RE: [budaya_tionghua] Re: OOT: Jimmy, kenapa anti RRT sekali...??
Warga Tionghoa Harapkan Tidak Ada Lagi Diskriminasi Jakarta, (Analisa) Warga Tionghoa mengharapkan dengan telah disahkannya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan maka tidak ada lagi diskriminasi perlakuan dalam segala bidang. Dengan adanya undang-undang tersebut dan UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan maka sebutan pribumi dan nonpribumi tidak lagi relevan saat ini karena kita sesama bangsa Indonesia, kata Koordinator Forum Bersama Indonesia Tionghoa Murdaya W Poo dalam acara puncak perayaan Cap Go Meh di arena Pekan Raya Jakarta, Kamis malam. Dalam acara yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono itu, Murdaya W Poo juga menyatakan dengan kondisi itu maka warga etnis Tionghoa di Indonesia juga harus lebih bekerja keras membangun Indonesia bersama-sama suku lainnya di Nusantara. Marilah kita tidak saling menjelekkan, apalagi saling menjatuhkan, marilah kita saling mengisi, mendukung dan membangun bersama, katanya. Ia juga menyatakan sudah saatnya semua konflik yang pernah ada diakhiri untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Forum bersama etnis Tionghoa ini terbentuk secara alami oleh para tokoh organisasi Tionghoa yang ingin mengajak segenap generasi tua dan muda etnis Tionghoa di Indonesia meningkatkan rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia, ujar Murdaya. Murdaya juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Yudhoyono yang telah melakukan upaya untuk mengakhiri diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Cap Go Meh merupakan bagian akhir sebagai penutup dari perayaan Tahun Baru Imlek selama dua minggu lamanya. Cap Go Meh berarti lima belas yaitu pada tanggal 15 bulan satu kalender Lunar yang umumnya dilakukan dalam perayaan itu adalah warga etnis Tionghoa dan warga non Tionghoa melakukan arak-arakan dengan membawa Toa Pe Kong dari Kelenteng-Kelenteng Budha. Cap Go Meh merupakan pesta yang membudaya sejak jaman awal generasi Tionghoa tiba di Indonesia dan merupakan keanekaragaman budaya Indonesia termasuk dengan kulturasi budaya yang terjadi kemudian. Dalam kepercayaan warga Tionghoa, Cap Go Meh merupakan awal dari siklus tahunan satu tahun yang akan datang. (Ant) Teks foto: HADIRI PERAYAAN CAP GO MEH: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono memasuki ruang acara perayaan Cap Go Meh di Jakarta Internsional Expo, Kamis malam (21/2). Perayaan tersebut selain dihadiri Kepala Negara juga para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan warga Tionghoa. - E-Mails jetzt auf Ihrem Handy.. [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Re: SEMBAYANG TI KONG
Sdri. Siao Ling yth, Nanas banyak digunakan untuk sembahyang Thi Kong, karena dalam dalam dialek Hokkian selatan (Minnan/Banlam) nanas adalah ong-lai, yang sama bunyi dan nadanya dengan frasa ong lai yang bermakna 'datanglah kemakmuran.' Ini menyiratkan harapan agar Thi Kong berkenan memberi kemakmuran di tahun yang sedang berjalan. Kiongchiu, Kian Hauw --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Han Siao Ling [EMAIL PROTECTED] wrote: Bpk Xoan Tong yth, Xie-Xie atas jawabannya. tapi timbul satu pertanyaan lagi, kenapa kok tidak boleh yg berduri? bagaimana definisi duri itu? apakah seperti durian? bagaimana dengan nenas? setahuku, nenas banyak digunakan delam acara sembahyangan. oh ya tentang jam, ternyata seperti itu maknanya. Jika jam 23.00 adalah jam Zi, apakah tiap jam ada namnya sendiri? Bagaimana dengan jam yg juga dihubungkan dengan shio? aku pernah dengar katanya jam 23.00 s/d 01.00 itu termasuk dalam jam tikus? Apakah jam kelahiran juga ada hubungannya dengan karakter? Mohon pencerahannya. Ling. 2008/2/16 perfect_harmony2000 [EMAIL PROTECTED]: Sdr. Siao Ling, buah yang boleh digunakan adalah buah lokal tapi hindari buah yang berduri. Mengenai kue, maaf saya tidak tahu artinya. Sembahyang dimulai pada jam 11 pm - 1 am. Maknanya adalah pergantian qi Yin menuju Yang dan juga jam tersebut adalah jam Zi, dimana Zi dianggap permulaan dari pergerakan waktu. Hormat saya, Xuan Tong --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com budaya_tionghua% 40yahoogroups.com, Han Siao Ling hansiaoling@ wrote: Dear semuanya, terima kasih infonya tentang tebu. Saya mau nanya lagi nih, apakah buah yg dipakai buah lokal? atau memang sdh ditentukan buah apa yg boleh. Mohon pencerahannya. Satu lagi, tentang kue ku (yg warnanya merah dan dalamnya kacang ijo), apa maknanya. JUga bakcang (tanpa isi) dan ketan yg dimasak dng gula jawa. Oh ya, kenapa acara sembahyangnya kok tengah malam? bukannya pagi2? terima kasih. salam, ling 2008/2/15 Hendri Irawan henyung@: Saudari Rahadi, Untuk kue bulan, ini berkaitan dengan festival Tiongciu / Zhongqiu. Sebuah festival yang berasal dari kebudayaan petani yaitu festival masa panen. Hal ini bisa disearch di arsip milis, banyak yang membahas mengenai festival ini dan kue bulan. Sebagai contohnya saya kutipkan pesan dari bung Jiang di bawah. Hormat saya, Yongde http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/20839 *Legenda Kue Bulan* Sumber : ftjenet.or.id Masyarakat Cina menyantap dan membagikan kue ini sebagai tanda syukur terhadap rejeki yang mereka terima sepanjang tahun ini. Dibalik rasa dan penampilannya yang manis, kue ini ternyata menyimpan cerita yang menarik. Versinya pun banyak sekali, hampir semuanya mengandung nilai filsafat yang tinggi. Versi Raja Ho Le Raja Ho Le adalah seorang raja yang tamak dan senang memperkaya diri sendiri. Rakyatnya sangat menderita, apalagi saat sang raja memerintahkan tabib istana agar membuatkan dia obat untuk memperpanjang umur. Ratu Jango sang permaisuri tidak setuju dengan permintaan sang suami, maka dicurilah ramuan obat tersebut kemudian diminumnya. Beberapa saat setelah meminum ramuan tersebut, ratu Jango menghilang dan muncul dalam mimpi seorang suhu. Lewat mimpi tersebut sang ratu mengatakan bahwa dirinya sekarang telah bersemayam di bulan dan menyebut dirinya Dewi Bulan. Sejak saat itu setiap tahun menurut kalendar Cina, masyarakat Cina selalu memperingati perjuangan ratu Jango dalam menyelamatkan masyarakat dari ketamakan Raja Ho Le. Versi perjuangan prajurit Cina Kue bulan bermula ketika cina dibawah penjajahan Mongolia. Pada akhir rejim mereka, pemerintahan sangatlah buruk. Raja hidup berhura-hura, padahal rakyat mereka penuh penderitaan. Saat keadaan ekonomi negara kacau, ada beberapa aktivis menyerukan revolusi. Sebuah revolusi direncanakan. Namum, karena pengawasan yang ketat dari pemerintahan mongolia, pesan dan surat dari para pemberontak tidak mungkin disebarkan. Akhirnya seorang aktivis bernama Chu Yuen-chang, dan deputi seniornya, Liu Po-wen memperkenalkan sejenis makanan yang disebut kue bulan. Ia mengatakan dengan memakan kue bulan saat festival terang bulan (Chung Chiu festival) akan menjaga mereka dari penyakit dan segera terbebas dari krisis. Liu berpakaian sebagai pendeta Tao membawa dan membagikan kue bulan penduduk-penduduk kota. Saat Chung Chiu festival tiba, rakyat membuka kue bulan dan mereka menemukan secarik kertas dalam kue, habisi orang-orang tartar tanggal 15 pada bulan ke delapan. Sebagai hasilnya semua rakyat bangkit berevolusi melawan pemerintahan Mongolia dan mereka berhasil !!!. Sejak saat
Re: [budaya_tionghua] OOT: Jimmy, kenapa anti RRT sekali...??
- Original Message - From: extrim_bluesky To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, February 22, 2008 11:43 AM Subject: [budaya_tionghua] OOT: Jimmy, kenapa anti RRT sekali...?? Ataukah Jimmy sulit menerima bahwa sistem sosialis RRT itu ternyata lebih baik dari sistem liberal demokrasi ala Western Power? ketahuilah Jim, bahwa Cerita Sukses Tiongkok itu bukan tantangan baru bagi liberal demokrasi pasca rezim Fasis 1930-an. Dada : saudara jimmy mengajukan pentingnya wni membela kepentingan negara RI , bukan berarti menegaskan dirinya anti RRT... Tidak ada system yang terbaik , yang ada system yang paling tepat untuk setiap negara.. sosialis berhasil di tiongkok , lum tentu berhasil di barat , vice versa...demokrasi dibarat pun nyatanya tidak berhasil di negara berkembang Dari kalimat bahwa sistem sosialis RRT itu ternyata LEBIH BAIK dari sistem liberal demokrasi ala Western Power? saja sudah dibangun secara tidak rasional = anda pasti mengira bahwa peran agama yg bebas dari intervensi negara adalah pondasi dari liberal demokrasi. Tapi mari kita liat contoh Amerika deh. Jimmy Carter, dalam bukunya yg berjudul Our Endangered Values, berkata: One of the most bizarre admixtures of religion and government is the strong influence of some Christian fundamentalists on US policy in the Middle East. Dada : Jimmy Carter pun mencantumkan kata fundamentalist sebagai penegas , yang semestinya anda cermati. Xie Xie --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Jimmy Tanaya [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Thio, Sekalian didiskusikan 2 email anda ya. Yg pertama seperti judul diatas. Yg kedua soal org tionghoa indonesia harus membela yg mana misal perang RRC-NKRI. Saya pandang, 2 hal ini saling terkait. Utk awal, daripada salah paham, mungkin bisa anda jelaskan kriteria baihua itu seperti apa? siapa yg anda 'tuding' sebagai baihua? lalu apakah harus bisa baca aksara (bukannya orang dulu juga banyak yg buta huruf)? Oh ya, btw, yg menggencet 'tionghoa' bukan cuma Suharto lho. Kroninya (yg tidak sedikit ber-etnis tionghoa) juga punya peran besar. Kita yg (sadar maupun tidak) lebih memilih 'menyogok' daripada susah payah mengurus, juga ikut mengamini segala macam pemerasan (jadi ada salah kita juga, yg mungkin bahkan lebih besar). Himbauan anda, yg meneruskan dorongan kawan pak Thio, itu bagus. Sayangnya Pak Thio, himbauan tersebut mungkin hanya masuk telinga kiri keluar kanan. Toh 'terbukti' sedikit sekali org tionghoa yg masuk ke TNI, polri, dll. Bo cwan katanya hahahahhaa. Tapi lagu lama yg selalu diulang yaitu kami didiskriminasi uwoh.. uwoh Ada kata dalam bahasa jawa yg cocok menggambarkan perilaku ini yaitu kelakuan. Soal bila perang harus bela mana, Ya jelas tergantung kewarganegaraannya ybs. Bila dia WNI (ras apapun) ya jelas bela NKRI (kita kesampingkan dulu soal kenapa perang, dll). kalau dia WN PRC, ya silahkan mudik ke mainland, dan mo jadi tentara apa tidak, itu urusan PRC dengan WN PRC. Betul nenek moyang kita datang dari tiongkok. Tapi kita semua yg MEMILIH berwarganegara Indonesia, ya jelas disanalah loyalitas dan 'pengabdian' diberikan dan nasionalisme kita berada. Kalau tidak mau loyal kepada NKRI, ya simply lepaskan kewarganegaraan RI gitu lho. Ini bukan soal nasionalisme sempit, ataupun ultra nasionalist, melainkan soal hukum bela negara. Nah posisi pak Thio sendiri gimana? salam, jimmy
Pianhoa Lagi? (Re: [budaya_tionghua] Re: OOT: Jimmy, kenapa anti RRT sekali...??)
- Original Message - From: * To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, February 22, 2008 5:49 PM Subject: RE: [budaya_tionghua] Re: OOT: Jimmy, kenapa anti RRT sekali...?? Warga Tionghoa Harapkan Tidak Ada Lagi Diskriminasi Jakarta, (Analisa) -- Wah, ini posting dari si bu-beng yang mana lagi ya? Apa dari si jago pianhoa yang puthauw itu juga? Mana judulnya dan isinya jaka sembung lagi! Yang begini ini yang bikin milis ini jadi nggak nyaman... Wasalam.
Re: [budaya_tionghua] Re: milis budaya tionghoa
Pak Danardono HADINOTO, Mengapa cuma take or leave? Bukankah sejarah justru mengajarkan opsi pilihan antara, apakah itu mau disebut adaptasi, modifikasi, inkulturasi, konstekstualisasi, or sinkretisasi. Saat Jepang pada zaman Meiji berhadapan dengan budaya Barat, mereka tidak serta merta take or leave it, tetapi mengadopsi dan mengadaptasi budaya dalam hidup mereka. Jadilah Jepang bentuk baru, maju setara Barat tetapi tetap kental tradisinya. Bukankah juga mungkin bagi setiap individu, saat berjumpa dengan budaya tertentu, tidak serta merta take it or leave it, tetapi mengadaptasi ataupun mengkonstektualisasi kedalam kondisinya? Salam, Kheng Hong RM Danardono HADINOTO [EMAIL PROTECTED] wrote: ... Take it or leave it. Salam budaya Danardono - - Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Re: milis budaya tionghoa
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Can Kheng Hong [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Danardono HADINOTO, Mengapa cuma take or leave? Bukankah sejarah justru mengajarkan opsi pilihan antara, apakah itu mau disebut adaptasi, modifikasi, inkulturasi, konstekstualisasi, or sinkretisasi. Saat Jepang pada zaman Meiji berhadapan dengan budaya Barat, mereka tidak serta merta take or leave it, tetapi mengadopsi dan mengadaptasi budaya dalam hidup mereka. Jadilah Jepang bentuk baru, maju setara Barat tetapi tetap kental tradisinya. Bukankah juga mungkin bagi setiap individu, saat berjumpa dengan budaya tertentu, tidak serta merta take it or leave it, tetapi mengadaptasi ataupun mengkonstektualisasi kedalam kondisinya? Salam, Kheng Hong Sebelum kita melanjutkan diskusi ini, saya ulangi kalimat saya yang berhubungan dengan take it or leave it: Falsaafah Bali yang menggambarkan dunia mikrokosmos dan makrokosmos mereka, diterangkan secara cpmprehensive dalam kepercayaan mereka, bukan dalam kepercayaan lain, yang mungkin datang ke Bali dikemudian hari. Demikian pula dengan pembahasan dan pembelajaran budaya Tionghoa, budaya Jepang, budaya India, budaya Jawa, dll. Take it or leave it... Anda tanyakan, apakah tak ada opsi lain, seperti adaptasi, modifikasi, inkulturasi, konstekstualisasi, or sinkretisasi. Kita kembali ke contoh Budaya Bali. Budaya Bali ber-intikan kepercayaan Hindu Bali, yang dimanifestasikan dengan seni tari, seni musik, seni bangunan, senirupa sampai ke tradisi khas Bali, seperti pembakaran jenazah, upacara perkawinan dll. Andaikata manusia me modifikasinya, men-sikretisasinya, apakah yang muncul? masih budaya Hindu Bali? Dapatkah kepercayaan Hindu bali dengan pemahaman Trimurti sebagai sentra-nya, anda adaptasi dengan akjaran Trinitas atau ajaran yahudi, ajaran Islam? lalu kita mau kemanakan ke Hindu Bali-an budaya ini? Bukankah akan muncul budaya lain, yang mungkin bentuk yang mirip atau yang lain, tetapi masihkah kita bicara tentang Hindu Bali? Mangga Harumanis yang kita silang dengan mangga Gadung, masihkah mangga harumanis? Mungkin masih mangga , ya, tetapi inikah yang kita maksud? Bagaimana anda mau meng-kontexualisasikan kebudayaan Tionghoa yang berintikan ajaran Dao atau Konghucu? bagaimana kita meng- kontextualkan budaya Jawa? Kita tetap harus memilih, antara menerima inti kebudayaan itu as it is, atau membentuk suatu benda yang baru. Inkulturisasi. OK. Ketika Islam masuk ke Jawa, maka timbul inkulturisasi dalam bentuk perkawinan antara ajaran Islam dan elemen budaya Jawa. Tetapi, perhatikanlah lebih dalam, bentuk budaya ini tidak dibenarkan menurut akidah Muslim yang khaffah. Apabila anda menikmati pertunjukan wayang, yang mengisahkan dua epos, Mahabharatta atau Ramayana, maka selalu terdapat dialog yang menyangkut faham Hindu dengan ke Trimurtian-nya. Disini, inkulturisasi berakhir. Dalam setiap lakon wayang, beratus kali muncul peran Dewa, yang secara tegar ditolak dalam ke tauhidan kepercayaan Semit. Tentu saja, saya dapat memakai sarung Jawa dari bahan batik, lalu memakai jas Eropah dengan dasi. Tetapi apa yang saya pakai sebenarnya? busana apa? Mungkinkah anda masukkan patung bunda Maria dan yesus serta Yosef ketengah altar di kelenteng? Tentu saja dapat, tetapi apakah ini masih khas kelenteng? Anda dapat menjawabnya salam budaya Danardono
[budaya_tionghua] Re:Fw: Sungguh, Kami etnis Tionghoa Enggak Eksklusif
Bila saja semua orang Indonesia berpandangan seperti sdr Ivan Wibowo, Oktavianus, Fivi dan fifi, tentunya Indonesia akan menjadi negeri yang damaa... Namuun... sayang 1000 sayang sebagian besar masih mempunyai rasa cemburu iri dan dengki. Dahulu saya pribadi berpendapat ooh mungkin rasa cemburu tsb karena banyak etnis Tionghoa yang Show Off, namun pada kenyataannya sama sekali tidak... coba kita lihat etnis India ataupun Arab yang kaya raya, nggak pernah saya mendengar sentimen Anti Arab atau sentimen Anti India. Bahkan kalau kita menyimak kota Singkawang di Kalimantan, banyak etnis Tionghoa yang hidup melarat (dibawah garis kemiskinan), tetap saja mereka di diskriminasi. Lebih dekat lagi di daerah kampung Naga, Mauk, Tangerang juga banyak etnis Tionghoa yang bahkan sudah membaur (berasimilasi) dan hidup miskin, tetap saja yang di tonjolkan ke Cina-annnya utk di diskriminasi. Bila ada sekelompok tokoh masyarakat, pemerintah yang berpendapat etnis Tionghoa sekarang sudah diterima ah.. itu kan cuma sebagian kecil saja yang di expose untuk kepentingan politis. Masalah diskriminasi etnis sebenarnya terjadi dimana saja, bahkan di negara baratpun. Namun disana pemerintah benar benar menjalankan fungsinya utk menegakkan hukum. Di Indonesia masih banyak terjadi organisasi organisasi massa bisa dengan mudah turun kejalan utk menunjukkan kekuatan anti etnis dan agama tertentu. Perang Orang Tua, Guru dan sesepuh dalam membentuk karakter generasi muda yang baik dan toleran sangat menentukan. Semua kembali kepada kita masing-2 dan akhirnya waktu pula yang menentukan. Salam damai.. .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ * Your email settings: Individual Email | Traditional * To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join (Yahoo! ID required) * To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[budaya_tionghua] Larangan Atraksi Barongsai Bertentangan dengan Hukum - Cap Go Meh, Merayakan Perbedaan - Mengangkat Masa Kelam Tionghoa
SUARA PEMBARUAN DAILY Larangan Atraksi Barongsai Bertentangan dengan Hukum [SINGKAWANG] Surat Keputusan (SK) Wali Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) No 127/2008 tentang Larangan Penjualan Mercon dan Pengaturan Permainan Naga dan Barongsai di Kota Pontianak sangat bertentangan dengan hukum. Kebijakan itu sangat bertentangan dengan pengembangan dan khazanah budaya. Hal tersebut dikatakan Agustinus Clarus, anggota DPR asal Kalbar kepada SP, Kamis (21/2), di Kota Singkawang, Kalbar. SK Wali Kota Pontianak No 127/2008 merupakan satu bentuk sempitnya wawasan tentang kebudayaan. Karena budaya adalah hakikat hidup masyarakat dan kebudayaan itu hidup di masyarakat. Cara hidup masyarakat dapat diketahui dari bentuk budaya yang dijalankan masyarakat. Jadi, tidak perlu wali kota melarang atau mengatur terhadap permainan satu budaya. Budaya itu menyangkut hak asasi manusia, jadi kebijakan wali kota Pontianak sangat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Untuk itu, pihaknya mengharapkan kepada masyarakat dan penegak hukum agar lebih bijak dalam menafsirkan dan membuat satu peraturan. Hendaknya peraturan itu tidak merugikan pihak lain. Saat ini kita sedang mengembangkan wisata budaya di seluruh Tanah Air. Namun, di sisi lain ternyata ada daerah yang melarang atau mengatur permainan kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran kita terhadap perkembangan kebudayaan menjadi mundur. Karena beberapa waktu yang lalu kita memperkenalkan dan mengembangkan semua budaya untuk dapat dijadikan sebagai aset bangsa dan wisata, katanya. [146] Last modified: 22/2/08 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/22/opi01.html Cap Go Meh, Merayakan Perbedaan Oleh Tom Saptaatmaja Pesta Cap Go Meh sebagai puncak Tahun Baru Imlek telah tiba. Seperti diketahui, Imlek adalah tahun baru paling unik dibanding sistem kalender yang lain, karena dirayakan selama 15 hari, bukan cuma satu hari atau sekadar satu malam seperti tahun baru Masehi. Pada Kamis 7 Februari 2008 lalu adalah 1 Cia Gwee atau hari pertama Imlek dan penutupannya jatuh pada hari ke-15 bertepatan dengan 23 Februari 2008 yang biasa disebut Cap Go Meh. Istilah ini berasal dari dialek Hokkian dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama. Lepas dari segala aspek ritualnya, Cap Go Meh telah menjadi pesta multibudaya atau multi-etnis karena tidak hanya menonjolkan peran etnis Tiong-hoa saja. Di Jakarta tempo doeloe, Cap Go Meh selalu menjadi ajang pawai budaya seluruh kelompok masyarakat baik Tionghoa, Betawi, Arab dll. Bahkan kali ini, Gubernur Fauzi Wibowo dikabarkan siap membuka pesta Cap Go Meh di Jakarta. Malah Cap Go Meh di Singkawang dimanfaatkan untuk mendukung program Visit Indonesia Year 200, sedang di kawasan lain di tanah air, Cap Go Meh menjadi pesta keragaman budaya yang menarik. Bayangkan, pelaku ritual tatung berasal dari penganut Khonghucu, penari barongsai dari kelompok pesilat Tionghoa, penabuh tambur dari suku Madura, etnik Melayu mengambil peran sebagai pengangkat tandu (Toa Khio). Malam harinya giliran pertunjukan wayang potehi (wayang boneka katun dari Fujian, RRC) yang mengangkat cerita klasik dari Tiongkok dengan dalang dari suku Jawa. Memang sejak pencabutan Inpres No 14/1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 lalu, ada pemandangan yang membanggakan setiap kali pesta Cap Go Meh. Semua lapisan masyarakat, khususnya yang bukan Tionghoa, ikut beramai-ramai dalam kemeriahan atraksi budaya barongsai, liang-liong. Partisipasi warga non-Tionghoa itu mengingatkan Cap Go Meh sebelum tahun 1965. Partisipasi itu jelas layak diapresiasi. Merayakan Perbedaan Jadi jika dikaji, pesta Cap Go Meh kini berada dalam proses pergeseran dari pesta milik masyarakat Tionghoa menjadi pesta milik bangsa Indonesia secara keseluruhan, tentunya dengan dipelopori oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Proses pergeseran atau lebih tepatnya integrasi itu, paling tampak dalam sajian lontong Cap Go Meh yang bisa kita temui di restoran, rumah makan atau warung. Makanan ini disajikan pada hari ke-15 yang merupakan penutupan rangkaian acara perayaan Imlek. Dengan demikian lontong ini menjadi simbol atau representasi pertautan lintas entis. Pasalnya lontong bukanlah makanan asli China, tapi jenis makanan asli negeri ini. Apalagi kalau kita tanya siapa yang suka lontong Cap Go Meh, rasanya juga bukan monopoli satu etnis saja. Dengan demikian, lontong menjadi simbol etnis Tionghoa tidak alergi pada apa yang baik yang berasal dari luar etnisnya. Lontong itu juga menjadi ungkapan bahwa jika kita bisa meramu perbedaan, yang satu ini bisa menjadi berkah dan memberi nilai tambah bagi kebudayaan nasional kita. Karena itu, pesta Cap Go Meh menjadi momentum tepat untuk menggelorakan semangat toleransi dan
[budaya_tionghua] Re: SEMBAYANG TI KONG
Boleh sedikit menambahkan; Sembayang Ti Kong kemarin baru saya pelajari itu pada tanggal 8 bulan 1 kalender tionghoa. Yang saya baru ketahui ada upacara sembayang pada hari ini disebut kunjungan sembayang 8 Klenteng atau wihara dalam 1 hari. Tujuan sembayang ini untuk mengucapkan Syukur dan berkah kepada Ti Kong atas tahun yang baru. yang saya belum ketahui adalah sejarah mengenai ini ?. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, david_kwa2003 [EMAIL PROTECTED] wrote: Sdri. Siao Ling yth, Nanas banyak digunakan untuk sembahyang Thi Kong, karena dalam dalam dialek Hokkian selatan (Minnan/Banlam) nanas adalah ong-lai, yang sama bunyi dan nadanya dengan frasa ong lai yang bermakna 'datanglah kemakmuran.' Ini menyiratkan harapan agar Thi Kong berkenan memberi kemakmuran di tahun yang sedang berjalan. Kiongchiu, Kian Hauw --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Han Siao Ling hansiaoling@ wrote: Bpk Xoan Tong yth, Xie-Xie atas jawabannya. tapi timbul satu pertanyaan lagi, kenapa kok tidak boleh yg berduri? bagaimana definisi duri itu? apakah seperti durian? bagaimana dengan nenas? setahuku, nenas banyak digunakan delam acara sembahyangan. oh ya tentang jam, ternyata seperti itu maknanya. Jika jam 23.00 adalah jam Zi, apakah tiap jam ada namnya sendiri? Bagaimana dengan jam yg juga dihubungkan dengan shio? aku pernah dengar katanya jam 23.00 s/d 01.00 itu termasuk dalam jam tikus? Apakah jam kelahiran juga ada hubungannya dengan karakter? Mohon pencerahannya. Ling. 2008/2/16 perfect_harmony2000 perfect_harmony2000@: Sdr. Siao Ling, buah yang boleh digunakan adalah buah lokal tapi hindari buah yang berduri. Mengenai kue, maaf saya tidak tahu artinya. Sembahyang dimulai pada jam 11 pm - 1 am. Maknanya adalah pergantian qi Yin menuju Yang dan juga jam tersebut adalah jam Zi, dimana Zi dianggap permulaan dari pergerakan waktu. Hormat saya, Xuan Tong --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com budaya_tionghua% 40yahoogroups.com, Han Siao Ling hansiaoling@ wrote: Dear semuanya, terima kasih infonya tentang tebu. Saya mau nanya lagi nih, apakah buah yg dipakai buah lokal? atau memang sdh ditentukan buah apa yg boleh. Mohon pencerahannya. Satu lagi, tentang kue ku (yg warnanya merah dan dalamnya kacang ijo), apa maknanya. JUga bakcang (tanpa isi) dan ketan yg dimasak dng gula jawa. Oh ya, kenapa acara sembahyangnya kok tengah malam? bukannya pagi2? terima kasih. salam, ling 2008/2/15 Hendri Irawan henyung@: Saudari Rahadi, Untuk kue bulan, ini berkaitan dengan festival Tiongciu / Zhongqiu. Sebuah festival yang berasal dari kebudayaan petani yaitu festival masa panen. Hal ini bisa disearch di arsip milis, banyak yang membahas mengenai festival ini dan kue bulan. Sebagai contohnya saya kutipkan pesan dari bung Jiang di bawah. Hormat saya, Yongde http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/20839 *Legenda Kue Bulan* Sumber : ftjenet.or.id Masyarakat Cina menyantap dan membagikan kue ini sebagai tanda syukur terhadap rejeki yang mereka terima sepanjang tahun ini. Dibalik rasa dan penampilannya yang manis, kue ini ternyata menyimpan cerita yang menarik. Versinya pun banyak sekali, hampir semuanya mengandung nilai filsafat yang tinggi. Versi Raja Ho Le Raja Ho Le adalah seorang raja yang tamak dan senang memperkaya diri sendiri. Rakyatnya sangat menderita, apalagi saat sang raja memerintahkan tabib istana agar membuatkan dia obat untuk memperpanjang umur. Ratu Jango sang permaisuri tidak setuju dengan permintaan sang suami, maka dicurilah ramuan obat tersebut kemudian diminumnya. Beberapa saat setelah meminum ramuan tersebut, ratu Jango menghilang dan muncul dalam mimpi seorang suhu. Lewat mimpi tersebut sang ratu mengatakan bahwa dirinya sekarang telah bersemayam di bulan dan menyebut dirinya Dewi Bulan. Sejak saat itu setiap tahun menurut kalendar Cina, masyarakat Cina selalu memperingati perjuangan ratu Jango dalam menyelamatkan masyarakat dari ketamakan Raja Ho Le. Versi perjuangan prajurit Cina Kue bulan bermula ketika cina dibawah penjajahan Mongolia. Pada akhir rejim mereka, pemerintahan sangatlah buruk. Raja hidup berhura-hura, padahal rakyat mereka penuh penderitaan. Saat keadaan ekonomi negara kacau, ada beberapa aktivis menyerukan revolusi. Sebuah revolusi direncanakan. Namum, karena pengawasan yang ketat dari pemerintahan mongolia, pesan dan surat dari para pemberontak tidak mungkin disebarkan. Akhirnya seorang aktivis bernama Chu Yuen-chang, dan deputi seniornya, Liu
[budaya_tionghua] Re: milis budaya tionghoa - sambungan
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Can Kheng Hong [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Danardono HADINOTO, Mengapa cuma take or leave? Bukankah sejarah justru mengajarkan opsi pilihan antara, apakah itu mau disebut adaptasi, modifikasi, inkulturasi, konstekstualisasi, or sinkretisasi. Saat Jepang pada zaman Meiji berhadapan dengan budaya Barat, mereka tidak serta merta take or leave it, tetapi mengadopsi dan mengadaptasi budaya dalam hidup mereka. Jadilah Jepang bentuk baru, maju setara Barat tetapi tetap kental tradisinya. Bukankah juga mungkin bagi setiap individu, saat berjumpa dengan budaya tertentu, tidak serta merta take it or leave it, tetapi mengadaptasi ataupun mengkonstektualisasi kedalam kondisinya? Salam, Kheng Hong Can Heng yang baik, saya sambung penuturan saya mengenai thema itu sebagai penuntasan tanggapan saya. Contoh anda mengenai sikap bangsa Jepang justru baik sekali untuk menjelaskan hal ini. Reformasi Meiji memang membentuk bangsa Jepang baru, correct, tetapi tidak menimbulkan budaya Jepang baru. Budaya Jepang, yang dimanifestasikan dalam seni sstra, seni musik, seni tari, kepercayaan way of life, TIDAK berubah. Tak ada perbedaan antara Budaya Jepang pra dan post era Meizi tenno. Mereka memakai busana barat se-hari hari, mengadopsi tekhonology Barat, berkomunikasi dengan Barat, tetapi, mereka tetap mempunyai busana kimono, theater Kabuki (yang tak berubah sejak entah berapa ratus tahun), seni musik, kepercayaan Shinto, dan... yang essential semangant Bushido yang shintowi itu. Balatentara Jepang mengobarkan Perang Pacific Raya diawal tahun 40an 100% dengan tekhnik persenjataan Barat (Navy menurut gaya Inggris, Army menurut gaya Jerman), tetapi sebagai kekuatan militer Jepang yang membawa budaya Jepang ke tanah yang diduduki! Mengibarkan bemdera matahari bersinar demi keagungan Tenno Heika. Kuil untuk penghormatan bagi yang gugur dan operasi tempur itu sendiri masih sama, sampai kini, kuil perang Yasukuni. Mereka tak mengadakan penghormatan pada arwah pahlawan menurut gaya dan dirumah ibadat Non Shinto. Pemimpin jepang yang melawat ke LN tak pernah berpidato dalam bahasa asing, selalu dalam bahasa Jepang! Budaya Jepang tetap utuh, tidak mereka modifikasi. Tambahan tambahan dari unsur budaya luar memperkaya mereka, tetapi mereka tempatkan diluar bangunan budaya mereka, TIDAK mereka synkretisasikan menjadi sesuatu yang hybrid. Mereka punya KFC dan Mc Donnald's, tetapi tempura tetap tempura... Salam budaya Danardono
[budaya_tionghua] Kenapa dengan anda...??
Wah, Jimmy anda terlalu prejudice. Saya tidak hendak berdiskusi mengenai anda pribadi. Subjek saya itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. Siapa pribadi anda, saya tidak perduli. Yg saya tanya adalah pendapat anda. So, jangan terlalu gede rasa hingga saya berniat mencari tau tentang diri anda. Tentu saja, saya berniat baik dalam diskusi masalah semangat anti RRT yg bisa berimplikasi pada dipersekusinya etnik Tionghoa di negeri-negeri rasis anti RRT. Apa yg pernah terjadi di Indonesia merupakan salah 1 contoh dari pendapat saya itu. Oleh karena itu, saya kira, penting bagi kita semua untuk memahami relasi antara sebuah negeri asing, etnik Tionghoa, Tiongkok. Saya menghina anda? Kapan, dimana dan di bagian mana dari tulisan saya yg menghina anda? pelintir buku Soe Hok Gie yg mana pula? anda ini ngomong apa sih Mbak? coba anda baca baik-baik sekali lagi tulisan saya yg kemarin itu. Tolong sebut di mana saya menghina anda, tidak hormat sama anda dsb. Nih saya tampilkan kembali tulisan saya itu ya: Beberapa kali saya baca email Sdr. Jimmy, tampak benar anda itu sangat anti RRT. Saya sangat bingung dgn sikap ini. Semoga sudi memberi pencerahan ya Jim, dgn memberi penjelasan yg cukup rasional (bukan cuma kehendak menjilat penguasa pribumi aje). Menurut saya, saat ini ada 2 term menyangkut RRT i.e. China Threat dan China Model. Tampaknya, Sdr. Jimmy terpengaruh dgn istilah China Threat tersebut. SEdangkan saya lebih memilih pendekatan China Model yg bisa diterapkan, ditiru oleh banyak negara berkembang dan terbelakang di Asia-Afrika-Amerika Latin. Istilah China Threat sering digunakan sbg senjata untuk menyudutkan dan mengisolasi RRT. Dampaknya, hua-ren di sluruh dunia yg akan kena. Ataukah Jimmy sulit menerima bahwa sistem sosialis RRT itu ternyata lebih baik dari sistem liberal demokrasi ala Western Power? ketahuilah Jim, bahwa Cerita Sukses Tiongkok itu bukan tantangan baru bagi liberal demokrasi pasca rezim Fasis 1930-an. Adalah totally keliru jim, kalau anda menilai RRT dgn perspektif Western atau lebih parahnya berpijak pada sejarah Barat yg telah dipelintir. Ataukah Jimmy terprovokasi atas berita-berita miring tentang tiadanya kebebasan di RRT? Bukankah bagi liberal demokrasi kapitalis roader, unsur demokrasi adalah perpaduan dari network antara negara, club, agama, kelompok dan masyarakat yg mandiri? anda pasti berpendapat spt ini. anda pasti mengira bahwa peran agama yg bebas dari intervensi negara adalah pondasi dari liberal demokrasi. Tapi mari kita liat contoh Amerika deh. Jimmy Carter, dalam bukunya yg berjudul Our Endangered Values, berkata: One of the most bizarre admixtures of religion and government is the strong influence of some Christian fundamentalists on US policy in the Middle East. oke, segitu dulu. nanti kita bahas lebih mendalam. Xie Xie --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Jimmy Tanaya [EMAIL PROTECTED] wrote: Wahahahahaha, Seorang yg tidak tahu balas budi, tidah punya respect pada member lain (yg keduanya merupakan tanda anda tidak tahu/paham bahkan pada bentuk praktis 'kebudayaan tionghoa' yg paling sederhana sekalipun ttg hauw'), mau mencoba utk memancing saya dalam debat mengenai personal saya? Wahahaha, ya jelas saya tidak mau. Apa relevansinya debat ttg diriku dengan milis ini, sehingga harus diperbincangkan disini? saya juga tidak tertarik untuk membela diri saya dari fitnah maupun penghinaan anda. Saya anggap semua bentuk penghinaan anda sebagai compliments :). Plus, anda tidak punya niat baik utk berdiskusi. Lihat saja judul anda yang sudah mengambil kesimpulan bahkan sebelum diskusi dimulai hehehehe. Buat apa ada diskusi? atau tepatnya, memang akan ada diskusi? Plus memahami dengan baik pendapat orang lain saja anda tidak bisa. Apa yg bisa diharapkan dari sebuah diskusi dengan anda? Saya tidak butuh (dan tidak peduli akan) penilaian apakah saya baihua atau tidak, ataukah saya anti RRC atau tidak. Siapa anda yg bahkan tidak tahu apa aktivitas saya tetapi sok pintar mengambil kesimpulan seperti tercermin dalam judul diatas? Hehehehe. sono belajar lagi sama group intel ndeso bin katro anda utk cari info ttg saya. Nama saya nama terang dan asli kok. (Bahkan) saya pun tidak khawatir mencantumkan asal kota saya. Memperbandingkan kualitas ini saja anda sudah kalah jauh. So, silahkan nista/menghina/memfitnah saya semau anda. Itu hak anda. Hak saya juga untuk mengabaikan (ignore) segerombolan 'orang' yg mengaing2 atau melolong2 qeqeeqeqeqe :D. Anda belajar lagi deh teknik 'memancing' orang, maupun teknik debat dan teknik diskusi. Saya tidak butuh pujian, demikian pula, saya tidak peduli atas hinaan orang. Apalagi penghinaan/fitnah/etc dari jejadian/klonengan (yg ngaku2 dengan nick perempuan lagi). hiii ngeri ahhh hehehehehe. mengaku masih hidup dan seorang pria saja tidak berani :p. Ok, saya tunggu penistaan lainnya dari anda. Ataupun segala macam silat lidah anda yg mengatakan anda tidak
[budaya_tionghua] PAWAI 1000 Lampion
Hallo Rekans, saya bergabung kembali di milist ini, barang lama kemasan baru :D sekaligus mengirim infor tentang Perayaan Cap Go Meh di Surabaya. Besok sore, minggu 24 februari 2008, berangkat dari Kya-kya Kembang Jepun, Kapolwiltabes Surabaya dan Dahlan Iskan CEO Jawa Pos Group pk.18:00 akan memberangkatkan 1000 peserta pawai lampion. jalan kaki menuju balaikota Surabaya. Rombongan akan diterima Walikota Surabaya Bambang DH. Di balai kota seluruh peserta akan dihibur atraksi barongsai. arak2an di awali tarian naga. disiapkan 3 naga, puluhan barongsai dan ditutup dengan tarian naga yang mengiringi sepanjang perjalanan. JTV, televisi lokal surabaya menyediakan hadiah2 menarik untuk peserta, disamping dipilih peserta dengan desain lampion paling kreatif dan attraktif. juri antara lain Ibu Marlupi Sijangga (Seniman Ballet dan Direktur marlupi Dance academy), Chandra Wurianto (Pemerhati Budaya, pengurus Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya) dan saya sendiri mewakili akademisi (Universitas Ciputra Surabaya) sampai sabtu ini, sudah sekitar 800 peserta mendaftar, terbesar memang dari yayasan2 dalam koordinasi Paguyuban Masyarakat Tionghoa. yang masih mau bergabung, silahkan besok datang 1 jam sebelum acara dimulai di Kya-kya Kembang Jepun surabaya. So dont Miss it! banyak tabik, Fred ___DISCLAIMER___ This email and any files transmitted with it are confidential and intended solely for the use of the individual or entity to whom they are addressed. If you have received this email in error please notify the sender. Please note that any views or opinions presented in this email are solely those of the author and do not necessarily represent Universitas Ciputra as an academic institution. Finally, the recipient should check this email and any attachments for the presence of viruses. Universitas Ciputra accepts no liability for any damage caused by any virus transmitted by this email.
[budaya_tionghua] Fwd: Day 1 in Pontianak
Rekan-rekan semua, Berikut saya forward-kan laporan hari pertama perjalanan ke Pontianak dan Singkawang tim peneliti dari Singapura dan Canada bersama saudara Ardian. Laporan ini dikirim langsung dari Pontianak oleh salah satu peserta. Hormat saya, Yongde --- In [EMAIL PROTECTED], Victor Yue [EMAIL PROTECTED] wrote: Hi folks, This morning, at 6.30am, like excited schoolkids we were SMSing (text messaging) each other to check that we were indeed going to the right place. And so, by 6.45am, we were all ready to check into the departure lounge at Harbour Front. There was Margaret, Ronni, Tim, Aaron, Arthur and me .. the six of us, going into unknown land (as far as we are concerned). But with two veterans, we have no problems. One has the journalistic instinct and the other just has a nose for something interesting. And so, through many misadventures we got to learn a lot of things. By 12.15pm (Indonesian time .. it is one hour behind Singapore) we landed at Pontianak, after travelling over sea, land and air. Each of us had our impressions of how Pontainak will look like and I am sure each of us have to adjust our impression after bring met by the heat wave and the surroundings. The fluent Malay of Ronni and Margaret ensured that our trips to be smooth. Of course, we chipped in with our broken Mandarin and Teochew. Apparently, many of the Chinese in Pontianak are Teochew, whereas those in Singkawang are Hakka, Ready to go on our hunt, the poor friendly guy at the Gajah Mada Hotel frontdesk kena grilled by us. The more we checked around, it seems that Pontianak does not see much foreigners! And so, Ronni caused quite a stir wherever he went, what with his Malay and Hokkien! With so much to look for, we just went naturally into two groups, the research group and the hunter group. (^^) So, while Margaret, Tim and Arthur went to interview Pontianak Post (Chinese news paper), Ronni, Aaron and I decided to go for lunch first. We went a couple of steps away to have nasi padang. Not sure if the young SIngaporeans would eat, but we did and even has Bintang (beer) with 7UP in locally produced ice. Keeping our fingers crossed, we are still alive. (^^) After lunch we went walking along Jln Gajah Mada, checking on Teo (Zhang) Association - they are linked to the world Teo Federation and there was a poster of recent world conference in SIngapore, And then, we stepped into a joss shop. Woaw, the Teochew Ah Nya were tickled pink by this Angmoh (caucasian) barging in asking about the kim-shin (statue) in Hokkien. And soon, we struck up a lively conversation with the ladies. Wah, they have quite a range of joss papers, which according to this lady, were imported from China via Kuching (Sarawak, Malaysia) has an important main trunk road linking to Pontianak. Soon, we extracted the juicy tales such as why the Chap Goh Meh (15th day of Lunar New Year) celebrations was cancelled in Pontianak this year. Ah, on the surface, it was mentioned that there was an issue. From the streets, apparently, it is politics. And then, we learnt about tangki. There is one 84 year old tangki representing Guan Sheuy (Yuan Shuai) but they could not identify which Guan Sheuy. Along the way, Ronni spotted one nice Hu (talisman) and asked to take pictures. Of course, the lady was intrigued and soon, she sent us through the local transport (pickup truck buses) to this Chinese temple near to Tanjongpura. We just trusted her direction to the driver and were told to pay R2000 per person. This temple is dedicated to Mazu, NaZha and GanTianDaDi, with other Deities. The temple was said to be old but seemed new. According to one guy there who was very friendly and offered much information, they had done some renovations recently. Gosh, instead of giant joss sticks, here in Pontianak, it is giant candles!! On thing for sure from what I learnt from Yeow Wee, I looked for that extra beam under the roof. It was there. (^^) The guy sent us to the next temple dedicated to Guan Gong. But with no idea where we were going with his rapid Indonesian names, we walked and walked, exploring alleys and those wet market places that were history in Singapore. Ah, with an Angmoh, we became minor celebrities la .. everyone shouted Hi to Ronni .. wah, even girls in tudungs were waving vigorously at him to go to them. Not sure to buy food from them, for some proposals. (^^) So, far I have not seen a single angmoh! Maybe, we were in the wrong places. (^^) And then, we saw a temple named Shuang Zhong Miao (Siang Tong Beo as told to us by the people there). Here, we could not recognise the Deities. So, we need Jave's comments. (^^) I will send pictures later. The courtyard was just filled with dozens of giant candles on both side of a narrow walkway as we walked into the temple! We could feel the heat as we walked in. The Deities were different from what we have seen, And the devotees were lining up lions (like those of lion dances), probably made of dough According to
[budaya_tionghua] Fwd: Day 2: Pontianak to Singkawang
Yang ini laporan hari kedua. Saudara Rudi, salah satu teman kita di forum ini juga sudah turut serta. Hormat saya, Yongde --- In [EMAIL PROTECTED], Victor Yue [EMAIL PROTECTED] wrote: Hi folks, Alas, there was internet access problem when were in Pontianak hotel and in Singkawang, no internet access. So, I hope this gets through tonight. We are leaving for home tomorrow, or rather later this morning. (^^) What a trip! Victor Hi folks, It was another adventurous day. Alas, I could not give live update as our hotel in Sengkawang has no internet access. We had a rather leisure morning, having breakfast at 9am Pontianak Time. As usual, we could continue discussing and talking until Ronni decided we should be doing the walking and not the talking. (^^) We were still on the trail of the Guan Shuey mentioned to us. There were conflicting information. Margaret got from another source that they would be having consultations at 9am! When we finally found the temple which is at the alley facing Ligo Supermarkt, the people there were somewhat expecting us. Word must have gone around about a siow angmoh (crazy angmoh) looking for this Guan Sheuy. We were welcomed warmly. Ah, the people of Pontianak are so warm and friendly. It is as if they were not spoilt by the commercialism of tourism. We were quickly introduced to the 84 year old medium. Soon, we were being led to the three halls of the temple and even to the family history of the medium. He has a sister living in Singapore! He came to Pontianak with his father at the age of 15. His father brought the lao-yah (statue of Xuan Tian Shang Di) from China to Pontianak. Since there, they also have on the second hall, the God of Medicine and on the front, Chao Gong Ming, i.e. the Teo Guan Shuey we were looking for. The locals only know him as Guan Shuey! In Pontianak, instead of the praying to Tai Sui, of which it is part of it during the Chinese New Year, they actually have a table indicating which God to pray to depending on the year one was born. One of the common ones was the praying to the White Tiger (Bai Hu), Heavenly Dog (Tian Gou) and Wu Gui. We were all over the place, with six of us talking to more than six of them! There was this lady who is probably the niece to the medium, who was giving me the testimonies of how the Teo Guan Shuey had treated the people and one of them stayed to become a volunteer in the temple. Two of them were so kind as to guide us to our next destination, the Tua Pek Kong Temple. Margaret was told that this is the temple where most mediums would visit. The temple was very busy when we visited the place at almost 12noon. There were so many offerings fresh meat, eggs and fish! I don't remember seeing fresh fish being offered in the Hokkien temples in Singapore. The sky was turning dark and Ronni was intent on visiting the Cheng Huang Temple we saw last evening. So, we continued our journey, when we saw the Ming Shan Tan. We decided to pay a visit to this Buddhist looking temple. To our surprise, there was actually a mix of Deities. Taking the centre place was Yiao Ci Jin Mu (Ardian told us she is Xi Wang Sheng Mu) and above her was Tai Shan Lao Jun. On their left was Yu Huang and above him, three Buddhas, There was a very nice picture of Gui Shen. On the other side was Cai Sheng. This temple has communications with the Buddhist temples in Singapore. We then carried on to the City God Temple. It was a small temple in a shophouse but it was crowded and everyone was waiting for his/her turn to seek petition to the City Gods. The City God and his wife (I think) looked like they must have been officials before, very much like what I saw in Shanghai, unlike those in Singapore who are more related to the Hades. It was past 1pm and we rushed back to the hotel to prepare for checkout. Ardian and his wife, Mei have arrived, and together we went for lunch. Thereafter, Rudi joined us with more friends, Jack, Johnnie and Leong. With one more group, we were able to space out into two cars to Sengkawang. It was a four hour drive along a two-way road from Pontianak to Sengkawang. The road reminded me of the roads in the eastern part of Peninsula Malaysia, except that the traffic is heavier. With a brief stopover for a cup of coffee while waiting for the other car to catching, we were on our way again. Ronni confessed that he wanted to ask the driver of his car to stop some 20 times! There were just so many beautiful temples to explore. As we neared towards Sengkawang, about 15 minutes away, we stopped at this place called Yian Ting (Salt District) or Jam Thang in Hakka. Apparently, in the old days, this was the first place where the Hakkas lived upon arriving in Kalimantan and salt making was one of their early business. Rudi's friend, Eugenia, who is in Taiwan for some 10 years or so, has just come back for the Chap Goh Meh and she agreed to arrange for us to meet some tangki (known as
[budaya_tionghua] Kelenteng di TiongKok, Kelenteng di Indonesia
Beberapa belas tahun yang lalu, waktu pertama sekali menginjak ke Tiongkok, Beijing waktu itu, banyak hal terasa berbeda, dan khususnya tentang kelenteng, terasa benar perbedaan, kelenteng di Tiongkok dan di Indonesia. Setelah mengamati kelenteng di Tiongkok utara, di selatan, timur, barat dan tengah, dan mencoba mendalami sejarah, baru kemudian terasa benang merahnya. Tentu saja tulisan ini dibuat oleh seorang awam, bukan untuk diperdebatkan, tetapi mungkin pengamatannya bisa digunakan untuk menambah masukan. Tetapi tetap lah perlu juga di catat, bisa jadi pengamatan yang dituliskan disini tidak cukup banyak untuk mewakili pembentukan satu pendapat. Sebenarnya yang disebut dengan kelenteng di tulisan ini, ada bermacam macam aslinya , ada yang di sebut miao, si, guan, ting dllsb. Tetapi untuk memudahkan semuanya di sebut kelenteng, karena yang di Indonesia (dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal populer) semuanya di sebut kelenteng. Walaupun sebenarnya dari sebutan aslinya sudah menunjukkan paling tidak sedikit perbedaan. Agar tidak larut dalam masalah perbedaan penyebutan nya, maka semua disebut kelenteng. Jadi kelenteng dalam hal ini lebih merujuk kepada semua bangunan yang digunakan orang Tionghua untuk melakukan kegiatan keagamaan atau kepercayaannya diluar dari agama yang datang dari barat seperti kristen, katolik dan islam. Di Beijing ada kelenteng Budha, ada kelenteng Tao, tetapi sedikit susah untuk mencari kelenteng Khong Hu Cu. Di Qu Fu, kota kelahiran Khong Hu Cu, di samping rumah Khong Hu Cu ada sebuah kelenteng yang dipersembahkan untuk menghormati Khong Hu Cu. Di Tiongkok sebelah utara, baik di Hebei, Shanxi, Shaanxi, Gansu, XinJiang, LiaoNing, kebanyakan terdapat pemisahan yang jelas kelenteng Budha dan kelenteng Tao. Mungkin hanya ada satu pengecualian yang teramati di Xuankongsi, kelenteng yang termasyhur karena tergantung di tebing di Hunyuan dekat Datong, Shanxi. Situasi pemisahan yang jelas antara kelenteng Budha dan kelenteng tao juga masih terlihat dengan jelas sampai di Tiongkok tengah, seperti di Shanghai, Jiangsu, Jiangxi, Henan, Hubei, Hunan, Anhui dan Sichuan. Juga di zhejiang, kecuali di Tiantaishan, yang dikatakan tempat lahir Zen, dimana ajaran Budha dan Tao bersinggungan, dalam banyak hal menyatu dan membentuk zen. Sebenarnya di luar kelenteng Tao dan dan kelenteng Budha, ada lagi kelenteng dengan obyek pemujaan leluhur. Kelenteng seperti ini mempunyai obyek pemujaaan dengan tokoh tokoh yang terkait dengan sejarah Tiongkok, seperti KwanKong, dan kebanyakan memang kelenteng ini mempunyai obyek pemujaan Kwan Kong. Tentu saja obyek pemujaan nya tidak hanya terbatas Kwan Kong saja, bisa juga leluhur satu kelompok atau satu she tertentu atau figur bersejarah yang mempunyai jasa tertentu. Atau bisa juga dengan obyek ritual tunggal seperti Kwan Im saja. Walaupun Kwan Im adalah obyek ritual Budha, tetapi agaknya menempati tempat khusus di kalangan orang Tionghua. Karena situasi yang banyak tertinggal justru kelenteng yang Kwan Kong ini. Entah berapa banyak kelenteng yang dihancurkan pada waktu revolusi kebudayaan dulu. Ada yang mengatakan yang banyak hancur justru type kelenteng yang ketiga, kelenteng pemujaan leluhur itulah. Kelenteng pemujaan leluhur biasanya lebih kecil, populasinya lebih banyak dan tersebar di lingkungan perumahan penduduk. Kalau kelenteng kelenteng yang lebih besar masih terselamatkan sampai sekarang, kelenteng kelenteng pemujaan leluhur yang kecil kecil ini sudah hilang tanpa bekas. Apa lagi dengan derap pembangunan yang sangat cepat seperti di alami beberapa tahun terakhir. Yang tersisa adalah apartemen2 dan bangunan gedung berlantai banyak seperti di kota besar di Amerika sana, atau kota besar dunia lainnya. Di Hokkian (Fujian) khususnya, yang teramati di Quanzhou barulah ada kelenteng dengan setting seperti kelenteng di Indonesia, dengan obyek ritual, baik dari Budha, Tao maupun leluhur. Di Fujian relatif masih banyak kelenteng pemujaan leluhur terutama yang berkaitan dengan she tertentu. Agaknya (mungkin) karena banyak orang Tionghua perantauan yang berasal dari daerah Hokkian turut menyelamatkan banyak kelenteng itu dari revolusi kebudayaan dulu Keadaan kelenteng di Tiongkok yang demikian agaknya sejalan dengan sejarah itu sendiri. Agama Budha memasuki Tiongkok pada abad ke 3 atau 4, dimulai dengan jelas pada saat dinasti Wei utara, yang ibukotanya berada di Datong, Shanxi sekarang. Dari Utara merembes ke selatan. Bahkan pada saat Kwan Kong hidup (pada jaman Sam Kok) Budha belum masuk dan belum menjadi agama kebanyakan rakyat Tiongkok waktu itu. Pada waktu Khong Hu Cu lahir kurang lebih abad 6 sebelum masehi, Khong Hu Cu tidak lahir di masyarakat yang belum bertatanan atau belum mempunyai ritual. Walaupun pada saat itu (periode ini) kemudian disebut Warring States (Spring and Autumn, CunCiu), masyarakat sudah mempunyai tatanan yang rapi dan ritual yang sudah dijalankan, bahkan
[budaya_tionghua] Keramaian di Kemayoran ?
Dear Moderator, Saya mau tanya mengenai Cap Go Meh yang dirayakan beruntun di Kemayoran, apa tidak ada seorangpun yang mau menceritakan kemeriahan acara tersebut dari para saudara yang ada di milis ini ? Kan acara Cap Go Meh ini juga budaya Tionghua ? Tapi sampai saat ini di milis ini belum ada juga yang menuliskan apapun tentang ini. Padahal dari hari Kamis 21 Februari 2008 saya selalu ditawari undangan dari teman untuk menghadiri acara tersebut di Kemayoran ( PRJ ). Untuk pemberitahuan, hari ini dan besok , saya ditawari undangan untuk performance dari 12 Girls Band dari RRC. Dari pihak penyelenggara juga tidak ada promosinya dimilis. Sungguh sangat disayangkan kurangnya pemberitaan dari kegiatan budaya Tionghua yang diselenggarakan di Jakarta ini. Mudah-mudahan nanti akan banyak yang mengulas acara ini. Best Regards. Andre Harto. PT Central Bandung Raya Kom. Ud. Supadio 31 Bandung Phone : 6222 603 2021 CBR Branch Villa Tomang Mas blok C-10 Jakarta 11510 Phone : 6221 560 1855 Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search. http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] salam Perkenalan
Ass wr wb,,, Salam Sejahtera. Hallo semua, perkenalkan saya Prabu mahasiswa Antropologi Unand, member baru dimilis ini. belakangan sangat tertarik dengan kebuudayaan Tionghoa Indonesia dan berencana akan menjadikan topik ini sebagai skripsi saya. tolong dong share beberapa website yang terkait dengan adat istiadat dan kebudayaan Tionghoa. Mohon informasinya yah ... Prabu Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/ [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Re: salam Perkenalan
Dear Saudara prabu; anda sebenarnya mau bahas skipsi anda dari segi apa ?, Sejarah keseluruhan ?. Sejarah Tionghoa Muslim ?. Sejarah perjuangan suku Tionghoa di Indonesia untuk kemerdekaan Indonesia atau Kebudayaan dan Tradisi atau Bangunan sejarah ? . Jika anda menulis secara keseluruhan skripsi anda apa ngak takut keteteran ?. 6 bulan untuk menyelesaikan semua sejarah Tionghoa di Indonesia, ngak cukup waktu buat anda . Saran saya : sering member disini untuk bertanya tentang kebudayaan dalam skripsinya. Saya saran saudara Prabu untuk membuat sub bagian dari anda bahas upaya anda cepat selesai skripsi anda; dan lebih cepat lulus.Kalo anda bahas semua akan makan waktu yang banyak, nanti ngak cepat selesai . --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, prabu nusantara [EMAIL PROTECTED] wrote: Ass wr wb,,, Salam Sejahtera. Hallo semua, perkenalkan saya Prabu mahasiswa Antropologi Unand, member baru dimilis ini. belakangan sangat tertarik dengan kebuudayaan Tionghoa Indonesia dan berencana akan menjadikan topik ini sebagai skripsi saya. tolong dong share beberapa website yang terkait dengan adat istiadat dan kebudayaan Tionghoa. Mohon informasinya yah ... Prabu Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/ [Non-text portions of this message have been removed]