CP.. iko artikel tentang Mamak dari Buya Mas'ed Abidin, mohon maaf ko alah ado nan mambaco.
======== MAMAK (Ninik Mamak Nan Gadang Basa Batuah) Dalam kamus karangan Soetan Pamoentjak BP - 1934 arti kata: Mamak = saudara ibu yang laki-laki atau paman; abang, kakak (Matur); Niniak = nenek; niniak muyang = nenek moyang; Mamak Niniak (Ninik Mamak) = Penghulu-Penghulu Adat dan orang tua-tua. "Indak baniniak mamak" (tidak berninik mamak) berarti tidak ada "ninik mamak" yang mengajari, karena itu ia dikatakan tidak tahu di adat, tidak tahu di aturan atau tidak tahu bersopan santun. Di Minangkabau "mamak" dijadikan pula panggilan atau sapaan terhadap pria yang lebih tua yang dikenal atau bukan. Misalnya "kama mak" (ke mana mamak) atau "makan mak" (mari makan mamak), yaitu sapaan basa-basi tatkala akan menyuap nasi mengajak makan seseorang laki-laki entah siapa di sebuah lepau nasi, tidak perduli apakah ia seorang berpangkat atau tukang dorong gerobak sekalipun. Dahulu di Padang Panjang ayah pelukis terkenal Maria Tjui disapa orang dengan "Mak Lauih", padahal ia keturunan Cina. Demikian pula sebaliknya yaitu sapaan atau basa-basi dari yang lebih tua kepada yang muda. Misalnya makan nakan (maksudnya hai kemenakan, mari makan) dst. Tampak bahwa sapaan terhadap laki-laki yang lebih tua dengan mamak, menunjukkan keakraban pergaulan dalam masyarakat Minangkabau. Orang yang lebih tua dihormati dan dianggap pemimpin atau sebagai mamak pula, sesuai ungkapan kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja kepada yang benar dan kebenaran itu berdiri sendiri. Hidup Berkaum-Kaum Sejak dari jaman dahulu orang Minangkabau hidup berkaum-kaum. Mereka hidup tidaklah sendiri-sendiri apalagi bernafsi-nafsi. Hidup orang Minangkabau bukanlah dengan anak isterinya saja atau dengan kata lain mereka tidak hanya mementingkan atau mengutamakan anak dan istrinya belaka. Laki-laki Minangkabau jika telah beristri atau menjadi semenda ke kaum atau suku lain, tidaklah ia keluar dari kaum atau sukunya. Selain menanggung beban penghidupan untuk anak-istri, juga untuk keluarga dalam sukunya. Beban ini disebutkan dalam adat: "Keluk paku kacang belimbing, anak dipangku kemenakan dibimbing". Jadi tidaklah putus hubungan dengan kaumnya manakala ia menikah, karena kepentingan kaumnya dibantu dan diurus pula. Mamaklah yang menanggung baik-buruk dan keselamatan kemenakan. Di jaman "tempo doeloe" misalnya, kalau kemenakan (yang perempuan) tidak mempunyai rumah, dibuatkan rumah, jika tidak bersawah dipagangkan sawah. Kalau seorang mamak tidak berkemenakan yang kandung, maka kemenakan yang bersaudara ibu atau bersaudara ninik asal seketurunan setali darah yang dihampirkan. Dalam adat disebut: "Menghidupkan api yang padam". Seterusnya, sungguhpun seorang wanita itu telah bersuami, tidaklah ia lepas dari penilikan dan penjagaan mamak, misalnya waktu berkerja di sawah atau ladang, ditolong juga oleh mamak. Singkat kata dalam mencari penghidupan sehari-hari, wanita-wanita yang telah bersuami itu ditolong juga oleh mamaknya. Konon sang wanita itu seorang janda, dalam hal ini bukan hanya mamak kandung, mamak-mamak dalam kaum dan payung pun sering pula memberikan pertolongan. Adapun mamak yang disebut tungganai* rumah atau mamak kepala waris, sebenarnya merupakan direktur dari fonds harta pusaka. Selaku direktur fonds itulah ia wajib berusaha menukuk menambah harta pusaka kaum mereka, karena kaum tersebut dipastikan bertambah karena kelahiran. Dengan ujung harta pusaka itu pulalah sang mamak mendirikan rumah untuk kemenakan yang perempuan, termasuk biaya mengawinkan mereka. Karena itu menurut ajaran adat Minangkabau harta pusaka dilarang digolok digadaikan, dihilang dilenyapkan, terkecuali untuk hal-hal tertentu seperti mempersuamikan seorang gadis yang telah besar, mayat terbujur di tengah rumah dsb. Bertali Darah Dan Harta Sebagaimana dikatakan di atas, hidup orang Minangkabau itu berkaum-kaum. Yang dikatakan sekaum itu, ialah yang seperut, serumpun, seharta pusaka, sependam pekuburan, ialah mereka yang setali darah, satu keturunan yang dahulunya berasal dari seorang perempuan. Lama berkelamaan kaum itu berkembang biak, ada yang tetap satu mamak kepala waris atau tungganai rumah dan ada pula yang telah terbagi menjadi beberapa mamak kepala waris. Karena itu pusaka terbagi-bagi pula berjurai-jurai. Pangkat Ninik Mamak atau Penghulu* adalah dari orang yang sekaum, serumpun, seharta pusaka, dan sependam sepekuburan. Jadi pangkat itu bertali darah dan harta. Penghulu itu ada pula yang menjadi mamak kepala waris jika ia seorang mamak tertua dalam kaumnya. Tidaklah semua penghulu yang menjadi mamak kepala waris. Penghulu yang menjadi mamak kepala waris selain berkuasa dalam adat, berkuasa pula terhadap harta pusaka kaumnya. Sebuah kaum yang kemudian menjadi beberapa jurai yang masing-masingnya mempunyai mamak pula yakni tungganai rumah, mereka ini dijaga dan ditilik oleh penghulu, agar mamak-mamak itu (para tungganai) tidak leluasa saja menggadaikan harta pusaka kaumnya. Harta pusaka itu baru sah digadaikan, jika sekata kaum laki-laki dan perempuan dengan seizin mamak kepala waris dan seizin penghulu. Jadi menurut sepanjang adat, mamaklah yang menjaga keselamatan anak kemenakan dalam sebuah-sebuah rumah, sedangkan penghulu menilik dan memperhatikan penjagaan oleh mamak-mamak tersebut. Singkat kata penghulu berkerja sama dengan segala mamak dalam kaumnya demi keselamatan anak buah. Selain orang sekaum yang disebutkan di atas ada kaum lain yang datang kemudian yang satu pula tungganai rumahnya. Sungguhpun kaum yang datang itu tidak berhak dalam pangkat adat, akan tetapi mereka sehina semalu, seberat seringan dengan kaum asal tersebut. Jika tumbuh malu atau aib pada kaum yang datang, tiadalah mereka saja yang menanggung malunya, kaum yang asal pun menanggungnya pula, sungguhpun mereka berlainan keturunan dan tidak setali darah. Jadi orang yang sepayung satu penghulu itu, walau berlain keturunan, mereka sehina semalu. Jadi bagi orang sesuku berlaku ungkapan: "Suku yang tidak boleh diasak, malu yang tidak boleh diagih". Adapun kewajiban kemenakan kepada mamak dan penghulunya disebutkan oleh ungkapan: "Pergi bertanya, pulang berberita". Apa-apa yang akan dikerjakan, misalnya beristri atau bersuami harus seizin mamak dan penghulu. Demikian pula jika merantau ke negeri lain "mancarikan pungguang nan indak basaok, kapalo nan indak batutuik" (Mencarikan punggung yang tidak bersahap, kepala yang tidak bertutup). Jika seorang mamak sakit di rumah istrinya, harus dikunjungi oleh para kemenakan baik yang laki-laki maupun perempuan. Kalau penyakit mamaknya dirasa akan larat atau diperkirakan lama akan sembuh, maka dibawalah ke rumah kemenakannya yang perempuan. Di rumah inilah diurus makan-minumnya dan juga pengobatannya. Andaikata mamaknya itu meninggal dunia diselamatkan, kalau sembuh dibayar kaul. Penghulu Yang Merantau Sebagaimana diketahui, kewajiban seorang penghulu nagari di Minangkabau menurut sepanjang adat "tempo doeloe" antara lain ialah: q Penghulu itu menghukum sepanjang adat. q Penghulu itu menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat. q Penghulu teguh di adat. q Penghulu tegak di pintu adat. q Kata penghulu menyelesaikan. Kalau kusut diselesaikan, jika keruh menjernihkan. Kata adat pula, kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu dan penghulu beraja kepada mufakat. Penghulu itu tumbuah dek ditanam, tinggi dek dianjung, gadang dek diambak (Penghulu tumbuh karena ditanam, tinggi karena dianjung, besar karena diambak). Maksudnya seorang penghulu itu ada atau lahir karena kaumnya, tinggi karena didukung kaumnya dan besar kerena dibesarkan oleh kaumnya. Lalu bagaimana dengan penghulu yang tidak berdiam atau berdomisili dinagarinya lagi. Misalnya sudah pindah ke nagari lain atau merantau jauh ke negeri orang, apakah penghulu itu masih boleh atau dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan martabat kepenghuluan yang disandangnya? Tidak berdiam atau tidak berdomisili lagi di nagarinya dapat diartikan: 1. Merantau ke nagari lain, namun masih di lingkungan alam Minangkabau. 2. Merantau jauh ke luar alam Minangkabau. Jika seseorang yang menyandang gelar penghulu meninggalkan nagarinya, akan tetapi masih seputar alam Minangkabau, belumlah boleh dikatakan ke luar dari nagarinya. Sebab alam Minangkabau ber-Luhak Nan Tiga dan ber-Laras Nan Dua1, itulah nagari para penghulu dan mereka seandika semuanya. Akan tetapi jika penghulu itu sudah ke luar dari alam Minangkabau, maka ia tidak lagi memakai Adat Minangkabau, melainkan adat negeri rantau yang didiaminya itulah, seperti kata orang tua-tua "di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung, di situ air disauk, adat di negeri itulah yang dipakai". Sebenarnya Kepenghuluan Minangkabau itu tidak ada yang merantau. Misalnya jika merantau seorang dua penghulu dalam sebuah suku suatu nagari, dansanaknyalah yang memikul beban adat kaumnya. Penghulu yang sesuku atau yang bertali adat dengan yang pergi, sekali-sekali tidak boleh mengelak beban atau tugas adat dalam kaum atau sukunya. Walau berat mesti dipikul, ringan mesti dijinjing, sebab awak sekaum atau sesuku. Bagi yang sesuku itu "malu nan indak buliah diagiah, suku nan indak buliah diasak (Malu yang tidak boleh diagih, suku yang tidak boleh diasak). Sedangkan penghulu-penghulu suku lain di nagari itu tidak mau tahu dengan penghulu yang berjalan itu, melainkan dengan penghulu-penghulu dalam suku penghulu yang berjalan itulah, meski yang berjalan itu tatkala akan merantau dengan rundingan atau setahu penghulu-penghulu suku lain atau pun tidak bapai batinggalah (berpergi bertinggallah) alias menyelong saja. Lalu bagaimana jika semua penghulu dari satu-satu suku sebuah nagari pergi merantau. Siapakah yang akan menggantikan penghulu yang tumbang lelang ke rantau tersebut? Dalam keadaan seperti ini beban tersebut dipikul oleh tungkek penghulu (panungkek = seorang Datuk pembantu penghulu yang kelak akan menggantikannya) yang merantau tersebut. Dalam kerapatan adat nagari sang panungkek hanya mewakili dan mendengar saja. Ia baru boleh mengeluarkan buah pikirannya bila diizinkan oleh kerapatan. Selanjutnya, jika penghulu yang merantau itu di negeri orang saja dan tidak pernah atau jarang menghadiri rapat adat atau apa-apa yang dibuat orang dinagarinya, adakah senang hati para penghulu yang ditinggal dikampungnya yang selalu memikul beban yang merantau itu, walau tatkala akan merantau dulu ada bapai jo batinggalah (berpergi bertinggalah)? Sudah barang tentu penghulu yang dikampungnya tidak akan mau selamanya memikul beban orang yang tidak pernah atau jarang menghadiri kerapatan di nagari mereka. Sebagaimana dikatakan di atas, kalau sang penghulu itu berjalan masih dalam negeri yang dilingkung Adat Minangkabau, belumlah boleh dikatakan keluar dari nagarinya, sebab Minangkabau berluhak nan tigo berlaras nan duo (berluhak yang tiga berlaras yang dua), itulah nagari-nagari penghulu dan mereka seandika semuanya. Mereka itu seadat sepusaka, kemana saja mereka pergi di alam Minangkabau ini, adat Minangkabau juga yang dipakainya. Jauah mancari suku, ampia mancari indu (Jauh mencari suku, hampir mencari hindu), kata peribahasa. Maksudnya jika telah jauh pertalian keluarga dicari yang sesuku, bila dekat dicari pertalian induk (ibu). Jadi berlainan dengan para penghulu yang telah keluar alam Minangkabau, mereka tidak memakai adat Minangkabau lagi, melainkan adat di mana ia bertempat tinggal sekarang, sesuai dengan pepatah "di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung". Catatan: 1. Kini di kawasan yang masa dahulu disebut "rantau" seperti Pariaman dll, orang sudah bertegak "penghulu nagari" pula. Jadi ungkapan "luhak berpenghulu rantau beraja' sudah tidak tepat lagi.- -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe