Astaghfrilullah, kok bisa-bisanya faham sex bebas seperti ini 
'dirasionalisasikan' atas nama Islam, yang menurut sejarah merupakan suatu  
revolusi terhadap kejahiliahan seperti itu ? 'Ajaran' ini akan mengubah manusia 
yang beradab menjadi hewan. Sungguh keblinger.Perlu kita tolak secara tegas, 
cantumkan dalam keputusan/mufakat KKMP kita mendatang.

Wassalam,
Saafroedin Bahar(Laki-laki, masuk 73 th, Jakarta) 


--- On Tue, 1/19/10, Aslim <as...@id.panasonic.com> wrote:

From: Aslim <as...@id.panasonic.com>
Subject: [...@ntau-net] FW: Free Sex menurut kaum islam liberal atau islam  
progresif
To: rantaunet@googlegroups.com
Date: Tuesday, January 19, 2010, 5:40 PM




 
 

 

 

 

 

 

 







 





Sanak rantau, dari e-mail
sabalah.. 

   

MalinSutan 



   

From: Deni Suhairi 



 





Assalamu’alaikum
WW, 

   

Diambiak dari
milist PKS, berisi tentang pandangan sex bebas menurut urang2 liberal dan
patuik awak waspadai karano alah disebar dengan tertulis. Mudah2an awak bisa
terhindar dari pandangan2 sarupo iko, ataupun yang barupo tipu daya. 

   

Wassalam 

   

   

 “Islam
Progresif” dan Seks Bebas

Fr id ay, 08 January 2010 13:48 



Akibat logis konsep dekonstruksi kitab suci, bukan aneh dukungan kaum liberal
terhadap praktik seks bebas. Baca CAP Adian ke-276 



Oleh: Dr. Adian Husaini*



Di antara pegiat “Islam Progresif”, atau “Islam
Liberal”, nama Sumanto Al Qurtuby memang sudah bukan asing lagi. Alumnus
Fakultas Syariah IAIN Semarang ini terkenal dengan id e-
 id e liberalnya yang sangat berani. Di sebuah Jurnal
yang terbit di Fakultas Syariah IAIN Semarang ,
Justisia, ia pernah mengusulkan agar sejumlah ayat Al-Quran diamandemen.
Belakangan, kaum liberal di Indonesia, semakin terbuka melontarkan wacana
perlunya proses ”Desakralisasi Al-Quran”.



Meskipun sudah terbiasa membaca berbagai pendapat liberal dan progresif yang
aneh-aneh, tetapi saya tetap terbelalak dan nyaris tak percaya, ada sebuah
tulisan yang secara terbuka mendukung praktik seks bebas, asal dilakukan suka
sama suka, tanpa paksaan. Tulisan Sumanto itu berjudul ”Agama, Seks, dan
Moral”, yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis
Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009). Kita perlu
”berterimakasih” kepada Sumanto yang secara jujur dan terbuka
melontarkan id e liberal dan
progresif, sehingga lebih mudah dipahami. Sebab, selama ini banyak yang
mengemas id e ”Islam
progresif” dan ”Islam liberal” dengan berbagai kemasan indah
dan menawan, sehingga berhasil menyesatkan banyak orang.



Untuk lebih jelas menyimak persepsi ”Islam Progresif” tentang seks
bebas ini, ada baiknya kita kutip agak panjang artikel dari penulis yang dalam
buku ini memperkenalkan dirinya sebagai kand id at
doktor b id ang antropologi politik
dan agama di Boston 
 University . Kutipan ini
ada di halaman 182-184:



”Apa yang diwartakan oleh agama (Islam, Kristen dan lainnya) hanyalah
satu sisi saja dari sekian banyak persepsi tentang seks itu atau katakanlah sex
among others. Bahkan jika kita kaji lebih jauh, ajaran Kristen atau Islam yang
begitu ”konservatif” terhadap tafsir teks sebetulnya hanyalah reaksi
saja atas peradaban Yunani (Hellenisme) yang memandang seks secara wajar dan
natural.. Kita tahu peradaban Yunani telah merasuk ke wilayah Eropa (lewat
Romawi) dan juga Timur Tengah di Abad Pertengahan yang kemudian menimbulkan
sejumlah ketegangan kebudayaan. Oleh karena itu t id ak
selayaknya jika persepsi agama ini kemudian dijadikan sebagai parameter untuk
menilai, mengevaluasi dan bahkan menghakimi pandangan di luar agama tentang
seks.



Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan oleh
kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar
sebagai haram, maksiat, t id ak
bermoral, dan seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu
yang given dari Tuhan, melainkan hasil kesepakatan atau konsensus dari
”tangan-tangan gaib” (invisible hand, istilah Adam Smith)
kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan
dalam banyak hal juga merupakan hasil ”perselingkuhan” antara
ulama/pendeta dengan pemimpin politik dalam rangka menciptakan stabilitas.



Saya rasa Tuhan t id ak mempunyai
urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau
keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit
tertuang dalam Alqur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih:
menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan t
 id ak perduli, apalagi masalah seks? Jika kita
mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktik ”seks bebas” atau
praktik seks yang t id ak mengikuti
aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita
tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih
mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas
agama itu.



Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin – seperti yang
dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi –
itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita, sekaligus rapuhnya
fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh,
maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah
bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, h id ung,
tangan, dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi”
bukan ”mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas
masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor”,
tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The
Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: ”Sin
never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The
first fall occurred in the world of angels pure spirit…”



Bahkan lebih jauh, id e tentang dosa
sebetulnya adalah hal-hal yang terkait dengan sosial-kemanusiaan, bukan
ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan
“berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik
atau non-fisik) atas pasangan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut
“pemerkosaan”. Kata ini t id ak
hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga, tetapi juga di dalam
rumah tangga itu sendiri. Seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) dikatakan
“memperkosa” (baik dalam rumah tangga yang sudah diikat oleh
akad-nikah maupun bukan) jika ia ketika melakukan perbuatan seks ada pihak yang
tertekan, tertindas (karena mungkin diintim id asi)
sehingga menimbulkan perasaan t id ak
nyaman. Inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya menolak sejumlah
teks keislaman (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan kepada
perempuan/istri jika t id ak mau
melayani birahi seks suami.

Sungguh teks demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat t
 id ak demokratis, dan karena itu berlawanan dengan
spirit keislaman dan nilai-nilai universal Islam.



Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka,
“demokratis”, t id ak ada
pihak yang “disubordinasi” dan “diintim id asi”?
Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf
kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl, dan sejenisnya?
Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita kesepian
yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen
atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau
seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari
nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul
untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang
“menjual” tangan untuk mengh id upi
keluarga, apakah t id ak boleh seorang
laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk mengh
 id upi anak-istri/suami mereka?



 Ada sebuah kisah dalam sejarah keislaman yang
layak kita jadikan bahan renungan: ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih
mencari pengampunan, kemudian menyusuri padang 
pasir yang tandus. Ia hanya berbekal sebotol air dan sepotong roti. Tapi di
tengah perjalanan ia melihat seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan.
Karena perasaan iba pada anjing tadi, si pelacur kemudian memberikan air dan
roti itu padanya. Berita ini sampai kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan
bijak beliau mengatakan bahwa si pelacur tadi kelak akan masuk surga!



Kisah ini menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa sosial-kemanusiaan
ketimbang urusan perkelaminan…” (***)



Demikianlah gagasan “Islam-progresif” dalam soal kebebasan seksual
yang diungkapkan Sumanto. Memang, sekarang, istilah “Islam
progresif” sedang digandrungi kalangan perguruan tinggi Islam.. Pada Juli
2009, di UIN Jakarta diadakan Konferensi 'Debating Progressive Islam: A Global
Perspective' . Tentu banyak tafsir dan penjelasan tentang makna
“Islam Progresif”. Salah satunya adalah versi Sumanto..



Islam progresif biasanya dimaksudkan sebagai “Islam yang maju”,
sesuai dengan asal kata dalam bahasa Latin “progredior”.
Sebagaimana banyak pemikir yang mengaku progresif, mereka menempatkan Islam
sebagai “evolving religion”, yakni agama yang selalu berkembang
mengikuti zaman. Dalam perspektif ini, Islam juga dipandang sebagai agama
budaya. Karena itulah, t id ak
mengherankan, jika mereka memandang t id ak
ada satu ajaran Islam yang bersifat tetap. Semua harus tunduk dengan realitas
zaman. Agama ditundukkan oleh akal. Salah satu yang banyak dijadikan dasar
pijakan adalah aspek “kemaslahatan” dan sifat Islam sebagai
“rahmatan lil-alamin”. Dengan alasan inilah, berbagai kemunkaran
dan kejahatan bisa disahkan. Tentang keabsahan praktik homoseksual, misalnya,
ditulis dalam buku ini:



“Agama, apalagi Islam, yang mengusung jargon “rahmatan lil
alamin” -- rahmat bagi sekalian alam ini-- harus memberi ruang kepada
umat gay, lesbi, atau waria untuk diposisikan secara equal dengan lainnya.
Tuhan, saya yakin t id ak hanya milik
laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga “mereka” yang
terpinggirkan di lorong-lorong sepi kebudayaan.” (hal. 176). 



Karena berpijak pada realitas dan sejarah sebagai penentu kebenaran -- juga
syahwat atau hawa nafsu – maka teks-teks wahyu, sunnah Rasulullah saw,
dan tafsir wahyu yang otoritatif dikesampingkan. Cara berpikir seperti ini juga
sangat paradoks. Dengan berdalih sikap kritis kepada tafsir Al-Quran dari para
ulama yang otoritatif, banyak kaum yang mengaku liberal dan progresif pada
akhirnya t id ak mampu bersikap kritis
sama sekali pada sejumlah ilmuwan Barat. Mereka sangat ta’dzim dalam
mengutip pendapat-pendapat ilmuwan non-Muslim. Ketika menyimpulkan bahwa dosa
bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh yang
penuh noda, dikutiplah pendapat Paul Evdokimov dengan penuh hormat dan takjub,
bahwa si Evdokimov “telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik.”



Kita sudah sering membuktikan, sikap sok kritis yang diusung oleh kaum yang
menamakan diri liberal dan progresif ini biasanya hanya kritis terdapat
pendapat para ulama yang dianggapnya t id ak
sesuai dengan hawa nafsunya. Dan Allah sudah mengingatkan dalam Al-Quran bahwa,
jika seorang manusia sudah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka akan
tertutuplah hati, telinga dan matanya untuk menerima kebenaran. (QS 45:23).
Orang bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi ilmunya t
 id ak bermanfaat, bahkan bisa merusak.



Karena itulah, untuk menjaga agar ilmu t id ak
merusak, para ulama selalu menekankan pentingnya masalah adab dalam urusan
keilmuan. Dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim wal-Muta’allim,
pendiri NU, Kyai Haji Hasyim Asy’ari mengutip pendapat Ibn al-Mubarak
yang menyatakan: “Nahnu iaa qalilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa
katsirin mina ’ilmi.” (Kami lebih membutuhkan adab, meskipun
sedikit, daripada banyaknya ilmu pengetahuan) .



Demikian pendapat KH Hasyim Asy’ari. Orang yang beradab tahu meletakkan
dirinya sendiri di hadapan Allah, Rasulullah saw, para ulama pewaris Nabi, dan
juga tahu bagaimana menempatkan ilmu. Karena itulah, Al-Quran menekankan
pentingnya ada klasifikasi sumber informasi di antara manusia. Jika sumber
informasi berasal dari orang fasiq (orang jahat, seperti pelaku dosa besar),
maka jangan dipercaya begitu saja ucapannya.
 Ada unsur akhlak yang harus dimasukkan dalam
menilai kriteria sumber informasi yang patut dipercaya. (QS 49:6). Seorang yang
t id ak beradab (biadab) dalam
keilmuan sudah t id ak dapat lagi
membedakan mana sumber ilmu yang shahih dan mana yang bathil.



Soal zina, misalnya. Sebagai Muslim, tentu kita yakin benar bahwa zina itu
tindakan haram dan biadab. Keyakinan itu berdasarkan kepada penjelasan yang
sangat tegas dalam ayat-ayat Al-Quran, banyak hadits Rasulullah saw, pendapat
para sahabat Nabi, dan para ulama Islam terkemuka. Dalam soal zina ini, kita
lebih percaya kepada pendapat para ulama ketimbang pendapat Karl Marx, Paul
Evdokimov, Bill Clinton, atau Ernest Hemingway. Sebagai manusia beradab kita
bisa membedakan, mana sumber informasi yang layak dipakai dan mana yang t
 id ak. Sebab, Allah sendiri membedakan jenis-jenis
manusia. Orang mukmin disebut “khairul barriyyah” (sebaik-baik
makhluk) dan orang kafir disebut “syarrul barriyyah”
(sejelek-jeleknya makhluk) (QS 98). Meskipun sering mengkampanyekan
“kesetaraan semua pemeluk agama”, tetapi faktanya, kaum yang
menamakan diri mereka sebagai pengikut “Islam liberal”,
“Islam pluralis” atau “Islam progresif” juga tetap

menggunakan id entitas Islam. T
 id ak ada yang mau menyebut dirinya
“kafir-liberal” atau “kafir-progresif”.



Sebenarnya, jika kita menelaah pemikiran liberal, dukungan terhadap praktik
seks bebas bukanlah hal yang aneh. Ini adalah akibat logis dari sebuah konsep
dekonstruksi aq id ah dan dekonstruksi
kitab suci. Jika seorang sudah t id ak
percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad saw adalah
utusannya, kemudian dia pun t id ak
percaya kepada otoritas ulama-ulama Islam yang mu’tabarah – seperti
Imam al-Syafii – maka yang dia jadikan sebagai standar pengukur kebenaran
adalah akalnya sendiri atau hawa nafsunya sendiri. Kita paham, masyarakat Barat
saat ini t id ak memandang praktik
seks bebas sebagai suatu kejahatan. Homoseksual juga dipandang sebagai hal yang
normal. Sebaliknya, bagi mereka, praktik poligami dikutuk. 



Nilai-nilai masyarakat Barat yang sekular – t id ak
berpijak pada ajaran agama -- inilah yang sejatinya dianut juga oleh kaum yang
mengaku liberal atau progresif ini. Bagi mereka, seperti tergambar dalam
pendapat Sumanto ini, urusan seks dipandang sekedar urusan syahwat biologis
semata, sebagaimana layaknya praktik seksual para babi, kambing, monyet, ayam,
dan sebagaimana. Seks dianggap seperti soal buang hajat besar atau kecil, kapan
mereka mau, maka mereka akan salurkan begitu saja. Yang penting ada kerelaan;
suka sama suka. Tapi, bagi kita yang Muslim, dan juga pemeluk agama lain, jelas
soal seksual dipandang sebagai hal yang sakral. Karena itulah, agama-agama yang
h id up di
 Indonesia , sangat menghormati
lembaga perkawinan.



Dalam pandangan Islam, jelas ada perbedaan nilai dan posisi antara penis dengan
pipi, meskipun keduanya sama-sama daging. Bagi seorang Muslim, yang menjadikan
“penis” dan “pipi” berbeda adalah nilai-nilai yang
diajarkan oleh Islam. Sebelum zaman Islam, banyak suku bangsa yang masih
memandang sama kedudukan daging wanita dengan daging kambing, sehingga mereka
menjadikan ritual korban dengan menyembelih wanita dan kemudian meminum
darahnya. Seorang Muslim memandang penting perbedaan antara “daging
manusia” dengan “daging ayam”. Daging ayam halal hukumnya
untuk dimakan. Jenazah manusia harus dihormati. Jangankan dimakan dagingnya,
jenazah manusia harus dihormati dan diperlakukan dengan baik.



Jika kaum liberal melakukan dekonstruksi dalam aq id ah
dan nilai-nilai moral, maka akibatnya, pornografi atau seks bebas pun kemudian
d id ukung. Sebab, dalam pikiran
liberal, t id ak ada aturan yang
pasti, mana bagian tubuh yang boleh dibuka dan mana yang harus ditutup. Yang
menjadi standar baik buruk adalah ”kepantasan umum”. Kalau memang
bertelanjang atau beradegan porno sesuai dengan tuntutan skenario dan dilakukan
”pada tempatnya”, maka itu dianggap sebagai hal yang baik. 



Kepastian akan kebenaran dan nilai itulah yang membedakan antara Muslim dengan
kaum liberal. Orang Muslim yakin dengan kebenaran imannya, dan yakin ada
kepastian dalam soal halal dan haram. Hukum tentang haramnya babi sudah jelas
dan tetap haram sampai kiamat. Begitu juga dengan haramnya zina, dan haramnya
perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi). Tapi, dalam perspektif liberal dan
progresif, seperti dipaparkan oleh buku ini, larangan agama terhadap perkawinan
sesama jenis ini pun dianggapnya sudah t id ak
berlaku. Tentang perlunya legalisasi perkawinan sesama jenis, ditulis dalam
buku ini:



”Dan harap diingat, konsep perkawinan dalam suatu ikatan
”sakral” bukan melulu untuk mereproduksi keturunan melainkan juga
untuk mewujudkan keluarga sakinah (ketenteraman/ kebahagiaan) . Maka,
dalam bingkai untuk mewujudkan keluarga sakinah ini seorang gay atau lesbian
harus menikahi sesama jenis. Justru melapetaka yang terjadi jika kaum
gay-lesbian dipaksa kawin dengan lain jenis. Untuk mewujudkan gagasan
perkawinan sejenis ini, maka paling t id ak
ada dua hal yang harus ditempuh: pembongkaran di tingkat wacana keagamaan,
yakni teks-teks skriptural (dalam konteks Islam: teks tafsir dan fiqih
khususnya) yang masih terkesan diskriminatif dan kemudian pembongkaran di
tingkat struktur normatif masyarakat yang masih bias dalam memandang pola
relasi antar-manusia.” (halaman 175).



Berulangkali kita menyerukan kepada kaum yang mengaku liberal, progresif dan
sejenisnya, agar mengimbangi sikap kritis dengan adab.
 Ada adab kepada Al-Quran, adab kepada para
Nabi, adab kepada ulama pewaris Nabi. Sayangnya, buku yang memuat pendapat yang
merusak – seperti dukungan terhadap praktik seks bebas ini -- justru
dipuji-puji dan d id ukung oleh orang
yang seharusnya justru bersikap kritis dan mend id ik
masyarakat dengan akhlak yang mulia.



Di sampul buku bagian belakang, dicantumkan sejumlah pujian. Djohan
 Effendi , pendiri Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP), menyebut buku ini: “sangat inspiratif untuk melakukan
refleksi atas perjalanan umat Islam selama ini. Pendapatan dan sikap kritis
yang ia lakukan merupakan sumbangan yang sangat berarti untuk mendorong
pemikiran progresif di kalangan generasi baru umat Islam yang menginginkan
kemajuan bersama dengan orang dan umat lain.” 



Di tengah upaya kita mend id ik
anak-anak kita dengan akhlak mulia dan menjauhkan mereka dari praktik pergaulan
bebas, kita tentu patut berduka dengan sikap sebagian kalangan yang mengusung
jargon “Islam progresif” tetapi justru memberikan dukungan terhadap
praktik seks bebas semacam ini. Bagi kita, ini suatu ujian iman. Kita t
 id ak bertanggung jawab atas amal mereka.
Mudah-mudahan, dengan bimbingan dan lindungan Allah SWT, kita selamat dalam
meniti keh id upan dan mengakhiri h
 id up kita dengan husnul khatimah. Amin. [Solo, 22
Muharram 1431 H/8 Januari 2010/www.h id ayatull ah.com]

Ilustrasi: Otto Pilny/Fine Art Photographic Library/Corbis 



Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan
www.h id ayatullah. com



Source : http://www.facebook
 .com/album.
 php?aid=2033078&
 id=1014022147&
 saved 







 


-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe



      
-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke