Re: Bls: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'

2010-09-06 Terurut Topik v_madjowa
Apa yang disampaikan pak Aga ini cukup kuat analisis dan pengalamannya. Pasar, 
dengan transaksi ekonomi yang tidak menguntungkan orang kebanyakan. Di sisi 
lain, untuk membuat penerang tradisional ternyata cukup mudah. bahan-bahannya 
masih tersedia dan murah.

Terdapat eksploitasi yang tidak disadari akibat pembelokan makna dan esensi 
dari tumbilotohe itu sendiri. Ada hura-hura berkedok religi. Separuh saja 
biaya yang dihabiskan untuk tumbilotohe diberikan untuk rakyat yang kurang 
mampu, mungkin ini bisa mengurangi beban mereka. Minyak tanah yang dipakai 
separuhnya disubsidi buat nelayan miskin, akan memperlancar aktivitas mencari 
ikan.

Kembali ke pertanyaan Iing,para pemimpin, wakil rakyat, media massa, guru, 
harusnya berlomba untuk menyadarkan mereka kembali. atau memang sengaja 
membiarkan utk menarik wisatawan?? 


salam,

verri

Info: EKSPLORASI audio visual Tumbilotohe akan dilaksanakan mahasiswa jurusan 
Sendratasik UNG, Senin, 6 September 2010, pukul 18.30 Wita di halaman jurusan 
sendratasik..



--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, Rahman Dako rahman_d...@... wrote:

 
 
 
 
 Pak Verry, Syam, dan
 teman-teman,
 
 
 
 Saya sepakat dengan pendapat Syam bahwa telah ada pembelokan makna dan esensi
 dari Tumbilotohe itu sendiri.  Telah ada 'hura-hura' berkedok religi dalam
 tradisi pasang lampu saat ini dan ini yang sering digunakan oleh pasar untuk
 meraup keuntungan sebesar-besarnya, sebagaimana kita berbelanja untuk Lebaran,
 Natal/Tahun Baru, dll.  Transaksi ekonomi in malah lebih menguntungkan 
 pemerintah
 (perusahaan negara) karena jual beli minyak tanah dan listrik dipegang oleh 
 mereka.  Coba hitung berapa
 pemakaian energi minyak tanah dan listrik kali ini.  Sedikit sekali
 keuntungan yang bisa didapat oleh rakyat kecil yang hanya sekedar menjual 
 lampu
 botol Rp. 5,000 per 7 buah lampu botol, dll.
 
  
 
 Peluang politik untuk pencitraan bagi para politisi sudah pasti.  
 Coba lihatlah dimana-mana, ada lapangan Maju Pak, ada tempat le Teruskan,
 Bekerja Nyata, dll.  Ada nama-nama di tiap tempat/lapangan penyelenggara
 TT, ada lapangan li Pak Gusnar, Pak Rusli, Pak Adhan, dll.  Ada olo Trans
 TV, he... he
 
 
 
 Dari sisi lingkungan, ini memang sangat boros dan tidak berkelanjutan.  Asap
 karbon hasil pembakaran minyak tanah, listrik dan energi yang dibuang
 percuma masih bisa digunakan berbulan2 kedepan.
 
 
 
 Tahun 1998, saya pernah buat lomba Tumbilotohe Tradisional, dimana lampu yang
 digunakan adalah lampu2 asli yang dipake oleh orang2 tua kita dulu. Ada Tohe
 Tutu (getah damar), lampu popaya berminyak kelapa, dan hiasan2nya kental 
 dengan
 alam: ada bambu kuning, patodu, pisang, tabongo, dll.  Sayang sekali, saya
 hanya bisa mempengaruhi kurang lebih 6 desa di Kecamatan Batudaa waktu itu
 (sekarang sdh menjadi Kecamatan Bongomeme).  Mereka juga antusias waktu
 itu, karena bahannya banyak tersedia dan sangat murah (dibandingkan dengan
 sulitnya mencari minyak tanah saat ini).  Sayang sekali pemerintah daerah 
 tidak
 banyak mensupport waktu itu.  Saya juga sempat membuat Film Dokumenter
 tentang Tumbilotohe Tradisional ini bekerjasama dengan TVRI, karena waktu itu
 blum ada te Izam, te Onal, te Syam Pana, dan teman-teman TV swasta
 lainnya.  Oh iya, waktu itu saya didukung oleh Yayasan Keanekaragaman
 Hayati (KEHATI Jakarta).
 
 
 
 Saya pikir, ini akan sangat tergantung pada kemauan politik dari Gubernur,
 Bupati dan Walikota.  Kalau mereka mau menghimbau masyarakat untuk kembali
 ke 'keaslian' tumbilotohe dan mereka mendukung lomba seperti ini, masyarakat
 pasti akan terangsang dan mereka mau.
 
 
 
 Salam,
 
 Rahman 'AGA' Dako
 
 
 
 --- On Sun, 9/5/10, Syam Sdp syam...@... wrote:
 
 From: Syam Sdp syam...@...
 Subject: Bls: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’
 To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
 Date: Sunday, September 5, 2010, 8:08 AM
 
 
 
 
 
 
 
  
 
 
 
   
 
 
 
   
   
   
 ada yang menggelitik:
 
 Saat bang verri menulis artikel ini, saya masihlah anak EsDe, sebagai bocah 
 ketika itu, Tumbilotohe pada tiga hari jelang lebaran meninggalkan kesan 
 mendalam bagi saya: jalan beramai-ramai keliling kampung sambil memegang 
 obor, berselendang sarung, ditambah keisengan mencari belea (sarang burung) 
 di pepohonan. lalu gema bunggo, petasan (zaman saya lebih banyak pakai busi), 
 seru pokoknya 
 
 hampir setiap rumah ketika itu, memasang arkus dengan poluhungo. indah, 
 syahdu, bahkan mungkin lebih terasa religius,- setidaknya untuk ukuran bocah 
 yang belum lama menghirup dunia. 
 
 menariknya lagi, artikel dari masa lalu ini,  menggambarkan bagaimana  
 peristiwa hura-hura di sekitar perayaan Tumbilotohe: ingar musik, lampu 
 kelap-kelip, dan situasi ini tidak jauh berbeda dengan perayaan tumbilotohe 
 tahun ini. materi dan
  cara kita merayakan, sekaligus memperlakukan Tumbilotohe, tetap saja jalan 
 di tempat, tidak ada lagi pasal  kualitas nilai yang terkandung di dalamnya 
 , tapi kuantitas, 

[GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

2010-09-05 Terurut Topik v_madjowa
Harian Republika, Sabtu 3 April 1993


Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar'

Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya 
Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung 
ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo 
sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, 
masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam tumbilo tohe atau 
pasang lampu.

Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu 
di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, 
lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut tohe 
tutu ini mampu bertahan beberapa jam.

Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari 
buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). 
Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa, tandas Usman yang juga 
Lurah di Limba ini. 

Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat 
penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan 
bahan bakar minyak kelapa bercampur air.

Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo 
tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 
27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo, katanya. 

Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak 
hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu 
melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun 
Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi 
warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari 
berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan 
kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai 
dengan jumlah anggota keluarga.

Amay dan Putri Palasa

Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi 
raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa 
(Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja 
Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus 
masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. 
Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya.

Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu atau gapura adat. Alikusu 
mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial 
seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi 
lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat 
biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. 
Sedangkan yang satu susun untuk rakyat.

Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya 
merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat 
fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, 
rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. 
Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu 
penerang jalan.

Hura-hura

Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang 
Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di 
Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam 
pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. Sementara 
di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di Gorontalo. Misalnya, 
di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang.

Di Gorontalo – yang dikenal dengan kerajinan kerawang – aktivitas malam tumbilo 
tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus bermunculan 
dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai ratusan per 
rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa.

Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, 
tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di 
alikusu. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, sekarang ini variasi malam 
pasang lampu bertambah lagi dengan pembuatan jembatan penyeberangan yang 
dihiasi dengan warna-warni lampu listrik.

Sangat sulit menemukan bahan penerangan seperti yang dilakukan orang-orang tua 
dulu, tandas Usman. Kecuali, katanya, di desa-desa yang belum dialiri listrik, 
kalau di Kotamadya Gorontalo model semacam itu jarang sekali ditemukan.

Dan pada bulan Ramadhan tahun ini, sejak Sabtu malam (20/3) sampai malam 
takbiran, berbagai variasi lampu dapat ditemui. Dari sekian banyak kelurahan 
yang ada di Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, tampak keunggulan atau 
memberikan ciri khas tersendiri. Di Kelurahan Heledulaa, misalnya, ada sepeda 
yang 

Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

2010-09-05 Terurut Topik Icky Polapa
Trima kasih pak very atas informsi yang sangat menarik dan jujur banyak hal yg 
saya baru tahu dr tulisan pak very tersebut, sdh seharusnya tradisi budaya 
Tumbilatohe di kampanyekan kpd masyarakat luas gtlo mengenai gmn kondisi 
sejarah tumbilatohe sprti tulisan pak VM agar ke depan bisa menemukan apa 
sebenarnya makna malam tumbilatohe di kaitkan dengan malam laitul Qadar, thks 
pak very 
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: v_madjowa v_madj...@yahoo.com
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sun, 05 Sep 2010 17:25:15 
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

Harian Republika, Sabtu 3 April 1993


Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar'

Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya 
Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung 
ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo 
sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, 
masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam tumbilo tohe atau 
pasang lampu.

Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu 
di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, 
lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut tohe 
tutu ini mampu bertahan beberapa jam.

Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari 
buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). 
Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa, tandas Usman yang juga 
Lurah di Limba ini. 

Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat 
penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan 
bahan bakar minyak kelapa bercampur air.

Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo 
tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 
27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo, katanya. 

Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak 
hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu 
melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun 
Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi 
warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari 
berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan 
kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai 
dengan jumlah anggota keluarga.

Amay dan Putri Palasa

Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi 
raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa 
(Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja 
Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus 
masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. 
Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya.

Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu atau gapura adat. Alikusu 
mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial 
seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi 
lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat 
biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. 
Sedangkan yang satu susun untuk rakyat.

Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya 
merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat 
fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, 
rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. 
Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu 
penerang jalan.

Hura-hura

Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang 
Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di 
Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam 
pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. Sementara 
di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di Gorontalo. Misalnya, 
di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang.

Di Gorontalo – yang dikenal dengan kerajinan kerawang – aktivitas malam tumbilo 
tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus bermunculan 
dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai ratusan per 
rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa.

Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, 
tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di 
alikusu

Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

2010-09-05 Terurut Topik Sofyan Uli
Barangkali inilah saatnya PLN berhemat. Padamkan saja listrik dimalam 
tumbilotohe ganti dengan lampu2 alternative seperti lampu minyak dan lain2.
Nuansanya bisa lebih terasa seperti jaman2 dulu. Dengan demikian bisa menambah 
kualitas kita dalam memaknai tradisi tumbilotohe. Dan juga bisa mengkampanyekan 
budaya hemat listrik.

Sent from my BlackBerry®

-Original Message-
From: Icky Polapa icky...@yahoo.com
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sun, 5 Sep 2010 17:56:26 
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

Trima kasih pak very atas informsi yang sangat menarik dan jujur banyak hal yg 
saya baru tahu dr tulisan pak very tersebut, sdh seharusnya tradisi budaya 
Tumbilatohe di kampanyekan kpd masyarakat luas gtlo mengenai gmn kondisi 
sejarah tumbilatohe sprti tulisan pak VM agar ke depan bisa menemukan apa 
sebenarnya makna malam tumbilatohe di kaitkan dengan malam laitul Qadar, thks 
pak very 
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: v_madjowa v_madj...@yahoo.com
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sun, 05 Sep 2010 17:25:15 
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

Harian Republika, Sabtu 3 April 1993


Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar'

Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya 
Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung 
ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo 
sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, 
masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam tumbilo tohe atau 
pasang lampu.

Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu 
di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, 
lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut tohe 
tutu ini mampu bertahan beberapa jam.

Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari 
buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). 
Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa, tandas Usman yang juga 
Lurah di Limba ini. 

Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat 
penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan 
bahan bakar minyak kelapa bercampur air.

Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo 
tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 
27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo, katanya. 

Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak 
hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu 
melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun 
Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi 
warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari 
berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan 
kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai 
dengan jumlah anggota keluarga.

Amay dan Putri Palasa

Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi 
raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa 
(Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja 
Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus 
masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. 
Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya.

Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu atau gapura adat. Alikusu 
mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial 
seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi 
lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat 
biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. 
Sedangkan yang satu susun untuk rakyat.

Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya 
merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat 
fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, 
rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. 
Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu 
penerang jalan.

Hura-hura

Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang 
Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di 
Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam 
pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam

Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'

2010-09-05 Terurut Topik v_madjowa
Iing, ditunggu kedatanggannya di gorontalo.

Syam, Icky dan Sofyan Uli, banyak yang perlu digali dan dikembalikan lagi ke 
makna tumbilo tohe. Rahman Dako (Aga) dkk, pernah mencoba di kampung untuk 
membuat lampu alternatif, seperti yang digunakan pada masa lalu. Mungkin Aga 
bisa cerita lagi bagaimana mengkampanyekan lampu alternatif tersebut.

Dibawah ini terlampir tulisan lain tumbilo tohe (tahun 2001).

Salam,

verri

===

Koran Tempo, Sabtu 15 Desember 2001

Tumbilo Tohe, Menyambut Lailatul Qadar ala Gorontalo 


Bila akhir Ramadhan orang sibuk mudik, membuat kue dan keperluan Lebaran, 
penduduk Gorontalo mempunyai cara sendiri. Warga setempat sibuk menyiapkan 
lampu pada malam 27 Ramadhan. Inilah saat-saat yang dipercaya sebagai malam 
lailatul qadar. Tradisi yang disebut tumbilo tohe (pasang lampu) ini mulai 
berkembang sejak agama Islam dipeluk warga Gorontalo.

Islam dikembangkan di Gorontalo oleh Sultan Amay sekitar abad 15. Pada 1589 
semakin berkembang saat pemerintahan dipegang Raja Tilahunga.

Jazirah Gorontalo terbentuk sekitar 400 tahun lalu, dan termasuk empat kota tua 
di Sulawesi (Makassar, Pare-pare, Gorontalo dan Manado). Kota-kota inilah yang 
menjadi poros penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Ternate dan 
Bone. Posisi Kota Gorontalo yang diapit Sulawesi Utara dan Tengah, serta laut 
yang menghadap Teluk Tomini di selatan dan Laut Sulawesi di utara memberi 
peluang ulama di sana untuk mengembangkan Islam kemana-mana.

Dulunya, warga Gorontalo hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut linula, 
jumlahnya satu sampai sepuluh kepala keluarga. Kondisi demikian menyulitkan 
untuk melaksanakan ibadah tarawih bersama bagi warga yang hidup berkelompok dan 
kediamannya dikelilingi hutan belukar.

Para pedagang rempah-rempah yang menyiarkan Islam kemudian memutar akal. 
Muncullah ide ini: membuat lampu di jalan setapak menuju tempat ibadah yang 
sudah ditentukan. Lalu tujuan pemberian lampu ini pun berkembang. Selain 
menyimbolkan sebagai penyambutan malam lailatul qadar, menerangi orang yang 
akan ibadah tarawih juga memberikan rasa aman mereka yang akan membayar zakat 
fitrah. Zakat fitrah bagi orang Gorontalo diberikan pada malam 27 Ramadhan. 
Kebanyakan ulama di Gorontalo waktu itu percaya pada 27 Ramadhan sebagai malam 
lailatul qadar, kata Ketua adat Hulontalo D.K. Usman.

Lampu Ramadhan ini awalnya tidak menggunakan bahan bakar minyak tanah atau 
energi listrik. Orang Gorontalo menggunakan tohe tutu, bahan alam yang diambil 
dari pohon damar, tutur Usman. Tohe tutu ini baunya harum. Jika disulut akan 
menyala dan apinya tahan beberapa jam.

Belakangan berkembang, bahan bakarnya menggunakan minyak kelapa kampung 
dicampur dengan air, wadahnya buah pepaya muda. Sementara warga pesisir 
memanfaatkan cangkang moluska sebagai wadah dengan dilubangi untuk tempat kapas.

Bersamaan dengan perkembangan Islam dan adat, lampu-lampu yang dipasang diberi 
makna. Setiap 27 Ramadhan lampu-lampu disulut mulai bervariasi. Mulanya bentuk 
palang dengan lima lampu, lalu berkembang menjadi gapura. Tiang-tiangnya bahkan 
dihiasai bunga. Artsitik dan indah. Ketika orang Portugis, pedagangan Gujarat 
dan orang Ternate mengajarkan pola bangunan dan hiasan janur, bentuknya 
berkembang lagi.

Bahan hasil kreasi ini lalu berkembang beraneka ragam. Ada yang disebut lampu 
janur, lampu lima dan 17, bentuk, bunga polohungo, bentuk modu atau bunga 
berwarna merah, patodu (tebu) dan lambi (pisang).

Masing-masing bahan itu memiliki makna. Janur melambangkan kebesaran adat, 
polohungo sebagai hiasan yang disukai bidadari, dan patodu perlembang rezeki 
dan tumbuhan yang manis. Ada pun lambi perlembang rezeki dan makanan kemakmuran.

Ada juga jumlah lampu yang terdiri dari 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 
Sebelas lampu melambangkan rukun Islam dan rukun Iman, sembilan lampu 
melambangkan jumlah khalifah awal, dan tujuh lampu simbol kehidupan dari Ahad 
sampai Sabtu. Jumlah lampu di tiap rumah, biasanya, disesuaikan dengan jumlah 
anggota keluarga. Ketika menyulut lampu di malam 27 Ramadhan, selalu disertai 
bacaan Surat At Qadr (Surat Kemuliaan).

Tradisi pasang lampu ini sempat juga mengundang kritik. Sebab, tumbilo tohe 
dianggap pemborosan. Bayangkan, selama tiga malam warga menyiapkan lampu dengan 
bahan bakar minyak tanah, seperti sekarang ini, dengan jumlah mencapai ratusan 
ribu lampu. Turunnya Jibril bersama malaikat-malaikat lain dengan segala 
urusan di malam Lailatul Qadar tak memerlukan gelap atau terang, ujar seorang 
ulama di Gorontalo.

Tapi, tentu saja tak mudah untuk mengubah tradisi. Alasannya sederhana, di situ 
ada kegembiraan, kebersamaan dan nilai-nilai lain yang tak bisa diukur dengan 
uang. verrianto madjowa



--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, iing iing aja_klalen_...@... wrote:

 artikel dari om verry ini menarik sekali. bukti bahwa sekarang banyak orang 
 gorontalo yg tidak tahu atau melupakan makna dari malam pasang lampu itu. 
 para pemimpin, wakil rakyat, media 

Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'

2010-09-05 Terurut Topik halalutu
Bang VM,saya titip depe foto2 tumbilotohe w..

Thengs,
pa2Bilal
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: v_madjowa v_madj...@yahoo.com
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sun, 05 Sep 2010 19:19:50 
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap 'Lailatul Qadar'

Iing, ditunggu kedatanggannya di gorontalo.

Syam, Icky dan Sofyan Uli, banyak yang perlu digali dan dikembalikan lagi ke 
makna tumbilo tohe. Rahman Dako (Aga) dkk, pernah mencoba di kampung untuk 
membuat lampu alternatif, seperti yang digunakan pada masa lalu. Mungkin Aga 
bisa cerita lagi bagaimana mengkampanyekan lampu alternatif tersebut.

Dibawah ini terlampir tulisan lain tumbilo tohe (tahun 2001).

Salam,

verri

===

Koran Tempo, Sabtu 15 Desember 2001

Tumbilo Tohe, Menyambut Lailatul Qadar ala Gorontalo 


Bila akhir Ramadhan orang sibuk mudik, membuat kue dan keperluan Lebaran, 
penduduk Gorontalo mempunyai cara sendiri. Warga setempat sibuk menyiapkan 
lampu pada malam 27 Ramadhan. Inilah saat-saat yang dipercaya sebagai malam 
lailatul qadar. Tradisi yang disebut tumbilo tohe (pasang lampu) ini mulai 
berkembang sejak agama Islam dipeluk warga Gorontalo.

Islam dikembangkan di Gorontalo oleh Sultan Amay sekitar abad 15. Pada 1589 
semakin berkembang saat pemerintahan dipegang Raja Tilahunga.

Jazirah Gorontalo terbentuk sekitar 400 tahun lalu, dan termasuk empat kota tua 
di Sulawesi (Makassar, Pare-pare, Gorontalo dan Manado). Kota-kota inilah yang 
menjadi poros penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Ternate dan 
Bone. Posisi Kota Gorontalo yang diapit Sulawesi Utara dan Tengah, serta laut 
yang menghadap Teluk Tomini di selatan dan Laut Sulawesi di utara memberi 
peluang ulama di sana untuk mengembangkan Islam kemana-mana.

Dulunya, warga Gorontalo hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut linula, 
jumlahnya satu sampai sepuluh kepala keluarga. Kondisi demikian menyulitkan 
untuk melaksanakan ibadah tarawih bersama bagi warga yang hidup berkelompok dan 
kediamannya dikelilingi hutan belukar.

Para pedagang rempah-rempah yang menyiarkan Islam kemudian memutar akal. 
Muncullah ide ini: membuat lampu di jalan setapak menuju tempat ibadah yang 
sudah ditentukan. Lalu tujuan pemberian lampu ini pun berkembang. Selain 
menyimbolkan sebagai penyambutan malam lailatul qadar, menerangi orang yang 
akan ibadah tarawih juga memberikan rasa aman mereka yang akan membayar zakat 
fitrah. Zakat fitrah bagi orang Gorontalo diberikan pada malam 27 Ramadhan. 
Kebanyakan ulama di Gorontalo waktu itu percaya pada 27 Ramadhan sebagai malam 
lailatul qadar, kata Ketua adat Hulontalo D.K. Usman.

Lampu Ramadhan ini awalnya tidak menggunakan bahan bakar minyak tanah atau 
energi listrik. Orang Gorontalo menggunakan tohe tutu, bahan alam yang diambil 
dari pohon damar, tutur Usman. Tohe tutu ini baunya harum. Jika disulut akan 
menyala dan apinya tahan beberapa jam.

Belakangan berkembang, bahan bakarnya menggunakan minyak kelapa kampung 
dicampur dengan air, wadahnya buah pepaya muda. Sementara warga pesisir 
memanfaatkan cangkang moluska sebagai wadah dengan dilubangi untuk tempat kapas.

Bersamaan dengan perkembangan Islam dan adat, lampu-lampu yang dipasang diberi 
makna. Setiap 27 Ramadhan lampu-lampu disulut mulai bervariasi. Mulanya bentuk 
palang dengan lima lampu, lalu berkembang menjadi gapura. Tiang-tiangnya bahkan 
dihiasai bunga. Artsitik dan indah. Ketika orang Portugis, pedagangan Gujarat 
dan orang Ternate mengajarkan pola bangunan dan hiasan janur, bentuknya 
berkembang lagi.

Bahan hasil kreasi ini lalu berkembang beraneka ragam. Ada yang disebut lampu 
janur, lampu lima dan 17, bentuk, bunga polohungo, bentuk modu atau bunga 
berwarna merah, patodu (tebu) dan lambi (pisang).

Masing-masing bahan itu memiliki makna. Janur melambangkan kebesaran adat, 
polohungo sebagai hiasan yang disukai bidadari, dan patodu perlembang rezeki 
dan tumbuhan yang manis. Ada pun lambi perlembang rezeki dan makanan kemakmuran.

Ada juga jumlah lampu yang terdiri dari 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 
Sebelas lampu melambangkan rukun Islam dan rukun Iman, sembilan lampu 
melambangkan jumlah khalifah awal, dan tujuh lampu simbol kehidupan dari Ahad 
sampai Sabtu. Jumlah lampu di tiap rumah, biasanya, disesuaikan dengan jumlah 
anggota keluarga. Ketika menyulut lampu di malam 27 Ramadhan, selalu disertai 
bacaan Surat At Qadr (Surat Kemuliaan).

Tradisi pasang lampu ini sempat juga mengundang kritik. Sebab, tumbilo tohe 
dianggap pemborosan. Bayangkan, selama tiga malam warga menyiapkan lampu dengan 
bahan bakar minyak tanah, seperti sekarang ini, dengan jumlah mencapai ratusan 
ribu lampu. Turunnya Jibril bersama malaikat-malaikat lain dengan segala 
urusan di malam Lailatul Qadar tak memerlukan gelap atau terang, ujar seorang 
ulama di Gorontalo.

Tapi, tentu saja tak