Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

2009-12-31 Terurut Topik agoeng_set
Maaf, tidak ngajak debat, diskusi dsbnya hanya ingin disaat org yg 
memperjuangkan eksistensi org tionghoa dan kebudayaannya bisa seperti saat ini 
meninggal apa tidak sebaiknya jika kita menghormati hasil perjuangannya yaitu 
TIONGHOA indonesia. Tq. 
-Original Message-
From: jackson_ya...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Selamat jalan Gus Dur
Surga telah menanti mu
Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus 
sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: east_road east_r...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun 
sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak 
ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan 
terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga 
menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini 
tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena  tidak klop antara kekayaan 
dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di 
telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang 
Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk 
kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan 
meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal 
kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain 
yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain 
dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil 
bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk 
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan 
dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan 
mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk 
dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi 
pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang 
memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai  pula 
dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa 
kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk 
berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka 
disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial.

Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa  
keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab 
kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal 
permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui 
pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak 
faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan 
hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. 
Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan 
potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan 
satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga 
dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit 
orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan 
sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran 
kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu 
oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya 
wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat 
serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa 
banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal  seperti itu, tetapi tentunya tidak 
dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang 
lain juga berbuat sama.

Dengan  demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa 
dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur 
umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan 
perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu 
ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka 
dalam kehidupan bangsa, karena hal

Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

2009-12-31 Terurut Topik WIRAnata Kemala Deng
ßro Jackson. 
Dianjurkan pake kata Tionghoa aja, nanti ada yang tersinggung loh. 
My 2 cents aja yaa. 
-Original Message-
From: jackson_ya...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Selamat jalan Gus Dur
Surga telah menanti mu
Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus 
sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: east_road east_r...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun 
sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak 
ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan 
terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga 
menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini 
tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena  tidak klop antara kekayaan 
dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di 
telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang 
Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk 
kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan 
meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal 
kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain 
yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain 
dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil 
bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk 
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan 
dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan 
mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk 
dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi 
pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang 
memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai  pula 
dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa 
kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk 
berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka 
disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial.

Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa  
keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab 
kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal 
permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui 
pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak 
faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan 
hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. 
Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan 
potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan 
satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga 
dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit 
orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan 
sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran 
kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu 
oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya 
wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat 
serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa 
banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal  seperti itu, tetapi tentunya tidak 
dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang 
lain juga berbuat sama.

Dengan  demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa 
dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur 
umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan 
perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu 
ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka 
dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang 
ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.

Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh

Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

2009-12-31 Terurut Topik jackson_yahya
Makasi bro saya lihat subjectnya sih hehehe maaf ya
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: WIRAnata Kemala Deng w...@isatbb.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:36:39 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

ßro Jackson. 
Dianjurkan pake kata Tionghoa aja, nanti ada yang tersinggung loh. 
My 2 cents aja yaa. 
-Original Message-
From: jackson_ya...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Selamat jalan Gus Dur
Surga telah menanti mu
Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus 
sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: east_road east_r...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun 
sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak 
ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan 
terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga 
menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini 
tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena  tidak klop antara kekayaan 
dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di 
telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang 
Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk 
kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan 
meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal 
kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain 
yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain 
dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil 
bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk 
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan 
dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan 
mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk 
dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi 
pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang 
memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai  pula 
dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa 
kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk 
berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka 
disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial.

Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa  
keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab 
kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal 
permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui 
pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak 
faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan 
hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. 
Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan 
potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan 
satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga 
dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit 
orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan 
sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran 
kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu 
oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya 
wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat 
serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa 
banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal  seperti itu, tetapi tentunya tidak 
dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang 
lain juga berbuat sama.

Dengan  demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa 
dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur 
umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada

Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

2009-12-31 Terurut Topik jackson_yahya
Sorry saya kira diboleh kan mengingat subject nya pakai kata cina. Dan 
moderator juga meloloskan saja.
Jadi saya kira boleh hehehe
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: a...@cbn.net.id
Date: Thu, 31 Dec 2009 13:57:20 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Dengan cara halus maupun kasar, Anda sdh diingatkan untuk memakai istilah 
Tionghoa KHUSUS di milis ini saja. Anda berdalih bahwa yang pake istilah ini di 
milis B_Tionghoa ini banyak. Tolong sebutkan namanya beberapa saja, yg 
memakai istilah Cina terhitung sejak ramai-ramai kita diskusikan masalah ini, 
kecuali orang-orang baru yang baru ikut gabung. Hayo jawab kalau Anda berani. 
:-)

Andy L.S.


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: jackson_ya...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 08:36:51 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Kita dimilis ini sudah sepakat yang mau pakai kata china,tionghoa,cina,cungkuo 
gak masalah.sepanjang artinya bagus. Lagi pula anda dapat melihat yang pakai 
kata2 seperti saya dimilis ini  banyak. 
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: agoeng_...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 06:02:59 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Maaf, tidak ngajak debat, diskusi dsbnya hanya ingin disaat org yg 
memperjuangkan eksistensi org tionghoa dan kebudayaannya bisa seperti saat ini 
meninggal apa tidak sebaiknya jika kita menghormati hasil perjuangannya yaitu 
TIONGHOA indonesia. Tq. 
-Original Message-
From: jackson_ya...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Selamat jalan Gus Dur
Surga telah menanti mu
Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus 
sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: east_road east_r...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun 
sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak 
ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan 
terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga 
menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini 
tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena  tidak klop antara kekayaan 
dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di 
telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang 
Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk 
kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan 
meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal 
kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain 
yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain 
dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil 
bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk 
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan 
dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan 
mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk 
dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi 
pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang 
memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai  pula 
dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa 
kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk 
berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka 
disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial.

Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa  
keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab 
kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal 
permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui 
pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari

[budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

2009-12-30 Terurut Topik east_road
oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun 
sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak 
ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan 
terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga 
menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini 
tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena  tidak klop antara kekayaan 
dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di 
telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang 
Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk 
kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan 
meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal 
kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain 
yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain 
dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil 
bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk 
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan 
dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan 
mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk 
dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi 
pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang 
memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai  pula 
dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa 
kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk 
berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka 
disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial.

Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa  
keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab 
kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal 
permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui 
pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak 
faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan 
hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. 
Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan 
potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan 
satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga 
dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit 
orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan 
sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran 
kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu 
oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya 
wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat 
serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa 
banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal  seperti itu, tetapi tentunya tidak 
dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang 
lain juga berbuat sama.

Dengan  demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa 
dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur 
umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan 
perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu 
ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka 
dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang 
ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.

Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang hitam di 
Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan  kemampuan sama maju 
dengan orang Cina, seperti semakin banyak  terbukti saat ini. Begitu pula 
bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas maupun mayoritas. Tesis 
pokoknya di sini adalah: dapatkah kelebihan kekayaan orang Cina dimanfaatkan 
bagi usaha lebih memeratakan lagi tingkat pendapatan segala lapisan masyarakat 
bangsa kita di masa depan?

Jawabnya, menurut penulis, adalah positif. Orang Cina, sebagaimana orang-orang 
lain juga, dapat diappeal untuk berkorban bagi kepentingan masa depan bangsa 
dan negara. Tentu dengan tetap menghormati hal-hal  mendasar yang mereka 
yakini, seperti kesucian hak-milik dari campur-tangan orang lain.
Pemindahan kekayaan secara masif bukanlah barang baru bagi 

Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

2009-12-30 Terurut Topik shinmen takezo
daripada vaitcan memberi gelar santo pada penjahat2 perang di boxer era

mending angkat gus dur jadi santo

santo subito gus dur

2009/12/31 jackson_ya...@yahoo.com



 Selamat jalan Gus Dur
 Surga telah menanti mu
 Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus
 sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.

 Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
 Teruuusss...!
 --
 *From: * east_road east_r...@yahoo.com
 *Date: *Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 -
 *To: *budaya_tionghua@yahoogroups.com
 *Subject: *[budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG
 CINA



 oleh: Abdurrahman Wahid

 Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah.
 Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau
 mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena
 memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama
 Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si
 naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena
 tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

 Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di
 telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang
 Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam
 bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

 Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan
 meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal
 kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain
 yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain
 dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya
 mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara?
 Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima
 kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi
 dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi
 kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan
 menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah,
 jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

 Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang
 memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai
 pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa
 kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk
 berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu
 mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial.

 Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa
 keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab
 kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal
 permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui
 pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian
 banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi
 kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

 Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan.
 Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan
 potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan
 satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala
 tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah
 sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi,
 politisi dan sebagainya.

 Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah
 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa
 pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha.
 Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan
 kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan
 sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu,
 tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis
 dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama.

 Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa
 dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur
 umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan
 perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu
 ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka
 dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang
 ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.

 Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang
 hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan kemampuan
 sama maju dengan