Ambo setuju bana jo Usul Uda Zorion Anas ko,  marilah kito dukuang basamo 
samo....




________________________________
Dari: Anzori <anz...@yahoo.com>
Kepada: rantaunet@googlegroups.com
Terkirim: Sen, 13 September, 2010 08:52:38
Judul: Re: Fw: [...@ntau-net] Kegagalan KKM atau Belum? ---> Aaa Juo Lai....????


Kalau KKM gagal, sebaiknya Gebu Minang mambuek 3M, Musyawarah Masyarakat 
Minangkabau nan scopenyo labiah gadang melibatkan semua tokoh di kampuang dan 
di 
rantau. Jadi indak usah manyabuik kato "Kebudayaan "lai. 
 Zorion_Anas 
(54+)
http://minangmaimbau.blogspot.com
http://zorionanas.blogspot.com
http://www.visitpadang.com
anz...@yahoo.com, zori...@gmail.com, 
Cel./HP No. :081384611336




________________________________
From: Abraham Ilyas <abrahamil...@gmail.com>
To: rantaunet@googlegroups.com
Sent: Mon, September 13, 2010 8:26:16 AM
Subject: Re: Fw: [...@ntau-net] Kegagalan KKM atau Belum? ---> Aaa Juo 
Lai....????

Dunsanak di palanta nan ambo hormati.

Artikel di bawah iko nan ditulih oleh anak mudo mungkin rancak dibaco oleh 
Dunsanak yang pro maupun nan kontra KKMK di kutip dari 
http://www.padangmedia.com/index.php?mod=artikel&j=4&id=323


RANTAU TAK USAH PIKIRKAN RANAH: 
Refleksi Atas “Pembatalan” Kongres Kebudayaan Minang
oleh: Anggun Gunawan

Budaya | Rabu, 08/09/2010 23:48 WIB
Rapat antara utusan Rantau (Gebu Minang) dengan kalangan budayawan, LKAAM, MUI, 
pers Sumatera Barat Jumat siang (3 September 2010) di gubernuran akhirnya 
menghasilkan suara bulat: menolak dilaksanakannya Kongres Kebudayaan Minang 
(KKM) yang dibesut oleh Gebu Minang. (Padang Media, Sabtu 4 September 2010)… 


Begitulah perkembangan terakhir yang penulis peroleh dari salah satu media 
online terkemuka di Sumatera Barat, Padang Media, 2 hari yang lalu. 

Rencana para perantau Minang yang tergabung dalam Gebu Minang untuk mengadakan 
Kongres Kebudayaan Minang 23-24 September 2010 yang akan datang besar 
kemungkinan akan dibatalkan. 


Aku sebagai anak muda Minang yang telah bersiap-siap membeli tiket pesawat 
selepas lebaran nanti demi menyaksikan Kongres Kebudayaan Minang Kedua (yang 
konon merupakan peristiwa bersejarah kedua setelah Kongres Kebudayaan I yang 
diadakan 39 tahun lalu, dimana masih ada Buya Hamka dan Bung Hatta sebagai 
pembicara – Cerita di balik ringan seputar KKM I itu bisa dibaca pada buku 
Kenang-Kenangan 70 tahun Buya Hamka) , mungkin termasuk yang kecewa jika memang 
akhirnya memang harus dibatalkan. 


Terus terang aku adalah generasi yang tak mengenal adat. Aku tak mengenal peran 
mamak kecuali beberapa kali mamak-ku yang tak pernah kuliah harus kehilangan 
akal berdebat dengan Ayahku, seorang doktorakdus IAIN. Sementara mamak-mamak-ku 
yang lain, lebih sibuk di rantau karena di kampung hidup melarat. 


Ayah lebih mementingkan pendidikan formalku dibandingkan menerangkan 
masalah-masalah adat, meskipun aku tahu sedikit banyak beliau mengerti tentang 
hal itu. Buku-buku tentang adat di rumahku hanyalah buku “Budaya Alam 
Minangkabau” dan “Kesenian Alam Minangkabau”, buku wajib yang dianjurkan dibeli 
oleh guru di SMP saat kedua pelajaran itu menjadi Muatan Lokal di sekolah. 
Mungkin karena bujukan Buk May, Guru Geografi-ku saat SMA, yang kala itu 
merekrut beberapa siswa untuk bergabung di Group Randai SMA 1 Kota Solok, 
akupun 
bisa berkenalan dengan sedikit pepatah-petitih Minang yang dibawakan lewat 
drama 
teaktrikal Randai. 


Ketika “terdampar” di Jogja, sebuah kota kecil majemuk tempat pertemuan 
berbagai 
suku bangsa di Indonesia, aku tersadar dengan sebuah identitas budayaku, ORANG 
MINANG. Suku bangsa yang begitu dihormati karena sejarah intelektual dan 
keIslamannya. Ketika mengenalkan diri sebagai Orang Minang, sontak saja warna 
suara teman bicaraku berubah. Ada aura penghormatan, ada kekaguman, yang 
kemudian diikuti antusias untuk menanyakan lebih jauh tentang MINANG. Pada 
titik 
diskusi inilah, aku merasa kehilangan informasi untuk mendeskripsikan Minang 
kepada mereka, hingga mulai saat itulah aku mulai rajin mencari buku-buku 
Minang 
baik di Perpustakaan Kampus ataupun minta tolong dibelikan kepada teman-teman 
yang stay di Padang. Lewat buku-buku yang terbatas itulah aku memberikan 
penjelasan kepada “the others” dan membuat makalah-makalah berbau filsafat 
tentang Minang di kelas-kelas kuliah Fakultas Filsafat UGM yang beberapa tahun 
ini memang senang dengan tema-tema Lokal Wisdom. Beberapa minggu yang lalu, aku 
terlibat dalam pengeditan Disertasi dosen Filsafat UGM yang mengulas tentang 
Falsafah Minangkabau, “Menjadi Orang dalam Filsafat Alam Takambang Jadi Guru 
Minangkabau”. 


Kembali pada perbincangan “Kegagalan KKM”, paling tidak ada beberapa 
argumentasi 
yang dilontarkan oleh Kubu Kontra KKM (LKAAM Sumbar, Dewan Kesenian Sumatera 
Barat (DKSB) dan ninik-mamak, anak-kemenakan urang Minang yang tergabung dalam 
Gerakan Menolak Kongres Kebudayaan Minangkabau -GM-KKM-): 


1. KKM Ingin Mengembalikan Orang ke Titik Nol 

“Ikrar tersebut jelas sebuah tindakan yang kurang ber-adab karena ingin 
memposisikan Minangkabau kembali pada titik nol. Padahal orang Minang di setiap 
nagari sudah meyakini, sepakat dan menjalankan ABS, SBK sejak empat abad silam. 
Kita memaknai mereka, melalui KKM yang diprakarsai bukan oleh orang Minang yang 
ada di ranah-minang, ingin me-Minang-kan orang Minang, “ 


2. Berpotensi Menciptakan Konflik Vertikal dan Horizontal 

Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010 mengagendakan pembentukan Forum Adat dan 
Syara’ (awalnya konseptor KKM ingin membentuk Majelis Adat dan Syara’). Lembaga 
baru ini sebagaimana AD/ART yang sudah disiapkan, akan dibentuk secara hirarkis 
mulai tingkat propinsi, kota/kabupaten, kecamatan sampai ke nagari-nagari. 
Pranata adat Minangkabau yang ada di setiap nagari seperti Karapatan Adat 
Nagari 
dan Majelis Ulama Nagari, akan terganggu dengan munculnya Forum Adat dan 
Syara’. 


“Jadi, Forum yang dibuat melalui kongres nanti sangat potensial menciptakan 
konflik internal dan horizontal di wilayah kebudayaan Minangkabau. Selain itu, 
membaca misi dan fungsi, Forum Adat dan Syara’ ini bisa dimanfaatkan untuk 
kepentingan politik kekuasaan.” 


3. Penyeragaman Nilai-Nilai Adat Salingka Nagari dan Peserta Tidak 
Representatif 


Konsep pikiran penggagas kongres menyeragamkan nilai-nilai adat dan budaya 
Minangkabau tanpa mempertimbangkan Adat Salingka Nagari, Pusako Salingka Kaum. 
KKM juga mencampurbaurkan antara wilayah adat/kebudayaan Minangkabau dengan 
wilayah administrasi Provinsi Sumatera Barat. 


“Lanjutan dari cara pikir yang tidak memahami karakter adat/nilai/tatanan 
Minangkabau, kongres yang potensi diarahkan untuk mengubah Minangkabau secara 
revolutif, pesertanya tidak mencerminkan representasi ninik mamak dan 
perwakilan 
masyarakat adat dari nagari-nagari yang ada. 


Justru yang akan diundang adalah aparatur pemerintah mulai dari Gubernur, 
Walikota/Bupati, anggota DPRD kota/kabupaten di Sumbar dan dari nagari akan 
dihadirkan 2 orang wakil dari unsur tungku tigo sajarangan, bundo kanduang dan 
generasi muda.” 


Selain ketiga alasan itu, saya juga mendapati beberapa testimoni yang 
menguatkan 
penolakan terhadap terselenggaranya KKM: 


Wisran Hadi (Budayan Terkemuka Minang) dengan tegas mengatakan bahwa kongres 
yang akan dilaksanakan itu tidak relevan dengan apa yang sesungguhnya 
dibutuhkan 
rakyat Sumatera Barat saat ini. 


Seniman Senior Darman Moenir: “Justru menimbulkan kekisruhan dan perpecahan 
yang 
memburukan citra Minangkabau. Itu dapat dilihat dari berbagai caci maki yang 
dialamatkan ke pemangku adat maupun kepada kalangan perantau sendiri di 
internet.” 


Wartawan senior Khairul Jasmi: Orang rantau terlalu over estimet dalam melihat 
persoalan di kampung halaman. Kekhawatiran mereka akan pelaksanaan ABS-SBK 
terlalu berlebihan. Soal adat kan sudah ada fatsoennya bahwa itu berlaku untuk 
selingkar nagari. Lain nagari lain adatnya. “Jadi bagaimana mungkin kongres 
akan 
menggeneralisir menjadi satu ketentuan yang bersifat Sumatera Barat atau bahkan 
Minangkabau.” 


Dibalik semua itu, saya berpikiran bahwa alasan utama penolakan bukanlah 
terletak kepada semangat perbaikan untuk kampung yang diusung oleh Gebu Minang 
sebagai orang rantau penggagas KKM, tapi 2 motif psikologis: 


Indikasi “Misi Politis” Gebu Minang yang berujung pada pelengseran dominasi 
kekuasaan kaum adat yang mendominasi pranata-pranata sosial saat ini di 
Minangkabau. Gelombang ini kentara terlihat pada niniak mamak pemangku adat 
yang 
saat ini begitu diistimewakan lewat Undang-Undang Otonomi Daerah. 


Ketakutan tanpa alasan, karena gejala ini sudah tampak jelas ketika perhelatan 
Pilkada digelar di Sumatera Barat. 


Dimana orang-orang sukses Rantau kembali ke kampung, turut bertarung 
memperebutkan posisi-posisi strategis pemerintahan. 


Tapi apakah misi politis serupa juga dimiliki oleh bapak-bapak sepuh di Gebu 
Minang? Yang umurnya saja (maaf) tinggal menghitung hari?? 


Akumulasi kemarahan atas apatisme orang Rantau selama ini larut gelimang 
kekayaan baru dan status baru di Rantau hingga mengabaikan kondisi kampung 
halaman (bukan pengabaian dari sisi ekonomi tapi secara religi-sosio-kultural) 
yang telah berlangsung beberapa dekade. 


Fenomena ini akan tampak jelas pada lingkaran intelektual, budayawan, dan 
seniman yang terengah-engah, bahkan hampir kehilangan nafas berjuang 
“sendirian” 
tanpa dipedulikan orang Rantau demi mempertahankan eksistensi adat dan falsafah 
Minangkabau yang didera perubahan revolutif zaman. 


Tentu mereka akan bertanya-tanya, “Ketika masa sulit dulu, kemana perginya 
orang 
Rantau? Saat jalan untuk membangkitkan “batang tarandam” sudah terbuka lebar, 
kenapa pula orang Rantau terlihat lebih sibuk dari kami yang dulu telah susah 
payah berjuang?” 


Sebenarnya, kalau dikaji secara akademis-intelektual tidak ada masalah dengan 
tema-tema yang telah dirumuskan oleh panitia KKM. 


Semua kajian bisa didiskusikan dan diperdebatan lewat “basilek lidah”, 
keterampilan alamiah yang dimiliki oleh setiap orang Minang. 


Bahkan mungkin Orang Ranah lebih berpeluang memenangkan perdebatan karena 
“pemahaman natural” mereka akan adat lebih kuat dibandingkan Orang Rantau. 


Tapi kenapa sesuatu yang sebenarnya konstruktif untuk perbaikan Minangkabau 
harus digagalkan oleh sesuatu substantif? 

Kenapa pula Orang Ranah begitu reaktif pada acara yang sebenarnya bisa 
dikatakan 
sebagai “ceremony” belaka karena begitu banyak seminar dan kongres yang 
hasilnya 
terbang berlalu begitu saja seiring penutupan yang meriah? 


Maka, atas dasar analisis itu penulis berpendapat bahwa MOTIF PSIKOLOGIS-lah 
yang menjadi “pangkabala” semua itu. 


Jika sudah berkelibat dengan perasaan, maka alamat kusut akan susah diurai. 
Apalagi melihat kuatnya budaya egaliterian orang Minang yang tidak ingin kalah 
satu langkahpun. 


Tak ingin diinjak-injak selunak apapun, tak ingin dilecehkan sedikitpun. Harga 
diri orang Minang terlalu kuat, hingga lebih baik badan melarat daripada muka 
tercoreng arang. 


Luka di tubuh bisa diobati, tapi luka di hati entah kemana obat dicari. Apabila 
rekonsilisasi perasaan tidak segera dilakukan maka hubungan Kampung dan Ranah 
akan semakin memburuk. Orang-orang Kampung akan terus merasa pintar mengurus 
Ranah tanpa bantuan orang Rantau. Orang-orang Rantaupun akan semakin enggan 
memikirkan kampung karena tak pemikiran mereka tak terpakai di kampung. 


Jika sudah begini yang kasihan adalah anak-anak muda generasi penerus 
Minangkabau. Masih beruntung jika mereka masih mau berusaha mencari identitas 
diri. Tapi, jika merekapun sudah tak mau bersusah-susah memikirkan jati diri 
etnisitas, alamat Minang hanya tinggal nama saja. 


Sedikit saya hanya ingin mengajak kita merenung bersama. Cubalah lihatlah 
makam-makam orang-orang besar Minang yang telah tertulis namanya dengan tinta 
emas sejarah. Nama-nama yang begitu dibangga-banggakan namanya saat ini. 
Menjadikan kita sebagai suku bangsa yang dihormati sebagai suku bangsa di 
wilayah nusantara ini. Sebutlah Buya Hamka, Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Agus 
Salim, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Mohammad Natsir, apakah mereka di 
kubur di ranah Minang? Apakah mereka menghabiskan hari tuanya di ranah Minang? 
Ternyata tidak. Mereka “terluntang-lantung” di rantau. Sampai akhirnya 
menghembuskan nafas di rantau. Bukan karena tak sayang kampung, tapi hidup 
mereka telah diabdikan untuk sesuatu yang lebih besar. Demi bangsa dan agama. 
Tapi, meskipun demikian, MEREKA TETAP MINANG. Masih tersurat kata-kata Minang 
dalam tulisan-tulisan abadi yang mereka tuliskan. 


Bagiku Minang adalah darah. Yang tak akan terputus sampai generasi terakhir 
sampai kiamat datang menjelang. Ia akan tetap hidup meski harus bertarung 
dengan 
perubahan. Ia akan tetap harum oleh generasi-generasi terbaiknya yang terus 
hadir sepanjang zaman. 


Oleh karena itu, MARILAH BERSATU MINANGKU. LEBURLAH SEKAT RANAH DAN RANTAU… 
KARENA KITA HANYA SATU, ORANG MINANGKABAU… 


*) penulis adalah putra Minang alumni Fak Filsafat UGM Yogya 

Catatan: tambahan image dan bold dari AI

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.


-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.


-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke