Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film "little
house of the prairie" jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
> orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
> (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
> persamaan atau via UT.
>
> jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan
>
>
>
> - Original Message 
> From: Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]>
> To: iagi-net@iagi.or.id
> Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
>
> Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
> kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
> tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
> kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do,
> eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
> Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
> bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
> aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa
> telor".
> Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
> dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
> pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
> Ijazah !!
> Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
> memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
> Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
> harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
> Learning (belajar) not just studying (sekolah)
>
> Salam
> Rdp
>
>
> On 3/26/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan
> menurunkan
> > perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca.
> >  Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
> > manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
> > untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan
> > mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
> > Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
> > Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
> > karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
> > dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
> > kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
> kampus-kampus
> > formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta
> > (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
> > Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
> > disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
> > kemudian menjalar proses kapitalisasi di
> >  berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh
> > proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah".
> >
> >  Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
> > Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU
> untuk
> > "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
> > tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
> > mana pun, di dunia ini.
> >
> >  Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
> > manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra
> itu
> > kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita
> > "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita
> > "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin
> > baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan
> (paling
> > tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
> > masing-masing ini). Ayip Rosyidi adala

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik noor syarifuddin
untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang 
tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan 
sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via 
UT.

jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



- Original Message 
From: Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do,
eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa
telor".
Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
Ijazah !!
Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
Learning (belajar) not just studying (sekolah)

Salam
Rdp


On 3/26/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan menurunkan
> perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca.
>  Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
> manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
> untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan
> mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
> Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
> Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
> karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
> dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
> kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus
> formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta
> (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
> Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
> disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
> kemudian menjalar proses kapitalisasi di
>  berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh
> proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah".
>
>  Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
> Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk
> "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
> tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
> mana pun, di dunia ini.
>
>  Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
> manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra itu
> kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita
> "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita
> "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin
> baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling
> tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
> masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau dan
> mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar
> mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan "cara
> iqra-nya" bang Ayip itu.
>
>  spirit of Iqro...
>  Agus Hendratno
>
>
>
> yudi purnama <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>  "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh
> masyarakat"
>
>
> Bravo Ajip Rosidi.
> Yudi
>
>
>
>
>
>
> On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
> > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,
> bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi
> ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana
> bisa ?
> >
> > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang
> kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini
> cerita tentang seseor

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do,
eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa
telor".
Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
Ijazah !!
Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
Learning (belajar) not just studying (sekolah)

Salam
Rdp


On 3/26/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan menurunkan
> perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca.
>   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
> manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
> untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan
> mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
> Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
> Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
> karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
> dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
> kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus
> formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta
> (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
> Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
> disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
> kemudian menjalar proses kapitalisasi di
>  berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh
> proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah".
>
>   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
> Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk
> "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
> tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
> mana pun, di dunia ini.
>
>   Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
> manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra itu
> kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita
> "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita
> "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin
> baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling
> tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
> masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau dan
> mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar
> mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan "cara
> iqra-nya" bang Ayip itu.
>
>   spirit of Iqro...
>   Agus Hendratno
>
>
>
> yudi purnama <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh
> masyarakat"
>
>
> Bravo Ajip Rosidi.
> Yudi
>
>
>
>
>
>
> On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
> > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,
> bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi
> ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana
> bisa ?
> >
> > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang
> kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini
> cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan
> : no pain no gain !
> >
> > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal
> bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya
> bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan
> buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman,
> berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat
> mengetahui harganya, saya cukup kaget juga,

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Hendratno Agus
Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan menurunkan 
perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA" Membaca. 
  Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri 
manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk 
memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca" bukan mencari 
"ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana 
Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh 
Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya 
monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut 
meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat 
manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun 
belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan 
semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya 
dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut "ijazah". Ketika terjadi 
revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di
 berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan oleh 
proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah".
   
  Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden 
kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk "membaca" 
hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi 
itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di 
dunia ini.
   
  Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia 
diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna Iqra itu kita 
praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita "bisa" 
membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita "membaca / 
iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita 
memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, 
kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). 
Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau dan mampu" membaca kehidupan 
bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi 
kepada khalayak yang relevan dengan "cara iqra-nya" bang Ayip itu.  
   
  spirit of Iqro...
  Agus Hendratno 
   
  

yudi purnama <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh 
masyarakat"


Bravo Ajip Rosidi.
Yudi






On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
> Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan 
> ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia 
> diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa 
> ?
>
> Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang 
> kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini 
> cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan 
> : no pain no gain !
>
> Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
> bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya 
> bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan 
> buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, 
> berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui 
> harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) 
> dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 
> 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini 
> mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini 
> harganya hanya Rp 95.000 ?
>
> Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan 
> Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya 
> adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 
> halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis 
> senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang 
> Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan 
> penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman 
> saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 
> 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 
> halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh 
> terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari 
> seniman sampai birokrat, 

Re: [iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik oki musakti
Kalau buat jadi Presiden, perlu ijazah gak ya???
  

"Tonny P. Sastramihardja" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr
SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka
berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih
belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum
pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir
sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). 
Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi
dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya
lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan
swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF
(biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS,
Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th,
lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol
III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'.
Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu
belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah
S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga
berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali
kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali
ijazah formal menjadi 'kurang perlu'.

Salam
Abah ANOM



-Original Message-
From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip
sangat 
dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi
maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai
sastrawan, 
dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya,
yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya
ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.

Salam,
ndh
- Original Message - 
From: "Awang Satyana" 
To: "IAGI" ; "Forum HAGI" 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


> Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,

> bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
tetapi 
> ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
> Bagaimana bisa ?
>
> Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
tidak 
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah
jauh 
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang
harus 
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
> Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
> terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya,
paling 
> tidak menekankan : no pain no gain !
>
> Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
setebal 
> bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan 
> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
> (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows,
tebal 
> 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
> 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku
yang 
> dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini

> harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
maka 
> buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?
>
> Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
"Ucapan 
> Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
seharusnya 
> adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal

> 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan
dan 
> penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk
dibaca 
> orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan
Anwar 
> menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
> maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
> manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya
sama 
> sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100

> orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
> Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat,
dari 
> ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia mem

[iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Tonny P. Sastramihardja
He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr
SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka
berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih
belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum
pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir
sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). 
Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi
dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya
lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan
swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF
(biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS,
Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th,
lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol
III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'.
Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu
belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah
S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga
berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali
kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali
ijazah formal menjadi 'kurang perlu'.

Salam
Abah ANOM



-Original Message-
From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip
sangat 
dekat, karena   rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi
maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai
sastrawan, 
dia  memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya,
yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya
ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.

Salam,
ndh
- Original Message - 
From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "IAGI" ; "Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


> Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,

> bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
tetapi 
> ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
> Bagaimana bisa ?
>
>  Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
tidak 
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah
jauh 
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang
harus 
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
> Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
> terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya,
paling 
> tidak menekankan : no pain no gain !
>
>  Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
setebal 
> bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan 
> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
> (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows,
tebal 
> 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
> 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku
yang 
> dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini

> harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
maka 
> buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?
>
>  Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
"Ucapan 
> Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
seharusnya 
> adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal

> 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan
dan 
> penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk
dibaca 
> orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan
Anwar 
> menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
> maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
> manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya
sama 
> sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100

> orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
> Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat,
dari 
> ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga
edisi 
> khusus dan terjadilah subsidi 

Re: [iagi-net-l] daftar

2008-03-25 Terurut Topik Yudie . ISKANDAR
Pak admin tolong juga masukin jadi anggota milis
[EMAIL PROTECTED]
beliau anggota iagi dari Total
Terima kasih

Salam,

yudie


   
 eri sri hartanto  
 <[EMAIL PROTECTED] 
 m> To 
   iagi-net@iagi.or.id 
 03/17/2008 12:01   cc 
 PM
   Subject 
   [iagi-net-l] daftar 
 Please respond to 
 <[EMAIL PROTECTED] 
   .id>
   
   
   




Mas Admin,

Tolong daftarin jadi milist IAGI.
Email saya [EMAIL PROTECTED]

Wassalam



This e-mail (including any attached documents) is intended only for the
recipient(s) named above.  It may contain  confidential or legally
privileged information and should not be copied or disclosed to, or
otherwise used by, any  other person. If you are not a named recipient,
please contact the sender and delete the e-mail from your system.


PIT IAGI KE-37 (BANDUNG)
* acara utama: 27-28 Agustus 2008
* penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008
* pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008
* batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008
* abstrak / makalah dikirimkan ke:
www.grdc.esdm.go.id/aplod
username: iagi2008
password: masukdanaplod


PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011:
* pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008
* penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung
AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!

-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
-
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
-



Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Nana Djumhana
Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat 
dekat, karena   rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, 
dia  memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.


Salam,
ndh
- Original Message - 
From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>

To: "IAGI" ; "Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, 
bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi 
ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
Bagaimana bisa ?


 Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling 
tidak menekankan : no pain no gain !


 Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan 
cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
(bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 
1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang 
dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini 
harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka 
buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?


 Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan 
Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya 
adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 
1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan 
penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca 
orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar 
menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama 
sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 
orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari 
ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi 
khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga

masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !

 Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa Ijazah : 
Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan 
dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, 
ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit 
saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh 
Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan 
oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya 
ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). 
Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan 
cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, 
remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). 
Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa 
menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.


 Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena Ajip 
tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum 
ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, 
tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku 
otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu 
semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor 
pada umumnya.


 Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang 
berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyo

Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas Supar Cepat (??)

2008-03-25 Terurut Topik noor syarifuddin
Pak Agus,

Lho bikin task force bukan berarti bikin BPMIGAS perjuangan ini sebenarnya 
areanya Ditjend Migas kok, karena BPMIGAS itu adalah Badan Pengatur/Pengelola 
kontrak KPS
Saya sih setuju, tapi kerangka bisnisnya harus jelas (misal via explorasi-nya 
Pertamina). kalau tidak nanti siapa yang akan ambil untung kalau berhasil 
dan siapa yang buntung kalau tidak ada hasil...


- Original Message 
From: Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:43:17 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas Supar 
Cepat (??)

Bicara task force...untuk masalah eksplorasi migas di indonesia, yaaayang 
jelas jangan membikin BPMIGAS Tandingan laah..., atau BPMIGAS-Perjuangan kalee. 
Ini sepertinya hanya masalah efisiensi birokrasi yang perlu dipangkas dan yang 
sudah baik supaya lebih dioptimalkanrak gitu... 
  
  Agus Hendratno

Deni Rahayu <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  :) saya pikir ini cara lain untuk masuk ke industri
migas dengan macem2 alasan ; membantu negara anda,
filantropis, identifikasi tsunami, penelitian dan
lain-lain. Mengapa mereka mau masuk,krn Indonesia
masih menarik untuk dibuat sabagai objek yang di
"ekploitasi"h...banyak celah yg bisa dimainkan
tidak sekedar urusan minyaknya+ada yang ikut numpang.
Setuju Kang Minomengenai pembentukan Task Force...

dNr

--- Benyamin Sapiie 
wrote:

> Teknologi super cepat baru... wah menarik sekali
> kedengerannya ..tapi apa
> ini? Sampai saat ini kita tahu bahwa minyak2 baru
> ditemui kebanyakan
> justru menggunakan teknologi dan data lama (Kecuali
> deep water) tetapi
> dengan mind (brainware) yang baru (orang gila
> definisinya Pak
> Koesoemadinata).
> 
> Yang seharusnya kita lakukan adalah memanfaatkan
> data yang ada dan
> teknologi dalam negri yang kita punya seperti yang
> ada di BPPT, LEMIGAS
> dan Universitas2 dengan batuan mind local yang juga
> banyak sekali yang
> sangat cemerlang. Seharusnya pemerintah
> (BPMIGAS/MIGAS/ESDM) membentuk
> task force khusus yang terdiri dari scientist and
> professional yang
> tugasnya mengeksplorasi untuk negri ini untuk sumber
> minyak baru. Tetapi
> harus di support dengan dana dan keseriusan tanpa
> birokrasi yang terlalu
> kompleks...Sudah waktunya pemerintah memanfaatkan
> potensi dalam negri dari
> pada orang lain yang memanfaatkannya. Saya kira kita
> sudah cukup kuat
> dalam pengetahuan dan teknologi, hanya kendala
> birokrasi dan kulturnya
> yang terlalu kental seringkali memperlambat dan
> menghambat untuk
> mendapatkan hasil maksimal.
> 
> Hayo..bapak2 sekalian let's do it for shake of our
> country..
> 
> Salam,
> 
> Ben Sapiie
> 
> 
> 
> Berarti mereka siap sole-source (katanya negara gak
> perlu keluar uang sama
> sekali) segala ongkos eksplorasi termasuk drilling
> and testing sumur.
> 
> Berarti mereka harus jadi operator PSC (Kalau TAC
> kan khusus yang sudah
> produksi), berarti mesti punya satu E&P kumpeni,
> berarti mesti ikut
> tender/gazettal atau minimal mengajukan direct offer
> ke BPMigas instead
> of BPPT.
> 
> 
> Hmmm..
> 
> Ridwan Djamaluddin 
> wrote:
> Saya tahu sedikit tentang kisah ini, karena
> perusahaan
> dari Amrik itu datang ke BPPT dan menceritakan
> kecanggihan
> mereka.
> 
> Secara umum, mereka mengatakan akan mengkombinasikan
> teknologi remote sensing dan data seismik untuk
> eksplorasi
> sampai keluar minyak dan gas. Indonesia tak perlu
> keluar
> uang sama sekali, sampai minyak/gas keluar, kemudian
> bagi
> hasil.
> 
> Sebagai BPPT tentunya kami ingin tahu teknologinya,
> tapi
> mereka sama sekali tak mau bercerita. Menurut
> mereka, itu
> rahasia, dan mereka tidak bermaksud menjual
> teknologi;
> tapi mau membantu mencari minyak/gas. Yang mereka
> minta
> adalah suatu lokasi untuk dikelola.
> 
> Kami jelaskan bahwa BPPT tidak punya kewenangan
> untuk
> memberikan wilayah kerja, tapi mengkaji teknologi
> yang
> layak untuk diterapkan. Sampai disitu diskusi kami
> berhenti
> 
> R i d w a n
> 
> 
> On Mon, 24 Mar 2008 11:22:36 +0700
> "untungm" wrote:
> >Teknologi baru yang super cepat yang bagaimana ya?
> >Mestinya sudah dipelajari oleh Bpk. Kepala BP Migas
> >secara mendalam sebelum melaporkan kepada Wakil
> Presiden.
> >Semoga demikian.
> >M. Untung
> >- Original Message - From: "Hendri Harsian"
> >
> >To:
> >Sent: Monday, March 24, 2008 8:06 AM
> >Subject: RE: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari
> Teknologi
> >Eksplorasi Migas Supar Cepat (??)
> >
> >
> >>Pak Noor,
> >>Mungkin karena memang kita 'ngga suka' bekerja
> keras, dan
> >>lebih penting
> >>melihat 'hasil' daripada 'proses'.
> >>Salam
> >>Hendri
> >>
> >>-Original Message-
> >>From: noor syarifuddin
> [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> >>Sent: 24 Maret 2008 8:03
> >>To: iagi-net@iagi.or.id
> >>Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari
> Teknologi
> >>Eksplorasi Migas
> >>Supar Cepat (??)
> >>
> >>budaya ingin short-cut kok gak pernah hilang ya
> dari
> >>bangsa ini..
> >>
> >>- Ori

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik yudi purnama
"Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat"


Bravo Ajip Rosidi.
Yudi






On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan 
> ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia 
> diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa 
> ?
>
>   Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang 
> kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini 
> cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan 
> : no pain no gain !
>
>   Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
> bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan cetakannya 
> bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan 
> buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, 
> berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui 
> harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) 
> dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 
> 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini 
> mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini 
> harganya hanya Rp 95.000 ?
>
>   Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan 
> Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya 
> adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 
> halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis 
> senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang 
> Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan 
> penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman 
> saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 
> 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 
> halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh 
> terkenal Indonesia dan Manca Negara  dari berbagai latar belakang, dari 
> seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli 
> buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga
>   masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !
>
>   Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa Ijazah : 
> Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan 
> budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, 
> ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit 
> saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip 
> sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para 
> tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri 
> dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini 
> mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 
> puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, 
> dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal 
> kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari 
> puluhan tahun ke belakang.
>
>   Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena Ajip tak 
> punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian 
> akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan 
> master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. 
> Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi 
> pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.
>
>   Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang 
> berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar 
> sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak 
> terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip 
> adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang 
> seperti dia.
>
>   Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak 
> menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan 
> hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun 
> tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu 
> sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang 
> lalu. Tetapi, ia tidak perna

Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas Supar Cepat (??)

2008-03-25 Terurut Topik Hendratno Agus
Bicara task force...untuk masalah eksplorasi migas di indonesia, yaaayang 
jelas jangan membikin BPMIGAS Tandingan laah..., atau BPMIGAS-Perjuangan kalee. 
Ini sepertinya hanya masalah efisiensi birokrasi yang perlu dipangkas dan yang 
sudah baik supaya lebih dioptimalkanrak gitu... 
   
  Agus Hendratno

Deni Rahayu <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  :) saya pikir ini cara lain untuk masuk ke industri
migas dengan macem2 alasan ; membantu negara anda,
filantropis, identifikasi tsunami, penelitian dan
lain-lain. Mengapa mereka mau masuk,krn Indonesia
masih menarik untuk dibuat sabagai objek yang di
"ekploitasi"h...banyak celah yg bisa dimainkan
tidak sekedar urusan minyaknya+ada yang ikut numpang.
Setuju Kang Minomengenai pembentukan Task Force...

dNr

--- Benyamin Sapiie 
wrote:

> Teknologi super cepat baru... wah menarik sekali
> kedengerannya ..tapi apa
> ini? Sampai saat ini kita tahu bahwa minyak2 baru
> ditemui kebanyakan
> justru menggunakan teknologi dan data lama (Kecuali
> deep water) tetapi
> dengan mind (brainware) yang baru (orang gila
> definisinya Pak
> Koesoemadinata).
> 
> Yang seharusnya kita lakukan adalah memanfaatkan
> data yang ada dan
> teknologi dalam negri yang kita punya seperti yang
> ada di BPPT, LEMIGAS
> dan Universitas2 dengan batuan mind local yang juga
> banyak sekali yang
> sangat cemerlang. Seharusnya pemerintah
> (BPMIGAS/MIGAS/ESDM) membentuk
> task force khusus yang terdiri dari scientist and
> professional yang
> tugasnya mengeksplorasi untuk negri ini untuk sumber
> minyak baru. Tetapi
> harus di support dengan dana dan keseriusan tanpa
> birokrasi yang terlalu
> kompleks...Sudah waktunya pemerintah memanfaatkan
> potensi dalam negri dari
> pada orang lain yang memanfaatkannya. Saya kira kita
> sudah cukup kuat
> dalam pengetahuan dan teknologi, hanya kendala
> birokrasi dan kulturnya
> yang terlalu kental seringkali memperlambat dan
> menghambat untuk
> mendapatkan hasil maksimal.
> 
> Hayo..bapak2 sekalian let's do it for shake of our
> country..
> 
> Salam,
> 
> Ben Sapiie
> 
> 
> 
> Berarti mereka siap sole-source (katanya negara gak
> perlu keluar uang sama
> sekali) segala ongkos eksplorasi termasuk drilling
> and testing sumur.
> 
> Berarti mereka harus jadi operator PSC (Kalau TAC
> kan khusus yang sudah
> produksi), berarti mesti punya satu E&P kumpeni,
> berarti mesti ikut
> tender/gazettal atau minimal mengajukan direct offer
> ke BPMigas instead
> of BPPT.
> 
> 
> Hmmm..
> 
> Ridwan Djamaluddin 
> wrote:
> Saya tahu sedikit tentang kisah ini, karena
> perusahaan
> dari Amrik itu datang ke BPPT dan menceritakan
> kecanggihan
> mereka.
> 
> Secara umum, mereka mengatakan akan mengkombinasikan
> teknologi remote sensing dan data seismik untuk
> eksplorasi
> sampai keluar minyak dan gas. Indonesia tak perlu
> keluar
> uang sama sekali, sampai minyak/gas keluar, kemudian
> bagi
> hasil.
> 
> Sebagai BPPT tentunya kami ingin tahu teknologinya,
> tapi
> mereka sama sekali tak mau bercerita. Menurut
> mereka, itu
> rahasia, dan mereka tidak bermaksud menjual
> teknologi;
> tapi mau membantu mencari minyak/gas. Yang mereka
> minta
> adalah suatu lokasi untuk dikelola.
> 
> Kami jelaskan bahwa BPPT tidak punya kewenangan
> untuk
> memberikan wilayah kerja, tapi mengkaji teknologi
> yang
> layak untuk diterapkan. Sampai disitu diskusi kami
> berhenti
> 
> R i d w a n
> 
> 
> On Mon, 24 Mar 2008 11:22:36 +0700
> "untungm" wrote:
> >Teknologi baru yang super cepat yang bagaimana ya?
> >Mestinya sudah dipelajari oleh Bpk. Kepala BP Migas
> >secara mendalam sebelum melaporkan kepada Wakil
> Presiden.
> >Semoga demikian.
> >M. Untung
> >- Original Message - From: "Hendri Harsian"
> >
> >To:
> >Sent: Monday, March 24, 2008 8:06 AM
> >Subject: RE: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari
> Teknologi
> >Eksplorasi Migas Supar Cepat (??)
> >
> >
> >>Pak Noor,
> >>Mungkin karena memang kita 'ngga suka' bekerja
> keras, dan
> >>lebih penting
> >>melihat 'hasil' daripada 'proses'.
> >>Salam
> >>Hendri
> >>
> >>-Original Message-
> >>From: noor syarifuddin
> [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> >>Sent: 24 Maret 2008 8:03
> >>To: iagi-net@iagi.or.id
> >>Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari
> Teknologi
> >>Eksplorasi Migas
> >>Supar Cepat (??)
> >>
> >>budaya ingin short-cut kok gak pernah hilang ya
> dari
> >>bangsa ini..
> >>
> >>- Original Message 
> >>From: oki musakti
> >>To: iagi-net@iagi.or.id
> >>Sent: Thursday, March 20, 2008 7:47:43 AM
> >>Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Pelajari
> Teknologi
> >>Eksplorasi Migas
> >>Supar Cepat (??)
> >>
> >>Jangan-jangan IPDS ..
> >>
> >>Amir Al Amin wrote: Teknologi
> >>apa gerangan?
> >>
> >>---
> >>Indonesia Pelajari Teknologi Eksplorasi Migas
> Supar Cepat
> >>Rabu, 19 Mar 2008 | 17:14 WIB
> >>
> >>TEMPO Interaktif, Jakarta:
> >>PT.Pertamina dan Badan Pengatur Hulu Minyak dan
> Gas (BP
> >>Migas) tengah
> >>mempelajari teknologi baru eksplorasi minyak dan
> gas di
> >>Indonesia.
> >>