Sanak Andiko, Ibu Evy, dan sanak-sanak yth.
Terima kasih atas informasinya, dan coba saya tanggapi sbb:
1. Bila memang telah ada beberapa yurisprudensi, saya mohon dapat dikirimi via 
japri untuk dapat dipelajari. Mungkin sebagai pertimbangan juga bagi sanak 
terhadap putusan peradilan adat yang pernah kami sampaikan tahun lalu di milis 
ini.
Saya memang masih mencari alas adat untuk istilah Mamak Kapalo Warih ini, dan 
sepertinya baru lahir belakangan.
Untuk kasus Payakumbuh tersebut saya mencurigai bila di dalam kaum tersebut 
penghulu andikonya sedang kosong, sehingga dilahirkan pembuktian tentang MKW 
ini.
Bagaimanapun saya mendukung pelembagaan MKW ini lebih lanjut dalam pembinaan 
tanah ulayat mengingat kondisi masyarakat kita saat ini.
Mengenai posisi lelaki tertua di dalam kaum, sejauh barih yang saya terima 
adalah penghulu andiko. Karenanya di dalam pituah disebutkan didahulukan 
salangkah ditinggikan sarantiang, yang maksudnya posisi penghulu tersebut tetap 
lebih tua (dituakan) dari lelaki tertua di dalam kaum. Untuk itu saya lebih 
senang menggunakan istilah mamak-mamak nan tuo, yang menjadi anggota sidang 
dalam kerapatan kaum atau ditunjuk untuk penugasan tertentu. Selain itu istilah 
‘lelaki’ kurang lazim.
 
2. Mengenai pendaftaran tanah kita coba bahas pada Bab V. Sementara waktu, 
memang ada kerancuan sistem pendaftaran yang dilaksanakan oleh BPN, yang belum 
mengakomodasi sendi-sendi adat. Di antaranya : pendaftaran tanah berlanjut pada 
sertifikasi tanah yang merupakan bentuk penganugerahan hak, padahal hak itu 
telah dimiliki melalui sistem hukum adat. Kemudian pengakuan hak itu bersifat 
perorangan atau privat, padahal hak ulayat itu merupakan hak kolektif. Kita 
coba kembangkan sistem pendaftaran itu melalui KAN, yang bisa mencontoh sistem 
Buku C untuk tanah-tanah adat di Jawa.
Mengenai komersialisasi tanah ulayat dsb bukan merupakan suatu halangan, karena 
adat tidak menghalangi pembangunan. Namun perlu disesuaikan dengan 
ketentuan-ketentuan adat, yang coba kita bahas kelak.
 
Demikian sementara waktu disampaikan. Saya coba lanjutkan dengan komentar untuk 
Bab III di bawah.
 
Wassalam,
-datuk endang
 
 
BAB III
JENIS, PENGUASAAN DAN PEMILIK TANAH ULAYAT
Pasal 5
Jenis tanah ulayat terdiri dari tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah 
ulayat kaum dan tanah ulayat rajo.
Komentar:
Sebenarnya ada beberapa pendapat mengenai jenis tanah ulayat, namun yang telah 
dirumuskan dalam Perda ini sudah cukup moderat. Seperti istilah-istilah tanah 
ulayat negara, harto pusako tinggi, dst.
Sebaiknya memang dapat ditambah juga elaborasi untuk identifikasi umum dari 
masing-masing jenis tanah ulayat tersebut, sehingga memudahkan simplifikasi. 
Seperti misalnya tanah ulayat nagari termasuk di antaranya labuah nan golong, 
tanah untuk musajik nagari, medan nan bapaneh, lereng hingga puncak gunung, 
badan-badan air termasuk tepian tempat mandi, dst. Tanah ulayat suku di 
antaranya pandam pakuburan suku, sawah kebesaran penghulu suku, dst.
 
Pasal 6
1.      Penguasa dan pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksud dala pasal 4 
adalah :
a.           Ninik Mamak KAN untuk tanah Ulayat Nagari
b.           Penghulu-penghulu suku mewakili semua anggota suku sebagai pemilik 
tanah ulayat suku, masing-masing suku di nagari.
c.           Mamak kepala waris mewakili anggota kaum masing-masing 
jurai/paruik sebagai pemilik tanah ulayat dalam kaum
d.          Lelaki tertua pewaris rajo mewakili anggota kaum dalam garis 
keturunan ibu adalah pemilik tanah ulayat rajo.
2.      Pengaturan penguasaan dan pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 4 berdasarkan norma-norma hukum adat minagkabau dan sebutan 
lainnya, yang ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Komentar :
Penunjukan penguasaan dan kepemilikan di atas masih belum terasa pas karena 
bersifat kepemilikan kolektif, sehingga perlu redaksional menjadi :
Penguasaan dan kepemilikan tanah ulayat adalah secara kolektif dan berjenjang 
naik bertangga turun oleh masyarakat adat, dan berada dalam pembinaan :
a. Pengurus KAN untuk tanah ulayat nagari,
b. Penghulu-penghulu Suku untuk tanah ulayat suku,
c. Penghulu Andiko untuk tanah ulayat kaum, yang dapat dibantu selanjutnya oleh 
Mamak Kapalo Waris dari tiap-tiap paruik.
d. Lelaki tertua pewaris jabatan raja untuk tanah ulayat rajo.
Selanjutnya perlu pengaturan khusus untuk pengelolaan tanah ulayat kaum, yaitu 
hak pengelolaan untuk tanah ulayat kaum dapat dilimpahkan kepada bundo kanduang 
(wanita dewasa yang telah menikah di dalam kaum tersebut) sebagai ganggam 
bauntuak iduik bapangadok secara berkeadilan.
Selanjutnya kita dapat meneruskan aturan dan pembatasan tentang ‘hak 
pengelolaan’ ini lebih lanjut. 
Saya kurang setuju dengan bunyi ayat 2, dan kalau memang harus ada maka 
bunyinya dapat sebagai berikut : ….. norma-norma hukum adat Minangkabau dan 
atau adat selingkaran nagari, yang ditetapkan lebih lanjut oleh lembaga 
kerapatan adat.


--- On Thu, 4/2/09, andikoGmail <andi.ko...@gmail.com> wrote:

Sebagai tambahan dari ambo untuak Mak Datuak dan Buk Evi

1. Jurisprudensi Mamak Kepala Waris (MKW)
a. MKW adalah lelaki tertua dalam kaum (putusan PN. Payakumbuh tanggal 
10 Januari 1963  Pdt No. 33/1963. Putusan Pengadilan Tinggi Padang 
Tanggal 22 April 1969  Perd No. 400/1969. Putusan Ma tanggal 25 Agustus 
1971 No. 180 K/Sip/1971)
b. Dengan diajukannya surat bukti tentang pengangkatan seseorang sebagai 
MKW kaumnya, dalam surat bukti mana ternyata turut dibubuhi cap empu 
jari orang yang dianggap lebih berhak menjadi MKW dalam kaum yang 
bersangkutan, maka terbuktilah bahwa seseorang yang disebutkan dalam 
surat pengangkatan itu adalah MKW dalam kaumnya. (Putusan PT Padang 
tanggal 20 Agustus 1973 Perdata No. 58/1969/PT Pdg. Putusan MA tanggal 8 
januari 1975 No. 1453 K/sip/1974).

2. Mengenai pendaftaran tanah adat. kritik-kritik yang puncul terhadap 
pendaftaran tanah adat adalah proses individualisasi pemilikan 
tanah-tanah tersebut yang selanjutnya masuk pada proses komersialisasi 
tampa kontrol anggota komunitasnya yang mengakibatkan lepasnya 
tanah-tanah ini kepada pihak ketiga. Jika ada sebuah sistem dapat 
dikembangkan untuk menjaga ini, maka akan lebih baik. Sejak tahun 
1990-an terdapat proyek pendaftaran tanah yang dibiayai oleh World Bank 
dengan judul Land Administration Project. Salah satu bentuk kegiatannya 
adalah Prona. Dari dokumen proyek ini dapat dibaca bahwa salah satu 
tujuannya adalah untuk mengefisienkan pasar tanah. Seingat saya, tahun 
2000an ada satu proyek uji coba pendaftaran tanah adat di Sumbar, 
tepatnya, kalau tidak salah di nagari Lubuak Jantan Tanah Datar dan 
pernah diseminarkan di Hotel Pangeran Padang. Banyak kritik yang muncul 
dalam seminar ini yang intinya bagaimana proses pendaftaran tanah ini 
tidak berdampak pada penguasaan komunal tanah-tanah adat dan jangan 
menjadi alat untuk mendorong pasar tanah adat.

Sakian dulu

salam

andiko

Datuk Endang wrote:
> Ibu Evy yth.
> Sebelumnya terima kasih atas tanggapannya. Saya coba kembangkan sbb:
>  
> 1. Pengertian mamak kapalo warih saya kira berbeda-beda dalam setiap 
> nagari. Di Sulit Air istilah ini melekat pada penghulu andiko. Namun 
> menyimak komentar ibu, saya kira bisa disesuaikan lebih lanjut dengan 
> pemahaman lebih umum. Dengan kata lain peraturan ini juga harus 
> menjangkau satuan paruik, sehingga strukturnya: nagari - suku - kaum - 
> paruik. Atau lebih lanjut : nagari (KAN) - suku (penghulu-penghulu 
> sesuku) - kaum (penghulu andiko) - paruik (mamak nan tuo/dituokan 
> dalam paruik itu).
> Paruik perlu diperjelas maksudnya adalah suatu susunan keluarga dalam 
> kaum, yang ditunjukkan oleh batas-batas ruang dalam rumah gadang, dst.
> Namun register tanah hendaknya berdasarkan kaum (pemangku sako dan 
> pusako), selaku pemegang wilayat yang dikenal di dalam negeri, dan 
> tersumpah. Dengan kata lain register tanah yang dilakukan oleh KAN 
> untuk tanah-tanah ulayat kaum adalah berdasarkan susunan jabatan 
> penghulu andiko.
> Memang setiap negeri ada perbedaan sistem kelarasan dan kebiasaan 
> serta kondisi wilayah dan masyarakat, yang turut membedakan hubungan 
> antara penghulu andiko dengan mamak kapalo warih ini. Namun saya 
> berpegang pada tambo bila liabilitas sako dan pusako ini terletak di 
> jabatan penghulu andiko. Beberapa jalan pemecahan yang bisa dilakukan 
> adalah 1) penghulu andiko menunjuk di dalam setiap paruik seorang 
> mamak kapalo warih, yang bisa berdasarkan usulan paruik, yang bertugas 
> dalam membantu dan membina alokasi pemanfaatan tanah ulayat untuk 
> kebutuhan paruik tersebut; 2) pendelegasian wewenang dan sebagainya 
> dapat dimufakatkan dalam musyawarah kaum; 3) atau seperti kasus di 
> Sulit Air, penghulu andiko juga merangkap sebagai mamak kapalo warih 
> (namun akan coba kami sesuaikan nantinya).
> Satu catatan penting yang perlu saya sampaikan, dalam kejadian jua 
> indak makan bali, gadai indak makan sando serta komersialisasi tanah 
> ulayat oleh pemegang ganggam bauntuak, harus sepengetahuan mamak 
> kapalo warih; dan untuk sampai tingkatan tertentu harus berdasarkan 
> persetujuan penghulu andiko.
>  
> 2. Pengertian ganggam bauntuak sebenarnya adalah modal dari kaum 
> kepada bundo kanduang dalam memulai dan menjalani kehidupan secara 
> layak, yang dulunya diperuntukkan untuk hunian dan pertanian. Tanah 
> untuk hunian dapat dilekatkan berbagai kekayaan sebagai jerih payah 
> dalam kehidupan. Namun untuk pertanian, sebenarnya perlu 
> diperhitungkan kebutuhannya sehingga dapat dicapai rasa keadilan di 
> dalam kaum. Dalam hal ini penghulu dan mamak kapalo warih memegang 
> peranan dalam mengatur dan membina peruntukannya. Namun diperhatikan 
> juga bila adaik jawek-manjawek pusako tarimo-batarimo dalam suatu 
> keluarga di dalam suatu paruik, untuk bisa dihargai dan dilestarikan.
> Saya juga prihatin bila banyak tanah ulayat selama ini yang terlantar 
> atau tidak dimanfaatkan, sehingga menjadi mubazir. Untuk itu saya 
> menyarankan perlu dilakukan evaluasi dalam tiap 20 tahun, bila terjadi 
> hal seperti itu maka penguasaan dan pengelolaannya dipulangkan kembali 
> kepada kaum. Selanjutnya oleh penghulu andiko maupun mamak kapalo 
> warih dapat dialokasikan kepada kemanakan yang lain untuk dapat 
> dimanfaatkan.
> Jadi sebenarnya tidak ada istilah Hak Milik Adat untuk perorangan di 
> dalam Hukum Adat Minangkabau.
> Satu catatan penting lagi yang hendak saya sampaikan, lokasi tanah 
> yang menjadi ganggam bauntuak adalah tanah-tanah relatif datar yang 
> dapat digunakan untuk hunian/pertanian. Jadi bila di sekitar lokasi 
> itu terdapat tanah dengan kemiringan (kontur) yang curam, apalagi 
> tebing dan bukit, hutan, badan air, pematang jalan; adalah tidak 
> termasuk dalam tujuan tersebut, atau tetap berada dalam penguasaan 
> kaum atau umum.
>  
> 3. Saya pernah mendapat pelajaran dari Prof AP Parlindungan mengenai 
> ketentuan Pasal 19(1) UUPA, tentang keharusan untuk melakukan 
> pendaftaran tanah. Ketentuan ini sebenarnya mengacu kebiasaan 
> administrasi pertanahan (kadaster) sejak masa Hindia Belanda. 
> Ketentuan ini khususnya berlaku untuk pengembangan aturan konversi 
> eigendom dan erfpacht yang telah diregister sebelumnya; termasuk 
> berbagai pengembangan hingga terbentuknya BPN tahun 1988. Namun untuk 
> tanah-tanah adat, sesuai ketentuan UUPA, perlu pengaturan sendiri yang 
> mengikuti sistem adat dan kebiasaan setempat. Pada masa Hasan Basri 
> Durin Dt. ..... pernah diterbitkan peraturan kepala BPN mengenai 
> pendaftaran tanah adat ini, namun belum operasional. Termasuk juga 
> yang paling parah adalah UU Kehutanan itu yang sangat mengerdilkan 
> peran masyarakat adat.
> Saya kira ini saatnya kita menyusun kembali wewenang masyarakat adat 
> yang bisa dimulai dari Minangkabau, sambil memberdayakan berbagai 
> pranata kemasyarakatan kita. Bila fungsinya hanya pendaftaran 
> (register) terhadap hak-hak ulayat ini, saya kira tidak menjadi 
> masalah, karena KAN tidak melakukan penganugerahan hak. Dalam 
> pelaksanaannya nanti perlu disiapkan atau diseragamkan format, tata 
> cara, dan sebagainya; bisa disusun dalam suatu bentuk petunjuk teknis. 
> Apalagi sekarang sudah ada citra satelit yang bisa membantu dalam 
> identifikasi lokasi dan batas-batas. Saya kira dalam hal ini KAN 
> justru membantu dalam mengoperasionalkan ketentuan Pasal 19 itu.
>  
> Mungkin demikian dulu Ibu Evy, tentunya masih perlu diskusi dan 
> pendalaman lebih lanjut. Saya harapkan juga pandangan dari sanak-sanak 
> sekalian. Lebih kurang mohon maaf.
>  
> Wassalam,
> -datuk endang
>  
>
> --- On *Wed, 4/1/09, Evy Nizhamul /hy...@yahoo.com>/* wrote:
>
>     Assalamualaikum, wr.wb
>
>     1. Didalam komentar pak Datuk Endang pada Perda No 6 tahun 2008
>     ttg Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya - Saran Koreksi untuk Revisi
>     Perda (1)
>    

>
>
> pada
>     butir 13 tertulis :
>
>     13.  Mamak kepala waris atau sebutan lainnya adalah laki-laki
>     tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam suatu keluarga.
>
>
>     Namun Pak Datuk memberi komentar :
>
>
>     Pengertian mamak kepala waris adalah jabatan fungsional dari
>     seorang penghulu andiko yang memiliki wewenang dalam mengatur
>     pemanfaatan harta pusaka kaum. Wewenang ini dapat dilimpahkan atau
>     didelegasikan kepada mamak-mamak nan tuo dalam kaum. Namun
>     pengelola harta pusaka adalah terletak pada kaum bundo kanduang.
>
>
>     Pengertian laki-laki tertua atau yang dituakan itu menurut saya
>     sudah benar - karena bila menjadi - pengertian mamak-mamak nan tuo
>     - ternyata tidak selama merupakan orang yang cakap bertindak
>     selaku Mamak Kepala Waris.
>
>
>     Lagi pula Pengertian laki-laki tertua atau yang dituakan yang
>     digunakan - akan memberi ruang di dalam suatu Kaum untuk memilih
>     laki-laki yang lebih cakap dalam bertindak selaku Mamak kepala
>     Warisnya.
>
>     .
>     2. Setahu saya pengertian ganggam nan bauntuak ini sering
>     menimbulkan salah penafsiran dari kalangan kaum wanita - bahwa
>     tanah ulayat /tanah kaum itu sudah dibagi, apalagi untuk iduik
>     bapangadok. Seandainya hal ini memang disetujui kaumnya -
>     boleh-boleh saja bila tidak ada kekawatiran bahwa tanah kaumnya
>     akan habis.
>
>     3. Sebagai sebuah lembaga kerapatan adat - saya setuju jika KAN
>     dapat melakukan kadaster atas tanah-tanah ulayat - akan tetapi
>     melihat aspek hukum yang ditimbulkannya maka pemberian peran KAN
>     dalam masalah pertanahan nasional rasanya kok kurang pas ketimbang
>     PPAT.
>
>     Sebenarnya ada yang saya mau tanyak seputar kasus sengketa tanah
>     kaum dengan pihak diluar kaum - akan tetapi saya tetap berkomitmen
>     menelaah seputar isi PERDA saja yang memang harus kita pahami satu
>     persatu sesuai dengan pengalaman masing-masing tentang masalah ini.
>
>     Wassalam,
>
>
>     /**  Evy Nizhamul bt Djamaludin/
>     (Tangerang, suku Tanjung, asal : Kota Padang)
>
>
>     http://bundokanduang.wordpress.com



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke