Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu


PILKA



Sejak beberapa tahun kebelakang PILKA tiba-tiba saja menjadi sebuah ajang
yang penuh pesona di negeri kita ini. Kata-kata Pilka ini sebenarnya belum
utuh. Yang utuhnya bisa berupa Pilkades atau Pilkada. Pilkacam belum ada
sementara Pilkana  juga tidak dipopulerkan dengan ungkapan itu. Pilka-pilka
ini adalah contekan copy – paste utuh dari sistim Amerika. Sistim yang
kemarin bergegap gempita memilih Barack Hussein Obama itu. Namun mencontek
itu ternyata tidak pula persis seperti aslinya. Konon si Barack yang mantan
anak Menteng itu nyaris tidak mengeluarkan apa-apa dari kantongnya. Biaya
perjuangannya menuju Rumah Putih dikeluarkan oleh simpatisannya. Si Barack
cukup bermodalkan kemampuan berfikir dan kemampuan berorasi yang memukau,
lalu tidak putih tidak hitam, tidak kulit berwarna manapun, yang sama-sama
terpukau, yang sama-sama jatuh hati dan menaruh kepercayaan kepadanya,
berturun secupak dua cupak untuk meluruskan jalan bagi si Obama.



Sayangnya di negeri kita kisahnya terdengar tidak seperti itu. Seorang calon
di Pilkades kononnya harus menjual kerbau paling sedikit atau sebidang
sawah, kalau ingin maju mengajuk posisi Kades. Biaya besar itu adalah untuk
mengumpulkan rakyat dan menjamu mereka,  berharap agar sang rakyat terpincut
lalu mau memilih. Maka para cakades berpacu dalam keroyalan, berpacu tinggi
nilai yang dikeluarkan dalam pesta membujuk hati rakyat tersebut.



Untuk  ukuran pilkada kecil (walikota atau bupati) bilangan yang harus
dikeluarkan menurut kabar angin sudah MM-an. Sedang untuk pilkada besar
(gubernur) jauh lebih besar lagi, sebut saja disekitar  puluh M atau bahkan
ratus M. Ternyata para calon itu memang sangat-sangat kaya-kaya, mempunyai
uang yang *berlindak-lindak* banyaknya.



Lalu, kalau dalam setiap Pilka ada beberapa orang calon (kadang-kadang
sampai lima pasang) sementara yang diperebutkan hanya satu tempat, apa yang
terjadi dengan calon yang kalah? Bukankah untuk ikut berlomba semua harus
menunjukkan ke*-tuhuk-tahan-*an masing-masing? Kesanggupan untuk
berhabis-habis? Ketika kalah? Ketika tidak terpilih? Ya rasakanlah sendiri.
Bawa bermenunglah sendiri semua ongkos yang sudah habis *lanyau* itu. Itulah
sebabnya, dalam banyak kasus, si kalah, apalagi yang kalah sedikit, yang
jadi pemenang kedua, tidak mau terima kalah. Segala daya dan upaya dilakukan
untuk mendakwa, untuk mencoba  membatalkan kemenangan sang rival.



Jarang terdengar, sesudah perhitungan suara berakhir ada calon yang kalah
mau memberikan ucapan selamat secara legowo seperti si John McCain.



Maka banyaklah suasana pasca pilka yang berakhir ricuh. *Berteong-teong*,
berpanjang-panjang. Kalau sekadar heboh antara yang kalah dan yang menang
lalu urusan dibawa ke mahkamah atau ke pengadilan tidaklah terlalu masalah
untuk orang banyak. Tapi kenyataan yang terjadi lebih buruk dari itu.
Adasaja kumpulan simpatisan (alangkah fanatiknya mereka sehingga kita
bertanya-tanya kenapa sampai sebegitu bersemangatnya para simpatisan ini)
yang mau berjuang pantang mundur. Masih tidak apa-apa juga kalau sekedar
berdemo berteriak-teriak meminta agar keputusan wasit dirubah. Yang lebih
menegakkan bulu roma, simpatisan-simpatisan ini sangat ringan tangan untuk
merusak dan menghancurkan. Kantor KPU, kantor partai, rumah dinas, kantor
dinas bisa habis jadi puing digasak oleh simpatisan yang kecewa ini.
Betulkah ini benar-benar disebabkan karena kecewa calonnya tidak jadi menang
dalam Pilka?



Kalau calon ada berempat berlima, yang sanggup memprotes hanya pemenang
nomor dua, bagaimana halnya dengan calon nomor tiga dan seterusnya? Sekali
lagi, *herang*kanlah sendiri. *Rasai*kanlah sendiri. Cerita yang sangat
'memilukan' datang dari seorang calon bupati di Jawa Timur. Karena terpuruk
di lembah hutang, (padahal tadinya dia seorang pengusaha beraset MM an)
tidak kuat mentalnya, lalu dia mencoba bunuh diri. Konon kabarnya, walau
bisa diselamatkan dari percobaan bunuh diri itu, sang calon bupati ini sudah
bocor besar, tidak sekedar bocor halus lagi.



Menjadi tanda tanya kenapa sebegitu bernafsunya (sementara) orang untuk
menjadi Ka (entah itu Kades atau Kada). Tanda tanya yang antara tahu dan
tidak kita jawabnya. Padahal sepeninggal bangku jabatan itu, sesudah
bertahta lima tahun atau lebih, sudah semakin berani KPK mengusut-usut,
kalau-kalau ketika menjabat ada uang yang disilumankan. Bahkan sudah ada
pula contoh dimana mantan Ka ini dimasukkan ke kandang situmbin.  Tapi
ternyata kursi empuk seorang Ka itu tetap saja sangat menggiurkan.






*****

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke