Assalamu Alaikum W. W.
Nampaknyo ananda Sutan Lembang Alam iko diagiah suatu kemampuan oleh Allah SWT 
sabab sudah sajo CERPEN baliau ko mako tajadi gampo. Alhamdulillah lai indak 
saparah nan 30S2009. 

 Hayatun Nismah Rumzy 




________________________________
From: Muhammad Dafiq Saib <stlembang_a...@yahoo.com>
To: rantaunet@googlegroups.com
Sent: Mon, October 25, 2010 9:45:01 PM
Subject: [...@ntau-net] Cerpen 'GEMPA'


Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

Ee..... alah lamo sangaik lo indak manulih... Ko ado lo carito malakik mato 
mangantuak.....


GEMPA
 
Jam sembilan pagi. Matahari bersinar cerah mengusir embun dan udara dingin. 
Sinar matahari itu terasa enak menghangatkan badan. Malin Marajo, petugas 
mesjid 
sedang membersihkan kolam besar di belakang mesjid. Mengais dan membuang 
kumpulan kalayau sendok atau enceng gondok kata orang di Jawa. Kalau tidak 
segera dikeluarkan tumbuhan itu akan berkembang biak dengan cepat menutupi 
permukaan kolam dan pada gilirannya akan mengganggu kehidupan ikan-ikan di 
dalam 
kolam. Ikan mas, mujair dan gurame. Ikan-ikan yang merupakan cadangan dana 
mesjid. Kalayau sendok itu ikut masuk kolam bersama air bandar, entah dari mana 
asalnya.
 
Kak Zahara, seorang pedagang beras bersiap-siap akan menjemur padi di pagi hari 
itu. Wanita separuh baya itu biasa menjemurnya di pekarangan mesjid yang rata 
dan luas. Kak Zahara memergoki setumpuk kalayau sendok yang baru saja diangkat 
Malin Marajo tergeletak di tepi kolam dekat tempat dia biasa menjemur padi. Kak 
Zahara langsung mengingatkan.
 
‘Jangan di sana diletakkan kalayau itu Marajo. Tidak elok dipandang dan 
sebentar 
nanti dia akan berbau busuk,’ katanya.
 
‘Ah, di mana pula akan busuk. Dipanggang matahari sehari ini akan langsung 
kering. Kalau sudah kering nanti kubakar,’ jawab Malin Marajo.
 
‘Jangan kau bantah aku. Kalayau itu belum akan kering meski ditimpa panas 
matahari agak seminggu. Lebih baik kau buang ke pinggir kebun di seberang sana. 
Di sini, aku akan kena baunya, orang sembahyang di mesjid akan kena baunya.’
 
‘Bagaimana pula aku akan membuangnya ke pinggir sebelah sana, dia adanya di 
pinggir kolam  sebelah sini. Kakak ini mempersulit pekerjaanku saja.’
 
‘Lebih baik kau dengar apa kataku. Atau kau akan dimarahi engku Imam. Bau 
kalayau ini busuk memusingkan kepala. Tanggung-tanggung bekerja, lebih baik kau 
lakukan sungguh-sungguh atau kalau tidak, tak usah kau kerjakan.’
 
‘Kenapa kakak pula yang memerintah-merintah?’
 
‘Aku bukan memerintah-merintah. Aku mengatakan yang benar. Bukan asal 
memerintah. Kalau sudah keluar bau busuknya nanti, pasti kau juga yang akan 
disuruh engku Imam memindahkannya.’
 
‘Kakak nyinyir. Pening kepalaku mendengar orang nyinyir.’
 
Malin Marajo bersungut-sungut sambil berusaha mendorong tumpukan kelayau yang 
masih di dalam kolam ke arah kebun yang dikatakan kak Zahara. Dia mendorongnya 
dengan galah bambu.
 
‘Yang ini jangan kau biarkan di sini,’ kak Zahara mengingatkan lagi, sambil 
menunjuk ke tumpukan yang sudah terangkat.
 
‘Berhentilah memerintah kak! Tanganku hanya dua. Dan berhentilah jadi orang 
nyinyir.’
 
Kak Zahara hanya tersenyum sambil medorong gerobak berisi karung-karung padi. 
Padi yang akan dijemurnya. Malin Marajo meneruskan pekerjaannya. Masih 
bersungut-sungut.
 
Tiba-tiba, Malin Marajo yang sedang mendorong-dorong kalayau sendok itu 
terpelanting masuk kolam. Air kolam itu beriak sejadi-jadinya sampai memancur 
ke 
atas. Air itu terpancur sangat tinggi, sementara yang di dalam kolam 
bergoyang-goyang. Bumi bergoncang sangat dahsyat. Malin Marajo yang tidak 
kehilangan kesadaran berpegangan ke pinggir kolam, pada saat bumi bergoncang 
luar biasa dan air kolam bagai diaduk-aduk itu. Entah berapa puluh detik 
suasana 
mencekam itu berlangsung. Malin beristighfar sambil menggigil ketakutan. Sambil 
berpegang kuat-kuat ke pinggir kolam.
 
Terdengar suara bunyi benda besar jatuh. Bunyi sesuatu yang runtuh menghantam 
bumi. Malin Marajo bertakbir dengan suara parau. Allaaahu Akbaaar. Dia menutup 
matanya. Rasanya inilah akhir hayatnya. 

 
Kak Zahara dibantu sepupunya Salma baru saja selesai mengembangkan tikar 
penjemuran padi. Dua lembar tikar mensiro berukuran dua kali empat meter. Empat 
karung padi terletak di atasnya siap untuk dijemur, sebelum nanti digiling di 
mesin penggilingan padi. Kak Zahara baru akan menuangkan karung pertama ketika 
gempa dahsyat itu terjadi. Tubuh wanita separuh baya itu terpelanting dan 
terduduk di tanah. Salma yang berdiri dekat sebuah karung berpegangan erat-erat 
ke karung itu sambil berteriak ketakutan.
 
Kejadian itu berlalu begitu cepat. Hanya dalam bilangan beberapa detik. Kubah 
mesjid besar itu jatuh menimpa tepat ke tempat kedua wanita malang itu. Kedua 
wanita itu mungkin tidak sempat memikirkan apa yang tengah menimpa mereka. 
Keduanya terkorban. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
 
                                                                        ****
 
Gempa besar itu berlangsung sekitar seratus detik Seratus detik yang luar biasa 
mencekam. Yang luar biasa dahsyat. Meninggalkan kehancuran yang mengerikan. Di 
kampung itu dua puluh buah rumah runtuh, hancur, rata dengan tanah. Lebih 
banyak  pula yang rusak sebagian atau retak-retak. Menara mesjid runtuh dan 
sebagian dinding mesjid rengkah. Dalam waktu begitu singkat. Beberapa buah 
pohon 
tumbang. Jalan kampung retak aspalnya di sana-sini. Gempa itu terjadi di bawah 
cuaca cerah di sebelah pagi. Ada empat orang yang terkorban maut, termasuk kak 
Zahara dan Salma.
 
Malin Marajo menangis meratap ketika dia yang pertama sekali mendapatkan jasad 
kak Zahara yang sudah tidak bernyawa.
 
‘Berdosa aku kaaaaak…….,’ rintihnya pilu sambil mengusap darah di mulut wanita 
itu dengan kain sarungnya.
 
Tubuh wanita malang itu terhimpit runtuhan kubah mesjid. Hanya bagian dadanya 
ke 
atas yang terlihat. Darah keluar dari mulutnya. Di sebelahnya, terlihat 
sebagian 
kaki Salma. Sungguh sangat mengerikan pemandangan itu. Belum sampai sepuluh 
menit sejak Malin Marajo berbantah-bantahan dengan kak Zahara, yang sekarang 
sudah menjadi mayat dengan kondisi sangat mengenaskan seperti itu. 

 
Korban lain adalah seorang laki-laki tua yang terbaring sakit di tempat tidur. 
Rumahnya runtuh. Orang tua itu terhimpit kayu besar yang jatuh dari 
langit-langit rumah. Korban ke empat seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun 
yang terhimpit runtuhan dinding sebuah rumah. Ada belasan orang yang luka-luka 
dan patah tulang. Sungguh sebuah musibah dahsyat. Musibah yang terjadi dalam 
sekejap mata.
 
Semua yang masih selamat terperangah. Terperanjat menyaksikan mimpi buruk di 
siang hari yang datang begitu tiba-tiba. Kampung itu jadi centang perenang 
mengenaskan. Tangis pilu terdengar di sana-sini. Tangis duka memandang 
kehancuran.
 
Terperangah itu tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Beberapa orang yang 
tinggal dekat mesjid bergotong royong mengeluarkan jasad kak Zahara dan Salma 
 dari himpitan reruntuhan kubah mesjid. Lalu kedua jenazah itu dibawa pulang ke 
rumah mereka , sebuah rumah kayu lama, yang alhamdulillah tidak mengalami 
kerusakan berarti. Satu dari dua puteri kak Zahara jatuh pingsan ketika melihat 
jasad ibu dan etek mereka. Yang beberapa menit yang lalu masih segar bugar. 
Masih penuh semangat. Laa hawla wa laa quwwata illa billaahi. Kalau Allah 
berkehendak, apapun terjadi di bawah kekuasaan Nya.
 
                                                                        ****
 
Sore harinya bantuan datang dari kota. Dari perorangan maupun dari kelompok 
masyarakat. Menurut berita banyak sekali kampung dan nagari yang juga hancur 
seperti kampung ini, luluh-lantak disebabkan gempa pagi tadi itu. Berpuluh 
banyaknya korban yang meninggal. Entah berapa ratus yang terluka dan 
patah-patah. Entah berapa ratus, atau bahkan mungkin ribuan buah bangunan yang 
hancur.. 

 
Atas saran wali nagari, sekolah dasar yang alhamdulillah selamat, kecuali 
sedikit retak-retak, dijadikan tempat penampungan korban yang rumahnya hancur. 
Mesjid masih bisa dipakai untuk shalat berjamaah walaupun bagian atapnya 
sekarang terbuka karena kubahnya jatuh. Dinding mesjid hanya retak-retak di 
beberapa bagian.
 
Sesudah shalat maghrib, dengan jamaah lebih banyak dari biasanya, Buya Haji 
memberikan ceramah singkat untuk menenangkan hati masyarakat. Buya mengingatkan 
agar musibah yang terjadi dijadikan pelajaran untuk menyadari ke Maha Kuasaan 
Allah. Sebagai makhluk kita memang tidak ada apa-apanya di bawah kekuasaan 
Allah. Terjadi sedikit tanya jawab sesudah ceramah Buya Haji.
 
‘Buya! Apakah yang terjadi ini merupakan peringatan atau hukuman dari Allah?’ 
tanya guru Sofyan.
 
‘Biarlah kita berprasangka baik saja kepada Allah bahwa ini adalah sebuah 
peringatan. Kita diperingatkan agar lebih banyak mengingat Allah dan beribadah 
kepada Nya. Karena kita ini ternyata tidak ada apa-apanya. Karena Allah begitu 
Maha Perkasa dan Maha Berkuasa. Betapa mudahnya bagi Allah untuk berbuat 
sesuatu. Rumah, bangunan,  mesjid yang kita bina bersusah payah dalam waktu 
lama, dalam beberapa detik saja, dengan kekuasaan Allah jadi porak poranda. 
Allah kuasa melakukannya. Allah kuasa menghancurkan alam raya ini.’
 
‘Tapi ada yang mengartikan bahwa ini adalah hukuman Allah karena sudah semakin 
banyaknya kemaksiatan, Buya. Bagaimana pula itu?’ tanya etek Syarifah.
 
‘Boleh-boleh saja ada yang berpendapat seperti itu. Tapi pada gilirannya, kan 
tetap saja merupakan sebuah peringatan Allah. Akankah kita sadar? Akankah 
mereka 
yang suka bermaksiat mau bertobat? Memperbaiki diri? Kalau mereka mau, maka 
beruntunglah mereka.’
 
‘Benarkah gempa itu juga merupakan sunatullah Buya?’ kembali guru Sofyan 
bertanya. 

 
‘Benar sekali. Hujan, panas, laut bergelora, gunung-gunung mengeluarkan asap 
atau bahkan letusan yang melemparkan batu-batuan, gempa bumi semua itu adalah 
ketetapan-ketetapan Allah. Semua sudah diadakan Allah sejak dunia terkembang. 
Begitu kata para ahli. Tentulah guru Sofyan yang lebih tahu tentang itu. Tapi 
adakalanya sesuatu yang sunatullah itu dijadikan Allah untuk memperingatkan 
umat 
manusia bahkan ada juga umat-umat terdahulu yang dihukum Allah dengan bencana 
yang berasal dari alam. Kaum Luth yang dimusnahkan Allah dengan letusan gunung 
berapi. Kaum nabi Nuh yang ditenggelamkan dengan air bah. Kita sebagai orang 
yang beriman kepada Allah, tidak punya pilihan selain bertawakkal dan berserah 
diri kepada Allah. Seandainya musibah itu menimpa kita, mendatangkan maut 
kepada 
kita seperti yang dialami saudara-saudara kita hari ini, mudah-mudahan itu 
terjadi pada saat kita ikhlas bertawakkal kepada Nya.’
 
Begitu Buya Haji mengakhiri ceramah singkat beliau.
 
 
                                                                                   
 *****
 
 

Wassalamu'alaikum,
 
Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
Lahir : Zulqaidah 1370H, 
Jatibening - Bekasi 


-- 
.


      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke