Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA
Maaf, tidak ngajak debat, diskusi dsbnya hanya ingin disaat org yg memperjuangkan eksistensi org tionghoa dan kebudayaannya bisa seperti saat ini meninggal apa tidak sebaiknya jika kita menghormati hasil perjuangannya yaitu TIONGHOA indonesia. Tq. -Original Message- From: jackson_ya...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Selamat jalan Gus Dur Surga telah menanti mu Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: east_road east_r...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA oleh: Abdurrahman Wahid Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata. Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita. Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya. Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal
Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA
ßro Jackson. Dianjurkan pake kata Tionghoa aja, nanti ada yang tersinggung loh. My 2 cents aja yaa. -Original Message- From: jackson_ya...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Selamat jalan Gus Dur Surga telah menanti mu Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: east_road east_r...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA oleh: Abdurrahman Wahid Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata. Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita. Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya. Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka. Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh
Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA
Makasi bro saya lihat subjectnya sih hehehe maaf ya Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: WIRAnata Kemala Deng w...@isatbb.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:36:39 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA ßro Jackson. Dianjurkan pake kata Tionghoa aja, nanti ada yang tersinggung loh. My 2 cents aja yaa. -Original Message- From: jackson_ya...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Selamat jalan Gus Dur Surga telah menanti mu Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: east_road east_r...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA oleh: Abdurrahman Wahid Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata. Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita. Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya. Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada
Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA
Sorry saya kira diboleh kan mengingat subject nya pakai kata cina. Dan moderator juga meloloskan saja. Jadi saya kira boleh hehehe Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: a...@cbn.net.id Date: Thu, 31 Dec 2009 13:57:20 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Dengan cara halus maupun kasar, Anda sdh diingatkan untuk memakai istilah Tionghoa KHUSUS di milis ini saja. Anda berdalih bahwa yang pake istilah ini di milis B_Tionghoa ini banyak. Tolong sebutkan namanya beberapa saja, yg memakai istilah Cina terhitung sejak ramai-ramai kita diskusikan masalah ini, kecuali orang-orang baru yang baru ikut gabung. Hayo jawab kalau Anda berani. :-) Andy L.S. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: jackson_ya...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 08:36:51 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Kita dimilis ini sudah sepakat yang mau pakai kata china,tionghoa,cina,cungkuo gak masalah.sepanjang artinya bagus. Lagi pula anda dapat melihat yang pakai kata2 seperti saya dimilis ini banyak. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: agoeng_...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 06:02:59 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Maaf, tidak ngajak debat, diskusi dsbnya hanya ingin disaat org yg memperjuangkan eksistensi org tionghoa dan kebudayaannya bisa seperti saat ini meninggal apa tidak sebaiknya jika kita menghormati hasil perjuangannya yaitu TIONGHOA indonesia. Tq. -Original Message- From: jackson_ya...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA Selamat jalan Gus Dur Surga telah menanti mu Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: east_road east_r...@yahoo.com Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA oleh: Abdurrahman Wahid Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata. Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari
[budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA
oleh: Abdurrahman Wahid Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata. Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita. Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya. Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka. Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan kemampuan sama maju dengan orang Cina, seperti semakin banyak terbukti saat ini. Begitu pula bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas maupun mayoritas. Tesis pokoknya di sini adalah: dapatkah kelebihan kekayaan orang Cina dimanfaatkan bagi usaha lebih memeratakan lagi tingkat pendapatan segala lapisan masyarakat bangsa kita di masa depan? Jawabnya, menurut penulis, adalah positif. Orang Cina, sebagaimana orang-orang lain juga, dapat diappeal untuk berkorban bagi kepentingan masa depan bangsa dan negara. Tentu dengan tetap menghormati hal-hal mendasar yang mereka yakini, seperti kesucian hak-milik dari campur-tangan orang lain. Pemindahan kekayaan secara masif bukanlah barang baru bagi
Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA
daripada vaitcan memberi gelar santo pada penjahat2 perang di boxer era mending angkat gus dur jadi santo santo subito gus dur 2009/12/31 jackson_ya...@yahoo.com Selamat jalan Gus Dur Surga telah menanti mu Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -- *From: * east_road east_r...@yahoo.com *Date: *Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 - *To: *budaya_tionghua@yahoogroups.com *Subject: *[budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA oleh: Abdurrahman Wahid Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata. Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam waktu singkat.Secara terasa, kesepakatan meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita. Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya. Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka. Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan kemampuan sama maju dengan