Re: Bls: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'
Apa yang disampaikan pak Aga ini cukup kuat analisis dan pengalamannya. Pasar, dengan transaksi ekonomi yang tidak menguntungkan orang kebanyakan. Di sisi lain, untuk membuat penerang tradisional ternyata cukup mudah. bahan-bahannya masih tersedia dan murah. Terdapat eksploitasi yang tidak disadari akibat pembelokan makna dan esensi dari tumbilotohe itu sendiri. Ada hura-hura berkedok religi. Separuh saja biaya yang dihabiskan untuk tumbilotohe diberikan untuk rakyat yang kurang mampu, mungkin ini bisa mengurangi beban mereka. Minyak tanah yang dipakai separuhnya disubsidi buat nelayan miskin, akan memperlancar aktivitas mencari ikan. Kembali ke pertanyaan Iing,para pemimpin, wakil rakyat, media massa, guru, harusnya berlomba untuk menyadarkan mereka kembali. atau memang sengaja membiarkan utk menarik wisatawan?? salam, verri Info: EKSPLORASI audio visual Tumbilotohe akan dilaksanakan mahasiswa jurusan Sendratasik UNG, Senin, 6 September 2010, pukul 18.30 Wita di halaman jurusan sendratasik.. --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, Rahman Dako rahman_d...@... wrote: Pak Verry, Syam, dan teman-teman, Saya sepakat dengan pendapat Syam bahwa telah ada pembelokan makna dan esensi dari Tumbilotohe itu sendiri. Telah ada 'hura-hura' berkedok religi dalam tradisi pasang lampu saat ini dan ini yang sering digunakan oleh pasar untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, sebagaimana kita berbelanja untuk Lebaran, Natal/Tahun Baru, dll. Transaksi ekonomi in malah lebih menguntungkan pemerintah (perusahaan negara) karena jual beli minyak tanah dan listrik dipegang oleh mereka. Coba hitung berapa pemakaian energi minyak tanah dan listrik kali ini. Sedikit sekali keuntungan yang bisa didapat oleh rakyat kecil yang hanya sekedar menjual lampu botol Rp. 5,000 per 7 buah lampu botol, dll.  Peluang politik untuk pencitraan bagi para politisi sudah pasti.  Coba lihatlah dimana-mana, ada lapangan Maju Pak, ada tempat le Teruskan, Bekerja Nyata, dll. Ada nama-nama di tiap tempat/lapangan penyelenggara TT, ada lapangan li Pak Gusnar, Pak Rusli, Pak Adhan, dll. Ada olo Trans TV, he... he Dari sisi lingkungan, ini memang sangat boros dan tidak berkelanjutan. Asap karbon hasil pembakaran minyak tanah, listrik dan energi yang dibuang percuma masih bisa digunakan berbulan2 kedepan. Tahun 1998, saya pernah buat lomba Tumbilotohe Tradisional, dimana lampu yang digunakan adalah lampu2 asli yang dipake oleh orang2 tua kita dulu. Ada Tohe Tutu (getah damar), lampu popaya berminyak kelapa, dan hiasan2nya kental dengan alam: ada bambu kuning, patodu, pisang, tabongo, dll. Sayang sekali, saya hanya bisa mempengaruhi kurang lebih 6 desa di Kecamatan Batudaa waktu itu (sekarang sdh menjadi Kecamatan Bongomeme). Mereka juga antusias waktu itu, karena bahannya banyak tersedia dan sangat murah (dibandingkan dengan sulitnya mencari minyak tanah saat ini). Sayang sekali pemerintah daerah tidak banyak mensupport waktu itu. Saya juga sempat membuat Film Dokumenter tentang Tumbilotohe Tradisional ini bekerjasama dengan TVRI, karena waktu itu blum ada te Izam, te Onal, te Syam Pana, dan teman-teman TV swasta lainnya. Oh iya, waktu itu saya didukung oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI Jakarta). Saya pikir, ini akan sangat tergantung pada kemauan politik dari Gubernur, Bupati dan Walikota. Kalau mereka mau menghimbau masyarakat untuk kembali ke 'keaslian' tumbilotohe dan mereka mendukung lomba seperti ini, masyarakat pasti akan terangsang dan mereka mau. Salam, Rahman 'AGA' Dako --- On Sun, 9/5/10, Syam Sdp syam...@... wrote: From: Syam Sdp syam...@... Subject: Bls: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap âLailatul Qadarâ To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Sunday, September 5, 2010, 8:08 AM  ada yang menggelitik: Saat bang verri menulis artikel ini, saya masihlah anak EsDe, sebagai bocah ketika itu, Tumbilotohe pada tiga hari jelang lebaran meninggalkan kesan mendalam bagi saya: jalan beramai-ramai keliling kampung sambil memegang obor, berselendang sarung, ditambah keisengan mencari belea (sarang burung) di pepohonan. lalu gema bunggo, petasan (zaman saya lebih banyak pakai busi), seru pokoknya hampir setiap rumah ketika itu, memasang arkus dengan poluhungo. indah, syahdu, bahkan mungkin lebih terasa religius,- setidaknya untuk ukuran bocah yang belum lama menghirup dunia. menariknya lagi, artikel dari masa lalu ini, menggambarkan bagaimana peristiwa hura-hura di sekitar perayaan Tumbilotohe: ingar musik, lampu kelap-kelip, dan situasi ini tidak jauh berbeda dengan perayaan tumbilotohe tahun ini. materi dan cara kita merayakan, sekaligus memperlakukan Tumbilotohe, tetap saja jalan di tempat, tidak ada lagi pasal kualitas nilai yang terkandung di dalamnya , tapi kuantitas,
[GM2020] Memasang Lampu Menangkap Lailatul Qadar
Harian Republika, Sabtu 3 April 1993 Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar' Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam tumbilo tohe atau pasang lampu. Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut tohe tutu ini mampu bertahan beberapa jam. Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa, tandas Usman yang juga Lurah di Limba ini. Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan bahan bakar minyak kelapa bercampur air. Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo, katanya. Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Amay dan Putri Palasa Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa (Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya. Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu atau gapura adat. Alikusu mempunyai dua bentuk satu atau dua tingkatyang menandakan strata sosial seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. Sedangkan yang satu susun untuk rakyat. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu penerang jalan. Hura-hura Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. Sementara di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di Gorontalo. Misalnya, di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang. Di Gorontalo yang dikenal dengan kerajinan kerawang aktivitas malam tumbilo tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus bermunculan dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai ratusan per rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa. Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di alikusu. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, sekarang ini variasi malam pasang lampu bertambah lagi dengan pembuatan jembatan penyeberangan yang dihiasi dengan warna-warni lampu listrik. Sangat sulit menemukan bahan penerangan seperti yang dilakukan orang-orang tua dulu, tandas Usman. Kecuali, katanya, di desa-desa yang belum dialiri listrik, kalau di Kotamadya Gorontalo model semacam itu jarang sekali ditemukan. Dan pada bulan Ramadhan tahun ini, sejak Sabtu malam (20/3) sampai malam takbiran, berbagai variasi lampu dapat ditemui. Dari sekian banyak kelurahan yang ada di Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, tampak keunggulan atau memberikan ciri khas tersendiri. Di Kelurahan Heledulaa, misalnya, ada sepeda yang
Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’
Trima kasih pak very atas informsi yang sangat menarik dan jujur banyak hal yg saya baru tahu dr tulisan pak very tersebut, sdh seharusnya tradisi budaya Tumbilatohe di kampanyekan kpd masyarakat luas gtlo mengenai gmn kondisi sejarah tumbilatohe sprti tulisan pak VM agar ke depan bisa menemukan apa sebenarnya makna malam tumbilatohe di kaitkan dengan malam laitul Qadar, thks pak very Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: v_madjowa v_madj...@yahoo.com Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Sun, 05 Sep 2010 17:25:15 To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Subject: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’ Harian Republika, Sabtu 3 April 1993 Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar' Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam tumbilo tohe atau pasang lampu. Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut tohe tutu ini mampu bertahan beberapa jam. Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa, tandas Usman yang juga Lurah di Limba ini. Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan bahan bakar minyak kelapa bercampur air. Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo, katanya. Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Amay dan Putri Palasa Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa (Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya. Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu atau gapura adat. Alikusu mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. Sedangkan yang satu susun untuk rakyat. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu penerang jalan. Hura-hura Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. Sementara di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di Gorontalo. Misalnya, di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang. Di Gorontalo – yang dikenal dengan kerajinan kerawang – aktivitas malam tumbilo tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus bermunculan dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai ratusan per rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa. Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di alikusu
Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’
Barangkali inilah saatnya PLN berhemat. Padamkan saja listrik dimalam tumbilotohe ganti dengan lampu2 alternative seperti lampu minyak dan lain2. Nuansanya bisa lebih terasa seperti jaman2 dulu. Dengan demikian bisa menambah kualitas kita dalam memaknai tradisi tumbilotohe. Dan juga bisa mengkampanyekan budaya hemat listrik. Sent from my BlackBerry® -Original Message- From: Icky Polapa icky...@yahoo.com Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Sun, 5 Sep 2010 17:56:26 To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Subject: Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’ Trima kasih pak very atas informsi yang sangat menarik dan jujur banyak hal yg saya baru tahu dr tulisan pak very tersebut, sdh seharusnya tradisi budaya Tumbilatohe di kampanyekan kpd masyarakat luas gtlo mengenai gmn kondisi sejarah tumbilatohe sprti tulisan pak VM agar ke depan bisa menemukan apa sebenarnya makna malam tumbilatohe di kaitkan dengan malam laitul Qadar, thks pak very Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: v_madjowa v_madj...@yahoo.com Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Sun, 05 Sep 2010 17:25:15 To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Subject: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’ Harian Republika, Sabtu 3 April 1993 Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar' Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam tumbilo tohe atau pasang lampu. Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut tohe tutu ini mampu bertahan beberapa jam. Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa, tandas Usman yang juga Lurah di Limba ini. Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan bahan bakar minyak kelapa bercampur air. Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo, katanya. Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Amay dan Putri Palasa Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa (Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya. Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu atau gapura adat. Alikusu mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. Sedangkan yang satu susun untuk rakyat. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu penerang jalan. Hura-hura Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam
Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'
Iing, ditunggu kedatanggannya di gorontalo. Syam, Icky dan Sofyan Uli, banyak yang perlu digali dan dikembalikan lagi ke makna tumbilo tohe. Rahman Dako (Aga) dkk, pernah mencoba di kampung untuk membuat lampu alternatif, seperti yang digunakan pada masa lalu. Mungkin Aga bisa cerita lagi bagaimana mengkampanyekan lampu alternatif tersebut. Dibawah ini terlampir tulisan lain tumbilo tohe (tahun 2001). Salam, verri === Koran Tempo, Sabtu 15 Desember 2001 Tumbilo Tohe, Menyambut Lailatul Qadar ala Gorontalo Bila akhir Ramadhan orang sibuk mudik, membuat kue dan keperluan Lebaran, penduduk Gorontalo mempunyai cara sendiri. Warga setempat sibuk menyiapkan lampu pada malam 27 Ramadhan. Inilah saat-saat yang dipercaya sebagai malam lailatul qadar. Tradisi yang disebut tumbilo tohe (pasang lampu) ini mulai berkembang sejak agama Islam dipeluk warga Gorontalo. Islam dikembangkan di Gorontalo oleh Sultan Amay sekitar abad 15. Pada 1589 semakin berkembang saat pemerintahan dipegang Raja Tilahunga. Jazirah Gorontalo terbentuk sekitar 400 tahun lalu, dan termasuk empat kota tua di Sulawesi (Makassar, Pare-pare, Gorontalo dan Manado). Kota-kota inilah yang menjadi poros penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Ternate dan Bone. Posisi Kota Gorontalo yang diapit Sulawesi Utara dan Tengah, serta laut yang menghadap Teluk Tomini di selatan dan Laut Sulawesi di utara memberi peluang ulama di sana untuk mengembangkan Islam kemana-mana. Dulunya, warga Gorontalo hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut linula, jumlahnya satu sampai sepuluh kepala keluarga. Kondisi demikian menyulitkan untuk melaksanakan ibadah tarawih bersama bagi warga yang hidup berkelompok dan kediamannya dikelilingi hutan belukar. Para pedagang rempah-rempah yang menyiarkan Islam kemudian memutar akal. Muncullah ide ini: membuat lampu di jalan setapak menuju tempat ibadah yang sudah ditentukan. Lalu tujuan pemberian lampu ini pun berkembang. Selain menyimbolkan sebagai penyambutan malam lailatul qadar, menerangi orang yang akan ibadah tarawih juga memberikan rasa aman mereka yang akan membayar zakat fitrah. Zakat fitrah bagi orang Gorontalo diberikan pada malam 27 Ramadhan. Kebanyakan ulama di Gorontalo waktu itu percaya pada 27 Ramadhan sebagai malam lailatul qadar, kata Ketua adat Hulontalo D.K. Usman. Lampu Ramadhan ini awalnya tidak menggunakan bahan bakar minyak tanah atau energi listrik. Orang Gorontalo menggunakan tohe tutu, bahan alam yang diambil dari pohon damar, tutur Usman. Tohe tutu ini baunya harum. Jika disulut akan menyala dan apinya tahan beberapa jam. Belakangan berkembang, bahan bakarnya menggunakan minyak kelapa kampung dicampur dengan air, wadahnya buah pepaya muda. Sementara warga pesisir memanfaatkan cangkang moluska sebagai wadah dengan dilubangi untuk tempat kapas. Bersamaan dengan perkembangan Islam dan adat, lampu-lampu yang dipasang diberi makna. Setiap 27 Ramadhan lampu-lampu disulut mulai bervariasi. Mulanya bentuk palang dengan lima lampu, lalu berkembang menjadi gapura. Tiang-tiangnya bahkan dihiasai bunga. Artsitik dan indah. Ketika orang Portugis, pedagangan Gujarat dan orang Ternate mengajarkan pola bangunan dan hiasan janur, bentuknya berkembang lagi. Bahan hasil kreasi ini lalu berkembang beraneka ragam. Ada yang disebut lampu janur, lampu lima dan 17, bentuk, bunga polohungo, bentuk modu atau bunga berwarna merah, patodu (tebu) dan lambi (pisang). Masing-masing bahan itu memiliki makna. Janur melambangkan kebesaran adat, polohungo sebagai hiasan yang disukai bidadari, dan patodu perlembang rezeki dan tumbuhan yang manis. Ada pun lambi perlembang rezeki dan makanan kemakmuran. Ada juga jumlah lampu yang terdiri dari 27 susunan dengan formasi 11-9-7. Sebelas lampu melambangkan rukun Islam dan rukun Iman, sembilan lampu melambangkan jumlah khalifah awal, dan tujuh lampu simbol kehidupan dari Ahad sampai Sabtu. Jumlah lampu di tiap rumah, biasanya, disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Ketika menyulut lampu di malam 27 Ramadhan, selalu disertai bacaan Surat At Qadr (Surat Kemuliaan). Tradisi pasang lampu ini sempat juga mengundang kritik. Sebab, tumbilo tohe dianggap pemborosan. Bayangkan, selama tiga malam warga menyiapkan lampu dengan bahan bakar minyak tanah, seperti sekarang ini, dengan jumlah mencapai ratusan ribu lampu. Turunnya Jibril bersama malaikat-malaikat lain dengan segala urusan di malam Lailatul Qadar tak memerlukan gelap atau terang, ujar seorang ulama di Gorontalo. Tapi, tentu saja tak mudah untuk mengubah tradisi. Alasannya sederhana, di situ ada kegembiraan, kebersamaan dan nilai-nilai lain yang tak bisa diukur dengan uang. verrianto madjowa --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, iing iing aja_klalen_...@... wrote: artikel dari om verry ini menarik sekali. bukti bahwa sekarang banyak orang gorontalo yg tidak tahu atau melupakan makna dari malam pasang lampu itu. para pemimpin, wakil rakyat, media
Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'
Bang VM,saya titip depe foto2 tumbilotohe w.. Thengs, pa2Bilal Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: v_madjowa v_madj...@yahoo.com Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Sun, 05 Sep 2010 19:19:50 To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Subject: Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar' Iing, ditunggu kedatanggannya di gorontalo. Syam, Icky dan Sofyan Uli, banyak yang perlu digali dan dikembalikan lagi ke makna tumbilo tohe. Rahman Dako (Aga) dkk, pernah mencoba di kampung untuk membuat lampu alternatif, seperti yang digunakan pada masa lalu. Mungkin Aga bisa cerita lagi bagaimana mengkampanyekan lampu alternatif tersebut. Dibawah ini terlampir tulisan lain tumbilo tohe (tahun 2001). Salam, verri === Koran Tempo, Sabtu 15 Desember 2001 Tumbilo Tohe, Menyambut Lailatul Qadar ala Gorontalo Bila akhir Ramadhan orang sibuk mudik, membuat kue dan keperluan Lebaran, penduduk Gorontalo mempunyai cara sendiri. Warga setempat sibuk menyiapkan lampu pada malam 27 Ramadhan. Inilah saat-saat yang dipercaya sebagai malam lailatul qadar. Tradisi yang disebut tumbilo tohe (pasang lampu) ini mulai berkembang sejak agama Islam dipeluk warga Gorontalo. Islam dikembangkan di Gorontalo oleh Sultan Amay sekitar abad 15. Pada 1589 semakin berkembang saat pemerintahan dipegang Raja Tilahunga. Jazirah Gorontalo terbentuk sekitar 400 tahun lalu, dan termasuk empat kota tua di Sulawesi (Makassar, Pare-pare, Gorontalo dan Manado). Kota-kota inilah yang menjadi poros penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Ternate dan Bone. Posisi Kota Gorontalo yang diapit Sulawesi Utara dan Tengah, serta laut yang menghadap Teluk Tomini di selatan dan Laut Sulawesi di utara memberi peluang ulama di sana untuk mengembangkan Islam kemana-mana. Dulunya, warga Gorontalo hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut linula, jumlahnya satu sampai sepuluh kepala keluarga. Kondisi demikian menyulitkan untuk melaksanakan ibadah tarawih bersama bagi warga yang hidup berkelompok dan kediamannya dikelilingi hutan belukar. Para pedagang rempah-rempah yang menyiarkan Islam kemudian memutar akal. Muncullah ide ini: membuat lampu di jalan setapak menuju tempat ibadah yang sudah ditentukan. Lalu tujuan pemberian lampu ini pun berkembang. Selain menyimbolkan sebagai penyambutan malam lailatul qadar, menerangi orang yang akan ibadah tarawih juga memberikan rasa aman mereka yang akan membayar zakat fitrah. Zakat fitrah bagi orang Gorontalo diberikan pada malam 27 Ramadhan. Kebanyakan ulama di Gorontalo waktu itu percaya pada 27 Ramadhan sebagai malam lailatul qadar, kata Ketua adat Hulontalo D.K. Usman. Lampu Ramadhan ini awalnya tidak menggunakan bahan bakar minyak tanah atau energi listrik. Orang Gorontalo menggunakan tohe tutu, bahan alam yang diambil dari pohon damar, tutur Usman. Tohe tutu ini baunya harum. Jika disulut akan menyala dan apinya tahan beberapa jam. Belakangan berkembang, bahan bakarnya menggunakan minyak kelapa kampung dicampur dengan air, wadahnya buah pepaya muda. Sementara warga pesisir memanfaatkan cangkang moluska sebagai wadah dengan dilubangi untuk tempat kapas. Bersamaan dengan perkembangan Islam dan adat, lampu-lampu yang dipasang diberi makna. Setiap 27 Ramadhan lampu-lampu disulut mulai bervariasi. Mulanya bentuk palang dengan lima lampu, lalu berkembang menjadi gapura. Tiang-tiangnya bahkan dihiasai bunga. Artsitik dan indah. Ketika orang Portugis, pedagangan Gujarat dan orang Ternate mengajarkan pola bangunan dan hiasan janur, bentuknya berkembang lagi. Bahan hasil kreasi ini lalu berkembang beraneka ragam. Ada yang disebut lampu janur, lampu lima dan 17, bentuk, bunga polohungo, bentuk modu atau bunga berwarna merah, patodu (tebu) dan lambi (pisang). Masing-masing bahan itu memiliki makna. Janur melambangkan kebesaran adat, polohungo sebagai hiasan yang disukai bidadari, dan patodu perlembang rezeki dan tumbuhan yang manis. Ada pun lambi perlembang rezeki dan makanan kemakmuran. Ada juga jumlah lampu yang terdiri dari 27 susunan dengan formasi 11-9-7. Sebelas lampu melambangkan rukun Islam dan rukun Iman, sembilan lampu melambangkan jumlah khalifah awal, dan tujuh lampu simbol kehidupan dari Ahad sampai Sabtu. Jumlah lampu di tiap rumah, biasanya, disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Ketika menyulut lampu di malam 27 Ramadhan, selalu disertai bacaan Surat At Qadr (Surat Kemuliaan). Tradisi pasang lampu ini sempat juga mengundang kritik. Sebab, tumbilo tohe dianggap pemborosan. Bayangkan, selama tiga malam warga menyiapkan lampu dengan bahan bakar minyak tanah, seperti sekarang ini, dengan jumlah mencapai ratusan ribu lampu. Turunnya Jibril bersama malaikat-malaikat lain dengan segala urusan di malam Lailatul Qadar tak memerlukan gelap atau terang, ujar seorang ulama di Gorontalo. Tapi, tentu saja tak