Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-04-14 Terurut Topik redy zahar
Mas:

For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak 
Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada 
umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support 
teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang 
inklusif.

Salam.


- Original Message 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah)

 Salam
 Rdp


 On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
 menurunkan
  perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
  manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
  untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
  mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
  Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
  Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
  karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
  dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
  kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
 kampus-kampus
  formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
  (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
  Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
  disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
  kemudian menjalar proses kapitalisasi di
   berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
  proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.
 
   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
  Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU
 untuk
  membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
  tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
  mana pun, di dunia ini.
 
   Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
  manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra
 itu
  kita praktekkan dalam pola

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-04-14 Terurut Topik argo wuryanto
Masalah special needs, adakah yang punya pengalaman atau bacaan untuk 
mengakomodir anak2 yang seperti ini?
kalo ada bisa tolong di-share ke saya, via japri kalo bisa.

makasih.

salam,


- Original Message 
From: redy zahar [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Tuesday, April 15, 2008 10:51:36 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mas:

For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak 
Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada 
umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support 
teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang 
inklusif.

Salam.


- Original Message 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah)

 Salam
 Rdp


 On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
 menurunkan
  perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
  manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
  untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
  mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
  Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
  Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
  karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
  dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
  kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
 kampus-kampus
  formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
  (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
  Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
  disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
  kemudian menjalar proses kapitalisasi di
   berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
  proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.
 
   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
  Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-04-14 Terurut Topik argo wuryanto
Masalah special needs, adakah yang punya pengalaman atau bacaan untuk 
mengakomodir anak2 yang seperti ini?
kalo ada bisa tolong di-share ke saya, via japri kalo bisa.

makasih.

salam,


- Original Message 
From: redy zahar [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Tuesday, April 15, 2008 10:51:36 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mas:

For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak 
Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada 
umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support 
teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang 
inklusif.

Salam.


- Original Message 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah)

 Salam
 Rdp


 On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
 menurunkan
  perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
  manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
  untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
  mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
  Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
  Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
  karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
  dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
  kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
 kampus-kampus
  formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
  (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
  Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
  disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
  kemudian menjalar proses kapitalisasi di
   berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
  proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.
 
   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
  Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-04-14 Terurut Topik mohammad syaiful
pak argo,

biar nggak salah pengertian, saya sebut secara jelas saja ya. kalo yg
dimaksud 'special needs' adalah anak2 autis, maka ada pula salah satu
sekolah yg menerima dan memperlakukan siswa2 'special needs' tsb
hampir sama saja dg siswa2 lainnya.

mengenai 'home-schooling', juga bukan diadakan khusus utk anak2
'special needs'. ada beberapa kawan (terutama yg sempat bertugas ke
luar negeri) yg telah menerapkan 'home-schooling' ini, meskipun
anak2nya bukanlah tergolong 'special needs' tsb.

salam,
syaiful

2008/4/15 argo wuryanto [EMAIL PROTECTED]:

 Masalah special needs, adakah yang punya pengalaman atau bacaan untuk 
 mengakomodir anak2 yang seperti ini?
 kalo ada bisa tolong di-share ke saya, via japri kalo bisa.

 makasih.

 salam,


 - Original Message 
 From: redy zahar [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Tuesday, April 15, 2008 10:51:36 AM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Mas:

 For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat 
 anak-anak Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal 
 karena pada umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning 
 support teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal 
 yang inklusif.

 Salam.


 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Mas Noor
 Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
 home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
 konvensional (akademis).
 Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
 sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
 house of the prairie jaman aku kecil dulu.
 Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
 kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
 ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
 ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

 Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
 mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
 dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
 sebagai bagian dari ngobyek.
 Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
 homeschool bukanlah yang ideal
 Salam


 On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
  untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
  orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
  (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
  persamaan atau via UT.
 
  jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan
 
 
 
  - Original Message 
  From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
  To: iagi-net@iagi.or.id
  Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
  Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
 
  Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
  kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
  tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
  kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
  eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
  Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
  bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
  aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
  telor.
  Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
  dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
  pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
  Ijazah !!
  Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
  memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
  Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
  harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
  Learning (belajar) not just studying (sekolah)
 
  Salam
  Rdp
 
 
  On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
  menurunkan
   perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
   manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
   untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
   mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
   Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
   Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
   karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
   dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
   kemaslahatan ummat manusia dalam belantara

RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-27 Terurut Topik Wahyu_Senoaji
Bicara pendidikan memang gak pernah ada habisnya, jadi inget novelnya 
laskar pelangi (andrea hirata) yang mengagumkan dan meledak di pasaran. 
walaupun cuma novel tapi paling tidak ada kejadian asli yang terekam dari 
penulisnya dan dituangkan menjadi novel yang enak dibaca dan menggugah 
tentunya. buat saya pendidikan itu penting, formal ataupun informal. 
bahkan kalo perlu gak perlu di kotak kotakkan, toh pakdhe rovicky juga gak 
belajar bikin blog di bangku kuliah kan hehehe, lha wong pas jamannya 
kuliah internet entah berada dimana kok. pendidikan formal penting, 
informal juga penting, laskar pelangi juga dipertemukan di pendidikan 
formal, yang jauh dari ideal sekolahan, terpencil, miskin, hidup segan, 
matipun tak mau. tapi semangat mereka untuk belajar dari alam sekitar, 
dari lingkungan dari persahabatan lewat banyak petualangan membuat mereka 
matang buat menghadapi kehidupan.
sama pentingya seperti mimpi jutaan anak bangsa yang semestinya bisa 
mendapatkan hak yang sama memperoleh pendidikan yang berkualitas, buat si 
kaya atau si miskin.


regards,
senoaji
 jadi inget 4 kali sirine di Sawahlunto.. 




Agus Irianto [EMAIL PROTECTED] 
03/27/2008 11:57 AM
Please respond to
iagi-net@iagi.or.id


To
iagi-net@iagi.or.id
cc

Subject
RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah






Rakyat kecil mah gak boleh sekolah tinggi2dan gak
boleh sakit karena biaya sekolah dan berobat sudah tdk
terjangkau lagi oleh rakyatsubsidi utk
pendidikan dan kesehatan yg tidak mencapai sasaran yg
tepat membuat rakyat frustasi...wislah gak
lanjutkan sekolah wae.belajar sendiri
saja..semangat ini sudah banyak kita temui
dikalangan rakyat yg kreaktif-inovatif (lihat kick
andy)..kalau pemerintah dan orang2 kaya
tidak perhatian dan tidak membenahi hal2
inipendidikan sudah tidak bermutu lagi,
ijazah2 sudah gampang dibeli.akan lahir dari
putra2 bangsa Ayip Rosidi2x
lainnya.semogamasyarakat kita tetap menghargai
orang2 yg kreaktip, produktif, berakhlak mulia,
pekerja keras dan pintar.

Salam,
Agus Irianto


--- Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [EMAIL PROTECTED]
wrote:

 Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik ..
 apalagi bagi kita2 yang punya anak usia mau sekolah
 maupun sedang sekolah..
 dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada
 banyak pilihan... apakah mengambil sekolah formal,
 alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan
 mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari
 sisi extra ordinary people ... yang sukses dengan
 jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan
 ...dan barang tentu tidak semua orang yang mengambil
 jalan berbeda akan selalu sukses ..
 
 Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak,
 bahwa di sekolah formal, selain matematik
 intelligence yang terbangun, juga social
 intelligence dimana anak berkembang bersama dengan
 teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara
 linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk
 lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan -
 Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah,
 dimana lebih banyak ibu-bapak-tutor-anak ... perlu
 dipikirkan untuk melengkapi bagaimana mendapatkan
 social intelligence supaya tidak ada shock social
 anak dikemudian hari  
 
 sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang
 seiring dengan cost yang selangit 
 
 salam,
 Didik Fotunadi
 
 
 
 -Original Message-
 From: Hendratno Agus
 [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
 
 
 Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan
 oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari
 Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya
 pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga,
 tinggal di Bantul.  2 putra-nya sampai umur 10 th
 dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD-
 SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua
 orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les
 privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika,
 pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris,
 bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang:
 anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal,
 dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini
 urusan Tuhan (jawabnya). 
 
   Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya
 podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik
 komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet,
 bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk
 pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti
 pendidikan formal.
 
   Agus Hend
 
 
 Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Mas Noor
 Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan
 formal, metode belajar
 home schooling itu semestinya sebagai alternatif
 dari metode
 konvensional (akademis).
 Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di
 pelosok2 dimana
 sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal
 sperti film little
 house of the prairie jaman aku kecil dulu.
 Di ustrali homeschooling itu yang

RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-27 Terurut Topik Maryanto (Maryant)
 orang lain, kecuali sebatas
perantara saja. Ada yang benar-salah kalimat saya ?

Wassalam,
Maryanto.
Primbon simbah menginsirasi ini: alam yang bersyaf-syaf. Diantara gunung
ada garis putih, merah, beraneka warna, ada yang hitam kelam. Diantara
gunung ada keberagaman manusia, tanaman, hewan.

-Original Message-
From: Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, March 27, 2008 5:19 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik .. apalagi bagi kita2
yang punya anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah..
dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan...
apakah mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah saya
setuju dengan mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi
extra ordinary people ... yang sukses dengan jalur berbeda dengan
rata-rata manusia kebanyakan ...dan barang tentu tidak semua orang yang
mengambil jalan berbeda akan selalu sukses ..

Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal,
selain matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence
dimana anak berkembang bersama dengan teman2 seumurnya belajar
menemukan diri diantara linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk
lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan - Kalo orangtua
mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak
ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana
mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak
dikemudian hari  

sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang
selangit 

salam,
Didik Fotunadi



-Original Message-
From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan
saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya
pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.  2
putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan
formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang
tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca
tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa
inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya
akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan
kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). 
   
  Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD -
SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran,
lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk
pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal.
   
  Agus Hend
  

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak
dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di
Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi
mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar
bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng
dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian
dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan 
 banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh 
 formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka 
 mereka ikutan ujian persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering 
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang 
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii 
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, 
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal 
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan 
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa 
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
telor.
Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
Ijazah !!
Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
Learning (belajar) not just studying (sekolah)

Salam
Rdp


On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan
 perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
 manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
 untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
 mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
 Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
 Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
 karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
 dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
 kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus
 formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
 (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
 Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
 disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
 kemudian menjalar proses kapitalisasi di
  berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
 proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.

   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
 Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk
 membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
 tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
 mana pun, di dunia ini.

   Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
 manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu
 kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita
 bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita
 membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin
 baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling
 tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
 masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan
 mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar
 mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan cara
 iqra-nya bang Ayip itu.

   spirit of Iqro...
   Agus Hendratno



 yudi purnama [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh
 masyarakat


 Bravo Ajip Rosidi.
 Yudi






 On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
  Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,
 bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi
 ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana
 bisa ?
 
  Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak
 mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh
 berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus
 mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang
 kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini
 cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan
 : no pain no gain !
 
  Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal
 bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya
 bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan
 buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman,
 berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat
 mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa
 (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya
 sekitar Rp 

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik noor syarifuddin
untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang 
tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan 
sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via 
UT.

jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



- Original Message 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
telor.
Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
Ijazah !!
Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
Learning (belajar) not just studying (sekolah)

Salam
Rdp


On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan
 perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
  Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
 manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
 untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
 mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
 Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
 Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
 karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
 dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
 kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus
 formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
 (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
 Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
 disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
 kemudian menjalar proses kapitalisasi di
  berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
 proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.

  Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
 Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk
 membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
 tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
 mana pun, di dunia ini.

  Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
 manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu
 kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita
 bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita
 membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin
 baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling
 tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
 masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan
 mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar
 mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan cara
 iqra-nya bang Ayip itu.

  spirit of Iqro...
  Agus Hendratno



 yudi purnama [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh
 masyarakat


 Bravo Ajip Rosidi.
 Yudi






 On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
  Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,
 bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi
 ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana
 bisa ?
 
  Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak
 mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh
 berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus
 mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang
 kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini
 cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan
 : no pain no gain !
 
  Sebuah buku baru diterbitkan

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah)

 Salam
 Rdp


 On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
 menurunkan
  perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
  manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
  untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
  mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
  Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
  Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
  karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
  dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
  kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
 kampus-kampus
  formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
  (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
  Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
  disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
  kemudian menjalar proses kapitalisasi di
   berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
  proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.
 
   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
  Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU
 untuk
  membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa
  tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara
  mana pun, di dunia ini.
 
   Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
  manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra
 itu
  kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita
  bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita
  membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin
  baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan
 (paling
  tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
  masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan
  mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar
  mereka; dan mampu meng-inspirasi

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Hendratno Agus
Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya 
ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 
di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.  2 putra-nya sampai umur 
10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya 
dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les 
privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan 
sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: 
anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. 
Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). 
   
  Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, 
anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, 
bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi 
mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal.
   
  Agus Hend
  

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari 
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah)

 Salam
 Rdp


 On 3/26/08, Hendratno Agus wrote:
  Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
 menurunkan
  perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
  Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri
  manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa
  untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan
  mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
  Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato,
  Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan
  karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang
  dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
  kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
 kampus-kampus
  formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
  (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ
  Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
  disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
  kemudian menjalar proses kapitalisasi di
  berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh
  proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.
 
  Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini

RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Hendri Harsian
Jadi ingat Haji Agus Salim yang ngga percaya pendidikan formal, yang
kemudian memutuskan mendidik sendiri anak2nya dirumah.
Salam
Hendri

-Original Message-
From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: 26 Maret 2008 13:44
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan
banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas
ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah)

 Salam
 Rdp


 On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
 menurunkan
  perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
   Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi
jati diri
  manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya,
bahwa
  untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca
bukan
  mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan /
akademik).
  Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates,
Plato,
  Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina
menghasilkan
  karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak
orang
  dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting
untuk
  kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
 kampus-kampus
  formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
  (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein,
Plato, AQ
  Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa
yang
  disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
  kemudian menjalar proses kapitalisasi di
   berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat
ditentukan oleh
  proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas
ijazah.
 
   Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
  Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan
MAMPU
 untuk
  membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah,
mengapa
  tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di
negara
  mana pun, di dunia ini.
 
   Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada
khitah-nya
  manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna
Iqra
 itu
  kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian
kita
  bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering
kita
  membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka
semakin
  baik kita

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik benyamin sembiring
Mas Agus,
Contoh yang dibuat oleh teman Mas Agus tersebut apakah sudah terbukti baik?
Maksud saya bagaimana hasilnya, bukan hanya kemampuan si anak terhadap
pengetahuan apa yang diajarkan tetapi bersosialisasi dengan teman-teman saat
sekolah itu sesungguhnya sangat penting. Perselisihan, persahabatan, yang
terjadi saat bermain, ya namanya anak-anak, akan membentuk karakter kita,
bagaimana kita bisa menyelesaikannya. Banyak hal lainnya yang positip saat
bersekolah.

Jika anak kita bukan yang ANOMOALI (mengutip istilah diskusi sebelumnya)
bukankah sebaiknya mengikuti cara umum yang telah kita praktekkan selama
ini. Belajar disekolah negri atau swasta atau madrasah.
Jangan lihat Pak Ayip, karena itu kurang bisa menjadi teladan buat anak-anak
yang tidak ANOMALI.

Mas,
Sampeyan itu kan dosen tentu saja punya data mahasiswa yang masuk ke kampus.
Coba perlihatkan, mereka datang dari SMA/SMU mana saja. Coba tunjukkan
perbandingannya, antara negri vs swasta vs international school vs SMA plus
atau lainnya. Atau bisa buat perbandingan dari sekolah di Jawa vs luar Jawa
vs Sumatra vs Kalimantan vs Sulawesi vs dll

Sehingga kita bisa lihat out put dari berbagai sekolah tersebut. Ini hanya
lingkup kecil saja.

salam
benz








Pada tanggal 26/03/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] menulis:

 Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan
 saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya
 pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.  2
 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal.
 SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa
 mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa,
 etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca
 tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan
 formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan
 (jawabnya).

   Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD -
 SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat
 internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal,
 tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal.

   Agus Hend



 Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Mas Noor
 Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
 home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
 konvensional (akademis).
 Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
 sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
 house of the prairie jaman aku kecil dulu.
 Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
 kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
 ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
 ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

 Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
 mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
 dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
 sebagai bagian dari ngobyek.
 Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
 homeschool bukanlah yang ideal
 Salam



 On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
  untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
  orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
  (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
  persamaan atau via UT.
 
  jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan
 
 
 
  - Original Message 
  From: Rovicky Dwi Putrohari

  To: iagi-net@iagi.or.id
  Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
  Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
 
  Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
  kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
  tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
  kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
  eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
  Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
  bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
  aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
  telor.
  Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
  dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
  pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
  Ijazah !!
  Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
  memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
  Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap
  harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
  Learning (belajar) not just studying (sekolah)
 
  Salam
  Rdp
 
 

  On 3/26/08, Hendratno

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Berbeda dengan anaknya donald trump dan anaknya billgates juga anaknya
purdi e chandra yang malah masuk pendidikan formal berijazah
Orang tua2 ini cenderung protes dg apa yg telah diperoleh.
Weleh2
Rdp

On 3/26/08, Hendri Harsian [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Jadi ingat Haji Agus Salim yang ngga percaya pendidikan formal, yang
 kemudian memutuskan mendidik sendiri anak2nya dirumah.
 Salam
 Hendri

 -Original Message-
 From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: 26 Maret 2008 13:44
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Mas Noor
 Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
 home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
 konvensional (akademis).
 Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
 sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
 house of the prairie jaman aku kecil dulu.
 Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
 kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
 ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
 ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

 Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
 mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
 dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
 sebagai bagian dari ngobyek.
 Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
 homeschool bukanlah yang ideal
 Salam


 On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
  untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan
 banyak
  orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas
 ijazah
  (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
  persamaan atau via UT.
 
  jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan
 
 
 
  - Original Message 
  From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
  To: iagi-net@iagi.or.id
  Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
  Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
 
  Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
  kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
  tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
  kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
  eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
  Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
  bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
  aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
  telor.
  Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
  dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
  pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
  Ijazah !!
  Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
  memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
  Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat)  mengejar ijazah tetap
  harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
  Learning (belajar) not just studying (sekolah)
 
  Salam
  Rdp
 
 
  On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan
  menurunkan
   perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca.
Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi
 jati diri
   manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya,
 bahwa
   untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca
 bukan
   mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan /
 akademik).
   Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates,
 Plato,
   Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina
 menghasilkan
   karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak
 orang
   dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting
 untuk
   kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
  kampus-kampus
   formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta
   (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein,
 Plato, AQ
   Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa
 yang
   disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
   kemudian menjalar proses kapitalisasi di
berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat
 ditentukan oleh
   proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas
 ijazah.
  
Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
   Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan
 MAMPU
  untuk
   membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah,
 mengapa
   tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di
 negara
   mana pun, di dunia ini.
  
Bagaimana

RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Fotunadi, Didik (PTI-SOR)
Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik .. apalagi bagi kita2 yang punya 
anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah..
dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan... apakah 
mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan mas 
RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi extra ordinary people ... 
yang sukses dengan jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan ...dan 
barang tentu tidak semua orang yang mengambil jalan berbeda akan selalu sukses 
..

Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal, selain 
matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence dimana anak 
berkembang bersama dengan teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara 
linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk lebih di banding di rumah, 
yaitu - salah pergaulan -
Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak 
ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana 
mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak dikemudian 
hari  

sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang selangit 


salam,
Didik Fotunadi



-Original Message-
From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya 
ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 
di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.  2 putra-nya sampai umur 
10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya 
dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les 
privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan 
sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: 
anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. 
Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). 
   
  Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, 
anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, 
bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi 
mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal.
   
  Agus Hend
  

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little
house of the prairie jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
sebagai bagian dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal
Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
 untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
 orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
 (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
 persamaan atau via UT.

 jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan



 - Original Message 
 From: Rovicky Dwi Putrohari 
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

 Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
 kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
 tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
 kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do,
 eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
 Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
 bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
 aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa
 telor.
 Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
 dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
 pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
 Ijazah !!
 Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
 memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
 Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap
 harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
 Learning (belajar) not just studying (sekolah

RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-26 Terurut Topik Agus Irianto
Rakyat kecil mah gak boleh sekolah tinggi2dan gak
boleh sakit karena biaya sekolah dan berobat sudah tdk
terjangkau lagi oleh rakyatsubsidi utk
pendidikan dan kesehatan yg tidak mencapai sasaran yg
tepat membuat rakyat frustasi...wislah gak
lanjutkan sekolah wae.belajar sendiri
saja..semangat ini sudah banyak kita temui
dikalangan rakyat yg kreaktif-inovatif (lihat kick
andy)..kalau pemerintah dan orang2 kaya
tidak perhatian dan tidak membenahi hal2
inipendidikan sudah tidak bermutu lagi,
ijazah2 sudah gampang dibeli.akan lahir dari
putra2 bangsa Ayip Rosidi2x
lainnya.semogamasyarakat kita tetap menghargai
orang2 yg kreaktip, produktif, berakhlak mulia,
pekerja keras dan pintar.

Salam,
Agus Irianto


--- Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [EMAIL PROTECTED]
wrote:

 Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik ..
 apalagi bagi kita2 yang punya anak usia mau sekolah
 maupun sedang sekolah..
 dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada
 banyak pilihan... apakah mengambil sekolah formal,
 alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan
 mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari
 sisi extra ordinary people ... yang sukses dengan
 jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan
 ...dan barang tentu tidak semua orang yang mengambil
 jalan berbeda akan selalu sukses ..
 
 Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak,
 bahwa di sekolah formal, selain matematik
 intelligence yang terbangun, juga social
 intelligence dimana anak berkembang bersama dengan
 teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara
 linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk
 lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan -
 Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah,
 dimana lebih banyak ibu-bapak-tutor-anak ... perlu
 dipikirkan untuk melengkapi bagaimana mendapatkan
 social intelligence supaya tidak ada shock social
 anak dikemudian hari  
 
 sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang
 seiring dengan cost yang selangit 
 
 salam,
 Didik Fotunadi
 
 
 
 -Original Message-
 From: Hendratno Agus
 [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
 
 
 Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan
 oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari
 Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya
 pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga,
 tinggal di Bantul.  2 putra-nya sampai umur 10 th
 dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD-
 SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua
 orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les
 privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika,
 pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris,
 bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang:
 anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal,
 dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini
 urusan Tuhan (jawabnya). 

   Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya
 podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik
 komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet,
 bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk
 pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti
 pendidikan formal.

   Agus Hend
   
 
 Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Mas Noor
 Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan
 formal, metode belajar
 home schooling itu semestinya sebagai alternatif
 dari metode
 konvensional (akademis).
 Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di
 pelosok2 dimana
 sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal
 sperti film little
 house of the prairie jaman aku kecil dulu.
 Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya,
 tetangga dan
 kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal.
 Dan juga ada
 ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang
 home schooling
 ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu
 yang berpindah2.
 
 Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2
 lagi. Yang
 mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti
 les privat. Gurunya
 dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal
 menjadi tutor2nya
 sebagai bagian dari ngobyek.
 Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup
 buanyakkk ini, metode
 homeschool bukanlah yang ideal
 Salam
 
 
 On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
  untuk info saja: home-schooling sekarang semakin
 menjadi pilihan banyak
  orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang
 butuh formalitas ijazah
  (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka
 mereka ikutan ujian
  persamaan atau via UT.
 
  jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak
 pembenahan
 
 
 
  - Original Message 
  From: Rovicky Dwi Putrohari 
  To: iagi-net@iagi.or.id
  Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
  Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
 
  Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka.
 Karena aku sering
  kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul
 yg dibuat Pak Awang
  tentunya mengarah ke

[iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Awang Satyana
Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan 
ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat 
sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? 
   
  Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang 
kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini 
cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : 
no pain no gain !
   
  Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan cetakannya 
bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku 
seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas 
dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, 
saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal 
sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, 
dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga 
sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 
95.000 ?
   
  Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam ”Ucapan 
Terimakasih”. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah 
sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman 
dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, 
tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia 
adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku 
ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi 
penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, 
jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. 
Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal 
Indonesia dan Manca Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai 
birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan 
harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga
 masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !
   
  Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah ”Hidup Tanpa Ijazah : 
Yang Terekam dalam Kenangan”, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan 
budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis 
atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip 
berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi 
bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan 
militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan 
orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, 
Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya 
sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya 
sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga 
ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.
   
  Mengapa Ajip memberi judul buku ini ”Hidup Tanpa Ijazah” ? Karena Ajip tak 
punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir 
SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, 
apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, 
lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian 
rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya. 
   
  Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat 
silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, 
tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta 
pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia 
langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang seperti dia.
   
  Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak 
menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan 
hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun 
tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu 
sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. 
Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di 
satu tempat. Pendidikan harus di sekolah, belajar bisa di mana saja.
   
  Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran soal-soal 
ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli soal 
ujian, guru-guru pun 

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Nana Djumhana
Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat 
dekat, karena   rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, 
dia  memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.


Salam,
ndh
- Original Message - 
From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED]

To: IAGI iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI [EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, 
bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi 
ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
Bagaimana bisa ?


 Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling 
tidak menekankan : no pain no gain !


 Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan 
cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
(bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 
1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang 
dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini 
harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka 
buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?


 Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan 
Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya 
adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 
1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan 
penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca 
orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar 
menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama 
sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 
orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari 
ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi 
khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga

masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !

 Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah Hidup Tanpa Ijazah : 
Yang Terekam dalam Kenangan, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan 
dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, 
ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit 
saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh 
Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan 
oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya 
ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). 
Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan 
cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, 
remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). 
Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa 
menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.


 Mengapa Ajip memberi judul buku ini Hidup Tanpa Ijazah ? Karena Ajip 
tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum 
ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, 
tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku 
otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu 
semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor 
pada umumnya.


 Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang 
berminat silakan membelinya saja. Saya ingin

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik yudi purnama
Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat


Bravo Ajip Rosidi.
Yudi






On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan 
 ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia 
 diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa 
 ?

   Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
 mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
 berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
 mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang 
 kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini 
 cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan 
 : no pain no gain !

   Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
 bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan cetakannya 
 bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan 
 buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, 
 berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui 
 harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) 
 dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 
 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini 
 mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini 
 harganya hanya Rp 95.000 ?

   Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan 
 Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya 
 adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 
 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis 
 senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang 
 Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan 
 penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman 
 saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 
 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 
 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh 
 terkenal Indonesia dan Manca Negara  dari berbagai latar belakang, dari 
 seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli 
 buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga
   masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !

   Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah Hidup Tanpa Ijazah : 
 Yang Terekam dalam Kenangan, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan 
 budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, 
 ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit 
 saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip 
 sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para 
 tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri 
 dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini 
 mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 
 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, 
 dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal 
 kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari 
 puluhan tahun ke belakang.

   Mengapa Ajip memberi judul buku ini Hidup Tanpa Ijazah ? Karena Ajip tak 
 punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian 
 akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan 
 master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. 
 Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi 
 pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.

   Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang 
 berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar 
 sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak 
 terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip 
 adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang 
 seperti dia.

   Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak 
 menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan 
 hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun 
 tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu 
 sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang 
 lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak 
 harus di satu tempat. Pendidikan 

[iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Tonny P. Sastramihardja
He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr
SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka
berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih
belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum
pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir
sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). 
Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi
dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya
lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan
swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF
(biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS,
Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th,
lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol
III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'.
Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu
belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah
S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga
berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali
kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali
ijazah formal menjadi 'kurang perlu'.

Salam
Abah ANOM



-Original Message-
From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip
sangat 
dekat, karena   rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi
maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai
sastrawan, 
dia  memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya,
yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya
ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.

Salam,
ndh
- Original Message - 
From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED]
To: IAGI iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI [EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


 Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,

 bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
tetapi 
 ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
 Bagaimana bisa ?

  Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
tidak 
 mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah
jauh 
 berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang
harus 
 mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
 Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
 terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya,
paling 
 tidak menekankan : no pain no gain !

  Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
setebal 
 bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan 
 cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows,
tebal 
 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku
yang 
 dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini

 harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
maka 
 buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
 Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?

  Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
Ucapan 
 Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
seharusnya 
 adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal

 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan
dan 
 penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk
dibaca 
 orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan
Anwar 
 menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
 maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
 manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya
sama 
 sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100

 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
 Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat,
dari 
 ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga
edisi 
 khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga
 masyarakat

Re: [iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik oki musakti
Kalau buat jadi Presiden, perlu ijazah gak ya???
  

Tonny P. Sastramihardja [EMAIL PROTECTED] wrote:
  He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr
SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka
berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih
belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum
pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir
sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). 
Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi
dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya
lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan
swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF
(biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS,
Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th,
lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol
III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'.
Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu
belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah
S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga
berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali
kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali
ijazah formal menjadi 'kurang perlu'.

Salam
Abah ANOM



-Original Message-
From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip
sangat 
dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi
maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai
sastrawan, 
dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya,
yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya
ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.

Salam,
ndh
- Original Message - 
From: Awang Satyana 
To: IAGI ; Forum HAGI 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


 Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,

 bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
tetapi 
 ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
 Bagaimana bisa ?

 Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
tidak 
 mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah
jauh 
 berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang
harus 
 mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
 Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
 terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya,
paling 
 tidak menekankan : no pain no gain !

 Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
setebal 
 bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan 
 cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows,
tebal 
 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku
yang 
 dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini

 harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
maka 
 buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
 Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?

 Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
Ucapan 
 Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
seharusnya 
 adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal

 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan
dan 
 penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk
dibaca 
 orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan
Anwar 
 menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
 maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
 manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya
sama 
 sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100

 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
 Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat,
dari 
 ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga
edisi 
 khusus dan

Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

2008-03-25 Terurut Topik Hendratno Agus
Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan 
perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. 
  Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri 
manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk 
memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari 
ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana 
Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh 
Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya 
monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut 
meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat 
manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun 
belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan 
semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya 
dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi 
revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di
 berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh 
proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah.
   
  Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden 
kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca 
hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi 
itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di 
dunia ini.
   
  Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia 
diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita 
praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita bisa 
membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita membaca / 
iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita 
memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, 
kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). 
Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan mampu membaca kehidupan 
bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi 
kepada khalayak yang relevan dengan cara iqra-nya bang Ayip itu.  
   
  spirit of Iqro...
  Agus Hendratno 
   
  

yudi purnama [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh 
masyarakat


Bravo Ajip Rosidi.
Yudi






On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
 Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan 
 ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia 
 diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa 
 ?

 Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak 
 mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh 
 berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus 
 mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang 
 kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini 
 cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan 
 : no pain no gain !

 Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal 
 bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya 
 bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan 
 buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, 
 berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui 
 harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) 
 dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 
 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini 
 mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini 
 harganya hanya Rp 95.000 ?

 Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan 
 Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya 
 adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 
 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis 
 senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang 
 Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan 
 penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman 
 saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 
 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 
 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh 
 terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari 
 seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli 
 buku ini