Maninjau (Tak Lagi) Indah 

 

Sabtu, 30 Agustus 2008 

Oleh : Israr Iskandar, Dosen di Universitas Andalas
Keluhan atas melorotnya kualitas pariwisata di Sumatera Barat sudah lama
dikemukakan. Banyak aspek terkait di situ. Mulai dari soal kebersihan,
kerusakan lingkungan, pelayanan yang buruk, hingga sarana dan prasarana
penunjang yang masih jauh dari memadai. Penulis bukan ahli studi
pariwisata, tetapi hendak menyorot masalah ini dari sudut pengamatan
awam, karena beberapa kali membawa tamu dari luar Sumbar, termasuk luar
negeri, mengunjungi beberapa lokasi wisata di Ranah Minang yang tak
terurus dengan baik. 

Salah satunya, Danau Maninjau, yang terkenal sangat indah. Maninjau
memiliki panorama alam menakjubkan, mirip danau-danau di Swiss, yang
menjadi "icon" pariwisata negara Eropa Tengah itu. Dewasa ini, dari
puncak Ambun Pagi, suasana eksotik alam Maninjau masih terasa, akan
tetapi setelah turun ke bawah, menuruni kelok 44, perasaan menjadi
"lain". Ada kegundahan, kalau bukan kekecewaan, melihat kondisi
lingkungan danau sekarang ini. 

Secara umum, pariwisata Indonesia memang mengalami stagnasi sejak krisis
1998. Juga terkait isu gangguan  keamanan dan kenyamanan yang tak
kunjung terselesaikan. Tetapi hancurnya pariwisata Maninjau hingga
kondisi seperti sekarang mungkin sulit dicerna akal sehat. Maninjau
adalah cermin buruknya pengelolaan pariwisata, bahkan pengelolaan sumber
daya ekonomi daerah. 

Mengapa panorama alam pemberian Tuhan yang begitu indah dibiarkan rusak
sehingga tidak menarik lagi dikunjungi?. Krisis ekonomi negara dan
rakyat jelas tidak bisa lagi dijadikan alasan ambruknya pariwisata di
Maninjau. Sudah menjadi rahasia umum, dan bahkan diakui sendiri oleh
masyarakat, bahwa pengelolaan kerambah ikan di sekeliling danau, yang
memberikan keuntungan besar dan langsung kepada warga sekitar, menjadi
salah satu faktor utama rusaknya pariwisata 

Maninjau, selain sejumlah faktor "humanis" lainnya. 
Apakah masalah seperti ini menjadi semacam dilema, sehingga membuat
pihak terkait (dalam hal ini Pemda setempat) terbebas dari tanggung
jawab atas kemunduran pariwisata Maninjau? Maninjau tidak hanya "cermin
retak" pariwisata Sumbar, tetapi juga seakan mewakili banyak contoh
buruk dalam pengelolaan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat daerah. 

Peran Pemda 

Sejak lama dikumandangkan, selain pendidikan, andalan Sumbar untuk bisa
maju secara ekonomi adalah pariwisata. Ia dipercaya bakal memajukan
daerah. Alasannya tidak hanya dilihat dari segi "minimnya" potensi
ekonomi sumber daya alam, tetapi juga kayanya potensi sosio historis
puak Minang sendiri. 

Tentu juga banyak sektor terkait dengan kedua sektor utama itu.
Sayangnya untuk kedua bidang itu pula pemda di sini terbukti tidak
kompeten. Pernyataan ini bisa dibuktikan, dengan rendahnya mutu
pendidikan serta buruknya kualitas pariwisata Sumbar, dengan segala
indikatornya, seperti sepinya kunjungan wisman. 

Banyak juga keluhan, bahwa penghambat utamanya adalah masyarakat yang
kulturnya dianggap "tidak cocok" dengan pariwisata yang membutuhkan
"seni pelayanan". Untuk hal ini, orang hampir selalu merujuk Bali, yang
kekayaan wisatanya dianggap tidak melebihi Sumbar, tetapi masyarakatnya
"tourism minded". Nampak perbedaan tegas dalam pelayanan wisata antara
masyarakat Bali dan Sumbar, seperti tercermin di bandara, terminal bus,
restoran hingga lokasi-lokasi objek wisata. 

Dalam batas tertentu, hal itu bisa dipahami, karena kultur masyarakat
dipengaruhi lingkungan sosial maupun alamnya. Masyarakat Sumbar yang
notabene "demokratis-egaliter" justru belum sejalan dengan kredo "ramah"
dalam dunia turisme. Tidak seperti di negara-negara demokrasi maju,
egaliterisme masyarakat Sumbar sekarang ini tidak paralel dengan budaya
hukum atau tertib sosial yang mapan. 

Sekalipun demikian, kunci utamanya tetap pada kemampuan pembuat
kebijakan yakni pemda. Masyarakat hanya menjadi "faktor sampingan" .
Masalahnya pula, pejabat dan eks pejabat juga cenderung menyalahkan
kultur sosial sebagai penghambat kemajuan. Dikatakan, dalam membangun
sesuatu, termasuk sektor ekonomi, orang Sumbar sulit mengambil keputusan
yang bulat. 

Namun, faktor politik, khususnya kepemimpinan, jelas sangat penting.
Masalahnya, otonomi daerah  bukan makin membuat daerah lebih maju,
tetapi justru sebaliknya. Apa yang sudah dikerjakan pemda-pemda di era
reformasi dan otonomi daerah untuk memajukan daerahnya? 

Kalau publik ditanya, jawabannya cenderung negatif. Korupsi dan
penyimpangan kekuasaan malah makin parah. Desentralisasi keuangan justru
memperkuat desentralisasi korupsi. Bagaimana mungkin mereka bisa
memikirkan kemajuan bagi seluruh rakyat kalau mereka lebih banyak
berpikir untuk pribadi, keluarga dan kroni? 

Dunia pariwisata Sumbar sekarang menunjukkan kegagalan pemerintahan di
Sumbar, khususnya dalam satu setengah dekade terakhir. Tak heran,
potensi pariwisata yang besar tak ada relevansinya bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara umum.   

Pariwisata jelas tak hanya soal keindahaan alam dan kekayaan budaya,
tetapi juga sejarah. Dalam pariwisata sejarah, misalnya, Sumbar termasuk
daerah yang eksotik, seperti pernah digambarkan dalam momorie van
overgave-nya pejabat-pejabat kolonial, tetapi kini kita tak banyak lagi
menemui bekas-bekasnya. 

Sumbar juga masyur dengan sejarah intelektual gemilang, tercermin dari
sumbangan tokoh-tokoh nasional pendiri Republik dan dunia penerbitan
lokal yang lebih dini di aras nasional.  Sayang, kita tak lagi bisa
menemukan "artefak"-nya di ranah ini. Kalau orang luar bertanya terkait
itu,  kita sulit menjawab secara meyakinkan. Di manakah kampung halaman
Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Hamka? Lalu bagaimana kondisinya
kini? 

Padahal, untuk kepentingan "pragmatis" saja,  pemda yang memang
cenderung pragmatis dalam menjalankan kebijakannya sebenarnya bisa
menjadikannya sebagai "komoditas" yang menyejahterakan rakyatnya di masa
kini. Namun sayang,  tak ada pihak bertanggung jawab yang bisa
mengurusnya dengan baik. Kasus Maninjau, seperti dikemukakan tadi, dan
absennya visi pariwisata sejarah, jelas menjadi "cermin retak"
pariwisata Sumbar bahkan pengelolaan sumber-sumber ekonomi daerah secara
keseluruhan. (***) 

 

http://www.padangekspres.co.id/content/view/16735/114/


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke