[balita-anda] poligami ala feminis
POLIGAMI A LA 'FEMINIS' Oleh Julia Suryakusuma Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja. Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup, kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya, padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi' lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye, apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda - 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong. Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya. Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan harus dengan banyak orang. Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis. Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi. Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya - feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru. Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh, sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik. Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan bagi wanita muda untuk mencari pasangan. Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati, secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya. Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya. Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah seksual yang lebih bisa diimbangi pria muda. Padahal, pool (kelompok) pria yang berusia 40an atau menjelang 40 biasanya sudah menikah. Pilihan pertama, pacaran sana sini (alias selingkuh), secara psikologis menekan semua pihak (dimana keintimannya?), melibatkan banyak berbohong, rasa bersalah, tidak tertutup kemungkinan pemerasan emosional, dan takut kepergok. Belum secara agama dianggap dosa. Meski ada stigma sosialnya, kalau berpoligami
Re: [balita-anda] poligami ala feminis
mba... kalo yang ini sih ga ada yang larang, yang ada larangannya tuh kalo poliandri. hmhhh... dimadu? apa ya enaknya... hay yang pernah dimadu ato jadi madu sharinggg dunk --- intan dima [EMAIL PROTECTED] wrote: POLIGAMI A LA 'FEMINIS' Oleh Julia Suryakusuma Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja. Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup, kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya, padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi' lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye, apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda - 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong. Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya. Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan harus dengan banyak orang. Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis. Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi. Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya - feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru. Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh, sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik. Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan bagi wanita muda untuk mencari pasangan. Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati, secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya. Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya. Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah seksual yang lebih bisa diimbangi pria muda. Padahal, pool
Re: [balita-anda] poligami ala feminis
duh, seandainya saya tidak punya rasa cemburu, dan sayang sama suami saya mungkin gampang kali ya menyambut datangnya teman buat kita berbagi walau diperbolehkan saya masih harus dan terus belajar buat ikhlas membagi suami saya, ayah dari anak2 saya :) Mama Arkan Pada tanggal 5/22/06, dhani resya [EMAIL PROTECTED] menulis: mba... kalo yang ini sih ga ada yang larang, yang ada larangannya tuh kalo poliandri. hmhhh... dimadu? apa ya enaknya... hay yang pernah dimadu ato jadi madu sharinggg dunk --- intan dima [EMAIL PROTECTED] wrote: POLIGAMI A LA 'FEMINIS' Oleh Julia Suryakusuma Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja. Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup, kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya, padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi' lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye, apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda - 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong. Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya. Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan harus dengan banyak orang. Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis. Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi. Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya - feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru. Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh, sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik. Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan bagi wanita muda untuk mencari pasangan. Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati, secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya. Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya. Alasan lainnya - jujur
RE: [balita-anda] poligami ala feminis
klo yg islam, belajar paham agamanya aja... -Original Message- From: nur rika [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, May 22, 2006 2:04 PM To: balita-anda@balita-anda.com Subject: Re: [balita-anda] poligami ala feminis duh, seandainya saya tidak punya rasa cemburu, dan sayang sama suami saya mungkin gampang kali ya menyambut datangnya teman buat kita berbagi walau diperbolehkan saya masih harus dan terus belajar buat ikhlas membagi suami saya, ayah dari anak2 saya :) Mama Arkan Pada tanggal 5/22/06, dhani resya [EMAIL PROTECTED] menulis: mba... kalo yang ini sih ga ada yang larang, yang ada larangannya tuh kalo poliandri. hmhhh... dimadu? apa ya enaknya... hay yang pernah dimadu ato jadi madu sharinggg dunk --- intan dima [EMAIL PROTECTED] wrote: POLIGAMI A LA 'FEMINIS' Oleh Julia Suryakusuma Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja. Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup, kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya, padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi' lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye, apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda - 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong. Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya. Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan harus dengan banyak orang. Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis. Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi. Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya - feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru. Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh, sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik. Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan bagi wanita muda untuk mencari pasangan. Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana sih? Mengapa pilihannya
RE: [balita-anda] poligami ala feminis
maap ya mbak, Julia Suryakusuma ini yang mana ya mbak? (kurang gaul ya nggak tau Julia suryakusuma) -Original Message- From: intan dima [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, May 22, 2006 1:35 PM To: BA Subject: [balita-anda] poligami ala feminis POLIGAMI A LA 'FEMINIS' Oleh Julia Suryakusuma Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja. Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup, kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya, padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi' lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye, apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda - 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong. Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya. Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan harus dengan banyak orang. Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis. Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi. Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya - feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru. Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh, sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik. Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan bagi wanita muda untuk mencari pasangan. Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati, secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya. Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya. Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah seksual yang lebih bisa diimbangi pria muda. Padahal, pool (kelompok) pria yang berusia 40an atau menjelang 40 biasanya sudah menikah. Pilihan pertama, pacaran sana sini (alias
Re: [balita-anda] poligami ala feminis
Julia suryakusuma ini yang istrinya amy priyono sutradara itu bukan?? (kok jadi bingung gini gue???) Pada tanggal 5/22/06, Rahma Dewi Suryantari [EMAIL PROTECTED] menulis: maap ya mbak, Julia Suryakusuma ini yang mana ya mbak? (kurang gaul ya nggak tau Julia suryakusuma) -Original Message- From: intan dima [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, May 22, 2006 1:35 PM To: BA Subject: [balita-anda] poligami ala feminis POLIGAMI A LA 'FEMINIS' Oleh Julia Suryakusuma Pada usia saya yg hampir setengah abad ini, dan setelah hampir tiga tahun menjanda, saya tentunya harus mereview kembali apa yang menjadi kebutuhan hidup saya pada saat ini. Kawin lagi, seperti yang 'dituntut' atau paling tidak diharapkan oleh keluarga saya? Aduh, rasanya engga deh ! Untuk apa kawin lagi? Teman-teman perempuan sebaya atau yang lebih tua (yang sudah janda maupun belum) mengatakan, Ngapain Jul? Nambah persoalan aja. Memang, soalnya, cari nafkah sudah bisa sendiri, secara sosial dari dulupun biasa kemana-mana sendiri, secara emosional juga mandiri. Malas sekali rasanya, apalagi kalau memikirkan harus mungutin celana dalam dan kaos kaki yang berserakan di lantai, atau handuk basah yang bukannya digantung, malah dilempar di tengah tempat tidur; tutup odol yang tidak ditutup, kebiasaan-kebiasaan lain yang menjengkelkan, berbagai urusan tetek-bengek keseharian rumah tangga, serta kompromi-kompromi lainnya. Juga tentunya karena sudah terbiasa dengan kesendirian, kebiasaan dan kebebasan yang saya miliki. Apalagi sebagai penulis saya senang, dan bahkan dituntut untuk sendiri. Nanti ada suami malah mengurangi fokus dan konsentrasi saya, padahal siapa tahu diparuh kedua hidup saya ini bisa melahirkan 'bayi-bayi' lagi. Bukan bayi manusia tentunya, tapi karya tulisan ataupun karya lainnya, yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari dulupun, ketika saya masih berstatus menikah, apalagi dihadapan suami yang bertahun-tahun sakit, sudah mandiri - memang sudah dari sononye, apalagi saya dididik di luar negeri sebagai anak diplomat. Toh saya menikah selama 27 tahun lamanya - tidak main-main - bahkan sudah bisa dianggap 'veteran' perkawinan. Jangan-jangan mesti diberi medali, di tengah tingkat perceraian yang begitu tinggi - yang akan lebih tinggi lagi kalau perkawinan pura-pura (untuk status, untuk alasan ekonomi, karena kebiasaan), bubar. Selain itu, saya menikah pada usia yang relatif muda - 20 tahun - jadi sekarang ini ingin menikmati being single again dong. Tapi jujur saja, selain freedom, sebagai perempuan normal, saya juga membutuhkan keintiman. Keintiman apa? Ya, emosional dan seksual tentunya. Kalau 'keintiman' intelektual, bisa di dapat dengan banyak orang, bahkan harus dengan banyak orang. Tiba-tiba, di tengah-tengah maraknya perdebatan tentang poligami, saya terinspirasi, kenapa saya tidak berpoligami saja? Lho, lho, lho, Julia Suryakusuma yang dikenal sebagai salah seorang pelopor feminisme di Indonesia, Julia yang terkenal garang itu? Wow! Apa yang terjadi? Pasti banyak orang akan berpikir, si Julia udah gila, kelewat frustrasi, atau sudah benar-benar desperate?? Pasti saya dicerca, dikecam dan dilempari tomat busuk dan batu (tak apa-apalah dilempari batu, asal batu berlian saja!) dicap penghianat, oleh teman-teman feminis maupun non-feminis. Tenang, tenang - ini kan cuma ngelamun saja, istilah kerennya, refleksi. Saya ingin memperkenalkan konsep poligami a la feminis, atau paling tidak feminis a la saya (karena tidak semua feminis akan setuju dengan saya - feminis kan macam-macam alirannya), dan menawarkan suatu paradigma baru. Begini. Banyak wanita dewasa seusia saya, sudah self-contained. Maksudnya bukan cuma serba-bisa, tapi ada kepercayaan diri (self-esteem) yang utuh, sudah bisa memanage diri sendiri dan orang lain, memiliki pengalaman dan merasakan asam-garamnya kehidupan, bisa bertindak sebagai pengayom, dan kemungkinan juga sudah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang baik. Mapanlah. Tidak lagi mencari security (apakah itu secara emosional ataupun materi) ataupun kelengkapan dirinya, hal-hal yang biasanya menjadi alasan bagi wanita muda untuk mencari pasangan. Salah satu faktor mengapa saya mempertimbangkan poligami adalah karena rasanya kalaupun saya menikah lagi, ingin dengan yang lebih muda, paling tidak sepuluh tahun lebih muda. Nah, ini, melanggar aturan lagi - bagaimana sih? Mengapa pilihannya kepada yang lebih muda? Cari daun muda, wah, tante girang dong! Ya, tidaklah. Alasannya karena saya merasa muda di hati, secara fisik juga masih oke, mengikuti jaman, punya pandangan yang progresif, bahkan sering dianggap terlalu progresif untuk jamannya. Kemungkinan pria yang lebih tua tidak bisa mengikuti cara berpikir saya. Alasan lainnya - jujur saja - suami saya dulu 15 tahun lebih tua, jadi wajar kalau sekarang cari yang berbeda. Variasi. Dan sebenarnya, perempuan dewasa juga bukan hanya lebih matang secara seksual, tapi - apalagi yang pra-menopause - bisa mengalami peningkatan gairah