Wah betoel sekali ini toelisan Sdr David Kwaa, saja tjoema maoe tambahin
sekiranya pembaca milis ini maoe liat raoet moekanya toean Lie Kim Hok,
bekas penoelis di soerat kabar Li Po di Soekaboemi kalo tida salah inget
:) , lahir di Bogor 1853, tapi tida beroemoer panjang, makanya soelit
kita meliat potret toean Lie dengan wadjah kakek2

ini ada link potretnya toean Lie Kim Hok

http://tjamboek28.multiply.com/photos/album/81/Peranakan_Tionghoa_Di_Ind\
onesia#photo=1



> > -----Original Message-----
> > From: "David Kwa" david_kwa2003@
> > Date: Fri, 16 Oct 2009 05:40:02
> > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> > Subject: [budaya_tionghua] Re: Artikel menarik: Teringat akan Lie
> >
> > Lie Kim Hok bukan keturunan imigran dari Tiongkok seperti dikatakan
penulis. Ayahnya Lie Hian Tjouw dan ibunya Oey Tjiok Nio adalah orang
Tionghoa Peranakan. Jadi Lie Kim Hok pun seorang Tionghoa Peranakan.
> > Tulisan ini jelas memperlihatkan kontribusi orang Tionghoa Peranakan
yang sangat besar dalam pemakaian bahasa Melayu dan penyebarannya
melalui sastra dan pers Melayu Tionghoa (i.e. sastra dan pers dalam
bahasa Melayu yang dihasilkan orang Tionghoa)―meminjam istilah
yang dipakai oleh Claudine Salmon.
> > Pada waktu kaum Tionghoa Peranakan membutuhkan suatu buku pegangan
tatabahasa (paramasastera) bahasa Melayu, pada 1884 keinginan itu
terpenuhi oleh upaya yang dilakukan oleh Lie Kim Hok. Buku Tatabahasa
Melayu Lie Kim Hok sampai lama menjadi pegangan para penulis Tionghoa
Peranakan dalam melahirkan berbagai karya sastra. Itulah sebabnya Lie
Kim Hok pantas digelari Bapak Melayu Tionghoa oleh sebagian kalangan
Tionghoa Peranakan.
> > Melalui sastra dan pers Melayu Tionghoa inilah bahasa Melayu lebih
tersebar ke seluruh penjuru Nusantara. Terlepas dari label Melayu Pasar
(Melayu Rendah) yang diberikan kolonial Belanda, sejak perempat terakhir
abad 19, jauh sebelum bahasa Melayu menjadi bahasa umum di kalangan
masyarakat karena masih dianggap “asing” oleh sebagian
besar kaum non-Tionghoa Peranakan di negeri ini, kaum Peranakan telah
membaca dan menulis dalam bahasa ini, hingga matinya sastra dan pers
Melayu Tionghoa pada 1960-an. Meski demikian, peran serta itu hampir
tidak pernah disebutkan dalam sejarah Indonesia, kecuali oleh beberapa
peneliti asing macam Claudine Salmon, Benedict Anderson dll. Yang
disebut-sebut selalu Balai Poestaka, Poedjangga Baroe dll, yang pada
hakekatnya adalah bentukan pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi
bacaan anak negeri, jangan sampai “dimasuki unsur-unsur yang
tidak baik” (yang berada di luar sensor pemerintah). Nah, untuk
membatasi penyebaran sastra dan pers Melayu Tionghoa yang berada di luar
kendali pemerintah, pemerintah kolonial mendiskreditkannya dengan label
“pasar”, “rendah”, “liar”,
“roman picisan” dlsb. Padahal, owe pernah membaca, bahasa
Melayu Tionghoa―atau disebut bahasa Melayu Lingua Franca oleh
alm. Pramudya Ananta Tur―didasarkan pada bahasa yang hidup di
masyarakat yang berinteraksi di berbagai bandar di seluruh penjuru
Nusantara, dan bukan bahasa hasil rekayasa pemerintah kolonial yang
dilakukan oleh Van Ophuijsen sebagai Menteri Pendidikan pada akhir abad
19 dan awal abad 20. Dalam buku Tempo Doeloe Pram berhasil mengumpulkan
beberapa tulisan dalam bahasa Melayu Lingua Franca yang dihasilkan para
penulis Tionghoa Peranakan maupun Belanda Peranakan (Indo) pada masa
itu. Bahkan, kabarnya, Medan Prijaji pun ditulis dalam bahasa itu.
> > Kiongchiu,
> > DK
> >
> >
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/0247377/teringat.akan.lie
> >
> > TERINGAT AKAN LIE
> >
> > Oleh Kasijanto Sastrodinomo
> >
> > Tiba-tiba saya teringat akan Lie Kim Hok, keturunan imigran asal
Tiongkok yang datang di Indonesia abad ke-19. Lahir di Bogor, 1853, Lie
kemudian dikenal sebagai penulis, penyadur, dan penerjemah cerita (ke)
dalam bahasa Melayu dari generasi keturunan Tionghoa (baca: Tionghoa
Peranakan, DK) sebelum Perang. Dialah penulis bernapas panjang yang
mampu berkarya hingga berjilid-jilid. Cerita Tjhit Liap Seng (1886),
misalnya, terdiri dari 8 jilid: Kawanan Bangsat (1910) 10 jilid dan
Penipoe Besar (1923) 23 jilid yang terbit setelah ia meninggal dunia
pada 1912.
> > Berpendidikan missie, Lie mampu berbahasa Belanda, tetapi tak
memahami bahasa Tionghoa. Sekitar 125 tahun lalu, dia menulis buku yang
bertajuk amat panjang, Malajoe Batawi: Kitab deri hal
perkataän-perkataän Malajoe, hal memetjah oedjar-oedjar Malajoe
dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan hoeroef-hoeroef besar (1884,
ejaan asli). Ternyata, buku itu bukanlah sesuatu yang luar biasa,
”hanya” semacam penuntun praktis pelajaran bahasa Melayu.
Menurut CD Grijns, peneliti bahasa Melayu kontemporer, Lie cuma membahas
”varian [bahasa] lain” yang waktu itu banyak digunakan
oleh generasi Tionghoa kelahiran Indonesia (baca: Tionghoa Peranakan,
DK).
> > Namun, pada masanya, Lie telah menyumbangkan sesuatu yang luar
biasa: buku pelajaran bahasa Melayu lahir pertama kali justru dari
non-Melayu. Lie juga menulis dengan sepenuh Melayu karena sepanjang 116
halaman bukunya itu tidak ditemukan satu pun istilah linguistik berbau
asing seperti lazimnya sekarang. Dia membagi sepuluh kelas kata dengan
istilah pribumi: nama paäda (biasa disebut nomina); pengganti nama
’pronomina’; penerang ’adjektiva’; pemoela
’artikula’; nama bilangan ’numeralia’; nama
kerdja ’verba’; penerangan ’adverbia’;
pengoendjoek ’preposisi’; pengoeboeng
’konjungsi’; dan oetjap seroe ’interjeksi’.
> > Sadar menulis untuk pembelajar bahasa Melayu awal, Lie berusaha
menyajikan secara sederhana. Mestinya kita malu karena sampai sekarang
masih ada yang salah membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai
imbuhan. Padahal, lebih dari seabad silam, Lie sudah menjelaskan,
”di djadi satoe perkataän [satu kata], djikalaoe ija ada di
depan nama tempat: di Bogor, di roemah, di atas. . .; ija djadi sabagian
deri perkataän, djika ija di depan boekan nama tempat: dibatja,
diambil, ditanja d.l.”
> > Bahasa Melayu yang ditulis Lie sering dipandang sebagai Melayu pasar
yang berkonotasi merendahkan. Namun, Claudine Salmon (1983), ahli sastra
Melayu Tionghoa asal Perancis, melihat Lie mencari jalan tengah antara
Melayu tinggi (Melayu Riau yang tak dimengerti di Jawa) dan Melayu
pasar.
> > Lie Kim Hok jelas tak ikut bersumpah, 28 Oktober 1928, dan mungkin
tergolong ”orang jang hanja tjoema bisa batja” menurut
Medan Prijaji, koran Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Bagaimanapun, dia
telah membuka jembatan budaya.
> > KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia
> >
>

Kirim email ke