[budaya_tionghua] Sang Naga sudah masuk Istana Bogor..!!

2010-02-26 Terurut Topik Tjamboek


"Bogor mempunya tradisi tersendiri dlm perayaan festival Tjap Go-Meh dan
untuk pertama kali dlm sejarah Lerotan2 Tjap Go-Meh di terima oleh
Presiden Sukarno di Istana Bogor, Liong Hijau dari PPSMI Bogor mengamuk
mengibas-ngibaskan kepala, mengerung-gerung, mengejar "Tjoe" (bola merah
yg memancarkan api) di halaman Istana Bogor yg kemudian di susul tandu
dimana di arak patung "Hok Tek Tjing Sien" melintas di depan Kepala
Negara, Pejabat2 sipil dan militer"

Jakarta 23 Feb 1959 Sin Po.
Ini adalah puncak keramean dari tahun baru Tionghoa Di Indonesia.
Sejak pagi, bukan saja warga Tionghoa dari jakarta yg tumplek ke kota
Kalong, bahkan dari Sukabumi, Parung, semplak, Tangerang berbondong2
datang untuk memeriahkan puncak dari perayaan taon baru Tionghoa.
Situasi di Klenteng Hok Tek sudah sibuk sedari malam sebelonnya untuk
mempersiapkan Liong yg akan menuju Istana Bogor, pendatangpun tidak
kalah sibuknya terdengar suara bambu yg di kocok mengiringi hujan
gerimis agar keluar dari bumbungnya sebage jawaban "Hok Tek Tjing Sien"
atas pertanyaan yg diajukan orang2 yg bersangkutan, apa itu soal
peruntungan, perjodohan di tahun tsb atau permohonan obat2 untuk
sembuhkan penyakit.

Arak2an di mulai.

 


Tepat setengah 6 sore pintu Klenteng di buka, berturut-turut berbagai
barongsai keluar dari klenteng untuk membuka jalan Liong hijau dari
PPSMI Bogor yang akan meliwati pecinan2 kota bogor menuju Istana Bogor
di mana Presiden Sukarno dan pejabat2 sudah tida sabar menunggu yg tadi
siangnya baru datang dari Jogja langsung tida di bandara Semplak yg di
lanjutkan menuju Istana mengunakan Mobil

Dung. tjeng tida pernah berhenti mengiringi 6 barongsai dan 1
buah Liong yg panjangnya 6 meter semua di arak oleh pemuda2 PPSMI
Keadaan kebon raya saat itu tenang dan sepi itu mendadak ramai di
kunjungi orang. Presiden Sukarno saat itu mengenakan Jas coklat begitu
riang mengikuti tarian barongsai dan liukan Liong PPSMI Bogor, juga 6
anak lelaki dan 8 anak prempuan di bawah 10 taon tida mau kalah
memaenkan barongsai kecil ikut menari di depan Persiden dengan di
iringin irama dung... tjeng... dung...tjeng

Kira2 jam 7 malam sang Liong meninggalkan Istana untuk kemabali via toko
di kota bogor banyak pula toko yg sudah siapkan Ampauw buat Liong PPSMI
dari itu lerotan toko2 di Bogor, di samping itu ada pula toko yg
memasang tulisan "tidak menerima permainan" di muka tokonya.

Kapan terulang lagi ??  


[budaya_tionghua] Mentri-mentri RI (dari ras Tionghoa) setelah 64 merdeka

2009-10-30 Terurut Topik Tjamboek
Agak aneh, waktoe pertama kali Indonesia merdeka (Negeri ini masih orok)
2 orang keturunan Tionghoa di pertjaja (Tan Po Goan ex redaktoer "Sin
Po" dan Siauw Giok Tjhan ex redaktoer "Matahari" Semarang)

Waktoe teroes berdjalan hingga 64 taon (Negeri ini soedah berandjak
dewasa) boekannja 3, 4 atawa 5 orang jang di pertjaja, tapi
tjoekoep 1 (satoe) agak keliatan demokratis. Opo meneh ???

Moengkin ada sobat milis di sini bisa terangken itoe kebidjaksanaan
jang......



Tabe Hoedjin Tjamboek Berdoeri.




[budaya_tionghua] Re: Artikel menarik: Teringat akan Lie

2009-10-16 Terurut Topik Tjamboek
Wah betoel sekali ini toelisan Sdr David Kwaa, saja tjoema maoe tambahin
sekiranya pembaca milis ini maoe liat raoet moekanya toean Lie Kim Hok,
bekas penoelis di soerat kabar Li Po di Soekaboemi kalo tida salah inget
:) , lahir di Bogor 1853, tapi tida beroemoer panjang, makanya soelit
kita meliat potret toean Lie dengan wadjah kakek2

ini ada link potretnya toean Lie Kim Hok

http://tjamboek28.multiply.com/photos/album/81/Peranakan_Tionghoa_Di_Ind\
onesia#photo=1



> > -Original Message-
> > From: "David Kwa" david_kwa2003@
> > Date: Fri, 16 Oct 2009 05:40:02
> > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> > Subject: [budaya_tionghua] Re: Artikel menarik: Teringat akan Lie
> >
> > Lie Kim Hok bukan keturunan imigran dari Tiongkok seperti dikatakan
penulis. Ayahnya Lie Hian Tjouw dan ibunya Oey Tjiok Nio adalah orang
Tionghoa Peranakan. Jadi Lie Kim Hok pun seorang Tionghoa Peranakan.
> > Tulisan ini jelas memperlihatkan kontribusi orang Tionghoa Peranakan
yang sangat besar dalam pemakaian bahasa Melayu dan penyebarannya
melalui sastra dan pers Melayu Tionghoa (i.e. sastra dan pers dalam
bahasa Melayu yang dihasilkan orang Tionghoa)―meminjam istilah
yang dipakai oleh Claudine Salmon.
> > Pada waktu kaum Tionghoa Peranakan membutuhkan suatu buku pegangan
tatabahasa (paramasastera) bahasa Melayu, pada 1884 keinginan itu
terpenuhi oleh upaya yang dilakukan oleh Lie Kim Hok. Buku Tatabahasa
Melayu Lie Kim Hok sampai lama menjadi pegangan para penulis Tionghoa
Peranakan dalam melahirkan berbagai karya sastra. Itulah sebabnya Lie
Kim Hok pantas digelari Bapak Melayu Tionghoa oleh sebagian kalangan
Tionghoa Peranakan.
> > Melalui sastra dan pers Melayu Tionghoa inilah bahasa Melayu lebih
tersebar ke seluruh penjuru Nusantara. Terlepas dari label Melayu Pasar
(Melayu Rendah) yang diberikan kolonial Belanda, sejak perempat terakhir
abad 19, jauh sebelum bahasa Melayu menjadi bahasa umum di kalangan
masyarakat karena masih dianggap “asing” oleh sebagian
besar kaum non-Tionghoa Peranakan di negeri ini, kaum Peranakan telah
membaca dan menulis dalam bahasa ini, hingga matinya sastra dan pers
Melayu Tionghoa pada 1960-an. Meski demikian, peran serta itu hampir
tidak pernah disebutkan dalam sejarah Indonesia, kecuali oleh beberapa
peneliti asing macam Claudine Salmon, Benedict Anderson dll. Yang
disebut-sebut selalu Balai Poestaka, Poedjangga Baroe dll, yang pada
hakekatnya adalah bentukan pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi
bacaan anak negeri, jangan sampai “dimasuki unsur-unsur yang
tidak baik” (yang berada di luar sensor pemerintah). Nah, untuk
membatasi penyebaran sastra dan pers Melayu Tionghoa yang berada di luar
kendali pemerintah, pemerintah kolonial mendiskreditkannya dengan label
“pasar”, “rendah”, “liar”,
“roman picisan” dlsb. Padahal, owe pernah membaca, bahasa
Melayu Tionghoa―atau disebut bahasa Melayu Lingua Franca oleh
alm. Pramudya Ananta Tur―didasarkan pada bahasa yang hidup di
masyarakat yang berinteraksi di berbagai bandar di seluruh penjuru
Nusantara, dan bukan bahasa hasil rekayasa pemerintah kolonial yang
dilakukan oleh Van Ophuijsen sebagai Menteri Pendidikan pada akhir abad
19 dan awal abad 20. Dalam buku Tempo Doeloe Pram berhasil mengumpulkan
beberapa tulisan dalam bahasa Melayu Lingua Franca yang dihasilkan para
penulis Tionghoa Peranakan maupun Belanda Peranakan (Indo) pada masa
itu. Bahkan, kabarnya, Medan Prijaji pun ditulis dalam bahasa itu.
> > Kiongchiu,
> > DK
> >
> >
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/0247377/teringat.akan.lie
> >
> > TERINGAT AKAN LIE
> >
> > Oleh Kasijanto Sastrodinomo
> >
> > Tiba-tiba saya teringat akan Lie Kim Hok, keturunan imigran asal
Tiongkok yang datang di Indonesia abad ke-19. Lahir di Bogor, 1853, Lie
kemudian dikenal sebagai penulis, penyadur, dan penerjemah cerita (ke)
dalam bahasa Melayu dari generasi keturunan Tionghoa (baca: Tionghoa
Peranakan, DK) sebelum Perang. Dialah penulis bernapas panjang yang
mampu berkarya hingga berjilid-jilid. Cerita Tjhit Liap Seng (1886),
misalnya, terdiri dari 8 jilid: Kawanan Bangsat (1910) 10 jilid dan
Penipoe Besar (1923) 23 jilid yang terbit setelah ia meninggal dunia
pada 1912.
> > Berpendidikan missie, Lie mampu berbahasa Belanda, tetapi tak
memahami bahasa Tionghoa. Sekitar 125 tahun lalu, dia menulis buku yang
bertajuk amat panjang, Malajoe Batawi: Kitab deri hal
perkataän-perkataän Malajoe, hal memetjah oedjar-oedjar Malajoe
dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan hoeroef-hoeroef besar (1884,
ejaan asli). Ternyata, buku itu bukanlah sesuatu yang luar biasa,
”hanya” semacam penuntun praktis pelajaran bahasa Melayu.
Menurut CD Grijns, peneliti bahasa Melayu kontemporer, Lie cuma membahas
”varian [bahasa] lain” yang waktu itu banyak digunakan
oleh generasi Tionghoa kelahiran Indonesia (baca: Tionghoa Peranakan,
DK).
> > Namun, pada masanya, Lie telah menyumbangkan sesuatu yang luar
biasa: buku pelajaran bahasa Melayu lahir pertama kali justru dari
non-Mela

[budaya_tionghua] Re: (Ask) Soal Tatji..... dan Tjabolang

2009-10-14 Terurut Topik Tjamboek
Hahaha paling paling emang para peranakan di Surabaya dan Malang, tida heran 
dulu Opa Kwee sanget sewot banget meliat Tionghoa yg ke Belanda2an dan bersama 
Liem Koen Hian via soeara Publik jewer mereka2 itu hahhhahah   tapi itoe di 
djaman yg sudah silam


Thks Sharenya

Hoedjin Tjamboek Bedoeri




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, asien malang  wrote:
>
> Betul , memang tidak pantes juga kalau masih sangat muda kita panggil dengan 
> Tatji, nah kalau gak salah beberapa waktu lalu di Surabaya dan Malang untuk 
> yang masih muda muda di panggil dengan istilah Nonik dan Sinyo, he he ke 
> belanda belanda an
>  
> salam
>  
> asienmalang
> 
> --- On Thu, 10/8/09, Tjamboek  wrote:
> 
> 
> 
>   
> 
> 
> 
> 
> 
> Tapi tida pantes kita sapa Tatji pada wanita Tionghoa yg sanget moeda,
> kemaren saja sempet ke Bangkalan dan Soemenep wah loemajang
> tertjengang Tatji2 di sana meski berbahasa melajoe tapi ajoenan
> soearanya ada di sepanjang Kamal hingga Kalianget
> 
> 
> . 
> 
> __,_._,__
> B_
>




[budaya_tionghua] Re: In Memoriam LIEM KOK BIE, EX KETUA PPI JAWA TENGAH

2009-10-14 Terurut Topik Tjamboek
Oesia berapa beliau tarik nepas pengabisanja?
Semoga di lepengken djalan boeat ini sianseng





Tabe Hoedjin Tjamboek Berdoeri




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT"  wrote:
>
> In Memoriam LIEM KOK BIE 
> 
> EX KETUA PPI  JAWA TENGAH
> 
> Angkat Saudara Menelan Air liur
> 
> Bagian 1 & 2 habis 
> 
> oleh : Go Sien Ay
> 
> Majalah SINERGI No-Oktober-Nopember
> 
>  
> 
> "Aku tak mau diganti ongkos fotokopinya, sungguh aku tak mau, jangan. Ini 
> kuberikan sebagai  tanda kenang-kenangan. Nah ini kutandatangani, jadi sah", 
> demikian ucapan Liem Kok Bie almarhum ketika ia menyerahkan fotocopi buku Sam 
> Kok kepada penulis sore hari dikediamannya Jl. Taman Daan Mogot II No. 37 
> Jakarta, setelah lama mengobrol disana. 
> 
> Pada lembar pertama kanan atas terdapat nama Hernowo dan dibawahnya dicap 
> Drs. R. Hernowo, nama baru Liem. Dibagian akhir halaman ada tandatangan Adhi  
> Jkt 22/06 2009, jadi nama lengkapnya ialah R. Adhy Hernowo. 
> 
> Ketika itu keadaannya tetap ceria dan ramah karena baru saja mengajak makan 2 
> cucunya, laki-laki dan perempuan yang gemuk-gemuk.
> 
> Sungguh tak mengira, bahwa hari itu merupakan pertemuan terakhir kita, karena 
> tepat sebulan kemudian Liem Kok Bie terkasih meninggalkan kita untuk 
> selama-lamanya, yakni tanggal 22 Juli 2009 di RS Harapan Kita karena sakit 
> Jantung, dalam usia 70 tahun. 
> 
> Kira-kira sebulan sebelumnya Kok Bie mengajak penulis ngobrol di kantor teman 
> baik Tan Sien Tjhiang, kemudian Tan mengajak temannya Santoso untuk makan 
> bersama di Satay House. 
> 
> Almarhum meninggalkan seorang putri Diana Hernowo S.E dan menantunya Yie Tung 
> Ming (Suhadi) S.E dengan tiga cucu-cucunya Henry, Hanzel, Heidy yang berdiam 
> di Malang dan seorang putranya Ir. Dipa Hernowo di Singapura. 
> 
> Istri tercinta almarhum Ir. Soesilowati (Kweik Tjing Nio) telah mendahuluinya 
> pada tanggal 15 Januari 2007. 
> 
> Jenazah mendiang Liem telah disemayamkan di R.S Darmais. Dalam misa requiem 
> Romo Pur dari Gereja St. Kristoforus Petamburan merasa sangat kehilangan 
> dengan prodiakonnya yang telah selama 13 tahun mengabdi digereja tersebut 
> untuk memberikan pelayanannya yang merupakan pilihan Tuhan. 
> 
> Kremasi jenazah almarhum dilangsungkan di crematorium Oasis Lestari Bitung 
> Tangerang, tanggal 24 Juli 2009.
> 
> Selain para famili, banyak sahabat almarhum dari In Hwa/Sekolah Semarang, 
> Lung Hua dan teman-teman seperjuangan di permusyawaratan Pemuda Indonesia 
> (PPI) dengan  khidmad menyampaikan penghormatan terakhir dan banyak yang 
> meneteskan airmata. 
> 
> Menurut paman almarhum Tjiong Bing Hoen, yang begitu melihat penulis lalu 
> merangkul dan menangis terisak-isak, dengan suara terbata-bata ia mengatakan, 
> bahwa seringkali almarhum mengeluh kepadanya dan tampak putus asa, sejak 
> ditinggal istri tercintanya untuk selama-lamanya. Walaupun sang paman 
> menghibur dan membesarkan hatinya, namun almarhum walaupun tampak tegar, 
> namun hatinya hancur lebur. 
> 
> Berulangkali almarhum menyatakan ingin "menyusul" istri tercintanya.  Abu 
> jenazah istri tercintanya, bahkan tidak dititipkan kerumah abu, tapi disimpan 
> dan  diletakkan ditempat yang bagus di kamarnya, suatu bukti kesetiaan 
> seorang suami kepada istrinya, yang sukar dicari bandingannya. 
> 
> Bahkan didepan peti jenazah almarhum, bukannya foto-foto almarhum yang 
> diletakkan disitu, tapi foto mereka berdua-an. 
> 
>   
> 
> PPI Maju Pesat 
> 
> Ketika Liem Kok Bie sejak tahun 1964 menjadi ketua Pengurus Dewan Daerah 
> Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) Jawa Tengah, Warto sebagai 
> Sekretarisnya dan Lie Khing Hian sebagai bendaharanya telah mencapai kemajuan 
> pesat. Liem menggantikan kedudukan The Boen Han. 
> 
> Cabang-cabang yang dibentuk antara lain : Majenang, Sidareja, Cilacap, 
> Gombong, Karanganyar, Banyumas, Purwokerto, Slawi, Parakan, Temanggung, 
> Muntilan, Wonogiri, Sragen, Solo, Ambarawa, Limpung, Pati, Kudus, Klaten, 
> Purwodadi. 
> 
> Dibidang olahraga, basketball, dan bulutangkis sangat maju. Hampir disetiap 
> cabang mempunyai grup tari kreasi diberbagai kota juga mempunyai barisan 
> drumband sedang cabang Semarang mempunyai grup wayang orang. 
> 
> PPI didirikan pada tahun 1956. Ketika itu sedang berlangsung Kongres Badan 
> Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) di Bandung. Ada keinginan 
> untuk dibentuknya organisasi Pemuda Baperki. Untuk itu disampaikanlah 
> praeadvies dari Mr. Yap Thiam Hien, Drs. Go Gien Tjwan dan Dr.  Mr. Tan Kian 
> Lok. Intinya mereka ingin adanya organisasi pemuda yang indenpenden, namun 
> adanya jalinan kerjasama dengan Baperki untuk ikut memperjuangkan natio

[budaya_tionghua] Re: (Ask) Soal Tatji..... dan Tjabolang

2009-10-08 Terurut Topik Tjamboek
Wah... langsoeng dari orang Malang, trima kasih tuan
Betoel apa yg tuan katakan tida djaoeh berbeda kalo kita pernah batja2
Pewarta Soerabaia, Sin Tit Po, tentoenja Soeara Publik disitoe sanget
djelas gaja bertjerita dari beberapa tjerita bersambung koran2 tsb, +
ada satoe rubrik (Pridato Hari Saptoe dan Tjorat tjaret hari saptoe)
bahken kata Yok, kalo di Betawie di katakan Ijok= Anak Kesajangan

Tapi tida pantes kita sapa Tatji pada wanita Tionghoa yg sanget moeda,
kemaren saja sempet ke Bangkalan dan Soemenep wah loemajang
tertjengang Tatji2 di sana meski berbahasa melajoe tapi ajoenan
soearanya ada di sepanjang Kamal hingga Kalianget

Tuan asien Malang=== salam kenal yah, senang bisa toeker pikiran sama
jij, omong poenja omong di Malangnya di mana? saja ada di Djember
Soal Istilah Tatji yg sanget roemit ini kalo boleh taoe kapan itoe kata
boleh disandang oleh wanita Tionghoa minimal di kota anda :) + apa masih
ada yg sapa kata Hoedjin di kota Malang?


Hoedjin Tjamboek Berdoeri




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, asien malang 
wrote:
>
> He he masalah tatjie ini memang rada rada susah,
> setahu saya memang itu panggilan untuk perempuan saja tanpa memandang
urutan kelahiran yang bersangkutan, jadi kalau ada perempuan datang ke
toko kami misalnya akan kami sapa dengan : Tatjie mau cari apa ?
> kalau dengan logat surabaya malang lebih berat lagi karena tetjie itu
udah jadi tajiek, menggunakan k di belakangnya.
> tetapi di dalam beberapa keluarga, mereka menggunakan urutan meskipun
tidak selalu menggunakan angka seperti istilah toatjie, djietjie dstnya,
tetapi istilahnya menurut kami di campur dengan bahasa melayu atau jawa
yaitu sbb : untuk yang paling  besar di beri kada "de" dari kata gede (
besar ) jadi kalau panggil kakak yang paling besar yah TjiekDe, atau
KoDe, kalau yang paling bungsu di panggil dengan TjiekLik atau KohLik (
dari kata tjilik artinya kecil ), untuk yang di tengah tengah di panggil
dengan TjiekNgah atau Koh Ngah. Sebutan ini kalau di dengar oleh pihak
luar maka yang bersangkutan tetap akan di panggil dengan sebutan itu.
jadi bila si TjiekDe tersebut ke toko saya dan saya tahu kebiasaan dia
dipanggil TjiekDe maka saya juga akan memanggil demikian : TjiekDe cari
apa ?
> memang sebutan ini sudah mulai luntur dan hilang perlahan lahan karena
arus jaman yah
> Belum lagi ada istilah Yok, ada yang di panggil YokDe atau dipanggil
YokLik. apa pula itu yah ??
>
>
> salam
>
> christian
> --- On Thu, 10/8/09, hoedjin_tjamboek_berdoeri
hoedjin_tjamboek_berdo...@... wrote:
>
>
>
>
> __
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
> http://mail.yahoo.com
>




Balasan: [budaya_tionghua] TANAM ROEMPOET MOESTAHIL TOEMBOEH PADI (I)

2005-09-23 Terurut Topik Tjamboek Berdoeri





INDONESI  RAYA
Kwee Thiam Tjing bertjerita
 
Tanam roempoet moestahil  toemboeh padi
 
(I)
 
Oesianja soedah deket toedjoe poeloehan ketika satoe prempoean toea  dengen tindakan perlahan dan tida tetep keliatan masoek kaloear beberapa roemah te-rtentoe jang ditinggalin oleh orang2 jang masi tersangkoet pamilie dengen ia, potongan badannja rada gemoek sedikit boengkok dan ramboet kepalanja soedah poetih semoea, pakaiannjapoen soedah setengah koemal dan sepasang selop lagi, saking bedjat dan toeanja.
Kendati begitoe, toch dari tampang moekanja masi kentara ia itoe tadinja mesti masoek golongan toeroenan “ba-potjo” seperti jang dipermoelaan abab ini orang tionghoa seboet bila ia itoe hartawan atawa tjoetjoe seorang opsir tionghoa baik dengen pangkat letnan, kapten atawa madjor.
Dan sasoenggoehnja djoega itoe nenek ada anaknya letnan Tionghoa pertama dikota asalnja, sedeng kakaknja oleh goebermen Hindia Belanda diangkat sebagi kapten dilaen kota jang tida djaoeh letaknja.
Sebage gadis seorang hartawan dan berpangkat tentoe sadja hidoepnja tida koerang apa-apa, tetapi nasib manoesia berada didalem tangan Toehan. Ia menikah dengen seorang Tionghoa jang tadinja keliatan baek-baek sadja kendati si baba mantoe boekan golongan hartawan atawa berpangkat.
Oleh kakak iparnja ia dimadjoeken sebage pemegang pach tjandoe. Dizaman itoe oleh goebermen Hindia Belanda, pendjoealan “diborongkan” kepada siapa jang berani kasi harga tertinggi boeat mendjadi pemegang pachnja. Pamarentah tjoema tahoe sakean boeat pendjoealan garem, tjandoe atawa pendapatan pegadaian di soeatoe tempat. Roegi atawa oentoeng  ada terserah pada nasibnja si toekang pegang pach.
Dan ditempat tinggal jang baroe sebage pach tjandoe, ketempat mana si baba mantoe bojoeng istrinja, ternjata ia melangsoengi sebage toekang pach jang kedjem zonder mengenal ampoen terhadep para korbannja jang olehnja bermoela dirajoe dan diboedjoek oentoek isep tjandoe. Sebab makin banjak orang jang ketagihan ratjoen itoe, makin padet ia-poenja kantong.
Para langganannja, kalaoe tida poenja doeit, bole toeker dengan tjandoe segala miliknja, roemah, pekarangan, lemboe dan sampi, sampepoen gadisnja sendiri tida ditolak, asal sadja itoe anak dara disetoedjoei oleh si baba mantoe jang belakangan poen ternjata ada satoe pemaksaan jang tida kenal bates.
Si baba mantoe sendiri jang tadinja boedjoek dan andjoerin orang2 boeat djadi pemadatan, belakangan dirinja sendiri kena pintjoek dan mendjadi “Pendjeret” jang nomer wahid. Habis, kapan tjandoenja tjoema tinggal ambil sadja boekan ?.
Dari pernikahan ia dapet satoe anak prempoean jang olehnja begitoe dimandjakan hingga sigadis tjoema beladjar inget kapentingan diri sendiri sadja.
Katika ia soedah berangkat besar ia dilamar oleh seorang saoedagar hasil boemi oentoek poeteranja. Karena berdoea pihak orang toea soedah pada satoedjoe perkawinan didjadiken, zonder tanja doeloe bagemana pikirannja si djedjaka dan si gadis, seperti jang memang soedah mendjadi adat dizaman itoe.
Ini perkawinan lahirken saorang anak lelaki jang oleh kakek dan bapanja  poen sanget dimandja . Ini anak dianggap tida bisa salah, bila ia sampe menangis jang salah jalah boedjang2 jang mendjaganja, atawa poen nenek atawa iboenja sekalipoen. Bisa dimengerti jang tjara didik sematjam ini bisa seret anak itoe esoknja ketiang penggantoengan.
Karena toentoet tjara hidoep jang begitoe, tjoema bisa merangkoel pedoetan dan prempoean sadja jang didjadiken korbannja, achirnja ia diserang oleh penjakit heibat jang dalem tempo pendek sekali soedah bikin tamat hidoepnja.
Tinggalah sang istri jang meneroesken dengan dibantoe anak mantoenja sendiri. Tetapi ternjata si baba mantoe tida betjoes oeroes pakerdjaan pach tjandoe tetapi boeat iboe mertoeanja seperti piara maling dalem roemahnja. Karena segala apa jang ada harganja pasti ditjoeri oentoek didjoeal pada orang loear dan oewang pendapetan pentjoerian itoe digoenakan oentoek berpesta poera sama gondal2nja jang tida loepa kadang2 djoega sediaken prempoean belian.
Sekarang si baba mantoe ikoet-ikoet djadi pemadatan djoega. Belon tjoekoep satoe taon ia soesoel bapa mertoeanja kedalem lobang koeboer.
Sekarang tinggal doea djanda iboe dan anak serta tjoetjoe lelaki. Sebab terang tida bisa dilandjoetken pekerdjaan sebage pach tjandoe, maka oleh kakaknja si njonja toea disoeroeh pindah lagi ke-kota asalnja. Sebab maloe kalaoe inget tingkah lakoe almarhoen soeaminja, maka itoe njonja toea lebi soeka beroemah tangga sendiri dengen anak dan tjoetjoenja. 
Bermoela hidoep marika tida terlaloe soekar, si njonja toea masi poenja sedikit harta peninggalan, sisah dari waktoe soeaminja masi oeroes pach tjandoe, tetapi dasar sang nasib soedah tetepken laen ! 
Anak prempoean ternjata malasnya  boekan maen. Ia tjoema taoe semoea minta ada, semoea minta beres, katambahan si tjoetjoe, hasil didikan jang kliroe, ada anak jang paling soesah diatoernja.
Sekarang oesianja soedah hampir 15 taon sekolahnja tjoema kelas 4 sekolah das