Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film "little house of the prairie" jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak > orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah > (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian > persamaan atau via UT. > > jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan > > > > - Original Message > From: Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> > To: iagi-net@iagi.or.id > Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM > Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah > > Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering > kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang > tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii > kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do, > eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. > Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal > bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan > aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa > telor". > Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan > dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari > pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa > Ijazah !! > Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, > memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. > Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap > harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. > Learning (belajar) not just studying (sekolah) > > Salam > Rdp > > > On 3/26/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan > menurunkan > > perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca. > > Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri > > manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa > > untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan > > mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). > > Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, > > Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan > > karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang > > dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk > > kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam > kampus-kampus > > formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta > > (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ > > Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang > > disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, > > kemudian menjalar proses kapitalisasi di > > berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh > > proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah". > > > > Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch > > Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU > untuk > > "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa > > tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara > > mana pun, di dunia ini. > > > > Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya > > manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra > itu > > kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita > > "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita > > "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin > > baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan > (paling > > tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita > > masing-masing ini). Ayip Rosyidi adala
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa telor". Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan menurunkan > perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca. > Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri > manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa > untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan > mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). > Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, > Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan > karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang > dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk > kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus > formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta > (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ > Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang > disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, > kemudian menjalar proses kapitalisasi di > berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh > proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah". > > Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch > Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk > "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa > tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara > mana pun, di dunia ini. > > Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya > manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra itu > kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita > "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita > "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin > baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling > tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita > masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau dan > mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar > mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan "cara > iqra-nya" bang Ayip itu. > > spirit of Iqro... > Agus Hendratno > > > > yudi purnama <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh > masyarakat" > > > Bravo Ajip Rosidi. > Yudi > > > > > > > On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote: > > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, > bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi > ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana > bisa ? > > > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang > kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini > cerita tentang seseor
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa telor". Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan menurunkan > perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca. > Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri > manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa > untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan > mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). > Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, > Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan > karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang > dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk > kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus > formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta > (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ > Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang > disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, > kemudian menjalar proses kapitalisasi di > berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh > proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah". > > Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch > Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk > "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa > tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara > mana pun, di dunia ini. > > Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya > manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra itu > kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita > "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita > "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin > baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling > tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita > masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau dan > mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar > mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan "cara > iqra-nya" bang Ayip itu. > > spirit of Iqro... > Agus Hendratno > > > > yudi purnama <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh > masyarakat" > > > Bravo Ajip Rosidi. > Yudi > > > > > > > On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote: > > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, > bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi > ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana > bisa ? > > > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang > kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini > cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan > : no pain no gain ! > > > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya > bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan > buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, > berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat > mengetahui harganya, saya cukup kaget juga,
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah". Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau dan mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan "cara iqra-nya" bang Ayip itu. spirit of Iqro... Agus Hendratno yudi purnama <[EMAIL PROTECTED]> wrote: "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat" Bravo Ajip Rosidi. Yudi On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote: > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan > ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia > diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa > ? > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang > kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini > cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan > : no pain no gain ! > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya > bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan > buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, > berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui > harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) > dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp > 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini > mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini > harganya hanya Rp 95.000 ? > > Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan > Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya > adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 > halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis > senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang > Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan > penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman > saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai > 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 > halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh > terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari > seniman sampai birokrat,
Re: [iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Kalau buat jadi Presiden, perlu ijazah gak ya??? "Tonny P. Sastramihardja" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF (biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS, Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th, lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'. Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali ijazah formal menjadi 'kurang perlu'. Salam Abah ANOM -Original Message- From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah sekolah seperti halnya Kang Ayip. Salam, ndh - Original Message - From: "Awang Satyana" To: "IAGI" ; "Forum HAGI" Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, > bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi > ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. > Bagaimana bisa ? > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. > Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi > terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling > tidak menekankan : no pain no gain ! > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan > cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 > (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal > 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp > 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang > dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini > harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka > buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. > Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? > > Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan > Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya > adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal > 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan > penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca > orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar > menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi > maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong > manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama > sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 > orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca > Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari > ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia mem
[iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF (biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS, Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th, lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'. Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali ijazah formal menjadi 'kurang perlu'. Salam Abah ANOM -Original Message- From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah sekolah seperti halnya Kang Ayip. Salam, ndh - Original Message - From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]> To: "IAGI" ; "Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, > bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi > ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. > Bagaimana bisa ? > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. > Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi > terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling > tidak menekankan : no pain no gain ! > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan > cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 > (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal > 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp > 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang > dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini > harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka > buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. > Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? > > Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan > Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya > adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal > 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan > penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca > orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar > menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi > maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong > manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama > sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 > orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca > Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari > ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi > khusus dan terjadilah subsidi
Re: [iagi-net-l] daftar
Pak admin tolong juga masukin jadi anggota milis [EMAIL PROTECTED] beliau anggota iagi dari Total Terima kasih Salam, yudie eri sri hartanto <[EMAIL PROTECTED] m> To iagi-net@iagi.or.id 03/17/2008 12:01 cc PM Subject [iagi-net-l] daftar Please respond to <[EMAIL PROTECTED] .id> Mas Admin, Tolong daftarin jadi milist IAGI. Email saya [EMAIL PROTECTED] Wassalam This e-mail (including any attached documents) is intended only for the recipient(s) named above. It may contain confidential or legally privileged information and should not be copied or disclosed to, or otherwise used by, any other person. If you are not a named recipient, please contact the sender and delete the e-mail from your system. PIT IAGI KE-37 (BANDUNG) * acara utama: 27-28 Agustus 2008 * penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008 * pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008 * batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008 * abstrak / makalah dikirimkan ke: www.grdc.esdm.go.id/aplod username: iagi2008 password: masukdanaplod PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011: * pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008 * penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!! - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi - DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any information posted on IAGI mailing list. -
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah sekolah seperti halnya Kang Ayip. Salam, ndh - Original Message - From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]> To: "IAGI" ; "Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus ! Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang. Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya. Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyo
Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas Supar Cepat (??)
Pak Agus, Lho bikin task force bukan berarti bikin BPMIGAS perjuangan ini sebenarnya areanya Ditjend Migas kok, karena BPMIGAS itu adalah Badan Pengatur/Pengelola kontrak KPS Saya sih setuju, tapi kerangka bisnisnya harus jelas (misal via explorasi-nya Pertamina). kalau tidak nanti siapa yang akan ambil untung kalau berhasil dan siapa yang buntung kalau tidak ada hasil... - Original Message From: Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:43:17 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas Supar Cepat (??) Bicara task force...untuk masalah eksplorasi migas di indonesia, yaaayang jelas jangan membikin BPMIGAS Tandingan laah..., atau BPMIGAS-Perjuangan kalee. Ini sepertinya hanya masalah efisiensi birokrasi yang perlu dipangkas dan yang sudah baik supaya lebih dioptimalkanrak gitu... Agus Hendratno Deni Rahayu <[EMAIL PROTECTED]> wrote: :) saya pikir ini cara lain untuk masuk ke industri migas dengan macem2 alasan ; membantu negara anda, filantropis, identifikasi tsunami, penelitian dan lain-lain. Mengapa mereka mau masuk,krn Indonesia masih menarik untuk dibuat sabagai objek yang di "ekploitasi"h...banyak celah yg bisa dimainkan tidak sekedar urusan minyaknya+ada yang ikut numpang. Setuju Kang Minomengenai pembentukan Task Force... dNr --- Benyamin Sapiie wrote: > Teknologi super cepat baru... wah menarik sekali > kedengerannya ..tapi apa > ini? Sampai saat ini kita tahu bahwa minyak2 baru > ditemui kebanyakan > justru menggunakan teknologi dan data lama (Kecuali > deep water) tetapi > dengan mind (brainware) yang baru (orang gila > definisinya Pak > Koesoemadinata). > > Yang seharusnya kita lakukan adalah memanfaatkan > data yang ada dan > teknologi dalam negri yang kita punya seperti yang > ada di BPPT, LEMIGAS > dan Universitas2 dengan batuan mind local yang juga > banyak sekali yang > sangat cemerlang. Seharusnya pemerintah > (BPMIGAS/MIGAS/ESDM) membentuk > task force khusus yang terdiri dari scientist and > professional yang > tugasnya mengeksplorasi untuk negri ini untuk sumber > minyak baru. Tetapi > harus di support dengan dana dan keseriusan tanpa > birokrasi yang terlalu > kompleks...Sudah waktunya pemerintah memanfaatkan > potensi dalam negri dari > pada orang lain yang memanfaatkannya. Saya kira kita > sudah cukup kuat > dalam pengetahuan dan teknologi, hanya kendala > birokrasi dan kulturnya > yang terlalu kental seringkali memperlambat dan > menghambat untuk > mendapatkan hasil maksimal. > > Hayo..bapak2 sekalian let's do it for shake of our > country.. > > Salam, > > Ben Sapiie > > > > Berarti mereka siap sole-source (katanya negara gak > perlu keluar uang sama > sekali) segala ongkos eksplorasi termasuk drilling > and testing sumur. > > Berarti mereka harus jadi operator PSC (Kalau TAC > kan khusus yang sudah > produksi), berarti mesti punya satu E&P kumpeni, > berarti mesti ikut > tender/gazettal atau minimal mengajukan direct offer > ke BPMigas instead > of BPPT. > > > Hmmm.. > > Ridwan Djamaluddin > wrote: > Saya tahu sedikit tentang kisah ini, karena > perusahaan > dari Amrik itu datang ke BPPT dan menceritakan > kecanggihan > mereka. > > Secara umum, mereka mengatakan akan mengkombinasikan > teknologi remote sensing dan data seismik untuk > eksplorasi > sampai keluar minyak dan gas. Indonesia tak perlu > keluar > uang sama sekali, sampai minyak/gas keluar, kemudian > bagi > hasil. > > Sebagai BPPT tentunya kami ingin tahu teknologinya, > tapi > mereka sama sekali tak mau bercerita. Menurut > mereka, itu > rahasia, dan mereka tidak bermaksud menjual > teknologi; > tapi mau membantu mencari minyak/gas. Yang mereka > minta > adalah suatu lokasi untuk dikelola. > > Kami jelaskan bahwa BPPT tidak punya kewenangan > untuk > memberikan wilayah kerja, tapi mengkaji teknologi > yang > layak untuk diterapkan. Sampai disitu diskusi kami > berhenti > > R i d w a n > > > On Mon, 24 Mar 2008 11:22:36 +0700 > "untungm" wrote: > >Teknologi baru yang super cepat yang bagaimana ya? > >Mestinya sudah dipelajari oleh Bpk. Kepala BP Migas > >secara mendalam sebelum melaporkan kepada Wakil > Presiden. > >Semoga demikian. > >M. Untung > >- Original Message - From: "Hendri Harsian" > > > >To: > >Sent: Monday, March 24, 2008 8:06 AM > >Subject: RE: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari > Teknologi > >Eksplorasi Migas Supar Cepat (??) > > > > > >>Pak Noor, > >>Mungkin karena memang kita 'ngga suka' bekerja > keras, dan > >>lebih penting > >>melihat 'hasil' daripada 'proses'. > >>Salam > >>Hendri > >> > >>-Original Message- > >>From: noor syarifuddin > [mailto:[EMAIL PROTECTED] > >>Sent: 24 Maret 2008 8:03 > >>To: iagi-net@iagi.or.id > >>Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari > Teknologi > >>Eksplorasi Migas > >>Supar Cepat (??) > >> > >>budaya ingin short-cut kok gak pernah hilang ya > dari > >>bangsa ini.. > >> > >>- Ori
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
"Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat" Bravo Ajip Rosidi. Yudi On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan > ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia > diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa > ? > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang > kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini > cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan > : no pain no gain ! > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya > bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan > buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, > berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui > harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) > dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp > 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini > mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini > harganya hanya Rp 95.000 ? > > Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan > Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya > adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 > halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis > senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang > Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan > penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman > saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai > 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 > halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh > terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari > seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli > buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga > masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus ! > > Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa Ijazah : > Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan > budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, > ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit > saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip > sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para > tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri > dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini > mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 > puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, > dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal > kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari > puluhan tahun ke belakang. > > Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena Ajip tak > punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian > akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan > master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. > Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi > pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya. > > Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang > berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar > sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak > terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip > adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang > seperti dia. > > Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak > menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan > hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun > tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu > sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang > lalu. Tetapi, ia tidak perna
Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas Supar Cepat (??)
Bicara task force...untuk masalah eksplorasi migas di indonesia, yaaayang jelas jangan membikin BPMIGAS Tandingan laah..., atau BPMIGAS-Perjuangan kalee. Ini sepertinya hanya masalah efisiensi birokrasi yang perlu dipangkas dan yang sudah baik supaya lebih dioptimalkanrak gitu... Agus Hendratno Deni Rahayu <[EMAIL PROTECTED]> wrote: :) saya pikir ini cara lain untuk masuk ke industri migas dengan macem2 alasan ; membantu negara anda, filantropis, identifikasi tsunami, penelitian dan lain-lain. Mengapa mereka mau masuk,krn Indonesia masih menarik untuk dibuat sabagai objek yang di "ekploitasi"h...banyak celah yg bisa dimainkan tidak sekedar urusan minyaknya+ada yang ikut numpang. Setuju Kang Minomengenai pembentukan Task Force... dNr --- Benyamin Sapiie wrote: > Teknologi super cepat baru... wah menarik sekali > kedengerannya ..tapi apa > ini? Sampai saat ini kita tahu bahwa minyak2 baru > ditemui kebanyakan > justru menggunakan teknologi dan data lama (Kecuali > deep water) tetapi > dengan mind (brainware) yang baru (orang gila > definisinya Pak > Koesoemadinata). > > Yang seharusnya kita lakukan adalah memanfaatkan > data yang ada dan > teknologi dalam negri yang kita punya seperti yang > ada di BPPT, LEMIGAS > dan Universitas2 dengan batuan mind local yang juga > banyak sekali yang > sangat cemerlang. Seharusnya pemerintah > (BPMIGAS/MIGAS/ESDM) membentuk > task force khusus yang terdiri dari scientist and > professional yang > tugasnya mengeksplorasi untuk negri ini untuk sumber > minyak baru. Tetapi > harus di support dengan dana dan keseriusan tanpa > birokrasi yang terlalu > kompleks...Sudah waktunya pemerintah memanfaatkan > potensi dalam negri dari > pada orang lain yang memanfaatkannya. Saya kira kita > sudah cukup kuat > dalam pengetahuan dan teknologi, hanya kendala > birokrasi dan kulturnya > yang terlalu kental seringkali memperlambat dan > menghambat untuk > mendapatkan hasil maksimal. > > Hayo..bapak2 sekalian let's do it for shake of our > country.. > > Salam, > > Ben Sapiie > > > > Berarti mereka siap sole-source (katanya negara gak > perlu keluar uang sama > sekali) segala ongkos eksplorasi termasuk drilling > and testing sumur. > > Berarti mereka harus jadi operator PSC (Kalau TAC > kan khusus yang sudah > produksi), berarti mesti punya satu E&P kumpeni, > berarti mesti ikut > tender/gazettal atau minimal mengajukan direct offer > ke BPMigas instead > of BPPT. > > > Hmmm.. > > Ridwan Djamaluddin > wrote: > Saya tahu sedikit tentang kisah ini, karena > perusahaan > dari Amrik itu datang ke BPPT dan menceritakan > kecanggihan > mereka. > > Secara umum, mereka mengatakan akan mengkombinasikan > teknologi remote sensing dan data seismik untuk > eksplorasi > sampai keluar minyak dan gas. Indonesia tak perlu > keluar > uang sama sekali, sampai minyak/gas keluar, kemudian > bagi > hasil. > > Sebagai BPPT tentunya kami ingin tahu teknologinya, > tapi > mereka sama sekali tak mau bercerita. Menurut > mereka, itu > rahasia, dan mereka tidak bermaksud menjual > teknologi; > tapi mau membantu mencari minyak/gas. Yang mereka > minta > adalah suatu lokasi untuk dikelola. > > Kami jelaskan bahwa BPPT tidak punya kewenangan > untuk > memberikan wilayah kerja, tapi mengkaji teknologi > yang > layak untuk diterapkan. Sampai disitu diskusi kami > berhenti > > R i d w a n > > > On Mon, 24 Mar 2008 11:22:36 +0700 > "untungm" wrote: > >Teknologi baru yang super cepat yang bagaimana ya? > >Mestinya sudah dipelajari oleh Bpk. Kepala BP Migas > >secara mendalam sebelum melaporkan kepada Wakil > Presiden. > >Semoga demikian. > >M. Untung > >- Original Message - From: "Hendri Harsian" > > > >To: > >Sent: Monday, March 24, 2008 8:06 AM > >Subject: RE: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari > Teknologi > >Eksplorasi Migas Supar Cepat (??) > > > > > >>Pak Noor, > >>Mungkin karena memang kita 'ngga suka' bekerja > keras, dan > >>lebih penting > >>melihat 'hasil' daripada 'proses'. > >>Salam > >>Hendri > >> > >>-Original Message- > >>From: noor syarifuddin > [mailto:[EMAIL PROTECTED] > >>Sent: 24 Maret 2008 8:03 > >>To: iagi-net@iagi.or.id > >>Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari > Teknologi > >>Eksplorasi Migas > >>Supar Cepat (??) > >> > >>budaya ingin short-cut kok gak pernah hilang ya > dari > >>bangsa ini.. > >> > >>- Original Message > >>From: oki musakti > >>To: iagi-net@iagi.or.id > >>Sent: Thursday, March 20, 2008 7:47:43 AM > >>Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari > Teknologi > >>Eksplorasi Migas > >>Supar Cepat (??) > >> > >>Jangan-jangan IPDS .. > >> > >>Amir Al Amin wrote: Teknologi > >>apa gerangan? > >> > >>--- > >>Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas > Supar Cepat > >>Rabu, 19 Mar 2008 | 17:14 WIB > >> > >>TEMPO Interaktif, Jakarta: > >>PT.Pertamina dan Badan Pengatur Hulu Minyak dan > Gas (BP > >>Migas) tengah > >>mempelajari teknologi baru eksplorasi minyak dan > gas di > >>Indonesia. > >>