Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Mas: For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang inklusif. Salam. - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Masalah special needs, adakah yang punya pengalaman atau bacaan untuk mengakomodir anak2 yang seperti ini? kalo ada bisa tolong di-share ke saya, via japri kalo bisa. makasih. salam, - Original Message From: redy zahar [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Tuesday, April 15, 2008 10:51:36 AM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas: For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang inklusif. Salam. - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Masalah special needs, adakah yang punya pengalaman atau bacaan untuk mengakomodir anak2 yang seperti ini? kalo ada bisa tolong di-share ke saya, via japri kalo bisa. makasih. salam, - Original Message From: redy zahar [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Tuesday, April 15, 2008 10:51:36 AM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas: For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang inklusif. Salam. - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
pak argo, biar nggak salah pengertian, saya sebut secara jelas saja ya. kalo yg dimaksud 'special needs' adalah anak2 autis, maka ada pula salah satu sekolah yg menerima dan memperlakukan siswa2 'special needs' tsb hampir sama saja dg siswa2 lainnya. mengenai 'home-schooling', juga bukan diadakan khusus utk anak2 'special needs'. ada beberapa kawan (terutama yg sempat bertugas ke luar negeri) yg telah menerapkan 'home-schooling' ini, meskipun anak2nya bukanlah tergolong 'special needs' tsb. salam, syaiful 2008/4/15 argo wuryanto [EMAIL PROTECTED]: Masalah special needs, adakah yang punya pengalaman atau bacaan untuk mengakomodir anak2 yang seperti ini? kalo ada bisa tolong di-share ke saya, via japri kalo bisa. makasih. salam, - Original Message From: redy zahar [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Tuesday, April 15, 2008 10:51:36 AM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas: For your info: Home-schooling juga merupakan sekolah alternatif buat anak-anak Special Needs yang tidak bisa diterima di sekolah-sekolah formal karena pada umumnya sekolah-sekolah formal belum banyak yang punya learning support teacher/facility. Walaupun memang ada juga beberapa sekolah formal yang inklusif. Salam. - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:43:53 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara
RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Bicara pendidikan memang gak pernah ada habisnya, jadi inget novelnya laskar pelangi (andrea hirata) yang mengagumkan dan meledak di pasaran. walaupun cuma novel tapi paling tidak ada kejadian asli yang terekam dari penulisnya dan dituangkan menjadi novel yang enak dibaca dan menggugah tentunya. buat saya pendidikan itu penting, formal ataupun informal. bahkan kalo perlu gak perlu di kotak kotakkan, toh pakdhe rovicky juga gak belajar bikin blog di bangku kuliah kan hehehe, lha wong pas jamannya kuliah internet entah berada dimana kok. pendidikan formal penting, informal juga penting, laskar pelangi juga dipertemukan di pendidikan formal, yang jauh dari ideal sekolahan, terpencil, miskin, hidup segan, matipun tak mau. tapi semangat mereka untuk belajar dari alam sekitar, dari lingkungan dari persahabatan lewat banyak petualangan membuat mereka matang buat menghadapi kehidupan. sama pentingya seperti mimpi jutaan anak bangsa yang semestinya bisa mendapatkan hak yang sama memperoleh pendidikan yang berkualitas, buat si kaya atau si miskin. regards, senoaji jadi inget 4 kali sirine di Sawahlunto.. Agus Irianto [EMAIL PROTECTED] 03/27/2008 11:57 AM Please respond to iagi-net@iagi.or.id To iagi-net@iagi.or.id cc Subject RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Rakyat kecil mah gak boleh sekolah tinggi2dan gak boleh sakit karena biaya sekolah dan berobat sudah tdk terjangkau lagi oleh rakyatsubsidi utk pendidikan dan kesehatan yg tidak mencapai sasaran yg tepat membuat rakyat frustasi...wislah gak lanjutkan sekolah wae.belajar sendiri saja..semangat ini sudah banyak kita temui dikalangan rakyat yg kreaktif-inovatif (lihat kick andy)..kalau pemerintah dan orang2 kaya tidak perhatian dan tidak membenahi hal2 inipendidikan sudah tidak bermutu lagi, ijazah2 sudah gampang dibeli.akan lahir dari putra2 bangsa Ayip Rosidi2x lainnya.semogamasyarakat kita tetap menghargai orang2 yg kreaktip, produktif, berakhlak mulia, pekerja keras dan pintar. Salam, Agus Irianto --- Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [EMAIL PROTECTED] wrote: Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik .. apalagi bagi kita2 yang punya anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah.. dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan... apakah mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi extra ordinary people ... yang sukses dengan jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan ...dan barang tentu tidak semua orang yang mengambil jalan berbeda akan selalu sukses .. Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal, selain matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence dimana anak berkembang bersama dengan teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan - Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak dikemudian hari sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang selangit salam, Didik Fotunadi -Original Message- From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32 To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul. 2 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal. Agus Hend Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang
RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
orang lain, kecuali sebatas perantara saja. Ada yang benar-salah kalimat saya ? Wassalam, Maryanto. Primbon simbah menginsirasi ini: alam yang bersyaf-syaf. Diantara gunung ada garis putih, merah, beraneka warna, ada yang hitam kelam. Diantara gunung ada keberagaman manusia, tanaman, hewan. -Original Message- From: Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, March 27, 2008 5:19 AM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik .. apalagi bagi kita2 yang punya anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah.. dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan... apakah mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi extra ordinary people ... yang sukses dengan jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan ...dan barang tentu tidak semua orang yang mengambil jalan berbeda akan selalu sukses .. Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal, selain matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence dimana anak berkembang bersama dengan teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan - Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak dikemudian hari sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang selangit salam, Didik Fotunadi -Original Message- From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32 To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul. 2 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal. Agus Hend Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan cara iqra-nya bang Ayip itu. spirit of Iqro... Agus Hendratno yudi purnama [EMAIL PROTECTED] wrote: Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat Bravo Ajip Rosidi. Yudi On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote: Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan cara iqra-nya bang Ayip itu. spirit of Iqro... Agus Hendratno yudi purnama [EMAIL PROTECTED] wrote: Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat Bravo Ajip Rosidi. Yudi On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote: Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul. 2 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal. Agus Hend Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini
RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Jadi ingat Haji Agus Salim yang ngga percaya pendidikan formal, yang kemudian memutuskan mendidik sendiri anak2nya dirumah. Salam Hendri -Original Message- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: 26 Maret 2008 13:44 To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Mas Agus, Contoh yang dibuat oleh teman Mas Agus tersebut apakah sudah terbukti baik? Maksud saya bagaimana hasilnya, bukan hanya kemampuan si anak terhadap pengetahuan apa yang diajarkan tetapi bersosialisasi dengan teman-teman saat sekolah itu sesungguhnya sangat penting. Perselisihan, persahabatan, yang terjadi saat bermain, ya namanya anak-anak, akan membentuk karakter kita, bagaimana kita bisa menyelesaikannya. Banyak hal lainnya yang positip saat bersekolah. Jika anak kita bukan yang ANOMOALI (mengutip istilah diskusi sebelumnya) bukankah sebaiknya mengikuti cara umum yang telah kita praktekkan selama ini. Belajar disekolah negri atau swasta atau madrasah. Jangan lihat Pak Ayip, karena itu kurang bisa menjadi teladan buat anak-anak yang tidak ANOMALI. Mas, Sampeyan itu kan dosen tentu saja punya data mahasiswa yang masuk ke kampus. Coba perlihatkan, mereka datang dari SMA/SMU mana saja. Coba tunjukkan perbandingannya, antara negri vs swasta vs international school vs SMA plus atau lainnya. Atau bisa buat perbandingan dari sekolah di Jawa vs luar Jawa vs Sumatra vs Kalimantan vs Sulawesi vs dll Sehingga kita bisa lihat out put dari berbagai sekolah tersebut. Ini hanya lingkup kecil saja. salam benz Pada tanggal 26/03/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] menulis: Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul. 2 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal. Agus Hend Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Berbeda dengan anaknya donald trump dan anaknya billgates juga anaknya purdi e chandra yang malah masuk pendidikan formal berijazah Orang tua2 ini cenderung protes dg apa yg telah diperoleh. Weleh2 Rdp On 3/26/08, Hendri Harsian [EMAIL PROTECTED] wrote: Jadi ingat Haji Agus Salim yang ngga percaya pendidikan formal, yang kemudian memutuskan mendidik sendiri anak2nya dirumah. Salam Hendri -Original Message- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: 26 Maret 2008 13:44 To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah) Salam Rdp On 3/26/08, Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] wrote: Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana
RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik .. apalagi bagi kita2 yang punya anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah.. dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan... apakah mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi extra ordinary people ... yang sukses dengan jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan ...dan barang tentu tidak semua orang yang mengambil jalan berbeda akan selalu sukses .. Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal, selain matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence dimana anak berkembang bersama dengan teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan - Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak dikemudian hari sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang selangit salam, Didik Fotunadi -Original Message- From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32 To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul. 2 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal. Agus Hend Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii kalau mleset menjadi minus ngapain sekolah wong billgates saja do, eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas. Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa tanpa telor. Dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa Ijazah !! Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan. Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar. Learning (belajar) not just studying (sekolah
RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Rakyat kecil mah gak boleh sekolah tinggi2dan gak boleh sakit karena biaya sekolah dan berobat sudah tdk terjangkau lagi oleh rakyatsubsidi utk pendidikan dan kesehatan yg tidak mencapai sasaran yg tepat membuat rakyat frustasi...wislah gak lanjutkan sekolah wae.belajar sendiri saja..semangat ini sudah banyak kita temui dikalangan rakyat yg kreaktif-inovatif (lihat kick andy)..kalau pemerintah dan orang2 kaya tidak perhatian dan tidak membenahi hal2 inipendidikan sudah tidak bermutu lagi, ijazah2 sudah gampang dibeli.akan lahir dari putra2 bangsa Ayip Rosidi2x lainnya.semogamasyarakat kita tetap menghargai orang2 yg kreaktip, produktif, berakhlak mulia, pekerja keras dan pintar. Salam, Agus Irianto --- Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [EMAIL PROTECTED] wrote: Mengikuti diskusi hidup tanpa ijazah menarik .. apalagi bagi kita2 yang punya anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah.. dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan... apakah mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah saya setuju dengan mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi extra ordinary people ... yang sukses dengan jalur berbeda dengan rata-rata manusia kebanyakan ...dan barang tentu tidak semua orang yang mengambil jalan berbeda akan selalu sukses .. Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal, selain matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence dimana anak berkembang bersama dengan teman2 seumurnya belajar menemukan diri diantara linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan - Kalo orangtua mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak dikemudian hari sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang selangit salam, Didik Fotunadi -Original Message- From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32 To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul. 2 putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD - SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal. Agus Hend Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Noor Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode konvensional (akademis). Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film little house of the prairie jaman aku kecil dulu. Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2. Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian dari ngobyek. Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode homeschool bukanlah yang ideal Salam On 3/26/08, noor syarifuddin wrote: untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian persamaan atau via UT. jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang tentunya mengarah ke
[iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus ! Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang. Mengapa Ajip memberi judul buku ini Hidup Tanpa Ijazah ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya. Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang seperti dia. Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di sekolah, belajar bisa di mana saja. Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran soal-soal ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli soal ujian, guru-guru pun
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah sekolah seperti halnya Kang Ayip. Salam, ndh - Original Message - From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] To: IAGI iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus ! Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang. Mengapa Ajip memberi judul buku ini Hidup Tanpa Ijazah ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya. Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat Bravo Ajip Rosidi. Yudi On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus ! Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang. Mengapa Ajip memberi judul buku ini Hidup Tanpa Ijazah ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya. Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang seperti dia. Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan
[iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF (biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS, Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th, lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'. Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali ijazah formal menjadi 'kurang perlu'. Salam Abah ANOM -Original Message- From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah sekolah seperti halnya Kang Ayip. Salam, ndh - Original Message - From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] To: IAGI iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat
Re: [iagi-net-l] RE: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Kalau buat jadi Presiden, perlu ijazah gak ya??? Tonny P. Sastramihardja [EMAIL PROTECTED] wrote: He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF (biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS, Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th, lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'. Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali ijazah formal menjadi 'kurang perlu'. Salam Abah ANOM -Original Message- From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip sangat dekat, karena rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi maupun yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai sastrawan, dia memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya, yaitu pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya ijazah sekolah seperti halnya Kang Ayip. Salam, ndh - Original Message - From: Awang Satyana To: IAGI ; Forum HAGI Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan
Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
Lha memang khitahnya manusia adalah membaca atau Iqra...; Tuhan menurunkan perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah IQRA Membaca. Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah membaca bukan mencari ijazah (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik). Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam kampus-kampus formal) maupun belantara 'akademik dari kampus-kampus alam semesta (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang disebut ijazah. Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang sangat ditentukan oleh proses pendidikan formal yang bermuara pada selembar kertas ijazah. Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU untuk membaca hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini. Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya manusia diamanahkan di Bumi ini adalah Iqra. Sebagian dari makna Iqra itu kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian kita bisa membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering kita membaca / iqra secara tekstual maupun secara kontekstual, maka semakin baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan (paling tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang mau dan mampu membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan cara iqra-nya bang Ayip itu. spirit of Iqro... Agus Hendratno yudi purnama [EMAIL PROTECTED] wrote: Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat Bravo Ajip Rosidi. Yudi On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote: Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ? Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ? Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam Ucapan Terimakasih. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini