Ibu Evi yth.
Mengenai sumber rujukan, sebatas ada referensinya insya Allah akan saya 
sebutkan. Bilamana tidak, digunakan penafsiran sejarah dengan melalui 
‘perhitungan’. Perhitungan ini dilakukan melalui metodologi. Metodologi ini ada 
yang lazim digunakan dalam riset sejarah, dan ada yang belum lazim. Yang lazim 
seperti pendekatan filologis, seperti keahlian sanak Suryadi, Uli Kozok, dan 
tokoh fiksi Robert Langdon dalam Da Vinci Code, yaitu memeriksa manuskrip 
sejarah, menganalisis aksara dan jenis bahasa (paleografis), hingga 
penterjemahan, dengan itu kemudian membangun penafsiran. Untuk filolog 
Arab-Melayu kita adalah Dt. Kando Marajo, yang sudah menterjemahkan naskah TIB. 
Atau metode anthropo-spatial seperti yang sedikit sudah didemonstrasikan oleh 
Dobbins. Atau metode desktop literatur, seperti yang dilakukan oleh M. Radjab 
dan Rusli Amran. Mengenai metodologi dan aliran dalam sejarah ini dapat kita 
tanyakan kepada sanak Suryadi dan Prof. Gusti Asnan, serta
 ahli dan pakar yang ada di milis ini, karena saya sendiri bukan sejarawan dan 
tidak berpendidikan sejarah/arkeologi.
Metodologi yang belum lazim salah satunya seperti yang sering saya lakukan 
adalah mengembangkan ‘metode inverse’ (kebalikan), yang sebenarnya lebih mudah 
dipahami oleh mathematician. Seorang mentor saya, Prof Waworuntu mantan Rektor 
Unsrat, pernah menulis paper tentang ini yaitu: “Regressions and Speculations 
on the Origin and Inverse of Destiny”, 1997, dalam upaya membuktikan ucapan 
Roosevelt: “… how fortunate you are that you have a rendesvous with (your) 
destiny.” Rujukan lain adalah Bertrand Russel, yang mengungkapkan : “even if 
experience has told us that past futures resembled past pasts, we cannot 
conclude that future futures will resemble future pasts, unless we already 
assume that the future resembles
the past.” Beberapa aplikasi metodologi (resemble) ditunjukkan di antaranya 
oleh geograf Jerman yaitu Werner Rutz yang menulis “Indonesien – 
Verkehrserschlieβung seiner Auβeninseln” (1976), dan sebenarnya ada yang 
menunjukkan kemungkinan dilakukan peneliti Belanda seperti Freek Colombijn atau 
Peter Boomgaard. Metode ini saya kira cukup tepat digunakan untuk menganalisis 
kondisi sejarah Minangkabau (dan Melayu), ketika sejarawan/arkeolog sudah mulai 
‘menyerah’ dengan lack of data pada kurun/priode waktu tertentu.
Metode inverse ini idealnya dapat diterapkan dalam pemodelan systems 
dynamics-nya Forrester (negative forecasting), bila kita mengasumsikan ‘budaya 
Minang’ itu tersusun dari variabel-variabel kompleks, sehingga sebenarnya kita 
tinggal mengeliminasi beberapa variabel dan koefisien saja untuk sampai ke satu 
titik kurun waktu tertentu. Saya tidak melakukan ‘pengukuran’ sebagaimana 
seharusnya, karena variabel itu banyak yang alfanumerik (walaupun bisa 
scoring), sehingga hanya melakukan ‘perkiraan’ saja (raso-pareso); serta ini 
bukan profesi, hanya hobby saja. Namun kira-kira logika metodenya demikian.
Metode inverse ini juga sebenarnya tuntunan dalam Al Quran, sebagaimana sering 
kita disuruh untuk mengambil ‘ibrah (pengajaran) dari berbagai peristiwa (alam 
takambang menjadi guru), khususnya untuk para ahli abshar.
Sementara demikian dulu ibu Evi. Terlebih terkurang mohon dimaafkan. Untuk rang 
dapua mohon diizinkan ikua bajelo-jelo untuk kronologi ke rekan cc saya.
Wassalam,
-datuk endang
--- On Sun, 2/15/09, Hifni H.Nizhamul <hy...@yahoo.com> wrote:

Yth. Datuk endang,
yth. Pak arman,
serta dusanak kasadonyo,

sungguh sangat menarik diskusi bapak bapak ini. 
Bolehkah ambo mengetahui sumber bacaan bapak dalam memberikan urain ini?
Ambo yakin banyak pulo dusanak yg ingin mengetahui sejarah minangkabau.  
Bagi ambo sejarah minang kabau dapat dibagi dalam:
. Minangkabau kuno,
- pra paderi, 
_ pasca perang paderi,
- minangkabau masa kini.

Wassalam,
 
evi nizhamul
grage sangkan, kuningan

Datuk Endang wrote: 
> Pak Arman yth. 
>  Mengenai kedatangan Adityawarman pernah saya ungkapkan dalam posting
sebelumnya , yaitu seorang diri atau tidak dalam rombongan besar, sebagaimana
sempat diceritakan juga dalam tambo. Sehingga sebenarnya sampai era
Ananggawarman belum cukup bagi dinasti Melayu ini untuk menghimpun suatu
kekuatan bersenjata, apalagi mampu menghadang kekuatan Majapahit yang begitu
besar. Dengan kata lain ada "sesuatu" yang memproteksi dan melindungi
dinasti ini dari serangan dunia luar. "Sesuatu" itu tentulah sangat
besar dan kuat. 
>    
>  Ketika kekuasaan Siak diduduki oleh Aceh pada awal abad 17, Raja Siak
memang mengundang bantuan dari Minangkabau dan Johor. Raja Pagaruyung pada masa
itu menghimbau "sesuatu" dari tiga luhak untuk membantu pertahanan
Siak mengusir Aceh, hingga akhirnya "sesuatu" itu memiliki previlege
di Riau saat ini. Mudah-mudahan hal ini dapat menjelaskan maksud proteksi dan
protektorat. Sedikit lagi kita membahas mudah-mudahan bisa sampai pada latar
belakang peristiwa Kototangah 1808 itu. 
>    
>  Contoh lain masalah proteksi ini adalah proteksi laut oleh Kerajaan Aceh
untuk Kerajaan Inderapura, hingga sampai pada perjanjian Painan. Kita memang
tidak pernah berjaya di lautan, dan memang hanya sampai ombak nan badabua di
pantai barat. 
>    
>  Untuk Sakai dan Kubu, saya kira telah ada sebelum era-era di atas. 
>    
>  Demikian sementara waktu pak, mudah-mudahan diskusi ini dapat berlanjut. 
>    
>  Wassalam, 
>  -datuk endang 
>  --- On Sat, 2/14/09, Arman Bahar <arman_ba...@ymail.com> wrote: 
>  Assalamualaikum ww 
>    
>  Suai, Minangkabau sepintas lalu tidak punya pasukan atau militer kecuali
beberapa lusin dubalang sehingga tidak heran ada clash sedikit aja dengan
pengikut Tuangku Lintau Minangkabau lenyap dari permukaan bahkan Istano Basa
Pagaruyuang rata dilalap api hingga Rajo Alam dan Putra Mahkota Sulthan Alam
Bagagar Syah yang masih berumur 9 tahun ngungsi dikegelapan malam ke Istano
Tuanku Gadih kerabat dirantau Kuantan Riau 
>    
>  Benarkah selamanya demikian? 
>  Ternyata dizaman Adityawaman dan anaknya Ananggawarman kerajaan ini punya
juga kok angkatan perangnya, lihat aja peristiwa Padang Sibusuk 
>    
>  Juga waktu Pesisir Timur dibawah bayang2 Aceh hingga lalu lintas
Pagaruyuang ke Semenanjung Tanah Melayu seperti Negeri Sembilan dan Kerajaan
Johor istana sang besan macet dan dijarah tentara2 Aceh ternyata Minangkabau
punya juga pasukan handal hingga Aceh dapat diusir dari Pesisir Timur dan
selanjutnya sama kita lihat Rajo Alam di Pagaruyuang menempatkan Rajo Kociak
(Raja Kecil) yang ber-ibu Putri Pagaruyuang dan ber-ayah Sultan Johor itu
sebagai penguasa Pesisir Timur raja pertama kerajaan Siak Sri Inderapura 
>    
>  Ex Pasukan Pagaruyuang yang membebaskan Pesisir Timur itu kita kenal
sekarang sebagai orang Sakai yang sekarang dapat kita lihat mereka berdomisili
dipedalaman Kabupaten Siak dan Bengkalis Riau 
>    
>  Jadi ada timbul dan tenggelam, masa jaya dan masa kemunduran suatu
kerajaan, mungkin ketika zaman perang Paderi, Minangkabau Pagaruyuang dalam
masa2 suram dimana sebagaian besar wilayahnya di Rantau seperti Barus, Kinali,
Tiku, Pariaman, Indropuro dan banyak pula di rantau pesisir Timur telah melepas
diri dari kontrol pusat di Pagaruyuang 
>    
>  note 
>  Adokah mamak dan dunsanak nan mengetahui Rajo2 Pagaruyuang dan para
kerabatnya bersuku apo, apakah mereka penganut matriachat seperti kita juga,
karena ane dengar mereka patriachat artinya seluruh keluarga Istana Pagaruyuang
di Gudam itu melaksanakan perkawinan endogami kawin hanya sesama lingkungan
keluarga istana saja hingga dengan demikian suku mereka jadi tidak jelas lagi 
>    
>  Dari pengakuan beberapa yang mengaku masih kerabat istano Pagaruyuang
mengaku mereka dekat ke suku Piliang namun ado juo beberapa kerabat lainnya
diperantauan Duri menegur kerabat lain yang bergabung kepersatuan Keluarga Suku
Piliang karena katanya suku mereka khusus bahkan ada yang bilang sukunya Gudam
padahal nama suku Gudam itu tidak ada yang ada bahwa Gudam itu sebuah
kanagarian dengan penghuninya masih kerabat keluarga istana Pagaruyuang 
>    
>  Iko jadi pertanyaan besar dalam hati ambo salamoko, mohon pencerahan
dari mamak2 dan dunsanak yang mengetahui masalah ini  
>     
>    
>  wasalam 
>  abp --- On Fri, 13/2/09, Datuk Endang <datuk_end...@yahoo.com>
wrote: 
>  From: Datuk Endang <datuk_end...@yahoo.com> Subject: [...@ntau-net]
Re: bukti historis lebih dari cukup To: RantauNet@googlegroups.com Cc:
sulita...@yahoogroups.com Date: Friday, 13 February, 2009, 3:54 PM 
>  Sanak Suryadi, sedikit komentar saya berikan : 
>    
>  "Seperti terefleksi dalam judul buku itu: modal raja2 Minangkabau
dulu hanyo muncuang sajo (ibarat tukang galeh ubek ); tantara indak ado, paliang
punyo dubalang gak salusin, kuaso yg terpusat indak ado. Kerajaan tanpa pasukan
militer: itulah Pagaruyung." 
>    
>  Dalam Ilmu Negara terdapat 2 kemungkinan untuk kondisi negara tanpa
dukungan angkatan perang ini : 
>  1) negara protektorat; sehingga pertanyaannya : siapa yang memberikan
proteksi kepada Pagaruyung? 
>  2) negara dalam pengampuan/perwalian; sehingga pertanyaannya : siapa yang
menjadi wali bagi Pagaruyung? 
>    
>  "Raja-raja kecil di pantai barat dalam periode tertentu memberi
semacam 'pasalaman' --untuk tidak mengatakan upeti--kepada Pagaruyung
sebagai tanda respek, bukan sebagai tanda tunduk. " 
>    
>  Dalam tambo Dt. Batoeah disebutkan secara lebih gamblang, terkadang
diberikan dengan langsung marosok tangan raja ketika raja berkunjung ke tempat
itu, atau diletakkan begitu saja di atas meja dan kemudian raja mengutipnya,
dst. Memang untuk beberapa daerah di Tanah Datar ada aturan ameh manah tiang
bubuq, dan melalui prosesi tertentu. 
>    
>  Wassalam, 
>  -datuk endang 
>  --- On Fri, 2/13/09, Lies Suryadi <niadil...@yahoo.co.id> wrote: 
>  From: Lies Suryadi <niadil...@yahoo.co.id> Subject: [...@ntau-net]
bukti historis lebih dari cukup To: RantauNet@googlegroups.com Date: Friday,
February 13, 2009, 4:47 PM 
>  Dunsanak sekalian, 
>    
>  Soal raja2 di Minangkabau (Pagaruyung) dan raja2 kecil di pantai barat
saya kira bukti2 historis lebih dari cukup.  Bukankan Thomas Diaz, orang Eropa
pertama yang masuk ke pedalaman Minangkabau pada pertengahan abad ke-17 bertemu
dengan raja Pagaruyung yang istananya berkilau oleh emas? Lihat: Timothy P.
Barnard. “Mestizos as Middlemen: Tomas Días and his Travels in Eastern
Sumatra” in Iberians in the Singapore-Melaka Area (16th to 18th Century) , ed.
Peter Borschberg (Weisbaden: Harrassowitz, 2004), pp. 147-60. 
>    
>  Tentu tak ada salahnya juga jika kita membaca buku Jane Drakard: A
Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra (Shah Alam [etc.]: Oxford
University Press, 1999), sebuah buku yang menarik yang, sayang sekali, tak ada
orang kaya Minangkabau yang tertarik untuk membiayai penerjemahannya ke dalam
Bahasa Indonesia. Seperti terefleksi dalam judul buku itu: modal raja2
Minangkabau dulu hanyo muncuang sajo (ibarat tukang galeh ubek ); tantara indak
ado, paliang punyo dubalang gak salusin, kuaso yg terpusat indak ado. Kerajaan
tanpa pasukan militer: itulah Pagaruyung. 
>    
>  Buku Dobbin (1983) yang sudah sering dibicarakan dan sudah 2 x
diterjemahkan ke dalam Bhasa Indonesia banyak mengungkapkan hubungan raja
Pagaruyung dengan raja2 kecil di pantai barat Sumatra. Raja-raja kecil di
pantai barat dalam periode tertentu memberi semacam 'pasalaman' --untuk
tidak mengatakan upeti--kepada Pagaruyung sebagai tanda respek, bukan sebagai
tanda tunduk. Akan tetapi hubungan itu menjadi merenggang setelah kedatangan
pedagang2 Aceh dan kemudian Barat di pantai barat Sumatra. Raja2 kecil itu
menjadi lebih independen dan banyak berdagang dengan orang2  Barat (Portugis,
Inggris, dan Belanda). Dalam pada itu muncul pula apa yang oleh Dobbin disebut
sebagai 'pialang' yang mendominasi dan menentukan transaksi2 dagang di
entrepot2 pantai barat itu, sejak dari Inderapura sampai ke Katiagan. Lama-lama
hubungan batin dan perasaan respek raja2 kecil di pantai barat itu makin
renggang dengan kuasa di Pagaruyung. 
>    
>  Ekspansi famili2 raja2 kecil di pantai barat Sumatra ke daerah2 utara
juga sudah cukup jelas terungkap dalam beberapa kajian yg cukup mendalam. Dalam
kaitannya dengan hal ini, satu buku lain suntingan Drakard tentu bermanfaat juga
kita baca. Buku tersebut adalah  Sejarah Raja - raja Barus : Dua Naskah dari
Barus (Jakarta & Bandung: Ecole francaise d'Éxtreme-Orient, 1988). 
>    
>  Wassalam, 
>  Suryadi 



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke