Assalamualaikum ww

"Katakanlah yang benar (haq) itu adalah benar dan berilah aku kekuatan untuk 
melaksanakannya, katakanlah yang salah (batil) itu adalah batil dan berilah 
kami 
kekuatan untuk menghindarinya"

Pernyataan dalam kalimat "Orang yang pakai jilbab itu adalah se-baik2 Muslimah 
adalah pernyataan yang benar, apresiet orang berani mengatakannya tapi kenapa 
sih masih takut2 dan terkesan tidak tegas untuk mengatakan yang tidak memakai 
jilbab itu tidak benar alias salah BESAR.......?

Kan tentang jilbab tegas2 Allah perintahkan, lihat surat Al Ahzab ayat 59 dan 
An 
Nur ayat 31 dan banyak ayat2 lainnya serta hadist2 yang membahas soal ini

Kemungkinan besar M Natsir dan M Natsir Muda itu BELUM sempat menuntaskan 
kajinya, maklum dek sibuk urusan lain (dunia) hingga belum seimbang kajian 
dunia 
dan kajian ukhrawinya makanya anak istrinya tenang2 saja tidak berjilbab, dan 
mungkin juga bapak2 ketua partai Islam kita ini bisa saja lupa lupa dengan ayat 
6 surat At Tahrim "Wahai orang2 yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu 
dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu2, penjaga nerakanya adalah 
malaikat2 yang keras lagi kasar, malaikat2 yang tidak durhaka kepada Allah 
terhadap apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa2 
yang diperintahkan"


Ambo maraso aneh saja kok, kutipan penggalan kalimat thread sebelumnya:

"Natsir, sang pejuang. Dia dikenal sebagai pendidik yang keras, tapi moderat 
dan 
demokratis dalam menerapkan ajaran Islam. DIA TIDAK MEWAJIBKAN JILBAB KEPADA 
ISTRI DAN ANAK ANAKNYA. Nurnahar, istri Natsir, seperti laiknya orang Melayu 
dan 
umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju 
kurung 
tanpa kerudung. Ketika menghadiri acara keluarga atau melayat, Natsir baru 
mengingatkan Nurnahar agar berkerudung"

"Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa 
mereka mengenakan jilbab. ”Menurut Aba, berjilbab itu harus dari diri kita,” 
tutur Lies, yang kini berusia 72 tahun"

Mudah2an orang salah tulis tentang ketua partai Islam yang anak istrinya tidak 
pakai jilbab ini, (masak KETUA PARTAI ISLAM begitu yaaa, ntar apa kata 
dunia.......?

wasalam
abp58




________________________________
Dari: Darwin Bahar <dba...@indo.net.id>
Kepada: Palanta Rantaunet <rantaunet@googlegroups.com>; su...@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 8 Maret, 2011 22:15:27
Judul: [R@ntau-Net] Aba, Cahaya Keluarga


Demokratis dalam mendidik anak-anak, Natsir selalu menyampaikan pesan-pesannya 
dengan tersirat.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127679.id.html

”Orang yang pakai jilbab itu adalah sebaik-baiknya muslimah. Tapi yang tidak 
pakai jilbab jangan dibilang enggak baik.”
Pernyataan itu datang dari Mohammad Natsir. Pejuang Islam yang gigih itu 
menyampaikan pandangannya tentang jilbab kepada sejumlah pelajar yang datang ke 
kantor Dewan Dakwah pada awal 1980-an. Ketika itu pemerintah melarang murid 
mengenakan jilbab di sekolah. Sejumlah pelajar menentang aturan itu dan 
berujung 
ke pengadilan. Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Sekretariat Negara, yang 
dijuluki Natsir Muda, menjadi pembelanya.
”Mereka berkeras soal jilbab. Kalau tidak berjilbab dianggap tidak baik,” 
Yusril 
berkisah kepada Tempo. Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya 
cenderung 
meremehkan orang Islam tak berjilbab. ”Saya tidak melihat manusia dari jilbab,” 
kata Natsir seperti dituturkan Yusril.
Natsir, sang pejuang. Dia dikenal sebagai pendidik yang keras, tapi moderat dan 
demokratis dalam menerapkan ajaran Islam. Dia tidak mewajibkan jilbab kepada 
istri dan anak-anaknya. Nurnahar, istri Natsir, seperti laiknya orang Melayu 
dan 
umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju 
kurung 
tanpa kerudung. Ketika menghadiri acara keluarga atau melayat, Natsir baru 
mengingatkan Nurnahar agar berkerudung.
Mengingatkan pun, menurut Sitti Muchliesah atau Lies, putri sulung Natsir, 
tidak 
dalam bentuk perintah. Aba, panggilan anak-anak kepada ayahnya, cukup berkata, 
”Kamu kan muslimah.” Kalimat pendek ini langsung dipahami keempat anak 
perempuan 
Natsir.
Dalam berpakaian, Natsir hanya mengharuskan anak-anaknya berbusana santun. Itu 
artinya, tidak bercelana pendek dan berbaju you can see alias baju tak 
berlengan. Satu kali, Lies mengenakan blus pendek tanpa lengan. Aba tak menegur 
langsung. Dia hanya berpesan kepada Ummie, panggilan istrinya, ”Beri tahu Lies 
jangan pakai yang kependekan.”
Masih soal pakaian, ada kenangan yang berkesan bagi Anies, putri Lies, cucu 
pertama Natsir. Satu kali, sepulang kuliah, Anies mampir ke rumah kakeknya di 
Jalan Cokroaminoto. Dia datang mengenakan rok mini yang sedang jadi mode. 
Tatkala hendak pulang, Natsir memberinya uang sambil berkata, ”Ini untuk beli 
celana panjang.” Teguran halus.
Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa 
mereka mengenakan jilbab. ”Menurut Aba, berjilbab itu harus dari diri kita,” 
tutur Lies, yang kini berusia 72 tahun.
Natsir juga tidak melarang keluarganya bergaul dengan non-muslim. Bergaul 
dengan 
teman-teman lelaki pun diizinkan sang ayah. ”Kami boleh nonton bioskop asal 
rame-rame, paling telat pulang pukul 10 malam.”
Dalam salah satu surat kepada anak-istrinya, Natsir mendorong kelima anaknya 
aktif di organisasi kepemudaan. Misalnya Himpunan Mahasiswa Islam atau Pandu 
Islam. Organisasi, menurut dia, dapat menjadi taman pendidikan yang melengkapi 
apa yang tidak didapat di sekolah. ”Aktif berorganisasi akan memberi bekal masa 
depan,” begitu pesan Aba dalam surat yang dia tulis tepat pada usianya yang 
ke-50, 17 Juli 1958.
Sikap demokratis Natsir tampak jelas di meja makan. Dia mengizinkan 
anak-anaknya 
berdebat apa saja, meskipun kadang Ummie tidak berkenan karena perdebatan 
mengganggu suasana makan. ”Aba suka tersenyum menyimak perdebatan kami,” kata 
Lies. Suasana seperti ini tanpa disadari telah membentuk dan mempengaruhi cara 
berpikir kelima anak Natsir. ”Khususnya menghadapi tantangan hidup,” Lies 
melanjutkan.
Pada masa penjajahan Jepang, sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan 
Natsir di Bandung ditutup. Dia lalu membentuk madrasah di rumah adik iparnya di 
Jakarta. Selain anak-anaknya, masyarakat di sekitar madrasah ikut serta menjadi 
murid. Natsir juga mengajak teman-temannya menjadi ustad dan ustadzah. ”Setiap 
sore kami mengaji dan belajar tentang Islam,” kata Lies, yang dikaruniai tiga 
putra-putri.
Bagi Natsir, pesantren atau madrasah bukanlah satu-satunya sistem pendidikan 
yang bisa menghasilkan orang beriman. Pesantren, menurut Natsir, dapat 
menelurkan orang berakhlak tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Padahal, 
Islam mendorong umat mencapai kemajuan lahir batin, dunia dan akhirat.
Itu sebabnya dia tidak melarang anak-anaknya aktif berkesenian. Lies diizinkan 
mengikuti pementasan sandiwara di sekolahnya, SMA 1 Boedi Oetomo. Entah kenapa, 
ketika sandiwara yang disutradarai Koentjoroningrat itu hendak dipertunjukkan 
untuk umum di Gedung Kesenian Jakarta, Aba melarang Lies ikut serta. ”Saya 
kecewa tapi berusaha memahami keputusan Aba,” tutur Lies, yang bersuamikan Agus 
Alwi yang juga berasal dari Minang, Sumatera Barat.
Di mata anak-anaknya, ia selalu menyampaikan pesan secara tersirat. Dia juga 
orang yang berpikiran jauh ke depan. Sewaktu tinggal di Jakarta, Aba melarang 
anak-anaknya belajar berenang. ”Kami memahami, pakaian renang selalu minim,” 
kata Lies. Tapi, ketika tinggal di Maninjau, Sumatera Barat, Aba menyuruh 
anak-anak belajar berenang di danau. ”Belakangan kami mengerti, di danau kami 
sekaligus belajar menghadapi bahaya yang tidak akan ditemui di kolam renang,” 
kata Aisyahtul Asriah, putri keempat Natsir.
Natsir, sang pendidik. Dia tak begitu setuju anak-anaknya bekerja di perusahaan 
milik negara maupun swasta. Natsir lebih suka anak-anaknya menggeluti dunia 
pendidikan. Toh, dia tak bisa berbuat banyak ketika Hasnah Faizah, putri 
ketiganya, berganti haluan dari asisten dosen di Jurusan Sosiologi Fakultas 
Ilmu 
Sosial Politik Universitas Indonesia, menjadi staf sebuah badan usaha milik 
negara.
Di kemudian hari, keluarga paham mengapa Natsir tak begitu suka anak-anaknya 
bekerja di perusahaan. ”Aba khawatir, sifat kami berubah karena bekerja di 
perusahaan yang mengutamakan keuntungan,” kata Aisyah. Menurut Aba, hal itu 
bisa 
mempengaruhi hubungan di rumah. Waktu bersama keluarga menjadi berkurang. 
Padahal, bagi Aba, Aisyah mengenang, makan sebaiknya bersama keluarga 
setidaknya 
sekali dalam sehari.
Sebagai Vice President World Muslim Congress, yang bermarkas di Karachi, 
Pakistan, dan anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami, yang berpusat di 
Mekkah, Natsir bisa berangkat haji setiap tahun. Tapi tak sekali pun dia 
memanfaatkan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan anak-anaknya berhaji. 
”Fasilitas itu hanya untuk mengajak Ummie sekali,” papar Abi—sebutan akrab 
Aisyah. Walhasil, kelima anaknya berhaji dengan biaya sendiri.
Selama menjadi pejabat pemerintah, hampir tak ada kemewahan yang dinikmati anak 
dan istrinya. Rumah pribadi pun baru dimiliki setelah Natsir bebas dari penjara 
pada 1967, jauh setelah penggemar biola ini tak lagi berpangkat.
Suatu ketika Fauzi, anak bungsu Natsir, meminta dibelikan sepeda motor kepada 
Aba. Sang ayah menolak dengan berkata, ”Memangnya tidak ada bus atau kereta 
api?” Natsir amat mempedulikan pendidikan. Beberapa kali Lies meminta bantuan 
ayahnya untuk membayar biaya kuliah anak-anaknya. ”Tanpa ragu Aba turun 
tangan,” 
tutur Lies.
Natsir juga membebaskan putra-putrinya memilih jurusan sekolah dan tempat 
bekerja. Lies, misalnya, memasuki Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. 
Karena banyak faktor, termasuk biaya dan kondisi politik yang belum aman, Lies 
harus meninggalkan bangku kuliah di semester kedua.
Natsir memutuskan, Lies dan adiknya, Asma Faridah, sebaiknya konsentrasi saja 
pada urusan rumah tangga. Tapi adik-adik Lies, yakni Aisyah, Hasnah, dan si 
bungsu Ahmad Fauzi Natsir, menyelesaikan kuliah.
Selain Fauzi, ada lagi satu anak lelaki Natsir, yakni Abu Hanifah, yang 
meninggal pada usia 13 tahun karena tenggelam di kolam renang. ”Aba menangis 
sendirian ketika Hanif wafat. Sebelum pergi, almarhum sempat memijat-mijat kaki 
Aba,” kata Lies. Sebuah buku memoar berjudul Aba Sebagai Cahaya Keluarga kini 
sedang disiapkan Lies.
Tangisan itu berulang ketika Natsir kehilangan sang istri. Nurnahar meninggal 
pada Juli 1991, dalam usia 86. Lima puluh tujuh tahun, Ummie mendampingi Aba 
dengan setia.
Dalam salah satu suratnya, Natsir menulis: Ummie sadar jalan hidup yang Aba 
tempuh sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tapi Ummie rela dan 
berani naik perahu Aba yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup yang 
penuh risiko. Tak terlukiskan betapa bersyukurnya Aba kepada Allah SWT dan 
terima kasih kepada Ummie atas kebahagiaan hidup yang Aba rasakan.”
Sebelum jenazah sang istri diberangkatkan ke makam, Natsir sendiri yang 
menyampaikan pidato pelepasan. Dua tahun kemudian, Natsir dimakamkan di samping 
makam Nurnahar. Kata Lies, ”Seperti keinginan Aba.”


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke