Ini tambahan informasi yang mengungkapkan bahwa tuduhan kepada Prabowo itu
rekayasa oleh Wiranto dkk :

http://www.suaranews.com/2014/06/gile-bener-wiranto-dan-jenderal-kubu.html

Wass
Dunil Zaid, 71. Kpg Ujuang Pandan Parak Karampbia Pdg, tingga di Jkt.




2014-06-21 9:58 GMT+07:00 fashnoor2006 via RantauNet <
rantaunet@googlegroups.com>:

> Pak Maturidi dan sanak2 sa palanta yth.
> Tulisan di bawah menjelaskan bhw sebetulnya jend Wiranto dapat diminta
> pertanggungjawabannya menyangkut kerusuhan sosial bulan Mei 1998 yll.
> Salam, Fashridjal M. Noor Sidin/L/66/bdg
>
> Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 1998 Itu Memang Ada (Tinjauan Buku)
>
> Daniel H.t.
> 10 May 2014 | 13:41
>
> Sumber: Buku dan foto koleksi penulis
>
> Judul Buku: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan
> Oleh Dewi Anggraeni
>
> Penerbit Buku Kompas
> Tebal: xxxiv + 214 halaman
>
> Tragedi Mei 1998 masih menyimpan sejumlah misteri maha besar sampai
> sekarang. Tragedi ini adalah salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah
> Indonesia setelah merdeka. Padahal sebagian besar para pelaku dan
> saksi-saksi sejarahnya masih hidup sampai dengan hari ini. Jadi, bagaimana
> pun, sampai kini, kegagalan membuka misteri tersebut tak lepas dari tidak
> adanya rasa tanggung jawab dan tidak adanya keberanian para pelaku dan
> saksi-saksi sejarahnya mengungkapkannya, dan pemerintah yang paling
> berwenang dan mempunyai kekuatan untuk membukanya, tetapi itu tak
> dilakukannya.
>
> Sejak awal runtuhnya rezim Orde Baru Presiden Soeharto (21 Mei 1998), yang
> diganti dengan wakilnya, B.J. Habibie sampai dengan pemerintah yang
> sekarang, belum ada tanda-tanda keseriusan untuk mengungkapkan misteri
> tersebut.
>
> Salah satu misteri yang paling menarik perhatian baik secara nasional,
> maupun internasional adalah kasus perkosaan yang terutama sekali menimpa
> perempuan-perempuan etnis Tionghoa di Jakarta, antara tanggal 13 - 15 Mei
> 1998, dan sesudahnya.
>
> Pada masa-masa itu sampai dengan beberapa tahun kemudian memang beredar
> luas di masyarakat bahwa di tengah-tengah terjadinya kerusuhan Mei 1998 itu
> telah terjadi juga perkosaan massal (gang rape) terhadap banyak sekali
> perempuan-perempuan etnis Tionghoa. Tetapi, informasi itu lebih banyak
> beredar dalam bentuk gosip. Gosip itu diperparah dengan beredarnya hoax
> berupa foto-foto yang katanya berasal dari perkosaan etnis Tionghoa, yang
> kemudian bisa dibuktikan palsu. Ini membuat kepercayaan terhadap Tim
> relawan semakin menipis.
>
> Tidak adanya korban perkosaan yang tampil di depan umum membuat publik
> kemudian meragukan kebenaran informasi tersebut. Pemerintah yang saat itu
> tidak terlalu serius menangani kasus itu diuntungkan dengan kondisi
> demikian.
>
> Padahal sebenarnya saat itu juga, sejumlah tokoh masyarakat, pekerja
> kemanusiaan, dan pembela hak asasi manusia (HAM), yang terdiri dari
> berbagai etnis, agama, dan profesi itu, tergugah untuk bersatu bahu-membahu
> melakukan investigasi terhadap kebenaran kasus perkosaan itu. Hasilnya,
> sungguh mengejutkan bahwa memang benar telah terjadi banyak kasus perkosaan
> yang menimpa perempuan-perempuan Tionghoa itu. Para relawan itu kemudian
> secara diam-diam melakukan pendekatan-pendekatan kemanusiaan terhadap para
> korban yang sebagian besar berada dalam keadaan sangat memprihatinkan baik
> dari aspek psikologis, maupun fisik. Mereka sangat tertutup, dan sangat
> ketakutan setiap kali melihat orang yang tidak dikenalnya, terutama
> laki-laki dalam jumlah banyak.
>
> Tim Relawan tentang Kemanusiaan beberapa kali meminta bertemu dengan
> Menteri Pertahanan dan Keamanan / Panglima ABRI pada saat itu, Jenderal
> Wiranto, Menteri Peranan Wanita, dan Menteri Dalam Negeri, tetapi tidak
> mendapat respon sebagaimana mestinya. Akhirnya, para relawan itu memutuskan
> untuk meminta bertemu langsung dengan Presiden B.J. Habibie untuk
> melaporkan temuan mereka. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya Presiden
> Habibie bersedia bertemua dengan mereka.
>
> Pada 15 Juli 1998 berlangsunglah pertemuan itu di Bina Graha. Pada saat
> itu, yang hadir semua perempuan. Mereka menyampaikan laporannya, dan
> menuntut pemerintah meminta maaf, dan mengutuk kasus perkosaan terhadap
> perempuan itu. Habibie yang semula juga ragu dengankebenaran informasi
> tentang pemerkosaan itu, menjadi percaya setelah membaca laporan tim
> relawan yang disertai dengan sejumlah foto.
>
> Reaksi Habibie saat itu, wajahnya yang tadinya penuh keraguan menjadi
> berubah. Tiba-tiba dia berkata kepada para relawan itu, "Saya ingat
> sekarang. Seorang keponakan saya, seorang dokter, pernah menceritakan hal
> serupa. Saya percaya anda sekalian. Keponakan saya tidak akan berbohong
> kepada saya," lalu katanya, dia atas nama pemerintah bersedia membuat
> pernyataan maaf dan mengutuk peristiwa perkosaan itu. Pernyataan itu dibaca
> Presiden Habibie pada hari itu juga di dalam suatu konferensi pers yang
> khusus diadakan untuk itu.
>
> Dari pertemuan dengan Habibie itu juga dihasilkan janji Habibie untuk
> mendirikan badan independen, yang nantinya dinamakan Komisi Nasional Anti
> Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan dibentuknya Tim
> Gabungan Pencari Fakta atas Kerusuhan Mei 1998. Namun, sampai sekarang
> belum ada proses hukum lebih lanjut untuk meminta pertanggungjawaban para
> pelaku dan otaknya,
>
> Demikianlah yang ditulis di dalam buku yang berjudul Tragedi 1998 dan
> Lahirnya Komnas Perempuan (Penerbit Buku Kompas,2014), oleh Dewi Angraeni,
> seorang penulis aktif yang tinggal di Melbourne, Australia, yang juga
> adalah kontributor Majalah Tempo. Dewi menulis buku ini berdaraskan
> dokumen-dokumen Tragedi Mei 1998 dan wawancara dengan para relawan yang
> terlibat langsung dalam investigasi dan penanganan korban-korban
> pemerkosaan Mei 1998 itu.
>
> Buku itu diawali dengan kisah pertemuan dengan Presiden Habibie itu dengan
> penyampaian laporan hasil investigasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan
> mengenai fakta terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis
> Tionghoa itu. Kemudian, "flash-back" di bab-bab berikutnya mengenai
> bagaimana sampai Tim Relawan untuk Kemanusiaan itu terbentuk sebagai respon
> atas jatuhnya korban jiwa dan korban pemerkosaan pada waktu itu.
>
> Buku Tragedi Mei 1998dan Lahirnya Komnas Perempuan ini mengisahkan
> beratnya perjuangan para relawan tersebut, keprihatinannya terhadap reaksi
> masyarakat pada umumnya, dan lebih-lebih kepada pemerintah yang bersikap
> apatis terhadap kasus yang merendahkan martabat perempuan pada umumnya itu.
> Meskipun juga berhasil mendapat perhatian dari Presiden B.J. Habibie, yang
> secara langsung menyatakan permintaan maaf dan kutukan pemerintah atas
> kejadian tersebut.
>
> Misalnya, di halaman 59-60, ditulis mengenai kesaksian Guru Besar Ilmu
> Psikologi Universitas Indonesia ketika itu, Prof. Dr. Saparinah Sadli, yang
> Ketua Tim Relawan, kemudian juga diangkat sebagai Ketua Komnas Perempuan
> yang pertama (22 Juli 1998), yang saat itu sedang berupaya bertemu dengan
> Wiranto, secara tak sengaja perhatiannya tertarik pada tayangan televisi
> yang sedang menyiarkan pernyataan Wiranto, menjawab pertanyaan wartawan.
> Wiranto menjawab, anak buahnya sudah mendatangi semua rumah sakit di
> Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia, bahkan juga di Singapura, untuk
> bertemu dengan korban-korban perkosaan yang laporannya mereka terima, namun
> mereka selalu mendapat jawaban, tidak ada korban perkosaan. Jadi, menurut
> Wiranto, itu semua hanya dugaan semata. Tidak ada bukti. Tidak ada korban.
> Tidak ada saksi.
>
> Bukan main marahnya Saparinah, karena dia baru saja datang dari kawasan
> Pluit menjumpai beberapa korban.Dia langsung menghubungi beberapa rekan
> relawannya, memutuskan untuk bertemu langsung dengan Presiden Habibie.
> Kemudian terjadilah pertemuan 15 Juli 1998 yang disebutkan di atas.
>
> Diungkapkan pula di dalam buku ini, betapa sulitnya mereka meyakinkan
> publik, terutama pemerintah yang sangat kaku dalam menyikapi upaya
> pengungkapan kasus pemerkosaan itu. Bahkan seorang tokoh pembela HAM
> internasional seperti Sidney Jones pun dikatakan sempat meragukan kebenaran
> adanya pemerkosaan-pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa itu. Semua orang,
> termasuk Jones minta bukti berupa harus bisa melihat dan mendengar sendiri
> kesaksian-kesaksian para korban. Padahal para korban itu kondisi jiwa dan
> fisiknya rata-rata sangat, sangat memprihatinkan. Ada yang sampai dibuang
> keluarganya sendiri dengan alasan pembawa aib, ada yang gila, dan ada yang
> bunuh diri.  Mereka sangat takut bila melihat orang yang tidak dikenalnya,
> terutama sekali laki-laki. Tim relawan sendiri memerlukan pendekatan yang
> ekstra hati-hati dan sabar sebelum bisa meyakinkan para korban bahwa tim
> relawan itu orang-orang yang bermaksud baik, sangat sungguh-sungguh mau
> menolong mereka.
>
> Perkosaan massal itu kebanyakan terjadi rumah korban, dan tidak sedikit
> juga yang terjadi di tempat umum (di jalanan). Pelaku setelah diperkosa,
>  juga dirusak fisiknya, termasuk dimutilasi. Ada yang, misalnya dengan,
> maaf, dipotong kedua putingnya.
>
> Pada buku itu juga dimuat arsip berita di koran Suara Pembaruan
> (26/06/1998), mengenai saksi mata seorang wartawan Media Indonesia, bernama
> Selamet Saragih. Dia mengaku mengalami trauma yang dalam setelah melihat
> sendiri dengan mata kepalanya, di kawasan Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat,
> dua orang perempuan Tionghoa berusia sekitar 25 tahun, yang diseret keluar
> dari mobil sedan Honda mereka oleh sejumlah laki-laki, yang langsung
> menelanjangi mereka, melecehkan etnis mereka, kemudian diseret
> beramai-ramai ke arah Jembatan Grogol.
>
> Korban-korban perkosaan yang berhasil didekati para relawan itu menyatakan
> mereka diancam para pelaku pemerkosaan itu, kalau sampai berani muka mulut,
> mereka, atau anggota keluarga mereka yang lain akan diperkosa lagi dengan
> cara yang serupa atau yang lebih kejam lagi.
>
> Oleh karena itu bagi tim relawan sangat tak masuk akal kalau orang-orang
> itu meminta bertemu dan mendengar kesaksian para korban, sebelum mereka
> percaya adanya kasus pemerkosaan massal (di Jakarta) itu.
>
> Sri Palupi, koordinator investigasi dan pendataan Tim Relawan untuk
> Kemanusiaan, berkata, "Bayangkan seandainya ibu kamu, kakak kamu, adik
> kamu, anak kamu adalah seorang korban perkosaan, apakah kamu mau mereka
> muncul ke publik? Kredibilitas? Kredibilitas yang kami pentingkan bukan
> kredibilitas kalian, tapi kredibilitas para korban. Kepercayaan korban
> kepada kami."
>
> Tim relawan tak mau kepercayaan yang begitu sulit didapat dari para
> korban, dikhianati mereka dengan menampilkan para korban itu ke hadapan
> publik, atau mempertemukan mereka dengan orang lain. Terhadap korban
> perkosaan biasa saja hal itu sangat sulit dilakukan, apalagi terhadap
> korban perkosaan dalam kasus kerusuhan Mei 1998 itu. Semua korban bukan
> hanya diperkosa saja, secara bergilir, tetapi juga direndahkan etnisnya,
> dan disiksa secara fisik. Tidak sedikit yang dilakukan di hadapan
> keluarganya. Bahkan ada orangtua korban yang tak tahan lantas menyuruh
> anaknya bunuh diri sebelum pergi meninggalkannya begitu saja!.
>
> Belakangan Sidney Jones meminta maaf atas ketidakpercayaannya kepada Tim
> Relawan setelah terjadinya kasus pembunuhan yang dilakukan secara sadis
> terhadap Ita Martadinata. Ita Mardinata adalah seorang siswi SMA dari etnis
> Tionghoa, yang saat itu baru berusia 18 tahun. Dia adalah salah satu korban
> yang perlahan-lahan bersama keluarganya mulai berhasil merajut kembali
> kehidupannya. Ibunya bahkan bergabung dengan Tim Relawan. Ita sudah
> menyatakan kesediaannya untuk memberi kesaksian di hadapan beberapa
> kelompok internasional pembela hak asasi manusia di Amerika Serikat, siap
> beranbgkat bersama rombongan ke sana dipimpin Karlina Supeli. Tetapi,
> sebelum berangkat dia dibunuh secara keji di rumahnya, pada Jumat, 9
> Oktober 1998.
>
> Sri Palupi menganalisis bahwa sejak krisis moneter pada 1997, sudah ada
> gejala-gejala akan timbulnya kerusuhan Mei 1998 itu, dengan memanfaatkan
> sentimen anti-Tionghoa yang sebelumnya sudah dibentuk oleh beberapa
> pejabat/aparat pada berbagai kesempatan. Mereka, termasuk para jenderal
> yang tidak ada hubungannya dengan urusan ekonomi, berbicara dalam ranah
> publik seolah-olah mereka memahami betul masalah ekonomi. Dalam berbagai
> pernyataannya, mereka mengatakan bahwa krisis ekonomi melanda Indonesia
> karena orang Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri, sengaja
> menimbun sembako sehingga rakyat sengsara dan kelapran, orang Tionghoa-lah
> penyebab terjadinya krisis ini, dan sebagainya.
>
> Analisis Sri Palupi ini sejalan dengan hasil investigasi dari TGPF yang
> dilaporkan di dalam buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa (edisi
> revisi, 2007). Di dalam buku itu antara lain TGPF menemukan indikasi kuat
> kerusuhan Mei 1998 tidak lepas dari pengkondisian situasi, antara lain
> mengkristalkan sentimen anti-Tionghoa (anti-Cina) di kalangan masyarakat
> luas.  TGPF bahkan menyebutkan pengkondisian tersebut sudah mulai dibentuk
> sejak 1995, dengan timbulnya berbagai kerusuhan anti-Cina yang marak,
> antara lain di Situbundo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, dan Ujung Pandang.
>
> Hasil investigasi TGPF menyebutkan khusus di Jakarta,  korban tewas karena
> terperangkap dalam kebakaran berjumlah 1.190 orang, 27 tewas karena senjata
> tajam.benda lain, 91 luka-luka. Sedangkan Polda Metro Jaya menyebut angka
> 451 tewas, luka-luka tidak tercatat. Kodam Jaya menyebut angka 463 tewas,
> 69 luka-luka.
>
> TGPF menyebutkan dalam laporannya bahwa kekerasan seksual/perkosaan benar
> telah terjadi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang diketuai oleh Professsor
> Dr. Mahar Marjono melakukan verifikasi data dengan menggunakan prosedur
> yang dinamakan Protokol Jakarta yang bersumber pada Protokol Minnesota, dan
> mengakui kasus itu ada.
>
> Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga menemukan fakta bahwa kerusuhan Mei
> memang sengaja dikobarkan, terbukti dengan tak hadirnya aparat di dalam
> setiap peristiwa. Atau kalau aparat ada, mereka hanya diam saja. Para
> provokar, pimpinan, dan sejumlah pelaku kerusuhan mempunyai ciri-ciri yang
> sama di setiap kerusuhan di seluruh wilayah
>
> Laporan Tim Relawan menyatakan, "Bagaimana 'kebetulan' harus dijelaskan
> oleh fakta keluasan lingkup kejadian di wilayah seluas Jakarta dan
> sekitarnya? Bagaimana  sang 'kebetulan' itu harus dijelaskan oleh kesamaan
> waktu dari banyak peristiwa perusakan, penjarahan, dan pembakaran di
> wilayah seluas Jakarta dan sekitarnya? Bagaimana si 'kebetulan' itu harus
> dijelaskan oleh berbagai kesamaan 'awal peristiwa' perusakan, penjarahan,
> dan pembakaran? (misalnya, pengajak dan pemimpin perusakan tidak datang
> dari daerah warga setempat; modus kedatangan pengajak dan pemimpin
> perusakan dengan kendaraan; tidak ada peristiwa perusakan yang dimulai oleh
> warga setempat). Dan bagaimana si 'kebetulan' itu harus dijelaskan oleh
> kesamaan pola janggal berikut: bahw apara pengajak dan pimpinan
> perusak/pembakaran tidak ikut menjarah. Bahkan dalam banyak kasus, para
> pengajak dan pemimpin segera meninggalkan massa yang mulai bergerak untuk
> merusak dan menjarah."
>
> Sedangkan ciri khas para provokar dan penggerak kerusuhan itu sama di
> setiap wilayah, yakni:
>
> -Kelompok pemuda yang memakai pakaian pelajar SLTA atau pakaian yang biasa
> dipakai mahasiswa-jaket dengan warna-warna tertentu.
>
> -Kelompok remaha berpakaian lusuh, berwajah tanpa emosi, dingin, dan
> sangar,
>
> -Kelompok pemuda berbadan kekar, berambut cepak, bersepatu bot militer,
>
> -Kelompok pemuda yang berbadan kekar, berwajah dingin, sangar, dan bertato.
>
> Pada 13 Juli, Laporan Tim relawan untuk Kemanusiaan, juga juga diterbitkan
> Komnas Perempuan bersama dengan Laporan TGPF diserahkan kepada Komnas HAM
> yang saat itu dipimpin oleh Asmara Nababan. Judul laporannya: "Dokumen Awal
> No. 3 tentang Perkosaan Massal dalam Rentetan Kerusuhan Puncak Kebiadaban
> dalam Kehidupan Bangsa."
>
> Di dalam laporan itu antara disebut dari 13 Mei - 3 Juli 1998 dirincikan
> mengenai jumlah kasus perkosaan itu, secara total korban perkosaan dan
> pelecehan seksual massal yang melapor atau dilaporkan sebanyak 168 korban,
> 20 di antaranya tewas. Yang masih hidup kebanyakan menderita luka-luka
> fisik dan trauma psikologis yang dalam.
>
> Penulis buku ini, Dewi Anggraeni, menganalisis etnis Tionghoa dan
> perempuannya sengaja dijadikan sasaran kerusuhan dan pemerkosaan, karena
> kelompok ini dianggap paling lemah, paling gampang dijadikan sasaran,
> karena tidak bisa melawan. Kelompok ini sengaja dijadikan sasaran juga
> karena memang sebelumnya sudah dikondisikan sebagai obyek untuk memicu
> suatu kerusuhan.
>
> Dewi juga menulis di bukunya itu, etnis Tionghoa bukan sasaran utama dari
> kerusuhan Mei, tetapi mereka dimanfaatkan sebagai sasaran antara untuk
> menimbulkan kerusuhan besar itu. Kerusuhan sengaja diciptakan untuk
> maksud-maksud dan ambisi politik tertentu dari sutradaranya.
>
> Massa sengaja diprovolkasi untuk melakukan perusakan, penjarahan, dan
> pembakaran aset-aset Tionghoa yang kemudian menjalar ke properti umum
> lainnya, sehingga pecahlah kerusuhan besar.
>
> Sent from my BlackBerry(R) smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
> Teruuusss...!
>
> --
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
> * DILARANG:
>   1. Email besar dari 200KB;
>   2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi;
>   3. Email One Liner.
> * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta
> mengirimkan biodata!
> * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama &
> mengganti subjeknya.
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/
> ---
> Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari
> Google Grup.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini,
> kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
> Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Reply via email to