Ahmadinejad sudah meramalkan dan mengkampanyekan dari aspek sosiopolitik atas 
kebangkrutan AS. Dan karena hal itu dia dicibir hingga beberapa waktu yang lalu
Kini mungkin para profesor dan profesional di negara itu menjadi tertegun 
dengan apa yang terjadi hari ini.
Ini adalah awal kembangkitan ekonomi yang sejalan dengan jalan syariah yang 
berbasis sektor riil dan bisnis fairplay. Bukan surat-surat berharga atau surat 
utang yang kini menjadi kertas sampah.
AS akan menggerek gerbongnya yang tidak lain adalah para antek2nya sendiri. 
Eropa, Singapura, Jepang, Korea, dan negara lain yang bergantung pada mereka.
Timur Tengah mungkin kena imbas tapi tidak akan terlalu besar. Inilah kuasa di 
atas kuasa.
Kini dunia tengah digiring oleh kekuatan yang maha besar untuk mengarah ke mana 
yang dipaksakan. AS dan anteknya boleh punya rencana dan strategi yang tidak 
terlawan oleh rejim manapun, termasuk Indonesia. Tapi ada yang lebih hebat yang 
membelokan arah itu.
Matahari tetap akan terbit di Timur karena kalau matahari dipaksa terbit di 
barat maka berarti itu memaksakan kiamat datang 



--- On Wed, 10/8/08, Eka Maizuhardi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> From: Eka Maizuhardi <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Neoliberalisme kena batunya.
> To: RantauNet@googlegroups.com
> Date: Wednesday, October 8, 2008, 6:29 AM
> Setuju Datuak.
> Kok lai daftar itu, buliah dapek ambo mamiliah urang nan
> sabana pemimpin. Baitu Datuak?
> 
> --- On Wed, 10/8/08, Dr.Saafroedin BAHAR
> <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> From: Dr.Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [EMAIL PROTECTED] Neoliberalisme kena batunya.
> To: "Rantau Net"
> <rantaunet@googlegroups.com>
> Cc: "Prof Dr. Salim SAID"
> <[EMAIL PROTECTED]>, "Jacky Mardono
> Tjokrodiredjo" <[EMAIL PROTECTED]>
> Date: Wednesday, October 8, 2008, 3:24 AM
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
> Dengan tetap menghormati analisis dari pakar ekonomi, saya
> rasa penjelasan dari sisi ideologi dan politik oleh bung
> Martin Manurung di bawah ini lebih mudah dicerna oleh orang
> awam. Intinya adalah bahwa menurut faham neoliberalisme
> negara harus membiarkan, bahkan memfasilitasi, para pemburu
> rente untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui apa
> yang dinamakan 'pasar
> bebas'. Perlindungan  rakyat badarai tidak termasuk
> dalam visi neoliberalisme ini.
> Penulis artikel tersebut menampilkan suatu kenyataan yang
> aneh, yaitu 'bail-out' yang diberikan oleh
> Pemerintah Amerika Serikat adalah tanpa syarat sama sekali,
> demikian berbeda dengan yang dilakukan oleh IMF terhadap
> Indonesia pada saat mengalami krisis moneter pada tahun
> 1997, yang disebut structural adjustment programmes (SAP).
> Dalam hubungan ini saya teringat pada kebijakan tegas PM
> Mahathir Muhammad, yang tidak mau melakukan pinjaman kepada
> IMF, sehingga juga tidak bisa didikte oleh lembaga keuangan
> dunia yang dikuasai oleh Amerika Serikat tersebut.
> Bagaimanapun, Republik Indonesia harus mempunyai ekonomi
> yang kuat agar bisa berdaulat. [Dahulu] kita mempunyai
> sumber daya alam yang cukup untuk membangun ekonomi yang
> kuat itu, yang diporakporandakan oleh korupsi, kolusi, dan
> nepotisme, sampai sekarang ini.
> Pertanyaan saya -- sehubungan dengan Pemilu dan Pilpres
> yang hasil-hasilnya akan mempengaruhi nasib kita semua,
> tentunya termasuk urang awak -- sederhana saja: apa tidak
> perlu kita buat dua daftar: daftar nama partai dan para
> capres yang pro pada neoliberalisme ini, yang jangan sampai
> kita pilih, dan daftar partai serta capres yang tidak
> mendukung neoliberalisme ini, yang jangan sampai kita pilih.
>  
> Wassalam,
> Saafroedin Bahar
> (L, masuk 72 th, Jakarta)
> Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED];
> [EMAIL PROTECTED]
> 
> 
> 
> Neoliberalisme Kena Batunya
> Kompas, Rabu, 8 Oktober 2008 | 01:01 WIB 
> Oleh Martin Manurung
> Kali ini neoliberalisme terpojok. Pemerintah Amerika
> Serikat menghadapi dilema dalam mengatasi krisis keuangan
> terberat setelah depresi besar pada tahun 1930-an.
> Pilihannya adalah antara membiarkan mekanisme ”pasar
> bebas” mengoreksi segala kebobrokan finansial yang kian
> membubung selama 10 tahun atau melakukan intervensi
> pemerintah untuk mengerem laju percepatan krisis dan
> mengembalikan kepercayaan terhadap perekonomian negara
> adidaya itu.
> Presiden AS George W Bush mengambil pilihan kedua. ”Kita
> harus bertindak,” katanya dalam konferensi pers yang
> disiarkan berbagai televisi internasional. Dengan
> persetujuan Kongres, Pemerintah AS mengintervensi pasar
> dengan menggelontorkan dana talangan raksasa, total lebih
> dari satu triliun dollar AS bila dihitung sejak awal krisis,
> guna menyelamatkan berbagai perusahaan raksasa di Wall
> Street .
> Pilihan itu merupakan konfirmasi bahwa ideologi
> neoliberalisme yang selama ini diusung dan dikampanyekan
> negeri itu kepada dunia ternyata omong kosong.
> ”Tangan-tangan ajaib” yang katanya menggerakkan ”pasar
> bebas” harus diikat agar tidak kian menyeret perekonomian
> negeri itu ke jurang kehancuran.
> Neoliberalisme mengampanyekan ”pasar bebas” berdasarkan
> model pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan mazhab
> teori ekonomi neoklasik. Pada model ini, sejatinya berlaku
> persyaratan free entry dan free exit’ (bebas masuk dan
> keluar). Hanya keuntungan, bukan pemerintah, yang dapat
> menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus,
> lalu keluar saat defisit. Proses itu berlangsung begitu rupa
> sehingga seluruh surplus di pasar terserap dan mencapai
> keseimbangan pada posisi ”keuntungan normal (normal
> profit)”. Seharusnya mekanisme pasar bebas bekerja seperti
> itu, sebagaimana ”pakem” yang diyakini kalangan
> neoliberal.
> Mekanisme pasar
> Kekisruhan di Wall Street saat ini dapat dipandang sebagai
> bagian proses mekanisme pasar. Awalnya, berbagai korporasi
> diberi insentif untuk membesar dengan membebaskan dari
> aturan-aturan yang merintangi akumulasi kekayaan. Mereka
> ”difasilitasi” regulasi yang sengaja dibiarkan longgar
> sehingga memberi ruang untuk moral hazard melalui penciptaan
> berbagai produk keuangan yang ”ajaib” dan berisiko
> tinggi.
> Lalu, posisi yang dominan dan ukuran besar membuat mereka
> mendapat predikat too big to be allowed to fail (terlalu
> besar untuk dibiarkan gagal). Predikat itu seolah menjadi
> sabuk pengaman untuk lebih menyerempet bahaya sehingga
> memperburuk terjadinya moral hazard. Yang lebih parah,
> selama proses menyerempet bahaya, otoritas pasar finansial,
> otoritas moneter dan Pemerintah AS menutup mata demi
> keuntungan politis penguasa.
> Dengan demikian, krisis yang kini terjadi adalah
> konsekuensi alami dari praktik penyerempetan bahaya di Wall
> Street dan pembiaran Pemerintah AS. Dalam investasi berlaku
> hukum high risk, high returns atau risiko tinggi membawa
> tingkat pengembalian –dan kerugian—yang tinggi pula.
> Para investor yang menanamkan modal pada instrumen keuangan
> yang berisiko tinggi, sepatutnya sadar, mereka siap
> menanggung akibatnya. Mengutip Joseph Stiglitz, pemenang
> Nobel Ekonomi 2001 di Financial Times (25/7/2008), ”They
> got what they asked for” (mereka mendapatkan apa yang
> mereka minta). Kerakusan para pemburu rente berbuah bencana.
> Negara pelindung modal
> Alih-alih mengikuti mekanisme pasar, Pemerintah AS justru
> memberi ”napas buatan” melalui dana talangan tanpa
> banyak persyaratan. Tak ada tenggat pengembalian dan batas
> maksimum dana yang digelontorkan. Pun tak diatur apa yang
> harus dilakukan dan bagaimana perusahaan harus mereformasi
> organisasi dan kebijakannya guna memastikan dana talangan
> itu dapat dikembalikan ke negara. Hal itu amat kontras bila
> dibandingkan aneka kondisional yang dianjurkan AS melalui
> IMF dalam structural adjustment programmes (SAP) kepada
> negara-negara berkembang.
> Konsistensi pada paham ”pasar bebas” menghendaki
> Pemerintah AS membiarkan swakoreksi (self correcting) pada
> mekanisme pasar di Wall Street . Tak seharusnya dana publik
> yang dikelola pemerintah digunakan untuk menyelamatkan
> korporasi yang mengalami kesulitan akibat perbuatannya
> sendiri.
> Hal itu menegaskan, kembalinya peran pemerintah di AS
> cenderung sebagai upaya untuk melindungi pemilik modal
> ketimbang publik. Tesis negara sebagai pelindung modal,
> sebagaimana pernah dikatakan Karl Marx, menjadi
> sungguh-sungguh hadir dan nyata dalam krisis AS.
> Martin Manurung Penulis Analis Ekonomi-Politik dan
> Pembangunan; Alumnus School of Development Studies ,
> University of East Anglia , Inggris
>  
> 
> 
> 
> 
>       
> 

      

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Reply via email to