Andiko, iko dari
http://andika-khagen.blogspot.com/2009/02/padang-dan-sejarah-tionghoa.html
ririPadang dan Sejarah
Tionghoa<http://andika-khagen.blogspot.com/2009/02/padang-dan-sejarah-tionghoa.html>

Cina di 1930-an. Pemindahan pedagang dari bagian utara ke selatan terjadi
secara besar-besaran. Kaisar Cina saat itu, Tsi Huang Thi, memakarsai
pemindahan. Dalam buku Lord of The Rims (Taipan dari Pesisir) karangan
Sterling Seagrave, disebutkan empat alasan Kaisar yang berhasil menyatukan
daratan Cina itu melakukan tindakan tersebut. Pertama, Tsi takut dengan ilmu
suap bapak kandungnya, Perdana Menteri Lu Pei Wei, ikut menyebar pada
pedagang yang merupakan pendukung bapaknya. Seperti dikatakan buku tersebut,
Tsi adalah anak hubungan gelap antara Perdana Menteri Lu Pei Wei dengan
selir Kaisar. Lu menaruh gundik yang sudah hamil menjadi selir Kaisar.
<http://3.bp.blogspot.com/_o56A-bibFgA/SZEya_KQcMI/AAAAAAAAAHI/TsBZl1ioEig/s1600-h/IMGP5324.JPG>
Ketika Tsi baru berumur 10 tahun ia diangkat jadi Kaisar. Lu menjadi Perdana
Menteri selama 10 tahun. Dan satu-satunya perdana menteri dari gologan
pedagang selama sejarah Cina.

Alasan kedua, Cina Utara terkenal dengan pertanian. Jadi tindakan itu
merupakan pembersihan terhadap kaum pedagang. Kemudian, kaisar ingin
menumbuhkembangkan populasi orang Cina di Selatan. Alasan terakhir berkaitan
dengan pandangan kaum orthodok Confucianisme yang ternyata memandang rendah
kaum pedagang, menempatkan kaum pedagang dibawah petani: dengan logika,
petani paling tidak masih menghasilkan padi, sedangkan kaum pedagang tidak
menghasilkan apa-apa. Kaisar memerintahkan pemindahan kaum pedagang (dan
teman-temannya) secara besar-besaran ke daerah selatan yaitu (Fu Jian,
Kwang-Tong).

Kaum inilah yang kemudian menyebar ke seluruh dunia yang diperkirakan
mencapai 55 juta orang. Empat persen dari jumlah total seluruh penduduk
negeri yang juga dikenal dengan sebutan Tiongkok.

Namun, penyebaran itu merupakan invansi ketiga masyarakat Cina menuju dunia.
Gelombang pertama dilakukan oleh Zheng He (Cheng Ho) sekitar enam ratus
tahun yang lalu (National Geographic). Laksamana yang diketahui belakangan
beragama Islam, membawa pasukannya menelusuri daerah-daerah selatan.
Buku-buku pelajaran sejarah menyebut ia sempat singgah di Jawa dan membuat
perjanjian dengan raja dan penduduk setempat.

Penyebaran kedua terjadi saat perang opium melanda Cina pada 1840. Dinasti
Qing yang berkuasa mencoba menghentikan opium. Tapi, karena Inggris melihat
potensi besar pada perdagangan ini, mereka malah mengirimkan kapal perang
sebagai jawaban. Cina kalah dan ditandanganilah perjanjian membolehkan
Inggris berdagang candu dan menyerahkan Hongkong dalam pangkuan Ratu
Inggris.

Banyak masyarakat Cina yang melarikan diri dari keadaan sengkarut yang
melanda negerinya. Mereka menyebar ke daerah asia bagian selatan termasuk
asia tenggara. Inilah awal mula teori orang Cina memasuki kawasan Sumatra
Barat.

Sudarma, tetua di sana membenarkan hal itu. "Saya memang kelahiran Padang.
Sudah setengah abad di Padang. Kakek saya punya orang tua, yang disebut
kongconya sudah di Padang. Ibu saya punya orang tua itu dari Tiongkok asli.
Jadi umur 12 tahun dia ikut orang tuanya ke Indonesia. Sebenarnya tujuannya
bukan ke Indonesia. Tujuannya itu mungkin ke Filipina. Tapi karena diserang
badai, terdampar di Bagan Si Api Api. Nah, terus berjalan, akhirnya sampai
di Padang, menetap di Padang," ceritanya.

Bisa jadi, orang tua Sudarma merupakan penduduk yang datang pada gelombang
kedua. Kebenaran fakta itu bisa diperkuat dengan umur Kelenteng See Hin
Kiong yang terletak di Kampung Cina. Dick Halim (80), tetua kaum Cina
memperkirakan klenteng dibangun pada sebelum tahun 1860. Bisa jadi karena
menurut catatan Erniawati, dosen Universitas Negeri Padang yang juga
peneliti masyarakat Cina di Ranah Minang, klenteng pernah terbakar pada
1861. Seorang Mayor Cina yang diangkat oleh Belanda sampai mendatangkan
pekerja-pekerja dari Cina untuk kembali membangun rumah suci itu. “Orang
Islam kemana pergi juga mencari masjid, kan?” ujar Erniwati.
Teori lain mengatakan Cina Padang berasal dari Pariaman. Ernawati, yang
menulis buku Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat,
memperkirakan Orang Cina sudah berada di Pariaman pada abad 13. Saat Aceh
masuk ke Pariaman.

Tidak mengherankan sebenarnya. Pariaman adalah surga bagi kaum pedagang di
zaman itu. Pariaman menjadi pusat dagang di pesisir. Tak heran, pada 1630,
Christine Dobbin, penulis buku Gejolak ekonomi dan Kebangkitan Islam dan
Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847, memperkirakan perkampungan Cina sudah
ada di Pariaman.
Sayang, sebuah peristiwa mengenaskan menjadi pemicu hengkangnya orang Cina
dari Pariaman. Pada masa pendudukan Jepang, seorang Cina membawa dua anak
gadisnya ke kantor Jepang. Penglihatan itu ditanggap lain oleh para pemuda
yang kebetulan melihatnya. Bisik-bisik pengkhianat merebak segera. Dua anak
gadis itu langsung di bawa ke pantai dan dibelek dengan kangso (alat yang
terbuat dari alumunium).
Menurut Erniwati, serangan itu dilakukan tanpa perencanaan. Makanya, alat
yang disiapkan bukan senjata tajam biasanya untuk membunuh. “Lagi pula, itu
hukuman bagi pengkhianat. Tidak orang Cina saja yang merasakan hukuman itu,
pemuka masyarakat yang juga ikut menjadi mata-mata Jepang, mendapat hukuman
yang sama.,” ujar sarjana S-2 jurusan Sejarah UNP ini.

Ketakutan merayapi masyarakat Cina. Berangsur-angsur mereka mulai
meninggalkan Pariaman. Sampai 1965 beberapa orang Cina masih berdiam di
sana. Tapi, memasuki 1967 agak sulit menemukan kaum bermata sipit di
Pariaman. “Karena kejadian PKI atau PRRI,” terang Erniawati. Perlahan orang
Cina berangur pindah ke Padang. Tepatnya, di kawasan pondok saat ini.

Namun, alasan ekonomi bisa juga dijadikan dasar. Pariaman tidak lagi
dianggap ladang yang subur bagi perdagangan mendekati abad ke 19. Sehingga
tidak saja pedagang Cina yang meninggalkan, tapi juga pedagang dari daerah
lain.

Etika Dagang Landasan Hubungan Minang-Cina
Diperkirakan, ada 12 ribu masyarakat Cina tinggal di Padang. Beratus-ratus
marga atau suku yang mendiami. Tapi, hanya delapan suku yang punya rumah
pertemuan. Kedelapannya adalah suku Gho, Lie-Kwee, Tan, Ong, Tjoa-Kwa, Lim
Hwang dan Kho. Marga Kho merupakan marga terakhir yang membangun rumah
pertemuan. “Marga yang lain sedikit jumlahnya. Jadi tidak membangun rumah
pertemuan,” ujar Hanura Rusli dari Keluarga Lie-Kwee. Lie-Kwee saat ini
mempunyai anggota 600 orang. Semuanya berumur di atas 17 tahun.

Sesuai namanya, rumah pertemuan memang digunakan untuk mengadakan
acara-acara yang melibatkan satu keluarga. Misalnya pada Imlek (tahun baru
Cina), Cap Go Meh (hari ke 15 dari perayaan imlek), Kio, Sipasan atau Pek
Chun (hari raya yang memperingati puncak musim panas). Bahkan, pada ulang
tahun ke 140, keluarga Lie-Kwee berencana mengundang seluruh suku Lie-Kwee
yang berada di Indonesia. “Tapi, itu tiga tahun lagi,” ujar Lie Kian Guan
sekretaris sekretaris himpunan keluarga Lie-Kwee.
Kekerabatan memang menjadi nomor satu bagi orang Cina. Dan seperti “adat”
orang Asia Tengah (Jepang dan Korea), mereka sangat menjaga martabat
keluarga. Apabila memalukan, bunuh diri atau dibuang dari keluarga merupakan
hukuman yang pantas. “Di Medan, misalnya banyak yang tidak lagi diakui
keluarga, sampai-sampai dibuatkan iklannya di koran, karena mencoreng aib
keluarga besar, “ terang Hanura.

Mereka sangat menghormati leluhur. Ini merupakan sikap dasar bagi orang
Cina. “Ini dipengaruhi oleh ajaran Confunsius dan Tao yang melekat pada
setiap orang Cina,’ ujar Erniwati.

Satu lagi sikap orang Cina adalah sering melakukan pendekatan kepada
penguasa. Di zaman Belanda mereka dianggap warga kelas dua. Sedangkan
pribumi kelas tiga. Begitu juga di zaman jepang dan Soekarno. Mereka
mendapatkan kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang bahkan pribumi
sekalipun.

Hanya di zaman Soeharto, keran kebebasan orang Cina berdagang sedikit
dibatasi dalam pandangan mata masyarakat. Sebab, beberapa orangCina menjadi
pengusaha sukses seperti Liem Sio Liong (???), pemilik Bank BCA.

Pada zaman Belanda dan Soekarno mereka ditempatkan dengan satu tujuan,
ekonomi. Belanda memukimkan mereka bersama kawasan Belanda, seperti di
kawasan Kampuang Cino agar bisa diawasi dalam mengawasi perdagangan mereka.
Begitu juga Soekarno, mereka di ‘bekap” dalam satu tempat dan hanya
dibolehkan berdagang.

Hal ini, menurut Hanura, ada untung ruginya. Pada satu sisi mereka tercukupi
secara ekonomi, tapi di sisi lain mereka tidak bisa memberikan sumbangan
dalam bidang lain. “Berapa orang PNS yang keturunan Cina?” tanyanya.

Kecemburuan pun menguasai pribumi melihat keberhasilan mereka dalam
berdagang. Tak heran, apabila ada kerusuhan, orang Cina jadi sasaran seperti
peristiwa 1998. “Padahal tidak semua orang Cina kaya. Lihatlah di pasar
Tanah Kongsi,” kata Hanura.
Namun, di Padang benturan keras antar etnis Minang dan Cina tidak terjadi
atau tidak sebesar kota lain. Menurut Erniwati, hubungan unik terjadi antara
keduanya.
Sebagai sesama suku yang kuat berdagang dan punya budaya serta religi yang
kuat, mestinya benturan sering terjadi. “Sepertinya, etika dagang membuat
keduanya saling menghormati,” terang Erniwati.

Etika dagang yang membuat kedua suku berada dalam posisi teman. Sepertinya
wilayah dagang dibagi dua saja. Dagang tingkat nasional dikuasai orang
Minang serta untuk wilayah internasional, Cina lah yang menjadi penguasa.

99% tak Bisa Bahasa Cina
<http://1.bp.blogspot.com/_o56A-bibFgA/SZEt_ccI1iI/AAAAAAAAAHA/NJ_8voiicjo/s1600-h/IMGP5300.JPG>Lepas
dari masa Soeharto, orang Cina menjadi lebih leluasa. Tekanan pemerintah
jauh berkurang. Orang Cina lebih dibebaskan dalam menjalankan ibadah dan
budaya. Tak heran Imlek atau Cap Go Meh terasa lebih meriah dari tahun ke
tahun. “Yang paling menarik itu acara Sipasan. Pada Cap Go Meh kali ini
pertunjukan Sipasan akan berlangsung paling meriah karena Sipasan panjang, “
tutur Xin Xui yang berdagang di depan HBT.

Meski begitu, alkulturasi diam-diam telah berlangsung. Jauh sebelum orang
Cina menarik nafas lebih lega.

‘Buktinya, 99% orang Cina yang tinggal di sini tidak bisa lagi bahasa Cina,”
kata Hanura. Jarak yang jauh dari tanah nenek moyang, serta memori yang
terbatas membuat pelan-pelan budaya Cina mulai terlupakan. Banyak penduduk
di Pecinan Padang terkaget-kaget ketika Erniwati menyebutkan tradisi-tradisi
Cina yang sama sekali tidak pernah didengar. Bahasa yang dimunculkan pun
terkesan lucu. Pasar Tanah Kongsi bisa jadi saksi alkulturasi bahasa. Jika
berada di sana, bahasa Melayu-Tionghoa terdengar di sana-sini. Pigi mana lu
(mau kemana), kecik telok gedang (air kecil telur besar, sejenis ungkapan),
nya ndak mau o (ia tidak mau), misalnya.
Untuk menipiskan jarak, upacara-upacara, peringatan-peringatan keagamaan
diusahakan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Walau untuk itu hanya
menuliskan huruf-huruf Cina tanpa mengerti artinya. “Ndak tau ambo, do,”
kata Hanura ketika ditanya maksud tulisan yang tertera di lampion.

Saat diwawancarai Hanura sedang mempersiapkan acara perarakan kio pada kamis
(5/2) lalu. Sebuah acara berbau mistis seperti dabuih di Pesisir. Tujuannya
pada leluhur. Kio diarak menuju rumah-rumah marga yang lain. “Untuk
silaturahmi,” ujar Arif Rusdi Rusli, Jiko (wakil) dari keluarga Lie dan
Kwee.

Selain itu, Sipasan menjadi kesenian unik di Kampung Cina. Bahkan menurut
Hanura, kesenian tidak dijumpai di pecinan lain di Indonesia.

Sewaktu hari Ibu, masyarakat Cina mengadakan lomba unik. Lomba memakai baju
marapulai minangkabau. Beragam pula variasinya. Ada pakaian pengantin
Sawahlunto, Bukittinggi, Payakumbuh,” ujar Hanura yang kebetulan mendapat
pakaian pengantin dari Padang.

Dari situ juga ia baru tahu bahwa secara budaya ada persamaan yang sangat
kentara antara budaya Minang dengan Cina. “Terutama pakaian pengantin. Dan
kata telong dalam sebuah pantun punya kemiripan dengan tenglong (lampion).”
Erniwati membenarkan kemiripan itu walau menyebut hal ini agak sensitif
untuk masyarakat Minang.

Perubahan lain yang nampak adalah orang Cina sekarang tidak lagi tertutup
untuk menerima anggota dari luar etnis. Bahkan, banyak pemain liong atau
barongsai berkulit coklat. “Bahkan ada yang Islam,” terang Hanura.

Tak heran kalau ada acara barongsai, tidak semua pemainnya berkulit kuning.
Mata belo juga muncul begitu kepala bermunculan dari balik barongsai.
Tidak bisa diraba kapan “musim semi” ini akan berakhir. Erniwati yakin bahwa
masyarakat Cina di Padang tidak akan mendapat gangguan secara politis dan
tekanan yang berlebihan dari etnis Minangkabau. (Yusrizal KW/Andika Destika
Khagen/S.Metron M/Esha Tegar Putra/Gus RY)

Padang ekspres, 8 Februari 2009

2010/2/13 andikoGmail <andi.ko...@gmail.com>

> Sanak Palanta
>
> Ado nan tahu baa bana sejarah urang katurunan Tionghoa di Minangkabau ?
>
> Salam
>
> Andiko Sutan Mancayo
>
>
>

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke