CiKEAS> Demokrasi yang Perlu Dievaluasi
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia." = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menperingati 81 tahun semangat jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." TOKOH MUDA INSPIRATIF (6) Demokrasi yang Perlu Dievaluasi Selasa, 3 November 2009 | 03:24 WIB Oleh : J Osdar dan Edna C Pattisina Waktu terasa berhenti di perpustakaan Fadli Zon. Buku dari Georgius Everhardus Rumphius tentang flora di Ambon dengan tahun cetak 1747 membuka diskusi tentang kekayaan bangsa. Obrolan dilanjutkan dengan buku Von Stockum Traveller’s Hand Book Dutch Netherlands Indie, yang walaupun terbit tahun 1930, dengan presisi mencatat jadwal serta harga tiket trem. Bayangkan, dahulu di zaman penjajahan, jadwal sudah teratur,” kata Fadli Zon. Obrolan berlanjut ke ruang paling atas, tempat Fadli memperdengarkan lagu ciptaan Presiden Soekarno tahun 1965 berjudul ”Mari Kita Bersukaria”. ”Jadi, biasa itu Presiden bikin lagu. Waktu itu zaman lagi susah. Presiden Soekarno bikin lagu yang riang gembira,” katanya. Sambil menyantap gado-gado favoritnya, Kompas mulai mewawancarai Fadli. ”Saya tahun ini 38 tahun. Saya nggak merasa muda lagi. Sudirman jadi jenderal umur 32, Syahrir perdana menteri umur 36, Sumitro Djojohadikusumo menjadi menteri juga usia 32,” kata pria yang lahir di Jakarta, 1 Juni 1971, ini. Bagaimana Anda melihat politik Indonesia lima tahun ke depan? Saat ini masalahnya menyangkut identitas dan jati diri bangsa. Belum terbentuk character and nation building. Kita masih gamang. Pembangunan dan demokrasi kita tidak jelas ke mana. Demokrasi liberal belum tentu cocok buat kita. Yang kita alami, anarki politik. Transisi demokrasi kita seperti pendulum dari kerangkeng menuju ke kebebasan yang liar. Kita belum temukan format yang baik untuk bangsa. Bung Karno dan Bung Hatta visioner. Mereka mengalami periode pertarungan ideologi, komunisme, dan kapitalisme, namun kemudian memilih ideologi yang local genius Indonesia. Ekonomi kita koperasi dengan adanya badan usaha negara yang kuat dan sektor swasta. Bagaimana character building kita saat ini? Saat ini politisi kita kebanyakan tak ada karakternya. Jadi, semuanya bisa diatur. Yang penting menguntungkan. Salah satu pemimpin yang kokoh itu Megawati Soekarnoputri. Ia kalau mengambil keputusan tidak bisa diubah. Kebanyakan kita negotiable. Padahal, masalahnya prinsip. Politisi kita takut miskin. Rakyat sudah memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seharusnya SBY bisa mengubah style-nya. Bisakah dia menjadi pemimpin yang visioner dan inspiratif, membangun. Kita butuh pemimpin yang solidarity maker, bisa menggerakkan rakyat. Adalah hak rakyat mendapatkan penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan yang baik. Kita ingin melakukan demokrasi, kan? Demokrasi untuk demokrasi atau untuk kesejahteraan? Waktu saya studi development studies, tidak ada negara yang karena demokrasi jadi makmur. Jadi, kita meningkatkan kesejahteraan baru demokrasi? Demokrasi yang seperti apa? Demokrasi harus sesuai dengan jati diri kita. Sekarang malah demokrasi kita lebih liberal daripada Amerika Serikat (AS). Desentralisasi kita juga tidak memikirkan lagi masalah efisiensi. Desentralisasi dilakukan saat kita krisis. Padahal, di mana pun, desentralisasi dilakukan dalam keadaan stabil dulu. Yang terjadi sekarang desentralisasi korupsi dan pemborosan. Jadi, kita harus mulai dari mana? Ideologi pembangunan dan ekonomi kita harus jelas dulu. Apa kita mau tetap pakai paham neoliberalisme atau kita koreksi dan kembali ke ekonomi kerakyatan. Misalnya dalam masalah perdagangan. Kalau kita dalam keadaan lemah, common sense saja kita harus melindungi. Kita malah terbuka pada free trade. Seharusnya kita proteksi dan promosi dulu. Setelah kuat, baru ekspansi. Di WTO, kita ikuti keinginan negara besar karena kita ingin diperlakukan seperti negara besar. Akibatnya kita jadi melupakan kepentingan rakyat. Inti masalahnya adalah national interest kita apa. Kita impor cabai sampai garam. Padahal, laut kita luas sekali. Kita akhirnya jadi kuli di negeri sendiri. Tidak mau menghasilkan value added. Maksud Anda, kita harus kembali ke otoritarian? Demokrasi yang sekarang harus kita evaluasi. Sekarang kita euforia. Kita bangga disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Padahal, kita harus belajar. Dari China, misalnya, bisa sejahtera dengan penduduk di atas satu miliar jiwa. Kita, kan, ingin sejahtera, bukan ingin sekadar jadi demokrasi. Kita ingin makmur. Demokrasi seharusnya mengarah ke kemakmuran. Demokrasi macam apa yang mengarah ke situ. Apa demokrasi liberal? Pemilu kepala daerah (pilkada) yang ratusan jumlahnya dan pemil
CiKEAS> Men join in the fight against polygamy
http://www.thejakartapost.com/news/2009/11/02/men-join-fight-against-polygamy.html Men join in the fight against polygamy Hans David Tampubolon , The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 11/02/2009 10:30 AM | Headlines Pro-polygamy groups are now not only facing protest from angry housewives and women's rights activists; a new group of men calling themselves the Men's Coalition against Polygamy (Kolmi) has also joined the struggle. Kolmi spokesman Abdul Hamim Fauzie said via a statement in Jakarta on Sunday that the coalition considered the practice of polygamous marriage degrading, not only to women, but to men as well. "Facts show that polygamy leads to nothing but domestic violence, discrimination and the abuse of human rights," he said. "However, polygamists often argue that polygamy is necessary to avoid infidelity and love affairs. They also claim that polygamy is a part of their religious beliefs. Men use these arguments to justify their polygamous practices," he added. "They need to know that not all men agree with and support polygamy. For us, the practice only degrades men's values and dignity. "The practice labels men as aggressive, egotistical, wild, unfaithful, and worst of all as being unable to control their libidos," he said further. The coalition also said that it regretted a number of discriminative articles in the current marriage law. "The law legalizes men to have more than one legal wife when their spouses are seriously ill or sexually incapable. "This is very unfair, especially to women, because the law only accommodates the needs of men," Abdul said. Meanwhile, Muslim scholar Siti Musdah Mulia said that people practicing polygamous marriages who quoted verses from the Koran to justify their behavior were misinterpreting the message. "Those people must not quote the Koran by verse. They need to read the whole context and understand its real essence before saying the Koran endorses polygamy," she said. Musdah said the Koran actually says that Islam aimed to eradicate polygamous practices, not to endorse them. "Islam considers polygamy an unjust practice that originated in the dark ages. Therefore, Islam sought to eradicate such practices, but due to the severe reaction it caused, it took some time to fully eradicate the practice from the culture at that time," she said. "Overall, the Koran says that Islam aims to ensure justice among human beings and in the way they develop relationships from the smallest scale. Justice here means guaranteeing that no one will feel they are being treated unfairly or are being hurt," she added. Musdah said that she was not surprised to see that a number of men decided to bond together and fight against polygamy. "Actually, anti-polygamy figures in the past were mostly prominent male clerics. The Prophet Muhammad himself was very angry when one of his son-in-laws planned to engage in polygamy," she said. Recently, controversy has sparked following an official launch of a polygamy club, dubbed the Global Ikhwan, in Bandung. The club, originating from Malaysia, cites the noble aim of helping single mothers, reformed prostitutes and aging single women find spouses. As soon as the club was established, condemnation poured in, especially from housewives and women's activists. Ironically, the club is chaired by a woman named, Hatijah Binti Am, who has insisted the club could introduce people to the beautiful side of polygamy. Previously, a number of polygamy scandals have reduced the popularity of public figures engaged in the practise. Comments (1) | Post comment Tami Koestomo - Mon, 11/02/2009 - 5:02pm Tami Koestomo The Muslim scholar Siti Musdah Mulia is absolutely right. It's a real pity this sagacious and obviously very intelligent and warm-hearted Muslim lady hasn't become the top leader in the MUI yet. Somehow the picture that comes strongly to mind upon reading this article is the first wife of Muslim cleric Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) bravely trying to bite back scalding tears as she publicly announces her approval of her husband taking a second wife - and, recently, seeing the tears of her elderly Father as he states that his son-in-law hasn't visited him in 2 years. Tami Koestomo, Bogor.
CiKEAS> How difficult is it to learn Indonesian?
http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/31/how-difficult-it-learn-indonesian.html How difficult is it to learn Indonesian? M. Marcellino , Jakarta | Sat, 10/31/2009 1:13 PM | Opinion Indonesian has been taught for decades in various countries in the world, including in Australia, the United States and South Korea, to mention a few. This indicates that Indonesian is one of the foreign languages that university authorities have seriously noted and consider important for their students to take in their countries. However, over the last few years, as far as the current information is concerned, a number of Indonesian classes in various countries, such as the three mentioned above, have either closed or been canceled due to a very limited number of students interested in taking the course. This article will present some factual reasons for why foreign students might lose their motivation when learning Indonesian, based on my experience and an intensive observation at a particular private university in South Korea. This article attempts to provide some solutions to the problems that foreign teachers of Indonesian may frequently encounter in class. The first factor why Korean students lose their interest in learning Indonesian deals with their teachers' degree of language proficiency. As teachers play a significant role in arousing their students' motivation and in making the class lively and attractive, the teachers' lack of ability to communicate in the target language the learners are studying has a negative impact upon the learners' language acquisition. In the case of Indonesian in Korea, teachers often speak Korean in class and this can definitely prevent their students from acquiring a communicative skill, a language ability essential for communication. Teaching Indonesian in Korean may also make the students lose the great opportunity to observe, pick up and use the language naturally. Korean university teachers often confront difficulty in using Indonesian as the medium of instruction in class interactions. Accordingly, when in class, they speak Korean most of the time and this leads their students to having little time to practice speaking the language and to become familiar with any expression of the language use they are studying. Lack of practice in four language skills - listening, speaking, reading and writing - will definitely hinder the acquisition of the language skills the students are learning. When looking closely into the teaching materials, particularly the reading texts, they scarcely present culture-based passages that may both broaden their knowledge and increase their motivation. Passages on Indonesian cultures may be essential for Indonesian classes as they have many functions. First, learning a language is also learning its culture. Therefore, by having knowledge of some Indonesian cultures, students can also appreciate the people, their customs and beliefs, as well as their way of life and their language that they are studying. Cultures may also attract students' interest in learning the language, for students may appreciate the cultural values of the people having the customs. Like other foreign language courses offered and taught in foreign countries, the learning environment of Indonesian classes is mostly not ideal in that the students mostly speak their own language inside and outside the class. This situation prevents or delays the students from acquiring the language they are learning. With regard to teaching methodology, not many approaches are implemented to stimulate the students' learning activities. A communicative approach is scarcely adopted in class interactions, instead structuralism has a greater proportion in class practice. As the basic features of this approach concern repetitions, substitutions and language reinforcement with little or no exposure to language use, language is not presented in actual communicative contexts. Accordingly, students do not learn how the language is used for real communication. Teachers seem not to be professionally acquainted with various teaching techniques in that their teaching style seems to be monotonous. There are several ways teachers of Indonesian can overcome their problems. First of all, they have to improve their Indonesian language proficiency and use the language in class. By using Indonesian as the only medium of instruction and communication, students will be greatly exposed to the use of the language, can learn the language naturally and pick up many language expressions useful and meaningful for real communication. Second, students have to be encouraged to practice using Indonesian inside and outside the class. By so doing, they reinforce their learning, a factor badly required for the process of acquiring a language. The textbooks the teachers use have to be attractive in terms of their content, well designed and based
CiKEAS> Mungkinkah Amerika Bangkrut ???
Mungkinkah Amerika Bangkrut ??? Pertanyaan ini punya dua jawabannya, yaitu "Ya", dan "Tidak". Kenyataannya, sebagai pengusaha Amerika tentu bisa bangkrut, sebaliknya, sebagai negara Demokrasi tentunya Amerika tidak bisa bangkrut. Kalo Amerika itu bangkrut, maka yang bangkrut itu pengusaha2nya, kapitalis2nya, sementara itu systemnya tetap berjalan tidak mungkin bangkrut karena memang bukan jualan dan bukan dagangan. Demikianlah, sebagai negara kapitalist tapi juga demokrasi, maka system kapitalisme tidak bisa dipraktekkan, oleh karena itulah para kapitalist-nya menjual saham atau mendistribusikan saham2nya sehingga sang kapitalist satu jatuh bangkrut maka kapitalist lain bangkit mengambil alih. Demikianlah, kalo kita gambarkan dunia ini ibaratnya meja judi, maka Amerika itu jadi bandarnya, apabila sang bandar bangkrut, maka uang yang ada di-meja judi itu tidak hilang tetapi cuma pindah2 tempat diantara para pejudi itu sendiri. Akibatnya, kalo bandarnya bangkrut, maka pejudi yang jadi pemenang akan mengambil alih posisi bandar tadi sehingga perjudian terus berlangsung tak peduli berapa banyak pun bandarnya yang bangkrut tetap saja perjudian tetap berlangsung terus. Demikianlah gambaran ekonomi Amerika yang terkait dengan dominasi ekonomi global dikarenakan penguasaan teknologi, science, ekonomi, dan sosial politik. Dan untuk perkembangan dan kesinambungan kesemuanya ini, maka dunia pendidikan Amerika juga terbaik didunia. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS> Kontroversi Kapolda dan Pangdam, Membingungkan
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=507 03 Nopember 2009 02:59:23 Kontroversi Kapolda dan Pangdam, Membingungkan Terkait Kasus Penembakan di Area Freeport JAYAPURA-Berlarut-larutnya pengungkapan kasus penembakan di area PT Freeport Indonesia yang belakangan memunculkan kontroversi antara Pangdam dan Kapolda Papua tentang siapa pelaku penembakan itu justru kian membingungkan masyarakat dan masyarakat. Terkait hal itu, Dewan Adat Papua (DAP), Yayasan Hak Asasi Manusia dan Kekerasan (Yahamak), dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) mengadakan jumpa pers di Sekretariat AMPTPI Waena, Jayapura, Senin (2/11) untuk menyatakan sikap siapa sebenarnya pelaku penembakan di Area PT Freeport Indonesia itu. Pada kesempatan itu dijelaskan, sebelumnya dari hasil olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) secara transparan oleh Kapolda Papua telah mengumumkan bahwa peristiwa penembakan warga sipil di area PT Freeport Indonesia sejak tanggal 11 Juli 2009 itu adalah "tindakan kriminal bersenjata murni" bukan dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) pimpinan Kelly Kwalik. Sedangkan dalam pernyataannya, usai acara Dialog Publik Carut Marut Kasus Freeport yang di gelar oleh DPD KNPI Provinsi Papua di Swiisbel Hotel Jumat (30/10) lalu, Pangdam menyatakan pelakunya adalah TPN/OPM pimpinan Kelly Kwalik Ketua Umum Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut, Spd menegaskan, pihaknya melakukan jumpa pers hanya ingin menyatakan sikap dari pernyataan Kapolda Papua dan Pangdam yang berbeda tentang pelaku penembakan yang terjadi di area PT Freeport Indonesia. "Perbedaan pernyataan tersebut membuat masyarakat Papua menjadi bingung dan bimbang serta bertanya-tanya ada apa di balik semua ini," ucapnya. Dikatakan, sejumlah kasus yang terjadi di Papua tidak pernah ada penyelesaian hukum yang pasti, namun peluang konflik dimanfaatkan pihak lain dengan konspirasi tertentu dan rakyat Papua selalu dikambinghitamkan dengan ungkapan separatis. Sedangkan menurut Direktris Yahamak Yosepha Alomang mengatakan, dalam mengungkap kasus penembakan di area PT Freeport Indonesia haruslah transparan. "Pihak Polda Papua dan Pangdam juga janganlah tutup mata dalam mencari pelaku penembakan sehingga tidak salah dalam penangkapan pelaku," ujarnya. Terkait kasus di area Freeport itu, atas nama Dewan Adat Papua, Yayasan Hak Asasi Manusia dan Kekerasan (Yahamak) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia menyatakan Sikap: pertama, Polda Papua segera mengungkapkan siapa pelaku penembakan warga Australia, guna menghindari terjadinya peristiwa susulan di PT. Freeport Indonesia. Kedua, demi menjunjung kebenaran pihak kepolisian Indonesia, dengan jujur meminta bantuan pihak penyidik asing dalam hal ini Negara korban Australia. Ketiga, manajemen PT. Freeport Indonesia segera membuka diri terhadap pengungkapan Peristiwa penembakan di mile 54 dan sekitarnya pada areal PT. Freeport Indonesia. Keempat, Pemerintah Indonesia segera membuka diri terhadap masalah yang sesungguhnya terjadi di Areal PT. Freeport Indonesia, melalui mekanisme dialog. Kelima, Pemerintah Indonesia segera membebaskan 7 orang warga sipil yang tangkap, karena belum membuktikan barang bukti. Keenam, pernyataan TNI dan Polri tanpa membuktikan siapa pelaku peristiwa di areal PT. Freeport Indonesia, jangan membingungkan dan memgkambinghitamkan rakyat Papua sebagai Pelaku kejahatan. (dni/fud) (scorpions)
CiKEAS> Pesawat Polri Hilang Kontak di Puncak Jaya
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=508 03 Nopember 2009 02:59:58 Pesawat Polri Hilang Kontak di Puncak Jaya JAYAPURA-Kecelakaan pesawat milik Polri kembali terjadi di Papua. Jika pada 22 Februari 2005 pesawat Cassa-212 milik Polri jatuh di pantai dekat Lapangan Terbang Kabupaten Sarmi, Papua dan mengakibatkan sedikitnya 15 orang tewas, maka kali ini, Senin (2/11) sekitar pukul 11.20 WIT, pesawat Cassa M 28 jenis Skytruck bernomor lambung P-4202 milik Polri yang di-BKO-kan ke Polda Papua dilaporkan hilang kontak di daerah Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Hingga kemarin sore, pesawat yang mengangkut 8 drum bahan bakar minyak ini belum diketahui kabarnya, termasuk tiga crewnya yaitu Capt. Pilot AKP Yunus, Co.Pilot Ipda Benediktus, mekanik Briptu Saiful dan Briptu Kuswanto juga belum diketahui nasibnya. Pesawat Skytruck yang biasa digunakan mantan Kapolda Papua Irjen Pol Drs. FX Bagus Ekodanto untuk melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah ini, berangkat dari Bandara Sentani Kabupaten Jayapura sekitar pukul 11.20 WIT, menuju ke Bandara Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Pesawat terbang dalam rangka Operasi by Police dengan melakukan penerbangan sebanyak dua flight rute Sentani-Mulia. Namun disaat flight kedua inilah pesawat mengalami lost contact dengan menara kontrol di Bandara Sentani. Pesawat naas tersebut hilang kontak pukul 11.58 WIT, maintain 10.000 feet di 26 mil pada 78,30 Nautical Mile (NM). Dari Jayapura radial 249 pada koordinat S 02 57' 54' dan E 139 16' 50' wilayah daerah Dorman. Pukul 16.30 WIT menara kontrol menerima info dari Pesawat Susi Air C-208 PK-VVD dengan capt Tom Robertson dan Co.Pilot Badenhos kedua pilot tersebut yang menerima signal lemah dari Emergency Locater Transmition (ELT) dari pesawat di daerah distrik Ilu Pass pada koordinat S 30 40' 33" dan E 138 19' 99' "Seharusnya pesawat tiba di Mulia pukul 12.40 WIT, namum sampai saat ini belum tiba dan tidak bisa dihubungi," kata Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Drs. Agus Rianto saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, tadi malam. Informasi dari pihak Bandara Mulia menyebutkan, 15 menit sebelum jadwal pesawat mendarat, pesawat cassa itu sempat kontak, namun setelah itu tidak bisa kontak lagi. Pesawat itu diperkirakan jatuh di wilayah Ilu, (salah satu distrik di Kabupaten Puncak Jaya) di koordinat 340,70 LS dan 138,16.95 LT. Cuaca di daerah Puncak Jaya mulai dari pagi cukup berawan, sehingga diperkirakan mempengaruhi penerbangan. Kabid Humas menambahkan, pesawat Skytruck tersebut dilaporkan hilang kontak di sekitar desa Foao dan Desa Mele sekitar 78 mil dari Bandara Sentani Kabupaten Jayapura. Saat ini, Polda Papua masih berupaya untuk melacak keberadaan pesawat Skytruck milik Polri tersebut. "Kami masih berupaya melakukan pencarian," imbuhnya. Informasi yang diterima Cenderawasih Pos tadi malam, pencarian akan dilakukan di titik koordinat tersebut dengan menggunakan dua pesawat dimulai hari ini pukul 05.30 WIT dari Jayapura menggunakan pesawat Yajasi dan pukul 06.00 WIT menggunakan pesawat MAF dari Wamena. (bat/ade/fud/wen) (scorpions)
CiKEAS> Tehran shuts second reformist paper
http://www.ft.com/cms/s/0/1abf9502-c7be-11de-8ba8-00144feab49a.html Tehran shuts second reformist paper By Najmeh Bozorgmehr in Tehran Published: November 2 2009 17:27 Iran's culture ministry shut down a leading reformist newspaper on Monday ahead of an expected rally by the opposition to mark the anniversary of the US embassy siege in 1980. The Sarmayeh newspaper has extensively covered the news about opposition leaders, including Mir-Hossein Moussavi, and their calls for a continuation of protests following the disputed results of June's presidential election that saw Mahmoud Ahmadi-Nejad re-elected as president. Journalists say the culture ministry has repeatedly warned reformist newspapers not to cover any story about reformists, in particular Mr Moussavi - who became the de facto leader of the opposition and who believes the election was stolen from him. Iran's opposition is planning to use the anniversary of the US embassy siege in 1980 as a pretext for mass protests. The Revolutionary Guards on Monday warned those "agents of the enemy who are ignorant" that "no group will be allowed to raise fabricated slogans and issues" in the official rally - a clear warning to opposition supporters. "The closure of Sarmayeh is certainly related to the demonstration on Wednesday," a journalist at the banned newspaper said. It was not immediately clear why Sarmayeh was shut down. "The culture ministry refers to article 6 of the Press Law which has many heavy charges such as encouraging groups to dishonour the Islamic Republic and insulting the senior clergy without specifying which one the newspaper was found guilty of," the journalist added. Sarmayeh has also turned into the mouthpiece for reform-minded economists during the past four years, lashing out at the populist policies of president Ahmadi-Nejad. The government has tightened its grip over the media since the disputed June election, which led to the biggest social unrest in the country since the 1979 Islamic revolution. Sarmayeh is the second reformist newspaper facing closure since the disputed election. Some fear the censorship might get worse after Mohammad-Ali Ramin, a hardliner who claims he advised Iran's president to question the Holocaust, was appointed as deputy culture minister. Mr Ramin ordered closure of Sarmayeh on his first day of work. Copyright The Financial Times Limited 2009. You may share using our article tools. Please don't cut articles from FT.com and redistribute by email or post to the web.
CiKEAS> Indonesian President's Reform Credentials at Risk
http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2125&Itemid=175 Indonesian President's Reform Credentials at Risk Written by Our Correspondent Monday, 02 November 2009 Yudhoyono waffles instead of providing strong backing for his anti-graft agency The confrontation between Indonesia's notoriously corrupt police and its beleaguered Corruption Eradication Commission has erupted into a major test for the reform credentials of President Susilo Bambang Yudhoyono, who may be risking his popularity and even his political agenda by refusing to take action. The public outcry has been strong, with reform-minded NGOs and common people alike speaking out against the arrests. The issue has dominated the news, drowning out a National Summit the president held last week with business leaders to set policy targets for his new term in office. Over the weekend, more than 200,000 people joined a Facebook group (Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto) created to provide support for two deputy chiefs of the anticorruption agency, known by its Indonesian initials KPK, who were arrested last week by the National Police and charged with abuse of power and extortion. The arrests were made despite widely distributed verbatim tape transcripts of law enforcement officials conspiring to frame the two, Bibit Samad Rianto and Chandra Hamzah. The Facebook group seems certain to pass its one million member goal, a remarkable feat in a country where Internet penetration is just a bit above 10 percent. The arrests were the latest round in a complex face off that has been underway for months as the police have insisted that the two deputies are crooked. Their supporters say the police are trying to weaken the commission as an act of revenge since a number of high ranking police officials have been the target of anti-corruption investigations. With the charges now headed for court, Yudhoyono said last week he would allow due process to unfold. That is all well and good but it seems clear that he has done nothing to hold the police in check or to sort out the mess before it reached a crisis point. The issue is made more complex since the KPK, a cornerstone of Yudhoyono's claim to be a reformer, has its own powers of investigation, prosecution and trial - which is one reason the body has been able to throw corrupt officials into jail in one of the most notoriously bent countries in the world. Yudhoyono is seemingly caught between his ambition to clean up, industrialize and modernize the country, which has joined the G20 group of industrialized nations and seeks to join China and India as a major force in Asia, and a desire by many powerful allies to see the KPK go away. There is no question the KPK can be irritating, even to a president. In November 2008, the KPK arrested Aulia Pohan, whose daughter is married to the president's son. Yudhoyono's family, particularly his wife, were said to be infuriated. Aulia, a former central bank deputy governor, was ultimately jailed for four and a half years on bribery charges. Relying on sweeping powers, including the right to wiretap and secretly record conversations, issue travel bans, order suspensions from office, block bank accounts, take over investigations from police and the attorney general the agency has gone after members of parliament, ambassadors, the former chief of police and other members of the central bank and achieved a 100 percent conviction rate in its court, which was hamstrung in September by a new law diluting its powers. Despite considerable evidence that the two antigraft officials are being held because they were investigating police corruption, Yudhoyono told a press conference Friday that he would let the law take its course. But the inescapable conclusion is that if the law takes its course, the two could be convicted in a kangaroo court proceeding and the police suspected of taking bribes will be let off the hook. Yudhoyono's pledge to let the system work looks disingenuous at best and perilous to his own political survival. Yudhoyono, an analyst said, is failing to see that his decisive electoral victory in July, with 60.1 percent of the vote, was a mandate to transform the country. With his second and last five-year term just underway and with no major political opposition to his rule, he could be a powerful force for reform - if that is what he wants. Instead, the police-KPK circus looks like business as usual in a country renowned for opaque deal making and questionable courts. Although the power of the KPK to actually transform the country may be largely symbolic, that symbolism has been a potent force in creating at least the image that something can be done about corruption. Indonesia is tied for 126th of 180 countries in the world on Tran
CiKEAS> Crisis talks called over 'Indonesian solution'
http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,,26297222-25837,00.html Crisis talks called over 'Indonesian solution' Stephen Fitzpatrick, Tanjung Pinang | November 03, 2009 Article from: The Australian SENIOR officials have been scrambled from Canberra to a secret Jakarta meeting today in a bid to save Kevin Rudd's crisis-hit "Indonesian solution", as Foreign Ministry officials decried what they said was the lack of an adequate "Australian solution" to the boatpeople problem. Indonesian spokesman Sujatmiko said today's talks would determine whether the Customs vessel Oceanic Viking's permission to remain in Indonesian waters off the city of Tanjung Pinang with 78 protesting Sri Lankan asylum-seekers on board would be extended beyond Friday. Describing the crisis talks as a "very, very high senior official meeting", he said they would "discuss the issue of this stalemate as well as the long-term issue, how we resolve this problem when similar issues arise". "(We need) a win-win solution," Dr Sujatmiko said. "If there is an Indonesian solution there should also be an Australian solution." Foreign Minister Stephen Smith has said he was "not setting a deadline on" the matter being resolved. But Dr Sujatmiko refused to rule out the possibility of the Customs ship eventually being sent to Christmas Island for the asylum-seekers to be processed there, if they continued to hold out on the Indonesian offer of refugee processing at the Australian-built Tanjung Pinang detention centre. He said a decision on whether to extend the ship's security clearance would be made "at the highest level". The Oceanic Viking was granted a week's grace last Friday after officials realised they would not be able to persuade the Tamil refugees on board to leave it by the deadline first set by Indonesian officials. However, a senior navy official warned yesterday that if a decision were made not to grant further time, the Oceanic Viking would need to leave Indonesian waters by Friday. "If the permission is expired, that's it, they have to go," said Colonel Darwanto, deputy commander at the Indonesian Navy's Fourth Base in Tanjung Pinang. Dr Sujatmiko's warning of the need for an Australian solution to the standoff echoed similar comments made by Foreign Ministry spokesman Teuku Faizasyah and reported in local newspapers yesterday. "We question the concept of an Indonesian solution, because if there is an Indonesian solution why is there no Australian solution?" Mr Faizasyah said. Mr Faizasyah also said Indonesia had never considered itself a centre for processing refugees who would end up in other countries. And he said the Lombok Treaty, which enshrines the bilateral relationship between Jakarta and Canberra, was not intended to be used in the ad-hoc fashion as it currently seemed to be. Dr Sujatmiko said the current standoff was "a very sensitive issue" which involved difficult negotiations between the countries.
CiKEAS> US 'without God' ad sparks debate
Monday, November 02, 2009 06:48 Mecca time, 03:48 GMT US 'without God' ad sparks debate, click : http://english.aljazeera.net/news/americas/2009/11/200911232346707356.html
CiKEAS> Remembering Yitzhak Rabin
http://www.arabnews.com/?page=7§ion=0&article=127991&d=2&m=11&y=2009&pix=opinion.jpg&category=Opinion Monday 2 November 2009 (15 Dhul Qa`dah 1430) Remembering Yitzhak Rabin Uri Avnery I avn...@actcom.co.il A YEAR before the Oslo agreement, I had a meeting with Yasser Arafat in Tunis. He was full of curiosity about Yitzhak Rabin, who had just been elected prime minister. I described him as well as I could and ended with the words: "He is as honest as a politician can be." Arafat broke into laughter, and all the others present, among them Mahmoud Abbas and Yasser Abed-Rabbo, joined in. I always liked Rabin as a human being. I especially liked some traits of his. First of all his honesty. He was a decent human being. When his term as Israeli ambassador in Washington D.C. came to an end, his wife Leah left behind a bank account, contrary to Israeli law at the time. When it was discovered, he protected his wife by assuming personal responsibility. At the time, unlike today, "assuming responsibility" was not an empty phrase. He left the prime minister's office. I liked even his most evident personality trait - his introversion. He was withdrawn, with few human contacts. He had no small talk. In every conversation, he came to the point right at the start. In a world of pretentious, garrulous, mendacious, back-slapping politicians, he was a refreshing rarity. More than anything else, I respected Rabin for his dramatic change of outlook at the age of 70. The man who had been a soldier since he was 18, who had fought Arabs all his life, suddenly became a peace-fighter. And not just a fighter for peace in general, but for peace with the Palestinian people, whose very existence had always been denied by the leaders of Israel. From 1969 on, until after the Oslo agreement, we had a running debate about the Palestinian issue. In 1975, after the start of my secret contacts with the PLO, I went to brief him (in accordance with the express wishes of the PLO). I brought him several messages from Arafat, conveyed to me by the PLO representative in London, Sa'id Hamami. Arafat proposed small mutual gestures. Rabin refused all of them. Consequently I was all the more impressed by Oslo. Later Rabin explained to me, one Shabbat at his private apartment, how he arrived there: King Hussein had resigned his responsibility for the West Bank. The "village leagues", set up by Israel as pliant "representatives" of the Palestinians, were a dismal failure. As minister of defense he summoned local Palestinian leaders for individual consultations, and one after another they told him that their political address was in Tunis. After that, at the Madrid conference, Israel agreed to negotiate with a joint Jordanian-Palestinian delegation, but then the Jordanians told them that all Palestinian matters must be discussed with the Palestinian members alone. But at every meeting, the Palestinian delegates asked for a pause in order to call Tunis and get instructions from Arafat. Rabin's conclusion: If all decisions are made by Arafat anyhow, why not talk with him directly? It has always been said that Rabin had an "analytical mind". He did not have much of an imagination, but he viewed facts soberly, analyzed them logically and drew his conclusions. If so, why did the Oslo agreement fail? The practical reasons are easy to see. From the beginning, the agreement was built on shaky foundations, because it lacked the main thing: A clear definition of the final objective of the process. For Arafat it was self-evident that the agreed "interim stages" would lead to an independent Palestinian state in the whole of the West Bank and the Gaza Strip, with perhaps some minor exchanges of territory. East Jerusalem, including of course the Holy Shrines, was to become the capital of Palestine. The settlements would be dismantled. But Rabin's aim was unclear, perhaps even to himself. At the time he was not yet ready to accept a Palestinian state. Absent an agreed destination, all the "interim phases" went awry. Every step caused new conflicts. Arafat was conscious of the faults of the agreement. He told his people that it was "the best possible agreement in the worst possible circumstances". But he believed that the dynamics of the peace process would overcome the obstacles on the way. So did I. We were both wrong. After the signing, Rabin began to hesitate. Instead of rushing forward to create facts, he dithered. Deep under the surface, powerful currents were at work. They pushed Rabin off course and in the end they swallowed him. Rabin was a child of the classic Zionist ideology. He never rebeled against it. At the critical juncture of his life, he fell victim to an insoluble inner contradiction: His analytical mind told him to make peace with the Palestinians, to "give
CiKEAS> Terrorist arms cache unearthed
http://www.arabnews.com/?page=1§ion=0&article=127970&d=2&m=11&y=2009&pix=kingdom.jpg&category=Kingdom Monday 2 November 2009 (15 Dhul Qa`dah 1430) Terrorist arms cache unearthed Samir Al-Saadi I Arab News Weapons were stashed under half a meter of concrete in a house on the outskirts of Riyadh (above). Investigators had to cut through the slab to get to the arms and ammunition (top right). (SPA) RIYADH: The Interior Ministry has seized 281 Kalashnikov rifles, 55 boxes of ammunition and 250 magazines from a rest house located in the outskirts of Riyadh. Investigators interrogating a cell of 44 Al-Qaeda-linked militants discovered the hideaway. "Interrogations led us to the hideaway. The weapons were found hidden under half a meter of concrete," said Interior Ministry spokesman Maj. Gen. Mansour Al-Turki. He added that investigations are ongoing. The 44 militants' arrest was announced in August following yearlong raids across the Kingdom. The Interior Ministry also announced then that the cell sought to recruit youths and financed their activities through charitable donations. Forty-three of those arrested are Saudi nationals and received weapons training in both the Kingdom and abroad. Some also received explosives training. Others received training in counterfeiting documents and identity cards. Their ages ranged between 20 and 60. A previous Interior Ministry statement said that 17 Kalashnikov rifles, 50 other types of machine guns, 42 cases of ammunition and 96 remote electronic detonators were also seized. The detonators were located underground in two remote areas - one in the suburbs of Qassim and the other in a valley near Riyadh. The identities of those arrested have not been revealed. However, Al-Turki said the men included some individuals with technical qualifications and others with advanced university degrees. None of those arrested figures in the list of 85 wanted militants issued in February. Investigations showed that some of the suspects were in contact with senior Al-Qaeda commanders outside the Kingdom. Some were also in contact with local Al-Qaeda operatives killed in recent clashes with security forces. It was also disclosed that the suspects took advantage of charity works to plan terror attacks in the country. Some of those arrested used their own money to finance their operations. Al-Turki said that the danger of terror still exists and that terrorists are trying to reorganize and revive terror outfits. <><>
CiKEAS> Abdullah endorses project to spread human rights culture
http://www.arabnews.com/?page=1§ion=0&article=127974&d=2&m=11&y=2009 Monday 2 November 2009 (15 Dhul Qa`dah 1430) Abdullah endorses project to spread human rights culture Walaa Hawari I Arab News RIYADH: Custodian of the Two Holy Mosques King Abdullah has given the go-ahead for a landmark project that aims to raise awareness about human rights throughout Saudi Arabia. The king's approval will allow the Human Rights Commission (HRC) to fulfill one of its constitutional obligations, according to its President Bandar Al-Iban. The HRC sets general policy to build public awareness of human rights and propose ways to implement it through institutes and bodies specializing in education, training and media. The commission is also authorized to spread values and a basic understanding of human rights, which correspond with Islamic law. The HRC, through its specialized divisions, will organize courses for personnel of all human rights-related bodies in the Kingdom, and for those who are interested in the field. Al-Iban confirmed that the project's mission is to spread the culture of human rights in an atmosphere of brotherhood, tolerance and forgiveness. It also aims to enable both government and nongovernmental sectors to effectively implement relevant policies in line with Islamic values and international treaties and agreements. The project aims to introduce regulations, laws and procedures in the Kingdom that protect human rights. It will also raise awareness about the dangers of human rights violations. "Spreading a human rights culture is a clear example that conforms to the king's policy of caring for the human, protecting his rights and preserving them," Al-Iban said, adding that this applies to both citizens and expatriates. He confirmed that establishing the HRC strengthened the Kingdom's commitment to the values of equality and justice in Saudi society. Al-Iban clarified that the HRC along with other relevant bodies including the ministries of information and education and other cultural institutes will set up a committee to develop a detailed plan to implement the project. It will organize workshops, activities and campaigns, and publish a magazine about human rights. The HRC will also work with the educational sector to introduce human rights in school curriculums.
CiKEAS> Fw: [Advokat-Indonesia] Cerita di balik layar pergantian mobil menteri dari Volvo ke Camri
- Original Message - From: Sulistiono Kertawacana To: undisclosed-recipients: Sent: Monday, November 02, 2009 11:37 PM Subject: [Advokat-Indonesia] Cerita di balik layar pergantian mobil menteri dari Volvo ke Camri Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionokertawacana.blogspot.com/ Original Message Subject: [PPIBelgia] Cerita di balik layar pergantian mobil menteri dari Volvo ke Camri Date: Mon, 2 Nov 2009 05:08:41 -0800 (PST) From: Furqon Azis Reply-To: ppibel...@yahoogroups.com To: ppibel...@yahoogroups.com SUDAH puluhan tahun, mobil dinas para menteri dan pimpinan lembaga negara, selalu Volvo berwarna hitam. Pemerintahan SBY-JK naik pada tahun 2004, Volvo pun langsung diganti menjadi Toyota Camry. Spekulasi berkembang di luar. Ada yang menilai, ini pertanda bahwa pemerintahan SBY-JK mengalami kepelikan uang sehingga para anggota kabinet harus memakai mobil Camry yang jauh lebih murah dibanding mobil Volvo. Ada juga yang menebak, itu karena JK adalah pengusaha mobil Toyota. Sebagian lagi mengira, ini berarti orientasi ekonomi kita ke depan, hanyak berkiblat ke Jepang karena Toyota adalah buatan Jepang. Maukah Anda mengetahui mengapa Volvo diganti menjadi Toyota Camry? Ikutilah cerita berikut ini. Lepas pembentukan Kabinet, SBY dan JK mendiskusikan tentang sarana penopang para anggota Kabinet untuk bekerja karena masih ada sejumlah anggota Kabinet yang pergi ke kantor dengan mobil pribadi. Ada juga anggota Kabinet yang mengendarai kendaraan reot yang disiapkan oleh kantornya. Kabarnya, JK meminta kepada SBY agar soal kendaraan para anggota Kabinet, diserahkan saja ke dia. Saat itu, Volvo masih dalam hitungan untuk kembali dipakai. Namun, JK menghitung bahwa Volvo terlampau mahal. JK pun meminta Johny Darmawan, Direktur Toyota Astra Motor, untuk menemuinya. JK bertanya, â?oSedan Toyota apa yang lagi popular dan berkualitas andal saat itu. Yang pasti, untuk kelas menengah saja dan tidak terbilang mewah.â? Sang direktur pun memberi jawaban: sedan Camry. â?oSelain produk baru yang nyaman, juga tidak terlampau mahal untuk ukuran kelas menengah. Harganya sekitar Rp425 juta perunit.â? JK langsung menyambung, â?oKalau begitu Anda banyak mengiklankan produk ini kan? Berapa biaya iklanmu setahun untuk memasarkan produk Camry ini?â? tanya JK. â?oYa, sekian banyak, Pak,â? kata Sang Direktur. â?oBagaimana kalau Anda menghentikan pembayaran iklan itu, lalu saya yang iklankan untuk Anda?â? sambung JK. â?oBagaimana caranya, Pak?â? tanya Sang Direktur penuh keingintahuan. â?oNah, caranya gampang. Kalau saya beli mobil sedan Camry Anda minimal 40 unit dan saya hanya mau bayar Rp275 juta per unit, gimana?â? JK menawar. â?oMaaf Pak, susah, karena harga itu terlampau rendah,â? balas Sang Direktur. â?oIya memang betul harga yang saya tawarkan rendah dari harga penjualan Anda. Tapi, kan Anda tidak perlu keluarkan biaya iklan selama lima tahun,â? balas JK. â?oNah, maaf Pak, itu yang saya belum mengerti. Bagaimana rumusannya?â? tanya direktur Toyota tersebut. â?oBegini, mobil sedan Camry saya beli minimal 40 unit dan akan saya berikan kepada para menteri dan juga para pimpinan lembaga negara lainnya. Masa jabatan menteri kan lima tahun. Jadi, selama lima tahun tersebut, menteri-menteri memakai Camry. Artinya, Anda sudah dipasarkan dengan sendirinya oleh para menteri dan pimpinan lembaga negara lainnya nanti,â? kata JK. â?oBayangkan saja jika setiap menteri memakai sedan Camry kan menteri dikawal, dan sesekali pakai mobil pengawal yang pakai sirene, tentu semua orang memandang. Di situlah sedan Camry Anda langsung dilihat orang. Lagian, biasanya kalau sudah menteri pakai maka semua orang ingin juga memakai kendaraan sama dengan yang dipakai menteri,â? tegas JK lagi. â?oAnda harus lihat dari segi jangka panjangnya. Pembayaran kami memang bisa membuat Anda tidak beruntung banyak untuk beberapa puluh mobil tersebut, tetapi, keuntungan jangka panjang Anda sangat berlimpah nanti. Banyak pengusaha mobil dari berbagai merek datang untuk menawarkan produknya, termasuk Volvo. Jadi, kalau Anda tertarik dengan tawaran saya, Oke, kali ini kita mulai sejarah baru bahwa para menteri dan pejabat lembaga negara lainnya akan menggunakan Toyota. Ini sebuah era baru bagi Toyota,â? kata JK. Ternyata memang, tawaran JK masuk akal bagi Toyota. Dan para menteri serta pimpinan lembaga negara lainnya pun menggunakan sedan Toyota Camry sampai sekarang. Keputusan ini bukannya sepi dari soal. Ada-ada saja yang mencoba menyoalnya. Mereka menyesalkan, menteri itu sebaiknya diberi kendaraan yang lebih atas daripada Camry demi keselamatan menteri. Masalahnya, kata mereka, Camry itu mudah ringsek jika ditabrak atau tabrakan. Volvo kan sudah terbukti keandalannya, alasan mereka. Gugatan ini dengan enteng ditangkis oleh JK. â?oMenteri itu kan selalu diiringi oleh sebuah mobil kawal dari belakang. Sebelum menteri di
CiKEAS> Could America go broke?
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/11/01/AR2009110101704.html?wpisrc=newsletter Could America go broke? By Robert J. Samuelson Monday, November 2, 2009 The idea that the government of a major advanced country would default on its debt -- that is, tell lenders that it won't repay them all they're owed -- was, until recently, a preposterous proposition. Argentina and Russia have stiffed their creditors, but surely the likes of the United States, Japan or Britain wouldn't. Well, it's still a very, very long shot, but it's no longer entirely unimaginable. Governments of rich countries are borrowing so much that it's conceivable that one day the twin assumptions underlying their burgeoning debt (that lenders will continue to lend and that governments will continue to pay) might collapse. What happens then? The question is so unfamiliar that the past provides few clues to the future. Psychology is crucial. To take a parallel example: the dollar. The fear is that foreigners (and Americans, too) will lose confidence in its value and dump it for yen, euros, gold or oil. If too many investors do that, a self-fulfilling stampede could trigger sell-offs in U.S. stocks and bonds. People have predicted such a crisis for decades. It hasn't happened yet. The currency's decline has been orderly, because the dollar retains a bedrock confidence based on America's political stability, openness, wealth and low inflation. But something could shatter that confidence -- tomorrow or 10 years from tomorrow. The same logic applies to exploding government debt. We have moved into uncharted territory and are prisoners of psychology. Consider Japan. In 2009, its budget deficit -- the gap between spending and taxes -- amounts to 10 percent or more of gross domestic product (GDP). The total government debt -- the borrowing to cover all its deficits -- is approaching 200 percent of GDP. That's twice the size of its economy. The mountainous debt reflects years of slow economic growth, many "stimulus" plans, an aging society and the impact of the global recession. By 2019, the debt-to-GDP ratio could hit 300 percent, says a report from JPMorgan Chase. No one knows how to interpret these numbers. If someone had predicted 20 years ago that Japan's debt would rise so spectacularly, the forecast would doubtlessly have inspired this alarm: Japan will pay crushing interest rates as fearful lenders demand high returns to compensate for the risk that government might default or inflate away its debt. Instead, the opposite has happened. Japanese investors -- households, banks, insurers -- have absorbed 94 percent of the debt, reports JPMorgan. Interest rates on 10-year Japanese government bonds have dropped from 7.1 percent in 1990 to 1.4 percent now. Superficially, it's possible to explain this. Japan has ample private savings to buy bonds; modest deflation -- falling prices -- makes low interest rates acceptable; and investors remain confident that new and maturing debt will be financed. The American situation is similar. Despite huge deficits, interest rates on 10-year Treasury bonds have hovered around 3.5 percent. In time of financial crisis, investors have sought the apparent sanctuary of government bonds. But the correct conclusion to draw is not that major governments (such as Japan and the United States) can easily borrow as much as they want. It is that they can easily borrow as much as they want until confidence that they can do so evaporates -- and we don't know when, how or whether that may happen. Wealthy societies everywhere face a similar dilemma. Debt is ballooning from already high levels. The Congressional Budget Office reckons the Obama administration's planned budgets would increase the debt-to-GDP ratio from 41 percent in 2008 to 82 percent in 2019. Higher interest rates would aggravate the debt burden. Anticipating higher rates, the CBO estimates annual interest payments on the federal debt at $799 billion in 2019, up from $170 billion in 2009. Even the size of exposed debt is unclear; adding Fannie Mae's and Freddie Mac's debts (effectively guaranteed by the government) to Treasury debt would raise the total sharply. But containing debt by spending cuts or tax increases would involve wrenching and unpopular measures that might, perversely, weaken the economy and worsen deficits. In Japan, the existing value-added tax (national sales tax) of 5 percent would have to go to 12 percent, says JPMorgan, along with deep spending cuts. Against choices like that, some advanced country might decide that a partial or complete default, though dire, would be less damaging economically and politically than the alternatives. Deprived of international or domestic credit, defaulting countries in the past have suffered deep economic downturns, hyperinflation, or both. The odds may be against a wealthy society tempting that fate, but
CiKEAS> Hidupkan Karnaval Genderuwo
Refleksi: Untuk menghidupkan dibutuhkan bantuan kaum pedagang, tanpa komersialisasi sulit untuk karnaval Genderuwo dihidupkan. Setuju dihidupkan biar ramai gembira ria, iblis bin seythan juga membutuhkan hari perayaan penuh keramaian. - Jawa Pos [ Senin, 02 November 2009 ] Hidupkan Karnaval Genderuwo JOGJA - Di kalangan masyarakat Jawa, dikenal bangsa jin yang disebut genderuwo. Gambarannya mengerihkan dengan tubuh besar hitam, bergigi runcing, dan rupa menyeramkan. Minggu 1 November kemarin, masyarakat Kampung Bumen Purbayan Kotagede, Jogjakarta mengadakan Karnaval Genderuwo. Karnavak itu untuk pertama kalinya diadakan lagi sejak tenggelam 1950-an. "Karnaval ini berawal dari usaha mengusir genderuwo yang lantas bisa dikuasai. Mereka akhinyr amengikuti setiap ada hajatan, termasuk mengiringi pengantin," terang Wardoyo sesepuh Kampung Bumen. Namun, kini tradisi itu dihidupkan lagi dalam suasana berbeda. Genderuwo itu disamarkan dalam berbagai bentuk agar bisa dijadikan asset budaya. Maka, jadilah gendruwo-gendruwo itu bukan sesuatu yang menakutkan. Tapi justru menjadi tontonan khalayak ramai. Karena diarak keliling kampung diiringi tetabuhan dan lucu-lucuan yang menghibur. Dalam karnval kemarin, genderuwo mengiringi sepasang "pengantin" yang diperankan seorang pemuda setempat dan Marissa Reichest seorang mahasiswi asal Jerman yang sedang studi di Jogja. Dan di belakang mereka, puluhan peserta dengan berbagai atribut. Mulai pakaian daerah, para Punakawan, serta ibu-ibu berbusana lucu-lucuan dengan bedak dan coretan di wajahnya masing-masing. (din/jpnn/ruk)
CiKEAS> Puluhan Anak Aceh Bermasalah di Paraguay
Refleksi : Latihan sepak bola di Paraguay? Jawa Pos [ Senin, 02 November 2009 ] Puluhan Anak Aceh Bermasalah di Paraguay Berbakat Sepak Bola, Terpilih Ikut Program Pembinaan U-16 BIREUEN - Puluhan anak Aceh yang sedang berlatih sepak bola di Paraguay mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Anak-anak Aceh tersebut mengadu kepada orang tua bahwa mereka telah dipukuli polisi setempat. Hal itu terungkap berdasar penuturan Zulkarnaini, ayah salah seorang di antara 34 anak tersebut, Gian Riandy Syahputra. Lelaki berusia 46 tahun, asal Geudong-Geudong, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, itu ditelepon putranya pada Sabtu lalu (31/10) pukul 04.00. ''Dia mengatakan bahwa polisi memukuli dirinya dan rekan-rekannya,'' katanya. Menurut Riandy, peristiwa tersebut baru terjadi beberapa jam sebelum dirinya menelepon. Awalnya, dia dan rekan-rekannya yang selesai berlatih pulang ke Hotel Comite Olimpico, Asuncion, tempat mereka menginap. Mereka terkejut karena mendapati kamar yang berserakan. Selain itu, barang berharga dan uang mereka hilang. Mereka menanyakan hal tersebut kepada petugas hotel. Karena hotel tidak mau bertanggung jawab, terjadi keributan di antara mereka. Rupanya, di tengah keributan itu, petugas hotel menghubungi polisi. Bukannya menyelidiki pencurian tersebut, para polisi memukuli Riandy dan teman-temannya. Pemukulan berhenti saat Konjen RI datang ke hotel tersebut. Zulkarnaini memaparkan, putra sulungnya masuk dalam program pelatihan di Paraguay setelah lolos seleksi tim U-16 di Banda Aceh pada pertengahan 2008. Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam lantas mengirim para bibit unggul pesepak bola itu untuk berlatih ke Paraguay pada 9 Agustus 2008. Mereka ditemani empat ofisial. Awalnya, semua kegiatan berlangsung lancar. Tapi, sejak Januari 2009, berbagai persoalan muncul. PT Sanchez Management Gol selaku agen kurang memperhatikan kebutuhan tim. Sebagai orang tua, Zulkarnaini sangat prihatin dengan kejadian buruk yang dialami Riandy dkk. (bah/jpnn/ruk)
CiKEAS> Pilihan Kepala Desa, Politik Uang Sudah Biasa?
SUARA MERDEKA Pilihan Kepala Desa, Politik Uang Sudah Biasa? Ditulis Oleh Fatkhul Muin 02-11-2009, Sebulan mendatang, Pemerintah Kabupaten Demak akan menggelar lagi ajang Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) bagi desa-desa yang saat ini masih lowong pejabatnya. Seperti yang sudah-sudah, ajang pilkades ini meskipun termasuk dalam kerangka demokrasi, namun pada kenyataannya efek yang ditimbulkan cukup beragam. Bahkan kadang-kadang luka yang ditimbulkan dalam ajang pilkades ini butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya. Ada beberapa masukan yang mengusulkan bahwa ajang pilkades ini dihilangkan atau diubah sedemikian rupa agar efek yang ditimbulkan tidak berkepanjangan. Selain itu biasanya ajang pilkades ini rentan dengan yang namanya money politic atau politik uang, tanpa uang pilkades tidak jalan baik dari segi kepanitiaan sebagai pelaksana ataupun bagi pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam ajang pilkades. Untuk kepanitiaan, pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus pos penyelenggaraan Pilkades yang jika dihitung mendekati miliaran rupiah bahkan lebih, selain itu desa juga mengeluarkan pos anggaran dan besarnya tergantung dari kesepakatan bersama antara pemerintahan desa dan lembaga yang ada. Bakal calon atau Calon kepala desa biasanya juga mengeluarkan sejumlah uang yang lazim disebut swadaya dalam rangka mensukseskan ajang pilkades di desanya. Selain biaya tersebut di atas, calon kepala desa yang akan berlaga dalam ajang pemilihan kepala desa juga harus menyiapkan sejumlah uang dalam rangka kesuksesan dirinya dalam rangka menggaet pemilih. Biasanya hal ini telah dilakukannya jauh-jauh hari setelah dirinya dengan resmi mengikuti ajang pilkades di desanya istilah jawanya bukak lawang. Meskipun hanya sekedar menyediakan makanan kecil, minuman, rokok namun jika yang disediakan jumlah cukup banyak dan waktunya cukup panjang jika dihitung bisa mencapai puluhan juta rupiah. Selain itu layaknya ajang pemilihan apapun kita butuh juga team sukses yang dibuat juga jauh-jauh hari, inipun jika dihitung juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum nanti ketika hari H pelaksanaan Pilkades, calon juga membutuhkan uang yang cukup besar untuk membeli suara tergantung dari jumlah pemilih yang ikut memilih dalam ajang pemilihan kepala desa itu. Harga beli suara atau kadang kadang disebut juga pengganti kerja besarnya tergantung dari harga jual bengkok yang nantinya sebagai gaji sang Kepala Desa di desa itu. Bila harga bengkok laku tinggi para pemilih memperoleh uang yang cukup besar, sebaliknya jika bengkok yang dijual tidak begitu laku uang penganti kerja bagi pemilih juga demikian. Dari informasi yang penulis peroleh pada ajang pilkades sebelumnya, 'uang amplop' yang diterima oleh para pemilih nilainya berkisar antara Rp10.000-Rp100.000, bahkan ada pula calon yang nyangoni pemilihnya Rp200.000-Rp300.000 dalam rangka kemenangan dirinya. Ini biasanya berlaku pada desa-desa yang bengkoknya cukup banyak dan harga jualnya lumayan tinggi. Sebagai contoh, ada desa yang gaji kepala desanya berupa bengkok 25 bau, setiap tahun 1 bau laku 6 juta rupiah, secara hitungan kasar gaji kepala desa tersebut Rp150 juta, jika dikalikan 6 tahun ketemu 900 juta rupiah, nah jika biaya pilkades yang dikeluarkan 500 Juta rupiah dalam hitungan angka masih untung atau modal bisa kembali. Hal ini pernah juga penulis tanyakan pada masing-masing calon, berapa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pencalonannya sebagai kepala desa. Berbisik-bisik, mereka menyatakan angka yang cukup fantastis: Rp100-200 juta, bahkan ada yang menghabiskan dana hampir 300 juta rupiah! Lalu saya bertanya dari mana uang sebanyak itu? rata-rata mengatakan pinjam, entah pinjam saudara, teman, ataupun bank . Lalu bagaimana dengan mereka yang gagal mendapatkan posisi sebagai kepala desa, padahal modal yang dikeluarkan sudah sedemikian banyak? Walallahu a'lam . Saya tidak bisa berpikir dari mana dia akan mengembalikan biaya semuanya itu. Mestinya sebelum memutuskan untuk mengikuti ajang pilkades mereka telah siap baik persiapan spiritual atau material dan yang penting mereka itu harus siap kalah. Jika tidak siap kalah hal inilah yang menjadikan masalah pilkades berlarut-larut hanya karena masalah kecil saja , menjadikan ketidaksahan ajang pilkades. Apalagi jika sampai ke tingkat Pengadilan selain membutuhkan waktu yang lama juga biaya yang cukup besar lagi. Oleh karenanya agar Pilkades bisa berjalan lancar dan menghasilkan pimpinan yang baik demi kemajuan desanya, warga desa harus mematuhi aturan yang berlaku, namun untuk urusan amplopan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah, entah bagi-bagi duit atau money politic istilahnya itu pasti ada.
CiKEAS> Giliran Panti Pijat Disasar
http://www.sapos.co.id/berita/index.asp?IDKategori=1&id=1312 Selasa, 3 November 2009 Giliran Panti Pijat Disasar Obat Kuat Juga Disita SAMARINDA. Setelah berbagai tempat hiburan, sejumlah panti pijat, kemarin jadi sasaran jajaran Satpol PP Kota Samarinda. Maklum, disinyalir, para wanita yang didatangkan dari luar daerah dipekerjakan sebagai pemijat, tambah banyak pasca Lebaran lalu. Selain itu, petugas juga merazia obat kuat ilegal yang diindikasikan masih marak di pasaran. Alhasil, dari operasi tersebut, Satpol PP berhasil mengamankan 13 wanita dan 2 pria yang tak tak ber-KTP dari 7 panti pijat di Samarinda. Diantaranya juga terdapat sepasang muda-mudi yang kepergok berada di sebuah kos-kosan yang kerap dijadikan tempat mesum. Bersama itu, Satpol PP juga mengamankan ratusan obat kuat ilegal beserta alat-alatanya yang dijual bebas di beberapa toko obat tradisional. Seperti dijelaskan Kepala Satpol PP Kota HA Rijani melalui Kasi Ops Indra Gunawan, 7 panti pijat yang didatangi yakni Flamboyan di Jl P Banda, Trialoma di Jl Nahkoda, Fortuna, Putri Ayu, Siatshu, panti pijat tradisional di Kebaktian dan sebuah di Jl Pelabuhan. "Dari lokasi-lokasi ini kami memeriksa semua KTP para pekerjanya. Hal ini sebagai bentuk pengawasan terhadap para pendatang ilegal sejak pasca Lebaran," kata Indra kepada Sapos kemarin siang. Dari pemeriksaan, ternyata banyak para pekerja yang masih tak memiliki KTP. Karenanya mereka langsung digiring ke Kantor Satpol PP Jl Cempaka. "Kami beri mereka pembinaan sekaligus sanksi tipiring (tindak pidana ringan). Kepada mereka juga diminta untuk tidak melayani para tamu yang ingin plus. Karena bila dilakukan maka telah menyalahgunakan izin yang ancamannya ditutup. Padahal untuk pijat, tapi justru menjadi ajang prostitusi," tegasnya. Setelah operasi panti pijat, jajaran petugas kemudian menyisiri penjualan obat-obat kuat ilegal. Petugas menemukannya di Jl merdeka, Jl Pelita dan Jl Kemakmuran. Dari ketiganya, ditemukan ribuan kotak urat madu, obat tahan lama, tisu untuk alat vital dan alat suntik. "Semuanya kami sita karena memang tidak ada izin produk untuk dijual di pasaran. Untuk itu, kami pun akan terus menggelar operasi ini," tukasnya. Di sela-sela operasi, petugas sempat menyasar sebuah rumah kos di Jl Merdeka. Di sana, ditemukan sepasang muda-mudi yang bukan pasangannya berada dalam satu kamar. "Keduanya ikut dijaring dengan mereka yang terjaring karena tak ber-KTP. Mereka pun diberi pembinaan," pungkasnya. (rm-1
CiKEAS> Sexy Costumes Spark Halloween Raids in Indonesia's Kalimantan
http://thejakartaglobe.com/home/sexy-costumes-spark-halloween-raids-in-indonesias-kalimantan/339046 November 02, 2009 Nurfika Osman Sexy Costumes Spark Halloween Raids in Indonesia's Kalimantan A Halloween party in Samarinda, East Kalimantan, on Saturday night got more spooks than it hoped for when public order officers arrived to break up the festivities apparently because some of the young women were wearing costumes deemed too revealing. The city's spokesman, Muhammad Faisal, said on Sunday that about 10 young women under the age of 22 were arrested at 11 p.m. after celebrating at a local nightspot called Platinum. The women, he said, tried to hide but the officers were able to find them. "They were released this morning. They only had to bring their ID cards and did not need wear costumes like that to the party," he said. "We had received complaints from residents that they were disturbed by such parties." Although Samarinda does not have any regulations regarding inappropriate dress, Faisal said some residents had complained. He said the raid was part of the public order officers' program to maintain peace and security, as well as to settle neighborhood disputes. According to Faisal, a separate Halloween party was also broken up by officers at a house in Sei Pinang subdistrict. He said five young women were found without proper identification and wearing "sexy attire." Faisal said reports from residents had said that the house was being used as a brothel, however he could not comment further about the case. "The case has just been handed over to the police and they are currently investigating the rumors," he said. Separately, the municipal administration has closed down two bars because prostitutes were found to be operating on the premises and they were also selling hard liquor without the proper licenses. "Two bars in the city were closed down last Wednesday but we will let them reopen again next month," Faisal said. He said that the bars would be allowed to reopen after they signed an agreement with the city not to sell the restricted alcohol. "We only permitted them to sell class-A alcohol, which is beer, and they violated this," he said.
CiKEAS> Partai Golkar Sulit untuk Bersikap Kritis
Refleksi : Golkar bukan taman Kanak-kanak (TK) untuk bersikap kritis, karena kalau bersikap kritis bisa merugikan kepentingan pribadi dan partai. http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=11520 2009-11-02 Partai Golkar Sulit untuk Bersikap Kritis SP/Luther Ulag Wakil Presiden Boediono bersalaman dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (berdiri) saat perayaan HUT ke-45 Partai Golkar di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (31/10). [JAKARTA] Kepengurusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie (Ical) terlihat cukup kuat jika dibandingkan pada kepengurusan sebelumnya. Kepengurusan saat ini terlihat lebih menyatu dan solid, sehingga ada peluang bagi Partai Golkar untuk meraih kejayaan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Namun, Partai Golkar dinilai sulit untuk bersikap kritis terhadap pemerintahan sekarang. "Kalau kepengurusan sebelumnya terlihat berpencar, sehingga sulit menyatukannya," ujar pengamat politik Andrinof Chaniago kepada SP di Jakarta, Senin (2/11). Dikatakan, kekuatan dari Partai Golkar selama ini adalah dari organisasinya, namun pada era sebelumnya masih terlihat pengurus yang menempuh jalan masing-masing. "Tetapi, saya melihat sekarang bertumpu semuanya di organisasi. Ini berdampak baik bagi suara Golkar pada 2014," katanya. Andrinof merasa pesimistis Golkar akan menjadi mitra yang kritis terhadap pemerintah, seperti yang disampaikan Ical dalam pidato politiknya pada HUT ke-45 Partai Golkar di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebab, ujarnya, sikap kritis yang dilakukan Partai Golkar hanya sebatas komunikasi politik. Sedangkan, kritis pada hal-hal yang mendasar, tidak akan mungkin dilakukan partai itu. Sebelumnya, Aburizal Bakrie mengatakan, Partai Golkar tidak akan pernah menuntut dan tidak pernah berharap. Golkar membuka harapan bagi terbentuknya pemerintahan yang demokratis, tapi efektif serta pemerintahan yang tegas, tapi ramah, kuat, dan adil. Penegasan itu disampaikan Ical dalam pidato politiknya pada acara puncak perayaan HUT ke-45 Partai Golkar di Pekan Raya Jakarta (PRJ), akhir pekan lalu. Acara tersebut dihadiri pula Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres BJ Habibie, Ketua MPR Taufiq Kiemas, beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, dan sejumlah ketua umum partai politik. Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri yang direncanakan hadir, ternyata berhalangan, begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan, mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar M Jusuf Kalla dan mantan Ketua Dewan Penasihat Surya Paloh juga berhalangan hadir, karena sedang berada di luar negeri. Berwibawa "Golkar akan terus membuka harapan bagi terciptanya pemerintahan yang berwibawa, karena mengejar kebenaran. Pemerintahan yang dicintai, karena memperjuangkan kepentingan rakyat. Serta, pemerintahan yang disegani kawan dan lawan, karena jujur dan setia kepada tujuan-tujuan dasar penciptaan republik kita," kata Ical. Menurutnya, hal itu yang menjadi visi baru Partai Golkar dengan mengedepankan suara rakyat adalah suara Golkar dan suara Golkar adalah suara rakyat. Pada kesempatan itu, Ical menerangkan alasan masuknya Partai Golkar ke dalam koalisi di KIB II. Menurutnya, keputusan itu diambil dengan pertimbangan yang saksama. Dengan pilihan ini, katanya, posisi Golkar terhadap pemerintah bagaikan seorang sahabat. "Sebagaimana sahabat yang baik, Golkar akan selalu mengulurkan tangan, serta membesarkan hati pada hari-hari yang sulit. Tetapi, seorang sahabat sejati bukan hanya memberikan pujian. Golkar juga akan mengingatkan, memberi evaluasi objektif dan catatan kritis, serta menawarkan solusi alternatif jika diperlukan. Golkar akan menyuarakan hal-hal yang perlu didengarkan, betapa pun pahitnya. Bukan hanya hal-hal yang menyenangkan," katanya. Pada kesempatan itu, Partai Golkar memberikan penghargaan kepada tiga tokoh, yakni almarhum Soeharto (mantan presiden), M Jusuf Kalla, dan Sulasikin Moerpratomo. [M-16
CiKEAS> Soal eksekusi Kampus STT Arastamar
Refleksi : Apakah tidak lebih baik secara terang-terangan NKRI dijadikan NAT (Negara a la Taliban) atau Al Shahab di Somalia, dari pada rezim Jakarta dibawah pimpinan SBY & Co bermain lempar batu sembunyi tangan?? Harian Komentar 31 Oktober 2009 Soal eksekusi Kampus STT Arastamar Manampiring Ajak Masyarakat Berdoa Manado, KOMENTAR Menyikapi dilakukannya eksekusi terhadap Kampus STT Arastamar oleh pemerintah setempat, mendapat tanggap-an serius dari tokoh agama, Pdt Johan Manampiring STh. Untuk itu dia mengajak pada umat Kristiani untuk men-doakan. "Saya meminta kiranya jemaat mendoakan pergumulan STT Arastamar dan mendoakan pemerintah supaya punya takut akan Tuhan serta punya semangat nasionalisme kebangsaan sejati," harapnya. Padahal menurut dia, pemerintah termasuk di dalamnya legislatif, saat ini sangat gigih memajukan dunia pendidikan. Anggaran pendidikan diseriusi dan ditingkatkan 20 persen. Seharunya sebelum Kampus STT Arastamar dieksekusi, pemerintah telah men-carikan solusi terbaik agar dunia pendidikan tidak ter-cemar oleh program peme-rintah yang tidak sinergis tersebut. Menurut dia, Ratusan Mahasiswa dibiarkan terlantar adalah akibat kebijakan yang ti-dak terpadu. Jangan karena alasan modernisasi kota, atau pengambilalihan gedung pemerintah lalu membiarkan adanya dunia pendidikan diterlantarkan. Apalagi lembaga pendidikan Arastamar adalah calon-calon pemimpin gereja masa depan. Padahal dalam UU, pemerintah harus melindungi warganya bahkan me-nunjang dengan bantuan sarana dan prasarana.(lex)
CiKEAS> Poligami: Hilangnya Hidup Tenang + Poligami Bikin Pria Panjang Umur?
http://female.kompas.com/read/xml/2009/11/01/13171368/poligami.hilangnya.hidup.tenang Poligami: Hilangnya Hidup Tenang Arbain Rambey/KOMPAS Wanita yang tidak memiliki kemandirian ekonomi biasanya takut dicerai. Minggu, 1/11/2009 | 13:17 WIB KOMPAS.com - "Bukan enak yang saya dapat seperti saya bayangkan sebelumnya, malah puyeng waktu harus bagi rezeki, bagi waktu, bagi perhatian, dan jadi sering bohong." Ungkapan itu disampaikan Djohan Endjelete (68), pensiunan tentara yang tinggal di Kabupaten Cirebon. Pada tahun 1989 Djohan tergoda menikah lagi. "Setelah menikah 30 tahun, kami jadi seperti saudara. Beda rasanya dari orang yang baru menikah," kata Djohan menjelaskan alasan berpoligami. Pernikahan keduanya hanya bertahan 1,5 tahun karena Djohan lelah terus berbohong kepada kedua istrinya. "Kalau dapat rezeki di luar gaji, saya tidak bisa bilang kepada istri pertama. Kalau istri kedua kurang uang, saya bohong. Jadinya, saya terus-terusan bohong dan menyakiti hati kedua istri saya," kata Djohan. Poligami kembali menjadi bahan pembicaraan publik setelah di Bandung, pertengahan Oktober lalu, berdiri Klub Poligami Indonesia. Klub ini diresmikan Chodijah binti Am, Ketua Global Ikhwan, klub poligami asal Malaysia (Warta Kota, 21/10). Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat tak menyetujui klub ini dengan alasan menimbulkan keresahan di antara perempuan yang menolak poligami. Perempuan sebagai pihak yang dipoligami tentu saja paling merasakan sakit ketika suami menikah lagi. Yayah (44) merasa kembali dikhianati ketika suaminya meminta izin menikah lagi lima tahun lalu dengan perempuan berusia 23 tahun. "Saya dulu sering bercerita kepada suami tentang penderitaan Ibu yang dipoligami Ayah. Maksudnya, ingin memberi tahu suami saya tidak ingin dipoligami," tutur Yayah yang tinggal di Cikupa, Tangerang. Pilih bercerai Yayah memilih bertahan dalam perkawinan karena dia dan dua anaknya yang sudah remaja secara ekonomi bergantung kepada suami. "Saya takut disuruh meninggalkan rumah kalau minta cerai dan anak-anak tidak dibiayai lagi. Saya katakan kepada anak-anak untuk ikhlas menerima kejadian ini, tetapi tidak meniru perbuatan ayahnya yang merupakan contoh buruk," cetus Yayah. Lain lagi dengan Yuni (45) yang tinggal di Bintaro, Tangerang. Ketika suami dari ibu empat anak ini menunjukkan tanda-tanda ingin menikah lagi, Yuni menegaskan tak ingin dipoligami. "Ketika menikah, kami sama-sama bekerja. Yang takut bercerai biasanya karena tidak punya kemandirian ekonomi," tutur Yuni yang mendalami tasawuf. Yuni bercerai sebelum sempat dipoligami. "Buat saya untuk berpoligami banyak dan berat syaratnya. Dalam ajaran Islam yang saya pahami, berpoligami tidak segampang itu," kata Yuni yang mengasuh keempat anaknya setelah bercerai tahun lalu. Yuni mengatakan prihatin dengan perkembangan belakangan ini ketika poligami dipahami secara gampangan. "Orang sering mengartikan nafkah rohani sebagai seksual. Padahal, nafkah rohani artinya lebih dalam lagi, bagaimana berbagi energi Allah," kata Yuni. Tuhan, kata Yuni, tidak menciptakan dua hati dalam satu dada karena hati itu tidak untuk berbagi dan hanya ada satu tujuan, yaitu mencintai Allah. Wujudnya, mencintai istri dan anak-anak dari pernikahan itu. Energi Allah, tambah Yuni, unsurnya cahaya, lembut. "Kelembutan itu tidak mungkin digunakan untuk menyakiti, dalam hal ini hati istri yang dipoligami," tutur Yuni. Berubah Kehidupan Djohan dan Yayah berubah setelah memasuki kehidupan poligami. Djohan jadi sering mengalami konflik batin. "Hidup jadi tidak tenang. Dalam perkawinan poligami, lelaki pasti hidup dalam kebohongan dan menyakiti hati istri, yang tua dan yang muda. Syarat poligami memang harus adil, tetapi situasi nyata tidak memungkinkan keadilan itu," papar Djohan yang dihubungi Rabu (28/10) sore. Djohan mencontohkan soal berbagi waktu di antara kedua istri. "Kalau tiba giliran ke rumah istri kedua, tetapi istri pertama melarang, terpaksa saya berbohong kepada istri kedua," kata Djohan. Dia mengenalkan sejak kecil anak dari perkawinan keduanya kepada empat anak dari perkawinan pertama. "Supaya anak-anak tidak kaget dan yang kecil diakui kakak-kakaknya," kata Djohan. Pada Yayah, rasa sakit hati terus tinggal karena dia sudah sepenuh hati berusaha melayani suami, seperti mencuci dan menyetrika sendiri pakaian suaminya, sementara baju dia dan anak-anak dicucikan di luar. Dia juga tidak mau memiliki pekerja rumah tangga (PRT) untuk menghemat pengeluaran. Setelah suaminya menikah lagi, Yayah enggan mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangga dan meminta tambahan uang dari suami untuk membayar PRT. Yang tak kalah terpukul, dua anak laki-laki Yayah. Keduanya tak mau berbicara dengan ayah mereka. Si sulung, yang sebelumnya sangat dekat dengan ayahnya, berubah jadi pendiam. "Dia malu," kata Yayah. Meskipun sekarang kedua anak itu sudah berbaikan dengan ayah mereka, tetapi rasa marah masih terus ada. Kedua anak itu protes bila
CiKEAS> Menjaga Modal Demokrasi Indonesia
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia." = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menperingati 81 tahun semangat jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." TOKOH MUDA INSPIRATIF (5) Menjaga Modal Demokrasi Indonesia Senin, 2 November 2009 | 02:57 WIB Oleh : M Hernowo Nurcholish Madjid kecil. Demikian orang sering menyebut Yudi Latif. Perhatian Yudi yang besar terhadap Islam dan kebangsaan serta kemampuannya menggabungkan ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena memang akan langsung mengingatkan orang pada sosok Nurcholish Madjid. Namun, berbagai kemampuan itu tidak hanya didapat Yudi dari pergaulannya yang intensif dengan Cak Nur, demikian Nurcholish Madjid sering dipanggil, setelah mereka bertemu muka untuk pertama kalinya pada tahun 1994, tetapi juga dibentuk oleh sejarah hidup Yudi sendiri. Ayah Yudi, yaitu Utom Mulyadi, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, dan ibunya, Yuyun Mustika, yang nasionalis, telah mengajarkannya sejak kecil tentang Islam dan kebangsaan. Garis pemikirannya makin dilengkapi oleh pengalamannya saat mondok di Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, petualangannya sebagai aktivis saat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, serta kehidupan dan pemikiran modern yang didapatnya ketika belajar di Australia. Matangnya pemikiran Yudi membuat Cak Nur pada tahun 1996 memercayainya sebagai salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina. ”Cak Nur lebih tertarik membuat kelompok yang kritis meski itu hanya berjumlah kecil dibandingkan massa yang besar sebab kelompok kritis ini yang akhirnya mewarnai wacana di publik. Sebagai universitas swasta, Cak Nur berharap Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yaitu kekritisan, terutama di bidang kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi tentang tujuan Universitas Paramadina yang akhirnya berdiri pada tahun 1997/1998. Bagaimana efektivitas dari massa yang kritis tersebut? Cukup baik. Pemikiran tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Cak Nur selalu berpengaruh. Misalnya terlihat dari sejumlah partai yang meski menyatakan Islam sebagai identitasnya, mereka tetap terbuka terhadap pandangan dari luar. Pemikiran tokoh-tokoh itu juga menjadi wacana yang cukup diminati dan berpengaruh di sejumlah simpul Islam yang pemahaman agamanya amat kuat, misalnya di kalangan mahasiswa IAIN atau Nahdlatul Ulama. Wacana Islam Perhatian Yudi terhadap wacana Islam dan kebangsaan tidak pudar meski sekarang dia tidak lagi aktif di Universitas Paramadina. Bahkan, setelah Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 karena gangguan fungsi hati, Yudi bersama sejumlah orang, termasuk Ommy Komariah Madjid, istri Cak Nur, mendirikan Nurcholish Madjid Society. Lewat yayasan yang ingin melestarikan gagasan Cak Nur ini, setiap enam bulan diterbitkan sebuah jurnal bernama Titik Temu. Diilhami oleh harapan Cak Nur agar umat Islam jangan sampai menjadi tamu di negerinya sendiri, Yudi juga menggagas pertemuan mahasiswa dari 38 kampus di Indonesia untuk berdiskusi tentang Islam dan masalah lainnya. ”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai keindonesiaan. Oleh karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” kata dia. Mengapa harus menggelar diskusi yang melibatkan 38 kampus? Terbatasnya bacaan untuk mahasiswa selama ini menjadi salah satu masalah di kampus. Akibatnya, tidak banyak mahasiswa yang dapat membaca berbagai ajaran Islam dari buku aslinya. Dalam diskusi ini, selain membebaskan pesertanya untuk bicara, juga dimaksudkan untuk membagikan pengetahuan tentang pemikiran Islam, langsung dari buku aslinya. Hasilnya ternyata cukup spektakuler. Banyak wacana dan pemahaman baru tentang Islam, pluralisme, dan kebangsaan muncul di diskusi-diskusi tersebut. Di era demokratisasi dan globalisasi selama 10 tahun terakhir, seberapa penting isu pluralisme dan kebangsaan di Indonesia? Globalisasi telah memperbaiki apresiasi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, globalisasi juga membangkitkan etnosentrisme. Rivalitas yang melibatkan agama dan etnis makin menguat di Indonesia. Bahkan, dalam politik saat ini perlu diwaspadai munculnya anggapan bahwa agar identitasku ada, yang lain harus ditiadakan. Apakah munculnya etnosentrisme ini karena kurangnya modal kita untuk berdemokrasi? Indonesia sebenarnya telah memiliki prasyarat dan modal penting untuk menjadi negara demokrasi, yaitu adanya persatuan nasional dan persepsi tentang satu bangsa. Namun, modal itu perlu dijamin d
CiKEAS> video
Mungkin menarik : http://www.youtube.com/watch?v=VMpz043KtIg&feature=related