CiKEAS> Demokrasi yang Perlu Dievaluasi

2009-11-02 Terurut Topik Retno Kintoko
= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
   nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
=  
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menperingati 81 tahun semangat jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
TOKOH MUDA INSPIRATIF (6)
Demokrasi yang Perlu Dievaluasi
Selasa, 3 November 2009 | 03:24 WIB
Oleh : J Osdar dan Edna C Pattisina
Waktu terasa berhenti di perpustakaan Fadli Zon. Buku dari Georgius Everhardus 
Rumphius tentang flora di Ambon dengan tahun cetak 1747 membuka diskusi tentang 
kekayaan bangsa. Obrolan dilanjutkan dengan buku Von Stockum Traveller’s Hand 
Book Dutch Netherlands Indie, yang walaupun terbit tahun 1930, dengan presisi 
mencatat jadwal serta harga tiket trem. 
Bayangkan, dahulu di zaman penjajahan, jadwal sudah teratur,” kata Fadli Zon.
Obrolan berlanjut ke ruang paling atas, tempat Fadli memperdengarkan lagu 
ciptaan Presiden Soekarno tahun 1965 berjudul ”Mari Kita Bersukaria”. ”Jadi, 
biasa itu Presiden bikin lagu. Waktu itu zaman lagi susah. Presiden Soekarno 
bikin lagu yang riang gembira,” katanya.
Sambil menyantap gado-gado favoritnya, Kompas mulai mewawancarai Fadli. ”Saya 
tahun ini 38 tahun. Saya nggak merasa muda lagi. Sudirman jadi jenderal umur 
32, Syahrir perdana menteri umur 36, Sumitro Djojohadikusumo menjadi menteri 
juga usia 32,” kata pria yang lahir di Jakarta, 1 Juni 1971, ini.
Bagaimana Anda melihat politik Indonesia lima tahun ke depan?
Saat ini masalahnya menyangkut identitas dan jati diri bangsa. Belum terbentuk 
character and nation building. Kita masih gamang. Pembangunan dan demokrasi 
kita tidak jelas ke mana. Demokrasi liberal belum tentu cocok buat kita. Yang 
kita alami, anarki politik. Transisi demokrasi kita seperti pendulum dari 
kerangkeng menuju ke kebebasan yang liar. Kita belum temukan format yang baik 
untuk bangsa.
Bung Karno dan Bung Hatta visioner. Mereka mengalami periode pertarungan 
ideologi, komunisme, dan kapitalisme, namun kemudian memilih ideologi yang 
local genius Indonesia. Ekonomi kita koperasi dengan adanya badan usaha negara 
yang kuat dan sektor swasta.
Bagaimana character building kita saat ini?
Saat ini politisi kita kebanyakan tak ada karakternya. Jadi, semuanya bisa 
diatur. Yang penting menguntungkan. Salah satu pemimpin yang kokoh itu Megawati 
Soekarnoputri. Ia kalau mengambil keputusan tidak bisa diubah. Kebanyakan kita 
negotiable. Padahal, masalahnya prinsip. Politisi kita takut miskin.
Rakyat sudah memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seharusnya SBY bisa 
mengubah style-nya. Bisakah dia menjadi pemimpin yang visioner dan inspiratif, 
membangun. Kita butuh pemimpin yang solidarity maker, bisa menggerakkan rakyat. 
Adalah hak rakyat mendapatkan penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, 
dan kehidupan yang baik.
Kita ingin melakukan demokrasi, kan?
Demokrasi untuk demokrasi atau untuk kesejahteraan? Waktu saya studi 
development studies, tidak ada negara yang karena demokrasi jadi makmur.
Jadi, kita meningkatkan kesejahteraan baru demokrasi? 
Demokrasi yang seperti apa? Demokrasi harus sesuai dengan jati diri kita. 
Sekarang malah demokrasi kita lebih liberal daripada Amerika Serikat (AS). 
Desentralisasi kita juga tidak memikirkan lagi masalah efisiensi. 
Desentralisasi dilakukan saat kita krisis. Padahal, di mana pun, desentralisasi 
dilakukan dalam keadaan stabil dulu. Yang terjadi sekarang desentralisasi 
korupsi dan pemborosan.
Jadi, kita harus mulai dari mana?
Ideologi pembangunan dan ekonomi kita harus jelas dulu. Apa kita mau tetap 
pakai paham neoliberalisme atau kita koreksi dan kembali ke ekonomi kerakyatan. 
Misalnya dalam masalah perdagangan. Kalau kita dalam keadaan lemah, common 
sense saja kita harus melindungi. Kita malah terbuka pada free trade. 
Seharusnya kita proteksi dan promosi dulu. Setelah kuat, baru ekspansi. Di WTO, 
kita ikuti keinginan negara besar karena kita ingin diperlakukan seperti negara 
besar. Akibatnya kita jadi melupakan kepentingan rakyat. Inti masalahnya adalah 
national interest kita apa.
Kita impor cabai sampai garam. Padahal, laut kita luas sekali. Kita akhirnya 
jadi kuli di negeri sendiri. Tidak mau menghasilkan value added.
Maksud Anda, kita harus kembali ke otoritarian?
Demokrasi yang sekarang harus kita evaluasi. Sekarang kita euforia. Kita bangga 
disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Padahal, kita harus 
belajar. Dari China, misalnya, bisa sejahtera dengan penduduk di atas satu 
miliar jiwa. Kita, kan, ingin sejahtera, bukan ingin sekadar jadi demokrasi. 
Kita ingin makmur. Demokrasi seharusnya mengarah ke kemakmuran. Demokrasi macam 
apa yang mengarah ke situ. Apa demokrasi liberal? Pemilu kepala daerah 
(pilkada) yang ratusan jumlahnya dan pemil

CiKEAS> Men join in the fight against polygamy

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.thejakartapost.com/news/2009/11/02/men-join-fight-against-polygamy.html

Men join in the fight against polygamy
Hans David Tampubolon ,  The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Mon, 11/02/2009 10:30 
AM  |  Headlines 



Pro-polygamy groups are now not only facing protest from angry housewives and 
women's rights activists; a new group of men calling themselves the Men's 
Coalition against Polygamy (Kolmi) has also joined the struggle.

Kolmi spokesman Abdul Hamim Fauzie said via a statement in Jakarta on Sunday 
that the coalition considered the practice of polygamous marriage degrading, 
not only to women, but to men as well.

"Facts show that polygamy leads to nothing but domestic violence, 
discrimination and the abuse of human rights," he said.

"However, polygamists often argue that polygamy is necessary to avoid 
infidelity and love affairs. They also claim that polygamy is a part of their 
religious beliefs. Men use these arguments to justify their polygamous 
practices," he added.

"They need to know that not all men agree with and support polygamy. For us, 
the practice only degrades men's values and dignity. 

"The practice labels men as aggressive, egotistical, wild, unfaithful, and 
worst of all as being unable 
to control their libidos," he said further.

The coalition also said that it regretted a number of discriminative articles 
in the current marriage law.

"The law legalizes men to have more than one legal wife when their spouses are 
seriously ill or sexually incapable. 

"This is very unfair, especially to women, because the law only accommodates 
the needs of men," Abdul said.

Meanwhile, Muslim scholar Siti Musdah Mulia said that people practicing 
polygamous marriages who quoted verses from the Koran to justify their behavior 
were misinterpreting the message.

"Those people must not quote the Koran by verse.

They need to read the whole context and understand its real essence before 
saying the Koran endorses polygamy," she said.

Musdah said the Koran actually says that Islam aimed to eradicate polygamous 
practices, not to endorse them.

"Islam considers polygamy an unjust practice that originated in the dark ages. 
Therefore, Islam sought to eradicate such practices, but due to the severe 
reaction it caused, it took some time to fully eradicate the practice from the 
culture at that time," she said.

"Overall, the Koran says that Islam aims to ensure justice among human beings 
and in the way they develop relationships from the smallest scale. Justice here 
means guaranteeing that no one will feel they are being treated unfairly or are 
being hurt," she added.

Musdah said that she was not surprised to see that a number of men decided to 
bond together and fight against polygamy.

"Actually, anti-polygamy figures in the past were mostly prominent male 
clerics. The Prophet Muhammad himself was very angry when one of his 
son-in-laws planned to engage in polygamy," she said.

Recently, controversy has sparked  following an official launch of a polygamy 
club, dubbed the Global Ikhwan, in Bandung.

The club, originating from Malaysia, cites the noble aim of helping single 
mothers, reformed prostitutes and aging single women find spouses.

As soon as the club was established, condemnation poured in, especially from 
housewives and women's activists.

Ironically, the club is chaired by a woman named, Hatijah Binti Am, who has 
insisted the club could introduce people to the beautiful side of polygamy.

Previously, a number of polygamy scandals have reduced the popularity of public 
figures engaged in the practise.

Comments (1)  |   Post comment 

Tami Koestomo - Mon, 11/02/2009 - 5:02pm

Tami Koestomo The Muslim scholar Siti Musdah Mulia is absolutely right. It's a 
real pity this sagacious and obviously very intelligent and warm-hearted Muslim 
lady hasn't become the top leader in the MUI yet. Somehow the picture that 
comes strongly to mind upon reading this article is the first wife of Muslim 
cleric Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) bravely trying to bite back scalding tears 
as she publicly announces her approval of her husband taking a second wife - 
and, recently, seeing the tears of her elderly Father as he states that his 
son-in-law hasn't visited him in 2 years. Tami Koestomo, Bogor. 

CiKEAS> How difficult is it to learn Indonesian?

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/31/how-difficult-it-learn-indonesian.html

How difficult is it to learn Indonesian?
M. Marcellino ,  Jakarta   |  Sat, 10/31/2009 1:13 PM  |  Opinion 



Indonesian has been taught for decades in various countries in the world, 
including in Australia, the United States and South Korea, to mention a few. 
This indicates that Indonesian is one of the foreign languages that university 
authorities have seriously noted and consider important for their students to 
take in their countries. 

However, over the last few years, as far as the current information is 
concerned, a number of Indonesian classes in various countries, such as the 
three mentioned above, have either closed or been canceled due to a very 
limited number of students interested in taking the course. 

This article will present some factual reasons for why foreign students might 
lose their motivation when learning Indonesian, based on my experience and an 
intensive observation at a particular private university in South Korea. This 
article attempts to provide some solutions to the problems that foreign 
teachers of Indonesian may frequently encounter in class. 

The first factor why Korean students lose their interest in learning Indonesian 
deals with their teachers' degree of language proficiency. 

As teachers play a significant role in arousing their students' motivation and 
in making the class lively and attractive, the teachers' lack of ability to 
communicate in the target language the learners are studying has a negative 
impact upon the learners' language acquisition. 

In the case of Indonesian in Korea, teachers often speak Korean in class and 
this can definitely prevent their students from acquiring a communicative 
skill, a language ability essential for communication. 

Teaching Indonesian in Korean may also make the students lose the great 
opportunity to observe, pick up and use the language naturally. 

Korean university teachers often confront difficulty in using Indonesian as the 
medium of instruction in class interactions. Accordingly, when in class, they 
speak Korean most of the time and this leads their students to having little 
time to practice speaking the language and to become familiar with any 
expression of the language use they are studying. 

Lack of practice in four language skills - listening, speaking, reading and 
writing - will definitely hinder the acquisition of the language skills the 
students are learning. 

When looking closely into the teaching materials, particularly the reading 
texts, they scarcely present culture-based passages that may both broaden their 
knowledge and increase their motivation. Passages on Indonesian cultures may be 
essential for Indonesian classes as they have many functions. 

First, learning a language is also learning its culture. Therefore, by having 
knowledge of some Indonesian cultures, students can also appreciate the people, 
their customs and beliefs, as well as their way of life and their language that 
they are studying. Cultures may also attract students' interest in learning the 
language, for students may appreciate the cultural values of the people having 
the customs. 

Like other foreign language courses offered and taught in foreign countries, 
the learning environment of Indonesian classes is mostly not ideal in that the 
students mostly speak their own language inside and outside the class. This 
situation prevents or delays the students from acquiring the language they are 
learning. 

With regard to teaching methodology, not many approaches are implemented to 
stimulate the students' learning activities. A communicative approach is 
scarcely adopted in class interactions, instead structuralism has a greater 
proportion in class practice. As the basic features of this approach concern 
repetitions, substitutions and language reinforcement with little or no 
exposure to language use, language is not presented in actual communicative 
contexts. 

Accordingly, students do not learn how the language is used for real 
communication. Teachers seem not to be professionally acquainted with various 
teaching techniques in that their teaching style seems to be monotonous. 

There are several ways teachers of Indonesian can overcome their problems. 

First of all, they have to improve their Indonesian language proficiency and 
use the language in class. By using Indonesian as the only medium of 
instruction and communication, students will be greatly exposed to the use of 
the language, can learn the language naturally and pick up many language 
expressions useful and meaningful for real communication. 

Second, students have to be encouraged to practice using Indonesian inside and 
outside the class. By so doing, they reinforce their learning, a factor badly 
required for the process of acquiring a language. 

The textbooks the teachers use have to be attractive in terms of their content, 
well designed and based 

CiKEAS> Mungkinkah Amerika Bangkrut ???

2009-11-02 Terurut Topik muskitawati
Mungkinkah Amerika Bangkrut ???
   
Pertanyaan ini punya dua jawabannya, yaitu "Ya", dan "Tidak".

Kenyataannya, sebagai pengusaha Amerika tentu bisa bangkrut, sebaliknya, 
sebagai negara Demokrasi tentunya Amerika tidak bisa bangkrut.

Kalo Amerika itu bangkrut, maka yang bangkrut itu pengusaha2nya, kapitalis2nya, 
sementara itu systemnya tetap berjalan tidak mungkin bangkrut karena memang 
bukan jualan dan bukan dagangan.

Demikianlah, sebagai negara kapitalist tapi juga demokrasi, maka system 
kapitalisme tidak bisa dipraktekkan, oleh karena itulah para kapitalist-nya 
menjual saham atau mendistribusikan saham2nya sehingga sang kapitalist satu 
jatuh bangkrut maka kapitalist lain bangkit mengambil alih.

Demikianlah, kalo kita gambarkan dunia ini ibaratnya meja judi, maka Amerika 
itu jadi bandarnya, apabila sang bandar bangkrut, maka uang yang ada di-meja 
judi itu tidak hilang tetapi cuma pindah2 tempat diantara para pejudi itu 
sendiri.  Akibatnya, kalo bandarnya bangkrut, maka pejudi yang jadi pemenang 
akan mengambil alih posisi bandar tadi sehingga perjudian terus berlangsung tak 
peduli berapa banyak pun bandarnya yang bangkrut tetap saja perjudian tetap 
berlangsung terus.

Demikianlah gambaran ekonomi Amerika yang terkait dengan dominasi ekonomi 
global dikarenakan penguasaan teknologi, science, ekonomi, dan sosial politik.  
Dan untuk perkembangan dan kesinambungan kesemuanya ini, maka dunia pendidikan 
Amerika juga terbaik didunia.

Ny. Muslim binti Muskitawati.






CiKEAS> Kontroversi Kapolda dan Pangdam, Membingungkan

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=507

03 Nopember 2009 02:59:23



Kontroversi Kapolda dan Pangdam, Membingungkan

Terkait Kasus Penembakan di Area Freeport 


JAYAPURA-Berlarut-larutnya pengungkapan kasus penembakan di area PT Freeport 
Indonesia yang belakangan memunculkan kontroversi antara Pangdam dan Kapolda 
Papua tentang siapa pelaku penembakan itu justru kian membingungkan masyarakat 
dan masyarakat.


Terkait hal itu, Dewan Adat Papua (DAP), Yayasan Hak Asasi Manusia dan 
Kekerasan (Yahamak), dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua 
se-Indonesia (AMPTPI) mengadakan jumpa pers di Sekretariat AMPTPI Waena, 
Jayapura, Senin (2/11) untuk menyatakan sikap siapa sebenarnya pelaku 
penembakan di Area PT Freeport Indonesia itu.


Pada kesempatan itu dijelaskan, sebelumnya dari hasil olah TKP (Tempat Kejadian 
Perkara) secara transparan oleh Kapolda Papua telah mengumumkan bahwa peristiwa 
penembakan warga sipil di area PT Freeport Indonesia sejak tanggal 11 Juli 2009 
itu adalah "tindakan kriminal bersenjata murni" bukan dilakukan oleh Tentara 
Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) pimpinan Kelly Kwalik.
Sedangkan dalam pernyataannya, usai acara Dialog Publik Carut Marut Kasus 
Freeport yang di gelar oleh DPD KNPI Provinsi Papua di Swiisbel Hotel Jumat 
(30/10) lalu, Pangdam menyatakan pelakunya adalah TPN/OPM pimpinan Kelly Kwalik 


Ketua Umum Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut, Spd menegaskan, pihaknya 
melakukan jumpa pers hanya ingin menyatakan sikap dari pernyataan Kapolda Papua 
dan Pangdam yang berbeda tentang pelaku penembakan yang terjadi di area PT 
Freeport Indonesia. "Perbedaan pernyataan tersebut membuat masyarakat Papua 
menjadi bingung dan bimbang serta bertanya-tanya ada apa di balik semua ini," 
ucapnya.


Dikatakan, sejumlah kasus yang terjadi di Papua tidak pernah ada penyelesaian 
hukum yang pasti, namun peluang konflik dimanfaatkan pihak lain dengan 
konspirasi tertentu dan rakyat Papua selalu dikambinghitamkan dengan ungkapan 
separatis.
Sedangkan menurut Direktris Yahamak Yosepha Alomang mengatakan, dalam 
mengungkap kasus penembakan di area PT Freeport Indonesia haruslah transparan. 
"Pihak Polda Papua dan Pangdam juga janganlah tutup mata dalam mencari pelaku 
penembakan sehingga tidak salah dalam penangkapan pelaku," ujarnya. 


Terkait kasus di area Freeport itu, atas nama Dewan Adat Papua, Yayasan Hak 
Asasi Manusia dan Kekerasan (Yahamak) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah 
Papua se-Indonesia menyatakan Sikap: pertama, Polda Papua segera mengungkapkan 
siapa pelaku penembakan warga Australia, guna menghindari terjadinya peristiwa 
susulan di PT. Freeport Indonesia. 


Kedua, demi menjunjung kebenaran pihak kepolisian Indonesia, dengan jujur 
meminta bantuan pihak penyidik asing dalam hal ini Negara korban Australia.


Ketiga, manajemen PT. Freeport Indonesia segera membuka diri terhadap 
pengungkapan Peristiwa penembakan di mile 54 dan sekitarnya pada areal PT. 
Freeport Indonesia.


Keempat, Pemerintah Indonesia segera membuka diri terhadap masalah yang 
sesungguhnya terjadi di Areal PT. Freeport Indonesia, melalui mekanisme dialog.


Kelima, Pemerintah Indonesia segera membebaskan 7 orang warga sipil yang 
tangkap, karena belum membuktikan barang bukti.


Keenam, pernyataan TNI dan Polri tanpa membuktikan siapa pelaku peristiwa di 
areal PT. Freeport Indonesia, jangan membingungkan dan memgkambinghitamkan 
rakyat Papua sebagai Pelaku kejahatan. (dni/fud)
(scorpions)


CiKEAS> Pesawat Polri Hilang Kontak di Puncak Jaya

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=508

 03 Nopember 2009 02:59:58





  Pesawat Polri Hilang Kontak di Puncak Jaya






  JAYAPURA-Kecelakaan pesawat milik Polri kembali terjadi di Papua. Jika 
pada 22 Februari 2005 pesawat Cassa-212 milik Polri jatuh di pantai dekat 
Lapangan Terbang Kabupaten Sarmi, Papua dan mengakibatkan sedikitnya 15 orang 
tewas, maka kali ini, Senin (2/11) sekitar pukul 11.20 WIT, pesawat Cassa M 28 
jenis Skytruck bernomor lambung P-4202 milik Polri yang di-BKO-kan ke Polda 
Papua dilaporkan hilang kontak di daerah Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. 


  Hingga kemarin sore, pesawat yang mengangkut 8 drum bahan bakar minyak 
ini belum diketahui kabarnya, termasuk tiga crewnya yaitu Capt. Pilot AKP 
Yunus, Co.Pilot Ipda Benediktus, mekanik Briptu Saiful dan Briptu Kuswanto juga 
belum diketahui nasibnya.
  Pesawat Skytruck yang biasa digunakan mantan Kapolda Papua Irjen Pol Drs. 
FX Bagus Ekodanto untuk melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah ini, 
berangkat dari Bandara Sentani Kabupaten Jayapura sekitar pukul 11.20 WIT, 
menuju ke Bandara Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. 


  Pesawat terbang dalam rangka Operasi by Police dengan melakukan 
penerbangan sebanyak dua flight rute Sentani-Mulia. Namun disaat flight kedua 
inilah pesawat mengalami lost contact dengan menara kontrol di Bandara Sentani. 
Pesawat naas tersebut hilang kontak pukul 11.58 WIT, maintain 10.000 feet di 26 
mil pada 78,30 Nautical Mile (NM).


  Dari Jayapura radial 249 pada koordinat S 02 57' 54' dan E 139 16' 50' 
wilayah daerah Dorman. Pukul 16.30 WIT menara kontrol menerima info dari 
Pesawat Susi Air C-208 PK-VVD dengan capt Tom Robertson dan Co.Pilot Badenhos 
kedua pilot tersebut yang menerima signal lemah dari Emergency Locater 
Transmition (ELT) dari pesawat di daerah distrik Ilu Pass pada koordinat S 30 
40' 33" dan E 138 19' 99'
  "Seharusnya pesawat tiba di Mulia pukul 12.40 WIT, namum sampai saat ini 
belum tiba dan tidak bisa dihubungi," kata Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. 
Drs. Agus Rianto saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, tadi malam.


  Informasi dari pihak Bandara Mulia menyebutkan, 15 menit sebelum jadwal 
pesawat mendarat, pesawat cassa itu sempat kontak, namun setelah itu tidak bisa 
kontak lagi. Pesawat itu diperkirakan jatuh di wilayah Ilu, (salah satu distrik 
di Kabupaten Puncak Jaya) di koordinat 340,70 LS dan 138,16.95 LT. Cuaca di 
daerah Puncak Jaya mulai dari pagi cukup berawan, sehingga diperkirakan 
mempengaruhi penerbangan. 


  Kabid Humas menambahkan, pesawat Skytruck tersebut dilaporkan hilang 
kontak di sekitar desa Foao dan Desa Mele sekitar 78 mil dari Bandara Sentani 
Kabupaten Jayapura. Saat ini, Polda Papua masih berupaya untuk melacak 
keberadaan pesawat Skytruck milik Polri tersebut. "Kami masih berupaya 
melakukan pencarian," imbuhnya. 


  Informasi yang diterima Cenderawasih Pos tadi malam, pencarian akan 
dilakukan di titik koordinat tersebut dengan menggunakan dua pesawat dimulai 
hari ini pukul 05.30 WIT dari Jayapura menggunakan pesawat Yajasi dan pukul 
06.00 WIT menggunakan pesawat MAF dari Wamena. (bat/ade/fud/wen) (scorpions)
   

 


CiKEAS> Tehran shuts second reformist paper

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.ft.com/cms/s/0/1abf9502-c7be-11de-8ba8-00144feab49a.html

Tehran shuts second reformist paper
By Najmeh Bozorgmehr in Tehran 

Published: November 2 2009 17:27 

Iran's culture ministry shut down a leading reformist newspaper on Monday ahead 
of an expected rally by the opposition to mark the anniversary of the US 
embassy siege in 1980.

The Sarmayeh newspaper has extensively covered the news about opposition 
leaders, including Mir-Hossein Moussavi, and their calls for a continuation of 
protests following the disputed results of June's presidential election that 
saw Mahmoud Ahmadi-Nejad re-elected as president.


Journalists say the culture ministry has repeatedly warned reformist newspapers 
not to cover any story about reformists, in particular Mr Moussavi - who became 
the de facto leader of the opposition and who believes the election was stolen 
from him. 
Iran's opposition is planning to use the anniversary of the US embassy siege in 
1980 as a pretext for mass protests. 

The Revolutionary Guards on Monday warned those "agents of the enemy who are 
ignorant" that "no group will be allowed to raise fabricated slogans and 
issues" in the official rally - a clear warning to opposition supporters.

"The closure of Sarmayeh is certainly related to the demonstration on 
Wednesday," a journalist at the banned newspaper said.

It was not immediately clear why Sarmayeh was shut down. "The culture ministry 
refers to article 6 of the Press Law which has many heavy charges such as 
encouraging groups to dishonour the Islamic Republic and insulting the senior 
clergy without specifying which one the newspaper was found guilty of," the 
journalist added.

Sarmayeh has also turned into the mouthpiece for reform-minded economists 
during the past four years, lashing out at the populist policies of president 
Ahmadi-Nejad.

The government has tightened its grip over the media since the disputed June 
election, which led to the biggest social unrest in the country since the 1979 
Islamic revolution. Sarmayeh is the second reformist newspaper facing closure 
since the disputed election.

Some fear the censorship might get worse after Mohammad-Ali Ramin, a hardliner 
who claims he advised Iran's president to question the Holocaust, was appointed 
as deputy culture minister. 

Mr Ramin ordered closure of Sarmayeh on his first day of work.

Copyright The Financial Times Limited 2009. You may share using our article 
tools. Please don't cut articles from FT.com and redistribute by email or post 
to the web.


CiKEAS> Indonesian President's Reform Credentials at Risk

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2125&Itemid=175


Indonesian President's Reform Credentials at Risk 

  Written by Our Correspondent 
  Monday, 02 November 2009  
  Yudhoyono waffles instead of providing strong backing for his anti-graft 
agency 

  The confrontation between Indonesia's notoriously corrupt police and its 
beleaguered Corruption Eradication Commission has erupted into a major test for 
the reform credentials of President Susilo Bambang Yudhoyono, who may be 
risking his popularity and even his political agenda by refusing to take action.

  The public outcry has been strong, with reform-minded NGOs and common 
people alike speaking out against the arrests. The issue has dominated the 
news, drowning out a National Summit the president held last week with business 
leaders to set policy targets for his new term in office. 

  Over the weekend, more than 200,000 people joined a Facebook group 
(Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto) 
created to provide support for two deputy chiefs of the anticorruption agency, 
known by its Indonesian initials KPK, who were arrested last week by the 
National Police and charged with abuse of power and extortion. The arrests were 
made despite widely distributed verbatim tape transcripts of law enforcement 
officials conspiring to frame the two, Bibit Samad Rianto and Chandra Hamzah. 
The Facebook group seems certain to pass its one million member goal, a 
remarkable feat in a country where Internet penetration is just a bit above 10 
percent. 

  The arrests were the latest round in a complex face off that has been 
underway for months as the police have insisted that the two deputies are 
crooked. Their supporters say the police are trying to weaken the commission as 
an act of revenge since a number of high ranking police officials have been the 
target of anti-corruption investigations. 

  With the charges now headed for court, Yudhoyono said last week he would 
allow due process to unfold. That is all well and good but it seems clear that 
he has done nothing to hold the police in check or to sort out the mess before 
it reached a crisis point. 

  The issue is made more complex since the KPK, a cornerstone of 
Yudhoyono's claim to be a reformer, has its own powers of investigation, 
prosecution and trial - which is one reason the body has been able to throw 
corrupt officials into jail in one of the most notoriously bent countries in 
the world. 

  Yudhoyono is seemingly caught between his ambition to clean up, 
industrialize and modernize the country, which has joined the G20 group of 
industrialized nations and seeks to join China and India as a major force in 
Asia, and a desire by many powerful allies to see the KPK go away. 

  There is no question the KPK can be irritating, even to a president. In 
November 2008, the KPK arrested Aulia Pohan, whose daughter is married to the 
president's son. Yudhoyono's family, particularly his wife, were said to be 
infuriated. Aulia, a former central bank deputy governor, was ultimately jailed 
for four and a half years on bribery charges.

  Relying on sweeping powers, including the right to wiretap and secretly 
record conversations, issue travel bans, order suspensions from office, block 
bank accounts, take over investigations from police and the attorney general 
the agency has gone after members of parliament, ambassadors, the former chief 
of police and other members of the central bank and achieved a 100 percent 
conviction rate in its court, which was hamstrung in September by a new law 
diluting its powers. 

  Despite considerable evidence that the two antigraft officials are being 
held because they were investigating police corruption, Yudhoyono told a press 
conference Friday that he would let the law take its course. But the 
inescapable conclusion is that if the law takes its course, the two could be 
convicted in a kangaroo court proceeding and the police suspected of taking 
bribes will be let off the hook. Yudhoyono's pledge to let the system work 
looks disingenuous at best and perilous to his own political survival. 

  Yudhoyono, an analyst said, is failing to see that his decisive electoral 
victory in July, with 60.1 percent of the vote, was a mandate to transform the 
country. With his second and last five-year term just underway and with no 
major political opposition to his rule, he could be a powerful force for reform 
- if that is what he wants. Instead, the police-KPK circus looks like business 
as usual in a country renowned for opaque deal making and questionable courts. 

  Although the power of the KPK to actually transform the country may be 
largely symbolic, that symbolism has been a potent force in creating at least 
the image that something can be done about corruption. Indonesia is tied for 
126th of 180 countries in the world on Tran

CiKEAS> Crisis talks called over 'Indonesian solution'

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,,26297222-25837,00.html

Crisis talks called over 'Indonesian solution'
Stephen Fitzpatrick, Tanjung Pinang | November 03, 2009 

Article from:  The Australian 
SENIOR officials have been scrambled from Canberra to a secret Jakarta meeting 
today in a bid to save Kevin Rudd's crisis-hit "Indonesian solution", as 
Foreign Ministry officials decried what they said was the lack of an adequate 
"Australian solution" to the boatpeople problem.

Indonesian spokesman Sujatmiko said today's talks would determine whether the 
Customs vessel Oceanic Viking's permission to remain in Indonesian waters off 
the city of Tanjung Pinang with 78 protesting Sri Lankan asylum-seekers on 
board would be extended beyond Friday. 

Describing the crisis talks as a "very, very high senior official meeting", he 
said they would "discuss the issue of this stalemate as well as the long-term 
issue, how we resolve this problem when similar issues arise". 

"(We need) a win-win solution," Dr Sujatmiko said. "If there is an Indonesian 
solution there should also be an Australian solution." 

Foreign Minister Stephen Smith has said he was "not setting a deadline on" the 
matter being resolved. 

But Dr Sujatmiko refused to rule out the possibility of the Customs ship 
eventually being sent to Christmas Island for the asylum-seekers to be 
processed there, if they continued to hold out on the Indonesian offer of 
refugee processing at the Australian-built Tanjung Pinang detention centre. He 
said a decision on whether to extend the ship's security clearance would be 
made "at the highest level". 

The Oceanic Viking was granted a week's grace last Friday after officials 
realised they would not be able to persuade the Tamil refugees on board to 
leave it by the deadline first set by Indonesian officials. 

However, a senior navy official warned yesterday that if a decision were made 
not to grant further time, the Oceanic Viking would need to leave Indonesian 
waters by Friday. 

"If the permission is expired, that's it, they have to go," said Colonel 
Darwanto, deputy commander at the Indonesian Navy's Fourth Base in Tanjung 
Pinang. 

Dr Sujatmiko's warning of the need for an Australian solution to the standoff 
echoed similar comments made by Foreign Ministry spokesman Teuku Faizasyah and 
reported in local newspapers yesterday. 

"We question the concept of an Indonesian solution, because if there is an 
Indonesian solution why is there no Australian solution?" Mr Faizasyah said. 

Mr Faizasyah also said Indonesia had never considered itself a centre for 
processing refugees who would end up in other countries. 

And he said the Lombok Treaty, which enshrines the bilateral relationship 
between Jakarta and Canberra, was not intended to be used in the ad-hoc fashion 
as it currently seemed to be. 

Dr Sujatmiko said the current standoff was "a very sensitive issue" which 
involved difficult negotiations between the countries.


CiKEAS> US 'without God' ad sparks debate

2009-11-02 Terurut Topik sunny

Monday, November 02, 2009 
06:48 Mecca time, 03:48 GMT 


US 'without God' ad sparks debate, click : 

http://english.aljazeera.net/news/americas/2009/11/200911232346707356.html





CiKEAS> Remembering Yitzhak Rabin

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.arabnews.com/?page=7§ion=0&article=127991&d=2&m=11&y=2009&pix=opinion.jpg&category=Opinion

Monday 2 November 2009 (15 Dhul Qa`dah 1430)


  Remembering Yitzhak Rabin
  Uri Avnery I avn...@actcom.co.il
 

  A YEAR before the Oslo agreement, I had a meeting with Yasser Arafat in 
Tunis. He was full of curiosity about Yitzhak Rabin, who had just been elected 
prime minister.

  I described him as well as I could and ended with the words: "He is as 
honest as a politician can be." Arafat broke into laughter, and all the others 
present, among them Mahmoud Abbas and Yasser Abed-Rabbo, joined in. 

  I always liked Rabin as a human being. I especially liked some traits of 
his.

  First of all his honesty. He was a decent human being. When his term as 
Israeli ambassador in Washington D.C. came to an end, his wife Leah left behind 
a bank account, contrary to Israeli law at the time. When it was discovered, he 
protected his wife by assuming personal responsibility. At the time, unlike 
today, "assuming responsibility" was not an empty phrase. He left the prime 
minister's office.

  I liked even his most evident personality trait - his introversion. He 
was withdrawn, with few human contacts. He had no small talk. In every 
conversation, he came to the point right at the start. In a world of 
pretentious, garrulous, mendacious, back-slapping politicians, he was a 
refreshing rarity.

  More than anything else, I respected Rabin for his dramatic change of 
outlook at the age of 70. The man who had been a soldier since he was 18, who 
had fought Arabs all his life, suddenly became a peace-fighter. And not just a 
fighter for peace in general, but for peace with the Palestinian people, whose 
very existence had always been denied by the leaders of Israel.

  From 1969 on, until after the Oslo agreement, we had a running debate 
about the Palestinian issue. In 1975, after the start of my secret contacts 
with the PLO, I went to brief him (in accordance with the express wishes of the 
PLO).

  I brought him several messages from Arafat, conveyed to me by the PLO 
representative in London, Sa'id Hamami. Arafat proposed small mutual gestures. 
Rabin refused all of them.

  Consequently I was all the more impressed by Oslo. Later Rabin explained 
to me, one Shabbat at his private apartment, how he arrived there: King Hussein 
had resigned his responsibility for the West Bank. The "village leagues", set 
up by Israel as pliant "representatives" of the Palestinians, were a dismal 
failure. As minister of defense he summoned local Palestinian leaders for 
individual consultations, and one after another they told him that their 
political address was in Tunis. After that, at the Madrid conference, Israel 
agreed to negotiate with a joint Jordanian-Palestinian delegation, but then the 
Jordanians told them that all Palestinian matters must be discussed with the 
Palestinian members alone. But at every meeting, the Palestinian delegates 
asked for a pause in order to call Tunis and get instructions from Arafat. 
Rabin's conclusion: If all decisions are made by Arafat anyhow, why not talk 
with him directly?

  It has always been said that Rabin had an "analytical mind". He did not 
have much of an imagination, but he viewed facts soberly, analyzed them 
logically and drew his conclusions. If so, why did the Oslo agreement fail?

  The practical reasons are easy to see. From the beginning, the agreement 
was built on shaky foundations, because it lacked the main thing: A clear 
definition of the final objective of the process.

  For Arafat it was self-evident that the agreed "interim stages" would 
lead to an independent Palestinian state in the whole of the West Bank and the 
Gaza Strip, with perhaps some minor exchanges of territory. East Jerusalem, 
including of course the Holy Shrines, was to become the capital of Palestine. 

  The settlements would be dismantled. 

  But Rabin's aim was unclear, perhaps even to himself. At the time he was 
not yet ready to accept a Palestinian state. Absent an agreed destination, all 
the "interim phases" went awry. Every step caused new conflicts. Arafat was 
conscious of the faults of the agreement. He told his people that it was "the 
best possible agreement in the worst possible circumstances". But he believed 
that the dynamics of the peace process would overcome the obstacles on the way. 
So did I. We were both wrong.

  After the signing, Rabin began to hesitate. Instead of rushing forward to 
create facts, he dithered. Deep under the surface, powerful currents were at 
work. They pushed Rabin off course and in the end they swallowed him.

  Rabin was a child of the classic Zionist ideology. He never rebeled 
against it. At the critical juncture of his life, he fell victim to an 
insoluble inner contradiction: His analytical mind told him to make peace with 
the Palestinians, to "give

CiKEAS> Terrorist arms cache unearthed

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.arabnews.com/?page=1§ion=0&article=127970&d=2&m=11&y=2009&pix=kingdom.jpg&category=Kingdom

Monday 2 November 2009 (15 Dhul Qa`dah 1430)


  Terrorist arms cache unearthed
  Samir Al-Saadi I Arab News
 



Weapons were stashed under half a meter of concrete in a house on 
the outskirts of Riyadh (above). Investigators had to cut through the slab to 
get to the arms and ammunition (top right). (SPA)

  RIYADH: The Interior Ministry has seized 281 Kalashnikov rifles, 55 boxes 
of ammunition and 250 magazines from a rest house located in the outskirts of 
Riyadh.

  Investigators interrogating a cell of 44 Al-Qaeda-linked militants 
discovered the hideaway. "Interrogations led us to the hideaway. The weapons 
were found hidden under half a meter of concrete," said Interior Ministry 
spokesman Maj. Gen. Mansour Al-Turki.

  He added that investigations are ongoing.

  The 44 militants' arrest was announced in August following yearlong raids 
across the Kingdom. The Interior Ministry also announced then that the cell 
sought to recruit youths and financed their activities through charitable 
donations.

  Forty-three of those arrested are Saudi nationals and received weapons 
training in both the Kingdom and abroad. Some also received explosives 
training. Others received training in counterfeiting documents and identity 
cards. Their ages ranged between 20 and 60.

  A previous Interior Ministry statement said that 17 Kalashnikov rifles, 
50 other types of machine guns, 42 cases of ammunition and 96 remote electronic 
detonators were also seized. The detonators were located underground in two 
remote areas - one in the suburbs of Qassim and the other in a valley near 
Riyadh.

  The identities of those arrested have not been revealed. However, 
Al-Turki said the men included some individuals with technical qualifications 
and others with advanced university degrees.

  None of those arrested figures in the list of 85 wanted militants issued 
in February.

  Investigations showed that some of the suspects were in contact with 
senior Al-Qaeda commanders outside the Kingdom. Some were also in contact with 
local Al-Qaeda operatives killed in recent clashes with security forces.

  It was also disclosed that the suspects took advantage of charity works 
to plan terror attacks in the country. Some of those arrested used their own 
money to finance their operations.

  Al-Turki said that the danger of terror still exists and that terrorists 
are trying to reorganize and revive terror outfits.
 
<><>

CiKEAS> Abdullah endorses project to spread human rights culture

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.arabnews.com/?page=1§ion=0&article=127974&d=2&m=11&y=2009

Monday 2 November 2009 (15 Dhul Qa`dah 1430) 
 

  Abdullah endorses project to spread human rights culture
  Walaa Hawari I Arab News
 

  RIYADH: Custodian of the Two Holy Mosques King Abdullah has given the 
go-ahead for a landmark project that aims to raise awareness about human rights 
throughout Saudi Arabia. 

  The king's approval will allow the Human Rights Commission (HRC) to 
fulfill one of its constitutional obligations, according to its President 
Bandar Al-Iban.

  The HRC sets general policy to build public awareness of human rights and 
propose ways to implement it through institutes and bodies specializing in 
education, training and media.

  The commission is also authorized to spread values and a basic 
understanding of human rights, which correspond with Islamic law. The HRC, 
through its specialized divisions, will organize courses for personnel of all 
human rights-related bodies in the Kingdom, and for those who are interested in 
the field. 

  Al-Iban confirmed that the project's mission is to spread the culture of 
human rights in an atmosphere of brotherhood, tolerance and forgiveness. 

  It also aims to enable both government and nongovernmental sectors to 
effectively implement relevant policies in line with Islamic values and 
international treaties and agreements. 

  The project aims to introduce regulations, laws and procedures in the 
Kingdom that protect human rights. 

  It will also raise awareness about the dangers of human rights violations.

  "Spreading a human rights culture is a clear example that conforms to the 
king's policy of caring for the human, protecting his rights and preserving 
them," Al-Iban said, adding that this applies to both citizens and expatriates. 
He confirmed that establishing the HRC strengthened the Kingdom's commitment to 
the values of equality and justice in Saudi society.

  Al-Iban clarified that the HRC along with other relevant bodies including 
the ministries of information and education and other cultural institutes will 
set up a committee to develop a detailed plan to implement the project. 

  It will organize workshops, activities and campaigns, and publish a 
magazine about human rights. 

  The HRC will also work with the educational sector to introduce human 
rights in school curriculums.
 


CiKEAS> Fw: [Advokat-Indonesia] Cerita di balik layar pergantian mobil menteri dari Volvo ke Camri

2009-11-02 Terurut Topik sunny

- Original Message - 
From: Sulistiono Kertawacana 
To: undisclosed-recipients: 
Sent: Monday, November 02, 2009 11:37 PM
Subject: [Advokat-Indonesia] Cerita di balik layar pergantian mobil menteri 
dari Volvo ke Camri




Kind regards,
Sulistiono Kertawacana
http://sulistionokertawacana.blogspot.com/

 Original Message  Subject:  [PPIBelgia] Cerita di balik layar 
pergantian mobil menteri dari Volvo ke Camri 
  Date:  Mon, 2 Nov 2009 05:08:41 -0800 (PST) 
  From:  Furqon Azis  
  Reply-To:  ppibel...@yahoogroups.com 
  To:  ppibel...@yahoogroups.com 


  SUDAH puluhan tahun, mobil dinas para menteri dan pimpinan lembaga negara, 
selalu Volvo berwarna hitam. Pemerintahan SBY-JK naik pada tahun 2004, Volvo 
pun langsung diganti menjadi Toyota Camry.
Spekulasi berkembang di luar. Ada yang menilai, ini pertanda bahwa pemerintahan 
SBY-JK mengalami kepelikan uang sehingga para anggota kabinet harus memakai 
mobil Camry yang jauh lebih murah dibanding mobil Volvo. Ada juga yang menebak, 
itu karena JK adalah pengusaha mobil Toyota. Sebagian lagi mengira, ini berarti 
orientasi ekonomi kita ke depan, hanyak berkiblat ke Jepang karena Toyota 
adalah buatan Jepang. Maukah Anda mengetahui mengapa Volvo diganti menjadi 
Toyota Camry?
Ikutilah cerita berikut ini.

Lepas pembentukan Kabinet, SBY dan JK mendiskusikan tentang sarana penopang 
para anggota Kabinet untuk bekerja karena masih ada sejumlah anggota Kabinet 
yang pergi ke kantor dengan mobil pribadi. Ada juga anggota Kabinet yang 
mengendarai kendaraan reot yang disiapkan oleh kantornya. Kabarnya, JK meminta 
kepada SBY agar soal kendaraan para anggota Kabinet, diserahkan saja ke dia. 
Saat itu, Volvo masih dalam hitungan untuk kembali dipakai. Namun, JK 
menghitung bahwa Volvo terlampau mahal.

JK pun meminta Johny Darmawan, Direktur Toyota Astra Motor, untuk menemuinya. 
JK bertanya, â?oSedan Toyota apa yang lagi popular dan berkualitas andal saat 
itu. Yang pasti, untuk kelas menengah saja dan tidak terbilang mewah.�
Sang direktur pun memberi jawaban: sedan Camry. â?oSelain produk baru yang 
nyaman, juga tidak terlampau mahal untuk ukuran kelas menengah. Harganya 
sekitar Rp425 juta perunit.�

JK langsung menyambung, â?oKalau begitu Anda banyak mengiklankan produk ini 
kan? Berapa biaya iklanmu setahun untuk memasarkan produk Camry ini?� tanya 
JK.
â?oYa, sekian banyak, Pak,â? kata Sang Direktur.
â?oBagaimana kalau Anda menghentikan pembayaran iklan itu, lalu saya yang 
iklankan untuk Anda?� sambung JK.
â?oBagaimana caranya, Pak?â? tanya Sang Direktur penuh keingintahuan.
â?oNah, caranya gampang. Kalau saya beli mobil sedan Camry Anda minimal 40 unit 
dan saya hanya mau bayar Rp275 juta per unit, gimana?� JK menawar.
â?oMaaf Pak, susah, karena harga itu terlampau rendah,â? balas Sang Direktur.
â?oIya memang betul harga yang saya tawarkan rendah dari harga penjualan Anda. 
Tapi, kan Anda tidak perlu keluarkan biaya iklan selama lima tahun,� balas JK.
â?oNah, maaf Pak, itu yang saya belum mengerti. Bagaimana rumusannya?â? tanya 
direktur Toyota tersebut.
â?oBegini, mobil sedan Camry saya beli minimal 40 unit dan akan saya berikan 
kepada para menteri dan juga para pimpinan lembaga negara lainnya. Masa jabatan 
menteri kan lima tahun. Jadi, selama lima tahun tersebut, menteri-menteri 
memakai Camry. Artinya, Anda sudah dipasarkan dengan sendirinya oleh para 
menteri dan pimpinan lembaga negara lainnya nanti,� kata JK.

â?oBayangkan saja jika setiap menteri memakai sedan Camry kan menteri dikawal, 
dan sesekali pakai mobil pengawal yang pakai sirene, tentu semua orang 
memandang. Di situlah sedan Camry Anda langsung dilihat orang. Lagian, biasanya 
kalau sudah menteri pakai maka semua orang ingin juga memakai kendaraan sama 
dengan yang dipakai menteri,� tegas JK lagi.

â?oAnda harus lihat dari segi jangka panjangnya. Pembayaran kami memang bisa 
membuat Anda tidak beruntung banyak untuk beberapa puluh mobil tersebut, 
tetapi, keuntungan jangka panjang Anda sangat berlimpah nanti. Banyak pengusaha 
mobil dari berbagai merek datang untuk menawarkan produknya, termasuk Volvo. 
Jadi, kalau Anda tertarik dengan tawaran saya, Oke, kali ini kita mulai sejarah 
baru bahwa para menteri dan pejabat lembaga negara lainnya akan menggunakan 
Toyota. Ini sebuah era baru bagi Toyota,� kata JK.
Ternyata memang, tawaran JK masuk akal bagi Toyota. Dan para menteri serta 
pimpinan lembaga negara lainnya pun menggunakan sedan Toyota Camry sampai 
sekarang.

Keputusan ini bukannya sepi dari soal. Ada-ada saja yang mencoba menyoalnya. 
Mereka menyesalkan, menteri itu sebaiknya diberi kendaraan yang lebih atas 
daripada Camry demi keselamatan menteri. Masalahnya, kata mereka, Camry itu 
mudah ringsek jika ditabrak atau tabrakan. Volvo kan sudah terbukti 
keandalannya, alasan mereka.

Gugatan ini dengan enteng ditangkis oleh JK. â?oMenteri itu kan selalu diiringi 
oleh sebuah mobil kawal dari belakang. Sebelum menteri di

CiKEAS> Could America go broke?

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/11/01/AR2009110101704.html?wpisrc=newsletter

Could America go broke?
 

By Robert J. Samuelson
Monday, November 2, 2009 

The idea that the government of a major advanced country would default on its 
debt -- that is, tell lenders that it won't repay them all they're owed -- was, 
until recently, a preposterous proposition. Argentina and Russia have stiffed 
their creditors, but surely the likes of the United States, Japan or Britain 
wouldn't. Well, it's still a very, very long shot, but it's no longer entirely 
unimaginable. Governments of rich countries are borrowing so much that it's 
conceivable that one day the twin assumptions underlying their burgeoning debt 
(that lenders will continue to lend and that governments will continue to pay) 
might collapse. What happens then? 

The question is so unfamiliar that the past provides few clues to the future. 
Psychology is crucial. To take a parallel example: the dollar. The fear is that 
foreigners (and Americans, too) will lose confidence in its value and dump it 
for yen, euros, gold or oil. If too many investors do that, a self-fulfilling 
stampede could trigger sell-offs in U.S. stocks and bonds. People have 
predicted such a crisis for decades. It hasn't happened yet. The currency's 
decline has been orderly, because the dollar retains a bedrock confidence based 
on America's political stability, openness, wealth and low inflation. But 
something could shatter that confidence -- tomorrow or 10 years from tomorrow. 

The same logic applies to exploding government debt. We have moved into 
uncharted territory and are prisoners of psychology. Consider Japan. In 2009, 
its budget deficit -- the gap between spending and taxes -- amounts to 10 
percent or more of gross domestic product (GDP). The total government debt -- 
the borrowing to cover all its deficits -- is approaching 200 percent of GDP. 
That's twice the size of its economy. The mountainous debt reflects years of 
slow economic growth, many "stimulus" plans, an aging society and the impact of 
the global recession. By 2019, the debt-to-GDP ratio could hit 300 percent, 
says a report from JPMorgan Chase. 

No one knows how to interpret these numbers. If someone had predicted 20 years 
ago that Japan's debt would rise so spectacularly, the forecast would 
doubtlessly have inspired this alarm: Japan will pay crushing interest rates as 
fearful lenders demand high returns to compensate for the risk that government 
might default or inflate away its debt. Instead, the opposite has happened. 
Japanese investors -- households, banks, insurers -- have absorbed 94 percent 
of the debt, reports JPMorgan. Interest rates on 10-year Japanese government 
bonds have dropped from 7.1 percent in 1990 to 1.4 percent now. 

Superficially, it's possible to explain this. Japan has ample private savings 
to buy bonds; modest deflation -- falling prices -- makes low interest rates 
acceptable; and investors remain confident that new and maturing debt will be 
financed. 

The American situation is similar. Despite huge deficits, interest rates on 
10-year Treasury bonds have hovered around 3.5 percent. In time of financial 
crisis, investors have sought the apparent sanctuary of government bonds. But 
the correct conclusion to draw is not that major governments (such as Japan and 
the United States) can easily borrow as much as they want. It is that they can 
easily borrow as much as they want until confidence that they can do so 
evaporates -- and we don't know when, how or whether that may happen. 

Wealthy societies everywhere face a similar dilemma. Debt is ballooning from 
already high levels. The Congressional Budget Office reckons the Obama 
administration's planned budgets would increase the debt-to-GDP ratio from 41 
percent in 2008 to 82 percent in 2019. Higher interest rates would aggravate 
the debt burden. Anticipating higher rates, the CBO estimates annual interest 
payments on the federal debt at $799 billion in 2019, up from $170 billion in 
2009. Even the size of exposed debt is unclear; adding Fannie Mae's and Freddie 
Mac's debts (effectively guaranteed by the government) to Treasury debt would 
raise the total sharply. 

But containing debt by spending cuts or tax increases would involve wrenching 
and unpopular measures that might, perversely, weaken the economy and worsen 
deficits. In Japan, the existing value-added tax (national sales tax) of 5 
percent would have to go to 12 percent, says JPMorgan, along with deep spending 
cuts. Against choices like that, some advanced country might decide that a 
partial or complete default, though dire, would be less damaging economically 
and politically than the alternatives. 

Deprived of international or domestic credit, defaulting countries in the past 
have suffered deep economic downturns, hyperinflation, or both. The odds may be 
against a wealthy society tempting that fate, but 

CiKEAS> Hidupkan Karnaval Genderuwo

2009-11-02 Terurut Topik sunny
Refleksi: Untuk menghidupkan dibutuhkan bantuan kaum pedagang, tanpa 
komersialisasi sulit untuk karnaval Genderuwo dihidupkan. Setuju dihidupkan 
biar ramai gembira ria, iblis bin seythan juga membutuhkan hari perayaan penuh 
keramaian.

-
Jawa Pos
[ Senin, 02 November 2009 ] 

Hidupkan Karnaval Genderuwo 


JOGJA - Di kalangan masyarakat Jawa, dikenal bangsa jin yang disebut genderuwo. 
Gambarannya mengerihkan dengan tubuh besar hitam, bergigi runcing, dan rupa 
menyeramkan. Minggu 1 November kemarin, masyarakat Kampung Bumen Purbayan 
Kotagede, Jogjakarta mengadakan Karnaval Genderuwo. Karnavak itu untuk pertama 
kalinya diadakan lagi sejak tenggelam 1950-an. 

"Karnaval ini berawal dari usaha mengusir genderuwo yang lantas bisa dikuasai. 
Mereka akhinyr amengikuti setiap ada hajatan, termasuk mengiringi pengantin," 
terang Wardoyo sesepuh Kampung Bumen.

Namun, kini tradisi itu dihidupkan lagi dalam suasana berbeda. Genderuwo itu 
disamarkan dalam berbagai bentuk agar bisa dijadikan asset budaya. Maka, 
jadilah gendruwo-gendruwo itu bukan sesuatu yang menakutkan. 

Tapi justru menjadi tontonan khalayak ramai. Karena diarak keliling kampung 
diiringi tetabuhan dan lucu-lucuan yang menghibur.

Dalam karnval kemarin, genderuwo mengiringi sepasang "pengantin" yang 
diperankan seorang pemuda setempat dan Marissa Reichest seorang mahasiswi asal 
Jerman yang sedang studi di Jogja. Dan di belakang mereka, puluhan peserta 
dengan berbagai atribut. Mulai pakaian daerah, para Punakawan, serta ibu-ibu 
berbusana lucu-lucuan dengan bedak dan coretan di wajahnya masing-masing. 
(din/jpnn/ruk)

CiKEAS> Puluhan Anak Aceh Bermasalah di Paraguay

2009-11-02 Terurut Topik sunny
Refleksi : Latihan sepak bola di Paraguay? 

Jawa Pos
[ Senin, 02 November 2009 ] 


Puluhan Anak Aceh Bermasalah di Paraguay 

Berbakat Sepak Bola, Terpilih Ikut Program Pembinaan U-16 

BIREUEN - Puluhan anak Aceh yang sedang berlatih sepak bola di Paraguay 
mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Anak-anak Aceh tersebut mengadu 
kepada orang tua bahwa mereka telah dipukuli polisi setempat.

Hal itu terungkap berdasar penuturan Zulkarnaini, ayah salah seorang di antara 
34 anak tersebut, Gian Riandy Syahputra. Lelaki berusia 46 tahun, asal 
Geudong-Geudong, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, itu ditelepon 
putranya pada Sabtu lalu (31/10) pukul 04.00. ''Dia mengatakan bahwa polisi 
memukuli dirinya dan rekan-rekannya,'' katanya.

Menurut Riandy, peristiwa tersebut baru terjadi beberapa jam sebelum dirinya 
menelepon. Awalnya, dia dan rekan-rekannya yang selesai berlatih pulang ke 
Hotel Comite Olimpico, Asuncion, tempat mereka menginap.

Mereka terkejut karena mendapati kamar yang berserakan. Selain itu, barang 
berharga dan uang mereka hilang. Mereka menanyakan hal tersebut kepada petugas 
hotel.

Karena hotel tidak mau bertanggung jawab, terjadi keributan di antara mereka. 
Rupanya, di tengah keributan itu, petugas hotel menghubungi polisi. Bukannya 
menyelidiki pencurian tersebut, para polisi memukuli Riandy dan teman-temannya. 
Pemukulan berhenti saat Konjen RI datang ke hotel tersebut.

Zulkarnaini memaparkan, putra sulungnya masuk dalam program pelatihan di 
Paraguay setelah lolos seleksi tim U-16 di Banda Aceh pada pertengahan 2008. 
Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam lantas mengirim para bibit unggul pesepak bola 
itu untuk berlatih ke Paraguay pada 9 Agustus 2008. Mereka ditemani empat 
ofisial.

Awalnya, semua kegiatan berlangsung lancar. Tapi, sejak Januari 2009, berbagai 
persoalan muncul. PT Sanchez Management Gol selaku agen kurang memperhatikan 
kebutuhan tim. 

Sebagai orang tua, Zulkarnaini sangat prihatin dengan kejadian buruk yang 
dialami Riandy dkk. (bah/jpnn/ruk)

CiKEAS> Pilihan Kepala Desa, Politik Uang Sudah Biasa?

2009-11-02 Terurut Topik sunny


SUARA MERDEKA


Pilihan Kepala Desa, Politik Uang Sudah Biasa?

  Ditulis Oleh Fatkhul Muin
 
  02-11-2009,  
  Sebulan mendatang, Pemerintah Kabupaten Demak akan menggelar lagi ajang 
Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) bagi desa-desa yang saat ini masih lowong 
pejabatnya. Seperti yang sudah-sudah, ajang pilkades ini meskipun termasuk 
dalam kerangka demokrasi, namun pada kenyataannya efek yang ditimbulkan cukup 
beragam. Bahkan kadang-kadang luka yang ditimbulkan dalam ajang pilkades ini 
butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya. 

  Ada beberapa masukan yang mengusulkan bahwa ajang pilkades ini 
dihilangkan atau diubah sedemikian rupa agar efek yang ditimbulkan tidak 
berkepanjangan.

  Selain itu biasanya ajang pilkades ini rentan dengan yang namanya money 
politic atau politik uang, tanpa uang pilkades tidak jalan baik dari segi 
kepanitiaan sebagai pelaksana ataupun bagi pemilih yang menggunakan hak 
pilihnya dalam ajang pilkades.

  Untuk kepanitiaan, pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus pos 
penyelenggaraan Pilkades yang jika dihitung mendekati miliaran rupiah bahkan 
lebih, selain itu desa juga mengeluarkan pos anggaran dan besarnya tergantung 
dari kesepakatan bersama antara pemerintahan desa dan lembaga yang ada. Bakal 
calon atau Calon kepala desa biasanya juga mengeluarkan sejumlah uang yang 
lazim disebut swadaya dalam rangka mensukseskan ajang pilkades di desanya.

  Selain biaya tersebut di atas, calon kepala desa yang akan berlaga dalam 
ajang pemilihan kepala desa juga harus menyiapkan sejumlah uang dalam rangka 
kesuksesan dirinya dalam rangka menggaet pemilih. Biasanya hal ini telah 
dilakukannya jauh-jauh hari setelah dirinya dengan resmi mengikuti ajang 
pilkades di desanya istilah jawanya bukak lawang. Meskipun hanya sekedar 
menyediakan makanan kecil, minuman, rokok  namun jika yang disediakan jumlah 
cukup banyak dan waktunya cukup panjang jika dihitung bisa mencapai puluhan 
juta rupiah.

  Selain itu layaknya ajang pemilihan apapun kita butuh juga team sukses 
yang dibuat juga jauh-jauh hari, inipun jika dihitung juga membutuhkan biaya 
yang tidak sedikit. Belum nanti ketika hari H pelaksanaan Pilkades, calon juga 
membutuhkan uang yang cukup besar untuk membeli suara tergantung dari jumlah 
pemilih yang ikut memilih dalam ajang pemilihan kepala desa itu.

  Harga beli suara atau kadang kadang disebut juga pengganti kerja besarnya 
tergantung dari harga jual bengkok yang nantinya sebagai gaji sang Kepala Desa 
di desa itu. Bila harga bengkok laku tinggi para pemilih memperoleh uang yang 
cukup besar, sebaliknya jika bengkok yang dijual tidak begitu laku uang 
penganti kerja bagi pemilih juga demikian.

  Dari informasi yang penulis peroleh pada ajang pilkades sebelumnya, 'uang 
amplop' yang diterima oleh para pemilih nilainya berkisar antara 
Rp10.000-Rp100.000, bahkan ada pula calon yang nyangoni pemilihnya 
Rp200.000-Rp300.000 dalam rangka kemenangan dirinya. Ini biasanya berlaku pada 
desa-desa yang bengkoknya cukup banyak dan harga jualnya lumayan tinggi.

  Sebagai contoh, ada desa yang gaji kepala desanya berupa bengkok 25 bau, 
setiap tahun 1 bau laku 6 juta rupiah, secara hitungan kasar gaji kepala desa 
tersebut Rp150 juta, jika dikalikan 6 tahun ketemu 900 juta rupiah, nah jika 
biaya pilkades yang dikeluarkan 500 Juta rupiah dalam hitungan angka masih 
untung atau modal bisa kembali.

  Hal ini pernah juga penulis tanyakan pada masing-masing calon, berapa 
biaya yang dikeluarkan dalam rangka pencalonannya sebagai kepala desa. 
Berbisik-bisik, mereka menyatakan angka yang cukup fantastis: Rp100-200 juta, 
bahkan ada yang menghabiskan dana hampir 300 juta rupiah! Lalu saya bertanya 
dari mana uang sebanyak itu? rata-rata mengatakan pinjam, entah pinjam saudara, 
teman, ataupun bank .

  Lalu bagaimana dengan mereka yang gagal mendapatkan posisi sebagai kepala 
desa, padahal modal yang dikeluarkan sudah sedemikian banyak? Walallahu a'lam . 
Saya tidak bisa berpikir dari mana dia akan mengembalikan biaya semuanya itu.

  Mestinya sebelum memutuskan untuk mengikuti ajang pilkades mereka telah 
siap baik persiapan spiritual atau material dan yang penting mereka itu harus 
siap kalah. Jika tidak siap kalah hal inilah yang menjadikan masalah pilkades 
berlarut-larut hanya karena masalah kecil saja , menjadikan ketidaksahan ajang 
pilkades. Apalagi jika sampai ke tingkat Pengadilan selain membutuhkan waktu 
yang lama juga biaya yang cukup besar lagi.

  Oleh karenanya agar Pilkades bisa berjalan lancar dan menghasilkan 
pimpinan yang baik demi kemajuan desanya, warga desa harus mematuhi aturan yang 
berlaku, namun untuk urusan amplopan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah, 
entah bagi-bagi duit atau money politic istilahnya itu pasti ada. 


CiKEAS> Giliran Panti Pijat Disasar

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://www.sapos.co.id/berita/index.asp?IDKategori=1&id=1312

  Selasa, 3 November 2009

  Giliran Panti Pijat Disasar  
  Obat Kuat Juga Disita 
 

  SAMARINDA. Setelah berbagai tempat hiburan, sejumlah panti pijat, kemarin 
jadi sasaran jajaran Satpol PP Kota Samarinda. Maklum, disinyalir, para wanita 
yang didatangkan dari luar daerah dipekerjakan sebagai pemijat, tambah banyak 
pasca Lebaran lalu. Selain itu, petugas juga merazia obat kuat ilegal yang 
diindikasikan masih marak di pasaran. 
  Alhasil, dari operasi tersebut, Satpol PP berhasil mengamankan 13 wanita 
dan 2 pria yang tak tak ber-KTP dari 7 panti pijat di Samarinda. Diantaranya 
juga terdapat sepasang muda-mudi yang kepergok berada di sebuah kos-kosan yang 
kerap dijadikan tempat mesum. Bersama itu, Satpol PP juga mengamankan ratusan 
obat kuat ilegal beserta alat-alatanya yang dijual bebas di beberapa toko obat 
tradisional. 

  Seperti dijelaskan Kepala Satpol PP Kota HA Rijani melalui Kasi Ops Indra 
Gunawan, 7 panti pijat yang didatangi yakni Flamboyan di Jl P Banda, Trialoma 
di Jl Nahkoda, Fortuna, Putri Ayu, Siatshu, panti pijat tradisional di 
Kebaktian dan sebuah di Jl Pelabuhan. 

  "Dari lokasi-lokasi ini kami memeriksa semua KTP para pekerjanya. Hal ini 
sebagai bentuk pengawasan terhadap para pendatang ilegal sejak pasca Lebaran," 
kata Indra kepada Sapos kemarin siang. 

  Dari pemeriksaan, ternyata banyak para pekerja yang masih tak memiliki 
KTP. Karenanya mereka langsung digiring ke Kantor Satpol PP Jl Cempaka. "Kami 
beri mereka pembinaan sekaligus sanksi tipiring (tindak pidana ringan). Kepada 
mereka juga diminta untuk tidak melayani para tamu yang ingin plus. Karena bila 
dilakukan maka telah menyalahgunakan izin yang ancamannya ditutup. Padahal 
untuk pijat, tapi justru menjadi ajang prostitusi," tegasnya. 

  Setelah operasi panti pijat, jajaran petugas kemudian menyisiri penjualan 
obat-obat kuat ilegal. Petugas menemukannya di Jl merdeka, Jl Pelita dan Jl 
Kemakmuran. Dari ketiganya, ditemukan ribuan kotak urat madu, obat tahan lama, 
tisu untuk alat vital dan alat suntik. 

  "Semuanya kami sita karena memang tidak ada izin produk untuk dijual di 
pasaran. Untuk itu, kami pun akan terus menggelar operasi ini," tukasnya. 

  Di sela-sela operasi, petugas sempat menyasar sebuah rumah kos di Jl 
Merdeka. Di sana, ditemukan sepasang muda-mudi yang bukan pasangannya berada 
dalam satu kamar. "Keduanya ikut dijaring dengan mereka yang terjaring karena 
tak ber-KTP. Mereka pun diberi pembinaan," pungkasnya. (rm-1
 


CiKEAS> Sexy Costumes Spark Halloween Raids in Indonesia's Kalimantan

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://thejakartaglobe.com/home/sexy-costumes-spark-halloween-raids-in-indonesias-kalimantan/339046

November 02, 2009 
Nurfika Osman

Sexy Costumes Spark Halloween Raids in Indonesia's Kalimantan

A Halloween party in Samarinda, East Kalimantan, on Saturday night got more 
spooks than it hoped for when public order officers arrived to break up the 
festivities apparently because some of the young women were wearing costumes 
deemed too revealing. 

The city's spokesman, Muhammad Faisal, said on Sunday that about 10 young women 
under the age of 22 were arrested at 11 p.m. after celebrating at a local 
nightspot called Platinum. The women, he said, tried to hide but the officers 
were able to find them. 

"They were released this morning. They only had to bring their ID cards and did 
not need wear costumes like that to the party," he said. 

"We had received complaints from residents that they were disturbed by such 
parties." 

Although Samarinda does not have any regulations regarding inappropriate dress, 
Faisal said some residents had complained. 

He said the raid was part of the public order officers' program to maintain 
peace and security, as well as to settle neighborhood disputes. 

According to Faisal, a separate Halloween party was also broken up by officers 
at a house in Sei Pinang subdistrict. He said five young women were found 
without proper identification and wearing "sexy attire." 

Faisal said reports from residents had said that the house was being used as a 
brothel, however he could not comment further about the case. 

"The case has just been handed over to the police and they are currently 
investigating the rumors," he said. 

Separately, the municipal administration has closed down two bars because 
prostitutes were found to be operating on the premises and they were also 
selling hard liquor without the proper licenses. 

"Two bars in the city were closed down last Wednesday but we will let them 
reopen again next month," Faisal said. 

He said that the bars would be allowed to reopen after they signed an agreement 
with the city not to sell the restricted alcohol. "We only permitted them to 
sell class-A alcohol, which is beer, and they violated this," he said.


CiKEAS> Partai Golkar Sulit untuk Bersikap Kritis

2009-11-02 Terurut Topik sunny
Refleksi : Golkar bukan taman Kanak-kanak (TK) untuk bersikap kritis, karena 
kalau bersikap kritis bisa merugikan kepentingan pribadi dan partai.

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=11520

2009-11-02 
Partai Golkar Sulit untuk Bersikap Kritis 


SP/Luther Ulag

Wakil Presiden Boediono bersalaman dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal 
Bakrie (berdiri) saat perayaan HUT ke-45 Partai Golkar di Jakarta International 
Expo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (31/10).

[JAKARTA] Kepengurusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Ketua Umum Aburizal 
Bakrie (Ical) terlihat cukup kuat jika dibandingkan pada kepengurusan 
sebelumnya. Kepengurusan saat ini terlihat lebih menyatu dan solid, sehingga 
ada peluang bagi Partai Golkar untuk meraih kejayaan pada Pemilihan Umum 
(Pemilu) 2014.

Namun, Partai Golkar dinilai sulit untuk bersikap kritis terhadap pemerintahan 
sekarang. "Kalau kepengurusan sebelumnya terlihat berpencar, sehingga sulit 
menyatukannya," ujar pengamat politik Andrinof Chaniago kepada SP di Jakarta, 
Senin (2/11).

Dikatakan, kekuatan dari Partai Golkar selama ini adalah dari organisasinya, 
namun pada era sebelumnya masih terlihat pengurus yang menempuh jalan 
masing-masing. "Tetapi, saya melihat sekarang bertumpu semuanya di organisasi. 
Ini berdampak baik bagi suara Golkar pada 2014," katanya.

Andrinof merasa pesimistis Golkar akan menjadi mitra yang kritis terhadap 
pemerintah, seperti yang disampaikan Ical dalam pidato politiknya pada HUT 
ke-45 Partai Golkar di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebab, ujarnya, sikap kritis 
yang dilakukan Partai Golkar hanya sebatas komunikasi politik. Sedangkan, 
kritis pada hal-hal yang mendasar, tidak akan mungkin dilakukan partai itu.

Sebelumnya, Aburizal Bakrie mengatakan, Partai Golkar tidak akan pernah 
menuntut dan tidak pernah berharap. Golkar membuka harapan bagi terbentuknya 
pemerintahan yang demokratis, tapi efektif serta pemerintahan yang tegas, tapi 
ramah, kuat, dan adil.

Penegasan itu disampaikan Ical dalam pidato politiknya pada acara puncak 
perayaan HUT ke-45 Partai Golkar di Pekan Raya Jakarta (PRJ), akhir pekan lalu. 
Acara tersebut dihadiri pula Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres BJ Habibie, 
Ketua MPR Taufiq Kiemas, beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, 
dan sejumlah ketua umum partai politik.

Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri yang direncanakan hadir, ternyata 
berhalangan, begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 
Sedangkan, mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar M Jusuf Kalla dan mantan Ketua 
Dewan Penasihat Surya Paloh juga berhalangan hadir, karena sedang berada di 
luar negeri.


Berwibawa

"Golkar akan terus membuka harapan bagi terciptanya pemerintahan yang 
berwibawa, karena mengejar kebenaran. Pemerintahan yang dicintai, karena 
memperjuangkan kepentingan rakyat. Serta, pemerintahan yang disegani kawan dan 
lawan, karena jujur dan setia kepada tujuan-tujuan dasar penciptaan republik 
kita," kata Ical.

Menurutnya, hal itu yang menjadi visi baru Partai Golkar dengan mengedepankan 
suara rakyat adalah suara Golkar dan suara Golkar adalah suara rakyat. Pada 
kesempatan itu, Ical menerangkan alasan masuknya Partai Golkar ke dalam koalisi 
di KIB II.

Menurutnya, keputusan itu diambil dengan pertimbangan yang saksama. Dengan 
pilihan ini, katanya, posisi Golkar terhadap pemerintah bagaikan seorang 
sahabat. 

"Sebagaimana sahabat yang baik, Golkar akan selalu mengulurkan tangan, serta 
membesarkan hati pada hari-hari yang sulit. Tetapi, seorang sahabat sejati 
bukan hanya memberikan pujian. Golkar juga akan mengingatkan, memberi evaluasi 
objektif dan catatan kritis, serta menawarkan solusi alternatif jika 
diperlukan. Golkar akan menyuarakan hal-hal yang perlu didengarkan, betapa pun 
pahitnya. Bukan hanya hal-hal yang menyenangkan," katanya.

Pada kesempatan itu, Partai Golkar memberikan penghargaan kepada tiga tokoh, 
yakni almarhum Soeharto (mantan presiden), M Jusuf Kalla, dan Sulasikin 
Moerpratomo. [M-16


CiKEAS> Soal eksekusi Kampus STT Arastamar

2009-11-02 Terurut Topik sunny
Refleksi : Apakah tidak lebih baik secara terang-terangan NKRI dijadikan NAT 
(Negara a la Taliban) atau Al Shahab di Somalia, dari pada rezim Jakarta 
dibawah pimpinan SBY & Co bermain lempar batu sembunyi tangan?? 


Harian Komentar
31 Oktober 2009

  Soal eksekusi Kampus STT Arastamar
  Manampiring Ajak Masyarakat Berdoa
 
 

Manado, KOMENTAR
Menyikapi dilakukannya eksekusi terhadap Kampus STT Arastamar oleh pemerintah 
setempat, mendapat tanggap-an serius dari tokoh agama, Pdt Johan Manampiring 
STh. Untuk itu dia mengajak pada umat Kristiani untuk men-doakan.

"Saya meminta kiranya jemaat mendoakan pergumulan STT Arastamar dan mendoakan 
pemerintah supaya punya takut akan Tuhan serta punya semangat nasionalisme 
kebangsaan sejati," harapnya. 


Padahal menurut dia, pemerintah termasuk di dalamnya legislatif, saat ini 
sangat gigih memajukan dunia pendidikan. Anggaran pendidikan diseriusi dan 
ditingkatkan 20 persen. Seharunya sebelum Kampus STT Arastamar dieksekusi, 
pemerintah telah men-carikan solusi terbaik agar dunia pendidikan tidak 
ter-cemar oleh program peme-rintah yang tidak sinergis tersebut.


Menurut dia, Ratusan Mahasiswa dibiarkan terlantar adalah akibat kebijakan yang 
ti-dak terpadu. Jangan karena alasan modernisasi kota, atau pengambilalihan 
gedung pemerintah lalu membiarkan adanya dunia pendidikan diterlantarkan. 
Apalagi lembaga pendidikan Arastamar adalah calon-calon pemimpin gereja masa 
depan. Padahal dalam UU, pemerintah harus melindungi warganya bahkan me-nunjang 
dengan bantuan sarana dan prasarana.(lex)







CiKEAS> Poligami: Hilangnya Hidup Tenang + Poligami Bikin Pria Panjang Umur?

2009-11-02 Terurut Topik sunny
http://female.kompas.com/read/xml/2009/11/01/13171368/poligami.hilangnya.hidup.tenang


Poligami: Hilangnya Hidup Tenang
 
Arbain Rambey/KOMPAS
Wanita yang tidak memiliki kemandirian ekonomi biasanya takut dicerai.
Minggu, 1/11/2009 | 13:17 WIB
KOMPAS.com - "Bukan enak yang saya dapat seperti saya bayangkan sebelumnya, 
malah puyeng waktu harus bagi rezeki, bagi waktu, bagi perhatian, dan jadi 
sering bohong."

Ungkapan itu disampaikan Djohan Endjelete (68), pensiunan tentara yang tinggal 
di Kabupaten Cirebon. Pada tahun 1989 Djohan tergoda menikah lagi. "Setelah 
menikah 30 tahun, kami jadi seperti saudara. Beda rasanya dari orang yang baru 
menikah," kata Djohan menjelaskan alasan berpoligami.

Pernikahan keduanya hanya bertahan 1,5 tahun karena Djohan lelah terus 
berbohong kepada kedua istrinya. "Kalau dapat rezeki di luar gaji, saya tidak 
bisa bilang kepada istri pertama. Kalau istri kedua kurang uang, saya bohong. 
Jadinya, saya terus-terusan bohong dan menyakiti hati kedua istri saya," kata 
Djohan.

Poligami kembali menjadi bahan pembicaraan publik setelah di Bandung, 
pertengahan Oktober lalu, berdiri Klub Poligami Indonesia. Klub ini diresmikan 
Chodijah binti Am, Ketua Global Ikhwan, klub poligami asal Malaysia (Warta 
Kota, 21/10). Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat tak menyetujui klub ini dengan 
alasan menimbulkan keresahan di antara perempuan yang menolak poligami.

Perempuan sebagai pihak yang dipoligami tentu saja paling merasakan sakit 
ketika suami menikah lagi. Yayah (44) merasa kembali dikhianati ketika suaminya 
meminta izin menikah lagi lima tahun lalu dengan perempuan berusia 23 tahun.

"Saya dulu sering bercerita kepada suami tentang penderitaan Ibu yang 
dipoligami Ayah. Maksudnya, ingin memberi tahu suami saya tidak ingin 
dipoligami," tutur Yayah yang tinggal di Cikupa, Tangerang.

Pilih bercerai
Yayah memilih bertahan dalam perkawinan karena dia dan dua anaknya yang sudah 
remaja secara ekonomi bergantung kepada suami.

"Saya takut disuruh meninggalkan rumah kalau minta cerai dan anak-anak tidak 
dibiayai lagi. Saya katakan kepada anak-anak untuk ikhlas menerima kejadian 
ini, tetapi tidak meniru perbuatan ayahnya yang merupakan contoh buruk," cetus 
Yayah.

Lain lagi dengan Yuni (45) yang tinggal di Bintaro, Tangerang. Ketika suami 
dari ibu empat anak ini menunjukkan tanda-tanda ingin menikah lagi, Yuni 
menegaskan tak ingin dipoligami. "Ketika menikah, kami sama-sama bekerja. Yang 
takut bercerai biasanya karena tidak punya kemandirian ekonomi," tutur Yuni 
yang mendalami tasawuf.

Yuni bercerai sebelum sempat dipoligami. "Buat saya untuk berpoligami banyak 
dan berat syaratnya. Dalam ajaran Islam yang saya pahami, berpoligami tidak 
segampang itu," kata Yuni yang mengasuh keempat anaknya setelah bercerai tahun 
lalu.

Yuni mengatakan prihatin dengan perkembangan belakangan ini ketika poligami 
dipahami secara gampangan. "Orang sering mengartikan nafkah rohani sebagai 
seksual. Padahal, nafkah rohani artinya lebih dalam lagi, bagaimana berbagi 
energi Allah," kata Yuni.

Tuhan, kata Yuni, tidak menciptakan dua hati dalam satu dada karena hati itu 
tidak untuk berbagi dan hanya ada satu tujuan, yaitu mencintai Allah. Wujudnya, 
mencintai istri dan anak-anak dari pernikahan itu. Energi Allah, tambah Yuni, 
unsurnya cahaya, lembut. "Kelembutan itu tidak mungkin digunakan untuk 
menyakiti, dalam hal ini hati istri yang dipoligami," tutur Yuni.

Berubah
Kehidupan Djohan dan Yayah berubah setelah memasuki kehidupan poligami. Djohan 
jadi sering mengalami konflik batin. "Hidup jadi tidak tenang. Dalam perkawinan 
poligami, lelaki pasti hidup dalam kebohongan dan menyakiti hati istri, yang 
tua dan yang muda. Syarat poligami memang harus adil, tetapi situasi nyata 
tidak memungkinkan keadilan itu," papar Djohan yang dihubungi Rabu (28/10) sore.

Djohan mencontohkan soal berbagi waktu di antara kedua istri. "Kalau tiba 
giliran ke rumah istri kedua, tetapi istri pertama melarang, terpaksa saya 
berbohong kepada istri kedua," kata Djohan.

Dia mengenalkan sejak kecil anak dari perkawinan keduanya kepada empat anak 
dari perkawinan pertama. "Supaya anak-anak tidak kaget dan yang kecil diakui 
kakak-kakaknya," kata Djohan.

Pada Yayah, rasa sakit hati terus tinggal karena dia sudah sepenuh hati 
berusaha melayani suami, seperti mencuci dan menyetrika sendiri pakaian 
suaminya, sementara baju dia dan anak-anak dicucikan di luar. Dia juga tidak 
mau memiliki pekerja rumah tangga (PRT) untuk menghemat pengeluaran.

Setelah suaminya menikah lagi, Yayah enggan mengerjakan sendiri pekerjaan rumah 
tangga dan meminta tambahan uang dari suami untuk membayar PRT.

Yang tak kalah terpukul, dua anak laki-laki Yayah. Keduanya tak mau berbicara 
dengan ayah mereka. Si sulung, yang sebelumnya sangat dekat dengan ayahnya, 
berubah jadi pendiam. "Dia malu," kata Yayah.

Meskipun sekarang kedua anak itu sudah berbaikan dengan ayah mereka, tetapi 
rasa marah masih terus ada. Kedua anak itu protes bila 

CiKEAS> Menjaga Modal Demokrasi Indonesia

2009-11-02 Terurut Topik Retno Kintoko


= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
   nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menperingati 81 tahun semangat jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
TOKOH MUDA INSPIRATIF (5)
Menjaga Modal Demokrasi Indonesia
Senin, 2 November 2009 | 02:57 WIB
Oleh : M Hernowo
Nurcholish Madjid kecil. Demikian orang sering menyebut Yudi Latif. Perhatian 
Yudi yang besar terhadap Islam dan kebangsaan serta kemampuannya menggabungkan 
ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena memang 
akan langsung mengingatkan orang pada sosok Nurcholish Madjid. 
Namun, berbagai kemampuan itu tidak hanya didapat Yudi dari pergaulannya yang 
intensif dengan Cak Nur, demikian Nurcholish Madjid sering dipanggil, setelah 
mereka bertemu muka untuk pertama kalinya pada tahun 1994, tetapi juga dibentuk 
oleh sejarah hidup Yudi sendiri.
Ayah Yudi, yaitu Utom Mulyadi, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, dan 
ibunya, Yuyun Mustika, yang nasionalis, telah mengajarkannya sejak kecil 
tentang Islam dan kebangsaan.
Garis pemikirannya makin dilengkapi oleh pengalamannya saat mondok di Pondok 
Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, petualangannya sebagai aktivis saat kuliah 
di Universitas Padjadjaran, Bandung, serta kehidupan dan pemikiran modern yang 
didapatnya ketika belajar di Australia.
Matangnya pemikiran Yudi membuat Cak Nur pada tahun 1996 memercayainya sebagai 
salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina.
”Cak Nur lebih tertarik membuat kelompok yang kritis meski itu hanya berjumlah 
kecil dibandingkan massa yang besar sebab kelompok kritis ini yang akhirnya 
mewarnai wacana di publik. Sebagai universitas swasta, Cak Nur berharap 
Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yaitu kekritisan, terutama di bidang 
kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi tentang tujuan Universitas Paramadina yang 
akhirnya berdiri pada tahun 1997/1998.
Bagaimana efektivitas dari massa yang kritis tersebut?
Cukup baik. Pemikiran tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Cak Nur selalu 
berpengaruh. Misalnya terlihat dari sejumlah partai yang meski menyatakan Islam 
sebagai identitasnya, mereka tetap terbuka terhadap pandangan dari luar.
Pemikiran tokoh-tokoh itu juga menjadi wacana yang cukup diminati dan 
berpengaruh di sejumlah simpul Islam yang pemahaman agamanya amat kuat, 
misalnya di kalangan mahasiswa IAIN atau Nahdlatul Ulama.
Wacana Islam
Perhatian Yudi terhadap wacana Islam dan kebangsaan tidak pudar meski sekarang 
dia tidak lagi aktif di Universitas Paramadina.
Bahkan, setelah Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 karena gangguan 
fungsi hati, Yudi bersama sejumlah orang, termasuk Ommy Komariah Madjid, istri 
Cak Nur, mendirikan Nurcholish Madjid Society.
Lewat yayasan yang ingin melestarikan gagasan Cak Nur ini, setiap enam bulan 
diterbitkan sebuah jurnal bernama Titik Temu.
Diilhami oleh harapan Cak Nur agar umat Islam jangan sampai menjadi tamu di 
negerinya sendiri, Yudi juga menggagas pertemuan mahasiswa dari 38 kampus di 
Indonesia untuk berdiskusi tentang Islam dan masalah lainnya.
”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai keindonesiaan. Oleh 
karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi 
kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga 
akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” kata dia.
Mengapa harus menggelar diskusi yang melibatkan 38 kampus?
Terbatasnya bacaan untuk mahasiswa selama ini menjadi salah satu masalah di 
kampus. Akibatnya, tidak banyak mahasiswa yang dapat membaca berbagai ajaran 
Islam dari buku aslinya.
Dalam diskusi ini, selain membebaskan pesertanya untuk bicara, juga dimaksudkan 
untuk membagikan pengetahuan tentang pemikiran Islam, langsung dari buku 
aslinya. Hasilnya ternyata cukup spektakuler. Banyak wacana dan pemahaman baru 
tentang Islam, pluralisme, dan kebangsaan muncul di diskusi-diskusi tersebut.
Di era demokratisasi dan globalisasi selama 10 tahun terakhir, seberapa penting 
isu pluralisme dan kebangsaan di Indonesia?
Globalisasi telah memperbaiki apresiasi terhadap demokrasi dan hak asasi 
manusia. Namun, pada saat yang sama, globalisasi juga membangkitkan 
etnosentrisme.
Rivalitas yang melibatkan agama dan etnis makin menguat di Indonesia. Bahkan, 
dalam politik saat ini perlu diwaspadai munculnya anggapan bahwa agar 
identitasku ada, yang lain harus ditiadakan.
Apakah munculnya etnosentrisme ini karena kurangnya modal kita untuk 
berdemokrasi?
Indonesia sebenarnya telah memiliki prasyarat dan modal penting untuk menjadi 
negara demokrasi, yaitu adanya persatuan nasional dan persepsi tentang satu 
bangsa.
Namun, modal itu perlu dijamin d

CiKEAS> video

2009-11-02 Terurut Topik sunny
Mungkin menarik :

http://www.youtube.com/watch?v=VMpz043KtIg&feature=related