[balita-anda] poligami ala feminis

2006-05-22 Terurut Topik intan dima
POLIGAMI A LA 'FEMINIS'


Oleh Julia Suryakusuma


Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun
menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan
hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling
tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa
kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah
janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja.


Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun
biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali
rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki
yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah
dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup,
kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek
keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya
karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya
miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk
sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya,
padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi'
lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya
lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya.


Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami
yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye,
apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah
selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap
'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat
perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau
perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena
kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda -
20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong.


Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga
membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya.
Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan
harus dengan banyak orang.


Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya
terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia
Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di
Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti
banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau
sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari
tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian
saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis.


Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi.
Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak
feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya -
feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru.


Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya
bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh,
sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan
merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan
kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik.
Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun
materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan
bagi wanita muda untuk mencari pasangan.


Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena
rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling
tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana
sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante
girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati,
secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang
progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya.
Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya.
Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi
wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan
dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang
pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah seksual yang lebih bisa
diimbangi pria muda.


Padahal, pool (kelompok) pria yang berusia 40an atau menjelang 40 biasanya
sudah menikah. Pilihan pertama, pacaran sana sini (alias selingkuh), secara
psikologis menekan semua pihak (dimana keintimannya?), melibatkan banyak
berbohong, rasa bersalah, tidak tertutup kemungkinan pemerasan emosional,
dan takut kepergok. Belum secara agama dianggap dosa. Meski ada stigma
sosialnya, kalau berpoligami 

Re: [balita-anda] poligami ala feminis

2006-05-22 Terurut Topik dhani resya
mba... kalo yang ini sih ga ada yang larang, yang ada
larangannya tuh kalo poliandri.

hmhhh... dimadu? apa ya enaknya... hay yang pernah
dimadu ato jadi madu sharinggg dunk



--- intan dima [EMAIL PROTECTED] wrote:

 POLIGAMI A LA 'FEMINIS'
 
 
 Oleh Julia Suryakusuma
 
 
 Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan
 setelah hampir tiga tahun
 menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa
 yang menjadi kebutuhan
 hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang
 'dituntut' atau paling
 tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya
 engga deh ! Untuk apa
 kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang
 lebih tua (yang sudah
 janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah
 persoalan aja.
 
 
 Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri,
 secara sosial dari dulupun
 biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga
 mandiri. Malas sekali
 rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin
 celana dalam dan kaos kaki
 yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang
 bukannya digantung, malah
 dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang
 tidak ditutup,
 kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan,
 berbagai urusan tetek-bengek
 keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi
 lainnya. Juga tentunya
 karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan
 dan kebebasan yang saya
 miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan
 bahkan dituntut untuk
 sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan
 konsentrasi saya,
 padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa
 melahirkan 'bayi-bayi'
 lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya
 tulisan ataupun karya
 lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya.
 
 
 Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah,
 apalagi dihadapan suami
 yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang
 sudah dari sononye,
 apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak
 diplomat. Toh saya menikah
 selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan
 sudah bisa dianggap
 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi
 medali, di tengah tingkat
 perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih
 tinggi lagi kalau
 perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan
 ekonomi, karena
 kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada
 usia yang relatif muda -
 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being
 single again dong.
 
 
 Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan
 normal, saya juga
 membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional
 dan seksual tentunya.
 Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan
 banyak orang, bahkan
 harus dengan banyak orang.
 
 
 Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan
 tentang poligami, saya
 terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja?
 Lho, lho, lho, Julia
 Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang
 pelopor feminisme di
 Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa
 yang terjadi? Pasti
 banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila,
 kelewat frustrasi, atau
 sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca,
 dikecam dan dilempari
 tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu,
 asal batu berlian
 saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis
 maupun non-feminis.
 
 
 Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah
 kerennya, refleksi.
 Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la
 feminis, atau paling tidak
 feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan
 setuju dengan saya -
 feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan
 suatu paradigma baru.
 
 
 Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah
 self-contained. Maksudnya
 bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri
 (self-esteem) yang utuh,
 sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain,
 memiliki pengalaman dan
 merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak
 sebagai pengayom, dan
 kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan
 sosial-ekonomi yang baik.
 Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu
 secara emosional ataupun
 materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang
 biasanya menjadi alasan
 bagi wanita muda untuk mencari pasangan.
 
 
 Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan
 poligami adalah karena
 rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan
 yang lebih muda, paling
 tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar
 aturan lagi - bagaimana
 sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari
 daun muda, wah, tante
 girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya
 merasa muda di hati,
 secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya
 pandangan yang
 progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif
 untuk jamannya.
 Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti
 cara berpikir saya.
 Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15
 tahun lebih tua, jadi
 wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan
 sebenarnya, perempuan
 dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual,
 tapi - apalagi yang
 pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah
 seksual yang lebih bisa
 diimbangi pria muda.
 
 
 Padahal, pool 

Re: [balita-anda] poligami ala feminis

2006-05-22 Terurut Topik nur rika

duh, seandainya saya tidak punya rasa cemburu, dan sayang sama suami
saya mungkin gampang kali ya menyambut datangnya teman buat kita
berbagi
walau diperbolehkan saya masih harus dan terus belajar buat ikhlas membagi
suami saya, ayah dari anak2 saya :)

Mama Arkan


Pada tanggal 5/22/06, dhani resya [EMAIL PROTECTED] menulis:


mba... kalo yang ini sih ga ada yang larang, yang ada
larangannya tuh kalo poliandri.

hmhhh... dimadu? apa ya enaknya... hay yang pernah
dimadu ato jadi madu sharinggg dunk



--- intan dima [EMAIL PROTECTED] wrote:

 POLIGAMI A LA 'FEMINIS'


 Oleh Julia Suryakusuma


 Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan
 setelah hampir tiga tahun
 menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa
 yang menjadi kebutuhan
 hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang
 'dituntut' atau paling
 tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya
 engga deh ! Untuk apa
 kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang
 lebih tua (yang sudah
 janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah
 persoalan aja.


 Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri,
 secara sosial dari dulupun
 biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga
 mandiri. Malas sekali
 rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin
 celana dalam dan kaos kaki
 yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang
 bukannya digantung, malah
 dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang
 tidak ditutup,
 kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan,
 berbagai urusan tetek-bengek
 keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi
 lainnya. Juga tentunya
 karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan
 dan kebebasan yang saya
 miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan
 bahkan dituntut untuk
 sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan
 konsentrasi saya,
 padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa
 melahirkan 'bayi-bayi'
 lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya
 tulisan ataupun karya
 lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya.


 Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah,
 apalagi dihadapan suami
 yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang
 sudah dari sononye,
 apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak
 diplomat. Toh saya menikah
 selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan
 sudah bisa dianggap
 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi
 medali, di tengah tingkat
 perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih
 tinggi lagi kalau
 perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan
 ekonomi, karena
 kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada
 usia yang relatif muda -
 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being
 single again dong.


 Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan
 normal, saya juga
 membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional
 dan seksual tentunya.
 Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan
 banyak orang, bahkan
 harus dengan banyak orang.


 Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan
 tentang poligami, saya
 terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja?
 Lho, lho, lho, Julia
 Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang
 pelopor feminisme di
 Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa
 yang terjadi? Pasti
 banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila,
 kelewat frustrasi, atau
 sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca,
 dikecam dan dilempari
 tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu,
 asal batu berlian
 saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis
 maupun non-feminis.


 Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah
 kerennya, refleksi.
 Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la
 feminis, atau paling tidak
 feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan
 setuju dengan saya -
 feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan
 suatu paradigma baru.


 Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah
 self-contained. Maksudnya
 bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri
 (self-esteem) yang utuh,
 sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain,
 memiliki pengalaman dan
 merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak
 sebagai pengayom, dan
 kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan
 sosial-ekonomi yang baik.
 Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu
 secara emosional ataupun
 materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang
 biasanya menjadi alasan
 bagi wanita muda untuk mencari pasangan.


 Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan
 poligami adalah karena
 rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan
 yang lebih muda, paling
 tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar
 aturan lagi - bagaimana
 sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari
 daun muda, wah, tante
 girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya
 merasa muda di hati,
 secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya
 pandangan yang
 progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif
 untuk jamannya.
 Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti
 cara berpikir saya.
 Alasan lainnya - jujur 

RE: [balita-anda] poligami ala feminis

2006-05-22 Terurut Topik Bambang Agustutianto
klo yg islam, belajar paham agamanya aja...

-Original Message-
From: nur rika [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Monday, May 22, 2006 2:04 PM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] poligami ala feminis


duh, seandainya saya tidak punya rasa cemburu, dan sayang sama suami
saya mungkin gampang kali ya menyambut datangnya teman buat kita
berbagi
walau diperbolehkan saya masih harus dan terus belajar buat ikhlas membagi
suami saya, ayah dari anak2 saya :)

Mama Arkan


Pada tanggal 5/22/06, dhani resya [EMAIL PROTECTED] menulis:

 mba... kalo yang ini sih ga ada yang larang, yang ada
 larangannya tuh kalo poliandri.

 hmhhh... dimadu? apa ya enaknya... hay yang pernah
 dimadu ato jadi madu sharinggg dunk



 --- intan dima [EMAIL PROTECTED] wrote:

  POLIGAMI A LA 'FEMINIS'
 
 
  Oleh Julia Suryakusuma
 
 
  Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan
  setelah hampir tiga tahun
  menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa
  yang menjadi kebutuhan
  hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang
  'dituntut' atau paling
  tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya
  engga deh ! Untuk apa
  kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang
  lebih tua (yang sudah
  janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah
  persoalan aja.
 
 
  Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri,
  secara sosial dari dulupun
  biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga
  mandiri. Malas sekali
  rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin
  celana dalam dan kaos kaki
  yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang
  bukannya digantung, malah
  dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang
  tidak ditutup,
  kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan,
  berbagai urusan tetek-bengek
  keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi
  lainnya. Juga tentunya
  karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan
  dan kebebasan yang saya
  miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan
  bahkan dituntut untuk
  sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan
  konsentrasi saya,
  padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa
  melahirkan 'bayi-bayi'
  lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya
  tulisan ataupun karya
  lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya.
 
 
  Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah,
  apalagi dihadapan suami
  yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang
  sudah dari sononye,
  apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak
  diplomat. Toh saya menikah
  selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan
  sudah bisa dianggap
  'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi
  medali, di tengah tingkat
  perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih
  tinggi lagi kalau
  perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan
  ekonomi, karena
  kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada
  usia yang relatif muda -
  20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being
  single again dong.
 
 
  Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan
  normal, saya juga
  membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional
  dan seksual tentunya.
  Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan
  banyak orang, bahkan
  harus dengan banyak orang.
 
 
  Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan
  tentang poligami, saya
  terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja?
  Lho, lho, lho, Julia
  Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang
  pelopor feminisme di
  Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa
  yang terjadi? Pasti
  banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila,
  kelewat frustrasi, atau
  sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca,
  dikecam dan dilempari
  tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu,
  asal batu berlian
  saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis
  maupun non-feminis.
 
 
  Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah
  kerennya, refleksi.
  Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la
  feminis, atau paling tidak
  feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan
  setuju dengan saya -
  feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan
  suatu paradigma baru.
 
 
  Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah
  self-contained. Maksudnya
  bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri
  (self-esteem) yang utuh,
  sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain,
  memiliki pengalaman dan
  merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak
  sebagai pengayom, dan
  kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan
  sosial-ekonomi yang baik.
  Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu
  secara emosional ataupun
  materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang
  biasanya menjadi alasan
  bagi wanita muda untuk mencari pasangan.
 
 
  Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan
  poligami adalah karena
  rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan
  yang lebih muda, paling
  tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar
  aturan lagi - bagaimana
  sih? Mengapa pilihannya

RE: [balita-anda] poligami ala feminis

2006-05-22 Terurut Topik Rahma Dewi Suryantari
maap ya mbak, Julia Suryakusuma ini yang mana ya mbak?

(kurang gaul ya nggak tau Julia suryakusuma)



-Original Message-
From: intan dima [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Monday, May 22, 2006 1:35 PM
To: BA
Subject: [balita-anda] poligami ala feminis


POLIGAMI A LA 'FEMINIS'


Oleh Julia Suryakusuma


Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun
menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan
hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling
tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa
kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah
janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja.


Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun
biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali
rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki
yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah
dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup,
kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek
keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya
karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya
miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk
sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya,
padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi'
lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya
lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya.


Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami
yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye,
apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah
selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap
'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat
perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau
perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena
kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda -
20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong.


Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga
membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya.
Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan
harus dengan banyak orang.


Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya
terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia
Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di
Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti
banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau
sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari
tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian
saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis.


Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi.
Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak
feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya -
feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru.


Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya
bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh,
sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan
merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan
kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik.
Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun
materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan
bagi wanita muda untuk mencari pasangan.


Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena
rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling
tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana
sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante
girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati,
secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang
progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya.
Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya.
Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi
wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan
dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang
pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah seksual yang lebih bisa
diimbangi pria muda.


Padahal, pool (kelompok) pria yang berusia 40an atau menjelang 40 biasanya
sudah menikah. Pilihan pertama, pacaran sana sini (alias

Re: [balita-anda] poligami ala feminis

2006-05-22 Terurut Topik Niken Ariati

Julia suryakusuma ini yang istrinya amy priyono sutradara itu bukan??
(kok jadi bingung gini gue???)


Pada tanggal 5/22/06, Rahma Dewi Suryantari [EMAIL PROTECTED]
menulis:


maap ya mbak, Julia Suryakusuma ini yang mana ya mbak?

(kurang gaul ya nggak tau Julia suryakusuma)



-Original Message-
From: intan dima [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Monday, May 22, 2006 1:35 PM
To: BA
Subject: [balita-anda] poligami ala feminis


POLIGAMI A LA 'FEMINIS'


Oleh Julia Suryakusuma


Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun
menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan
hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling
tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa
kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah
janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja.


Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari
dulupun
biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali
rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos
kaki
yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung,
malah
dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup,
kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek
keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya
karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang
saya
miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk
sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya,
padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan
'bayi-bayi'
lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya
lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya.


Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami
yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye,
apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya
menikah
selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap
'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat
perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau
perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena
kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda -
20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong.


Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga
membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya.
Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan
harus dengan banyak orang.


Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya
terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia
Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di
Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti
banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau
sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari
tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian
saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis.


Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi.
Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak
feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya -
feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru.


Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya
bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh,
sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan
merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan
kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik.
Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun
materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan
bagi wanita muda untuk mencari pasangan.


Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena
rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling
tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi -
bagaimana
sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante
girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati,
secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang
progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya.
Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya.
Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi
wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan
dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang
pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah