, manusia sekarang 
hanyalah bagaikan buih di tengah samudera. Sekalipun kecenderungan yang 
kuat adalah “Adat menurun, Agama menaik”, tetapi juga patut dikaitkan 
dengan “Bertangga naik, berjenjang turun”. Naik turunnya (pengaruh) 
agama dan adat, memiliki tangga dan jenjangnya masing-masing, tidak bisa 
langsung punah dan hilang sama sekali. 

Dari naskah Abrar Yusra, 
ada sosok yang menarik, yakni Intan Karang. Barangkali, kontroversi akan 
muncul. Begitu juga posisi Ganto Sori, etek atau bibi Anggun Nan 
Tongga, Ratu Istana Kampung Dalam. Intan Karang adalah istri Nangkodo 
Baha yang diceraikan di tengah laut, di atas kapal Dandang Olai, karena 
berselingkuh dengan Anggun Nan Tongga. Intan Karang ini juga muncul 
sebagai pengatur strategi penyerangan pulau tempat Raja Tua disekap 
perompak. Namun sebagai sebuah kisah utuh, tanpa adegan perselingkuhan 
Intan Karang di atas kapal, tidak akan ketemu akhir dari cerita “Dendang 
Pelayaran” ini. Sebagai kisah yang utuh, satu atau dua alinea yang 
disobek akan memunculkan masalah besar dalam struktur penulisan. 

Dalam waktu dekat, naskah “Dendang Pelayaran” Abrar Yusra dicetak ulang oleh 
Nangkodo Baha Institute, satu lembaga kajian lokal yang saya dirikan di 
Kota Pariaman. Bersamaan atau berurutan dengan itu, juga akan terbit 
buku “Tabuik Piaman” yang ditulis oleh dua orang, yakni tuo tabuik dan 
ilmuwan budaya. Kalau ada naskah-naskah lainnya, saya dengan tangan 
terbuka menyediakan diri untuk diberikan, agar bisa dilirik, lantas 
diterbitkan. Dengan semaraknya buku-buku dengan nuansa lokal yang kuat 
ini, saya tentu berharap akan mewarnai dunia penulisan di Kota Pariaman, 
khususnya, dan Sumatera Barat, umumnya.

Patut dicatat, bukan 
hanya Pariaman yang memiliki sejumlah mitologi sosial. Kisah Malin 
Kundang, misalnya, bisa dimunculkan kembali dalam versi lebih moderen. 
Begitu juga tentang Cindua Mato, Rambun Pamenan dan lain-lain. 
Masing-masing daerah memiliki kekayaan imajinasi kulturalnya sendiri, 
sebagian (besar) tersembunyi dalam tambo. Apabila dicetak kembali, 
diedarkan, didiskusikan, akan muncul polemik kebudayaan yang menjadi api nan 
tak kunjung padam di Ranah Minangkabau. 
Bukankah film-film 
Hollywood yang kita tonton belakangan ini juga mengandung banyak tambo 
dan mitos? Dari tokoh pahlawan semacam Batman, Spiderman, sampai kisah 
Lord of The Rings, sampai film Avatar. Karya-karya yang hanya 
mengandalkan imajinasi, tokoh-tokoh yang tidak berdeta dan tak pandai 
berpetatah-petitih. Alam Minangkabau sama sekali tidak kekurangan 
kisah-kisah sejenis, tinggal digali, dikumpulkan, ditulis ulang, lalu 
kemudian disebarkan... 

*) Menyukai Gundala, Sang Putra Petir

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/




-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dari grup ini, kirim email ke 
rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Reply via email to