Salam, kalau nan pro lippo ko capek di fwd dek Pak Al, tetapi tulisan Makmur 
hendrik ko nan paling rendah kulaitasnyo ambo baco, nan lain cukup ambo segani. 
Tulisan ini tanpa fakta dan di belakang meja.

Wannofri/Luhak Limko


________________________________
 From: Syafruddin AL <syaff...@gmail.com>
To: "rantaunet@googlegroups.com" <RantauNet@googlegroups.com> 
Sent: Wednesday, June 19, 2013 9:27 PM
Subject: [R@ntau-Net] Murtad, Komentar Makmur Hendrik di Harian Singgalang
 


Kata murtad 
akhir-akhir ini menjadi sering muncul di media massa Sumatra Barat. 
Cuma, aromanya itu membuat siapa pun yang membaca merinding.  
Ditulis dengan amarah dan ancaman, 
bahkan dengan kesan seperti ada kebencian. Akibatnya, di negeri elok dan damai 
ini, Islam seperti kehilangan toleransinya yang amat dihormati 
dan dikagumi dunia itu.
Tapi, sudahlah. Ada obatnya, yaitu kata-kata bijak, tak ada badai yang 
berusia seratus tahun, tak ada pesta yang tak selesai. Kata Ibnu Sina, 
waktu adalah obat, yang konon bahagian dari kekayaan makna ayat wal 
asri.
Kata beliau, marah, dendam dan benci adalah suatu penyakit yang tak ada 
obatnya di rumah sakit maupun apotik. Juga tak serta merta lenyap dibawa
 sembahyang. Namun, waktu pasti akan menyembuhkannya. Mungkin dalam 
seminggu, mungkin sebulan, mungkin setahun. Dipastikan sembuh.
Terkait kata murtad tadi, saya justru 
ingin menyampaikan kekaguman saya terhadap betapa amat kuatnya iman 
urang awak yang membentengi mereka dari kemurtadan. Benteng iman yang 
telah dan akan terbina terus menerus, dari hari ke hari, dari bulan ke 
bulan dan tahun demi tahun oleh keluarga, lingkungan, adat maupun agama 
di negeri ini.
Sebelum kemerdekaan, negeri kita ini ratusan tahun dijajah oleh Belanda.
 Agama penjajah itu kalau tidak Katolik, yang Protestan. Namun, kendati 
dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang yang
 beragama Shinto, tak ada orang Minang yang murtad dari agamanya!
Pada zaman itu pula, banyak sekali pemuda urang awak dan daerah lainnya 
di Indonesia yang bersekolah di Belanda. Sebutlah Bung Hatta dan 
kawan-kawan segenerasinya. Kendati mereka sekolah bertahun-tahun di 
negeri orang kapie, ternyata Bung Hatta tak jadi murtad, begitu juga 
kawan-kawannya yang lain. Saya sungguh kagum atas benteng iman yang 
melindungi mereka.
Setelah kemerdekaan, di beberapa kota Sumatra Barat ada sekolah Frater, 
Santa Maria, Don Bosco, Xaverius, yang jelas-jelas dimilki oleh 
saudara-saudara kita umat Kristen. Sebagian guru-gurunya juga beragama 
Kristen. Siapa yang jadi muridnya?
Sebanyak (paling tidak) 75 persen muridnya adalah anak-anak kita yang 
beragama Islam. Bayangkan, anak-anak kita yang masih dalam pertumbuhan 
diajar oleh guru-guru yang berbeda agama di sekolah non-Islam pula.
Namun lihatlah betapa sejak jauh hari keluarga, para guru mengaji, 
pemuka adat dan pemuka agama telah berperan membentengi iman mereka. 
Akibatnya tidak seorangpun diantara remaja yang bertahun-tahun menuntut 
ilmu di sekolah kapie itu kita dengar ada yang murtad dari Islam yang 
menjadi agamanya.
Pada saat yang hampir bersamaan, bahkan sampai kini, banyak sekali 
anak-anak urag awak baik yang berdomisili di Sumatra Barat, maupun yang 
berdomisili di daerah lain di Indonesia, bersekolah ke luar negeri. 
Sebagian bersekolah ke negeri mbahnya kapie. Sepeti Inggris, Belanda, 
Amerika dan Jerman. Ada pula yang ke Jepang, kiblat Agama Shinto. Mereka
 di sana bebas sebebas-bebasnya.
Selain itu, setiap hari mereka belajar dari guru-guru yang seluruhnya 
tidak seagama dan setiap hari juga bergaul dengan orang kota yang hampir
 semua tidak seagama dengan mereka. Namun sekali lagi, karena ketika di 
kampungnya iman mereka sudah terbentengi dengan amat kuat oleh keluarga,
 lingkungan, adat dan agama, akibatnya tak satupun kita dengar yang 
bersekolah bertahun-tahun di negeri orang-orang kapie itu yang murtad. 
Islam perginya, tetap saja Islam jua pulangnya. Tak luak sedikitpun! 
Betapa saya takkan kagum atas kasus-kasus di atas.
Apakah mereka tidak sampai murtad karena mereka orang-orang terdidik? 
Ini bukan soal terdidik atau tidak terdidik. Ini soal benteng iman yang 
sudah terbentuk, bahkan sejak dari dalam kandungan. Lihatlah para TKI 
kita yang sebagian (maaf) kurang terdidik. Setiap tahun ratusan ribu 
orang (termasuk urang awak) meninggalkan tanah air untuk bekerja di 
negeri orang-orang yang tak seiman dengan kita.
Mereka mengadu nasib di Singapura, Malaysia, Hongkong, Brunai dan 
negara-negara Tinur Tengah. Sebagian besar bertahun-tahun berinduk 
semang kepada orang-orang yang tak seagama. Ada yang jadi montir, buruh 
kebun, sopir, pelayan toko, buruh bangunan dan sebagian besar menjadi 
pengasuh anak dan pekerja rumah tangga.
Bertahun-tahun makan minum di rumah orang yang tak seiman itu, atau 
membeli makanan, minuman dan pakaian dari duit yang diberi orang-orang 
tak seiman yang jadi induk semang mereka.
Tidak seperti saat di kampung yang dimana-mana ada masjid, dimana setiap
 hari mereka mendengar suara azan berkumandang lima kali, dan merekapun 
dapat sembahyang berjemaah ke masjid tersebut. Di negeri dimana mereka 
bekerja, (kecuali di Timur Tengah, Brunai dan Malaysia) nyaris tak 
ditemukan masjid, tak ada suara azan.
Tak dapat pula sembahyang berjemaah. Tapi, alangkah kagumnya saya, karena tak 
satupun diantara mereka yang jadi orang murtad.
Selain itu, banyak sekali urang awak yang sakit, parah maupun setengah 
parah, silih berganti berobat ke Singapura, Cina, Malaka, Kuala Lumpur, 
yang para dokternya beragama Katolik, Protestan, Hindu, Kong Hu Cu dan 
sebagainya.
Separah-parahnya sakit, saat berobat sampaipun sembuh, mereka tetap saja
 orang Islam. Samasekali tak ada rayuan, dari perawat apalagi dokter, 
untuk berpindah agama. Mereka Islam saat sakit, Islam saat berobat, dan 
Islam pula setelah sembuh dan pulang ke kampungnya. Tak seorangpun yang 
murtad.
Dengan demikian kuatnya benteng iman anak negeri ini dari keluarga, 
lingkungan, adat dan agama, maka di rumah sakit manapun mereka 
bekerja/berobat, di sekolah manapun mereka menuntut ilmu, di mal manapun
 mereka berbelanja atau bekerja, takkan pernah menjadikan mereka murtad 
dari agamanya.
Selaras dengan itu, kalau kelak didirikan sekolah yang dikelola umat 
Kristen di Padang, mengapa harus khawatir? Bukankah selama ini juga 
sudah ada, seperti Don Bosco, Xaverius atau Sabta Maria, dan tak ada 
anak-anak kita yang murtad sekolah di sana?
Kalau kelak di Padang didirikan rumah sakit modern yang dikelola umat 
Kristen, mengapa harus khawatir? Selama ini banyak sekali urang awak 
yang berobat ke rumah-rumah sakit yang total dikelola orang non-Islam. 
Baik di Singapura, Malaysia atau Cina. Dan tak seorangpun yang berobat 
di sana bertukar akidahnya.
Kalau sudah ada di Padang, urang awak justru beruntung, tak keluar uang 
banyak ke Singapura, Malaysia atau Cina untuk berobat ke rumah sakit 
yang bertaraf internasional alat dan pelayanannya.
Kalau di Padang juga didirikan mal yang dikelola orang Kristen, 
keterlaluan kalau ada yang hawatir, yang berbelanja di sana akan jadi 
murtad. Sebab hampir 80 persen pusat-pusat perbelanjaan di seluruh 
Indonesia, adalah milik orang non-Islam, tapi setiap tahun didatanggi 
puluhan juta orang Islam, namun tak ada yang murtad karena belanja di 
sana.
Lagi pula belanja atau cuci mata melihat barang-barang mewah tak perlu 
lagi setiap minggu ke mal-mal di Padang, sebagaimana dilakukan oleh 
banyak sekali warga berbagai kota di Sumatra Barat dalam sepuluh tahun 
terakhir.
Oo…, akibat pembangunan superblok itu ada yang takut galehnya takkan 
laku? Di manapun, orang takkan bisa menghambat kemajuan dan perkembangan
 kota. Kemajuan bukan keinginan pemerintah apalagi tuntutan warga kota, 
melainkan tuntutan zaman. Cepat atau lambat, panggaleh manapun yang 
mencoba menghalanginya akan dilindas zaman. Begitu berkali-kali sejarah 
membuktikankannya.
Anak negeri ini imannya sudah dibentengi sangat kuat oleh keluarga, 
lingkungan, adat dan agama. Karenanya, menurut saya, mau mendirikan 
rumah sakit kek, sekolah kek, supermal kek, silahkan. Selain negeri ini 
akan semakin maju, iman anak negeri ini takkan goyah, apalagi sampai 
murtad. Jauh panggang dari api. (*)
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Kirim email ke