Re: [iagi-net-l] PP No.2/ 2008
Salam, Apa yang P.Ndaru bilang itu banyak benernya. Kami yang berkutat ditambang agak risih membaca artikel yang ada di Kompas hari ini (kebetulan saya baca). Tambang nggak melulu ngrusak hutan, kami tetap ada usaha untuk memperbaiki hasil galian-galian kami yang membuat bumi bopeng-bopeng. Apa JATAM ini ndak tahu kalo sudah banyak perusahaan tambang yang memperoleh ISO14001 (Environment). Ya...mungkin JATAM hanya bermain di area tambangnya pak Haji (=KP lokal yang seenak udel-e dewe) ndak pernah bermain di perusahaan berstatus PKP2B. Iya... itulah... :-) .:WA:. wahyudi.adhiutomo[at]borneo-indobara.com kirimsuratkeyudi[at]gmail.com - Original Message - From: mohammad syaiful [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Thursday, February 21, 2008 6:54 PM Subject: Re: [iagi-net-l] PP No.2/ 2008 pak ndaru, kalo isunya 'hutan', apakah memungkinkan 'mendekati' LSM yg bergerak di bidang hutan ini? tentunya mereka punya info yg lebih bisa dipercaya. yg saya maksud, CIFOR di mbogor adalah -katanya- LSM terbesar yg bergerak di bidang hutan. kalo jatam alias jaringan advokasi tambang, 'kan mereka memang dilahirkan utk mengurusi soal 'tambang' ini, jadi isu hutan tentunya hanyalah satu bagian saja (mereka bisa angkat isu lain: penduduk lokal sbg korban, dsb). maaf, nggak bisa membantu banyak. salam, syaiful 2008/2/21 Sukmandaru Prihatmoko [EMAIL PROTECTED]: Rekan2, Di bawah sana Opini di Kompas hari ini ttg PP No.2/ 2008 yang banyak disikapi negative oleh kawan-kawan LSM. Di luar esensi PP No.2/ 2008, tulisan di bawah terasa sekali menohok dan menjadikan pertambangan sebagai terdakwa utama perusakan/ kerusakan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi. ... Dan sudah berulang-ulang kawan2 yg aktif di pertambangan (sampai bosan..) menanggapi isu beginian kenapa tidak dilakukan penelitian rinci ttg penyebab kerusakan hutan kita ini.??. Sekitar awal 2000-an sebenarnyalah ada institusi yg sudah lakukan investigasi ini (lupa namanya... ada-kah yg ingat?) dan sector pertambangan hanya-lah menyumbang 0.1% (cmiiw). Dan ...semua yg diulas di tulisan itu ttg pertambangan adalah sisi negative-nya saja - tidak pernah (sangat sedikit) diulas bahwa kehidupan kita ini berjalan karena ditopang oleh produksi tambang (mobil, rumah, computer . lanjutin sendiri please.aku sering kehabisan energi nggedebus begini saking berulang-ulangnya). Bahkan pasokan batubara seret karena cuaca -pun . terpaksa listrik Jakarta - Banten padam bbrp jam kemarin (lihat Kompas hari ini). Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM ini untuk menandingi propaganda negative ttg tambang. Salam - Daru PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan dengan baik... Hutan Lindung dan Masyarakat Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB Siti Maemunah Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng. Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4 Februari lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Seharga pisang goreng PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif untuk semua itu menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Itulah harga hutan lindung termurah-kalaupun fungsinya bisa diuangkan-yang resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per meter, lebih murah dari sepotong pisang goreng. Inilah cara amat buruk menghargai fungsi lindung hutan. Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam, khususnya hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor di pelosok negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke daerah-daerah korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat kebijakan yang dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya korban. PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar, sepanjang 2005 dan 2006. Kerusakan hutan terbesar
Re: [iagi-net-l] PP No.2/ 2008
Pak Ndaru, Kebetulan di Bisnis Indonesia hari ini juga ada artikel tentang PP No 2/2008, yang judulnya saya pikir lebih provokatif: PP No 22/2008 hancurkan hutan RI !!, Meski kalau dilihat isinya tidaklah hanya menohok industri pertambangan seperti yang ada di koran Kompas, tetapi lebih ke banyak sektor. Dari sektor pertambangan, termasuk yang disorot tajam oleh seorang dari salah satu pusat studi ekonomi, yg mengatakan bahwa aturan tersebut memberi peluang investasi di hutan lindung utk aktifitas pertambangan (terbuka - horisontal), yang mana nilai kompensasinya tidak seimbang dengan kerusakan lingkungan di areal hutan tsb. Nurut-ku, bahwa kita sebagai salah satu pelaku pertambangan bisa memberikan opini ke publik dan pemerintah (yang tentunya harus kuat-kuatan dengan LSM anti mining), tentang pertambangan yang bener...yang tepat eksplorasinya, ada perencanaan tambang, sampai ke operasi/produksi serta reklamasinya nanti. Dan mari kita ajak ke jalan yang benar teman2 profesional atau para pemain tambang yang sudah mulai main2 dengan praktek pertambangan dengan cara yang penting pokoke cepet dapat hasil setelah diambil trus pergi!, jadi mrk umumnya ngikutin trend nya orang2 yang semata-mata bisnis dengan nggak ada pengetahuan profesional tambang sama sekali, tapi mrk dapat ijin KP dari Bupati. Mungkin seharusnya tugasnya institusi pemerintah untuk memberi pembelajaran publik, dan bertindak sebagai polisi (yg capable) untuk ngatur dan ngawasi permainan tambang di lapangan, yg tentunya diperlukan koordinasi antar polisi (antar department, antara pemerintah daerah dan pusat). Dan kita sebagai praktisi dan profesional, yang bisa kita lakukan pokoke ngomong wae terus (bisa jadi saking berbusanya..terus jadi nggedebus!) bisa jadi didengarkan..bisa jadi seperti biasa gone with the wind!. Terus apa yang sudah terjadi: Mosok perusahaan tambang yang mau bener kok disulit-sulitin kerja, sementara orang yang nggak bener malah di-ijinin dan aktifitas serta hasilnya nggak ke-kontrol lagi...(nah inilah yang harusnya LSM seperti Jatam dan Walhi sorotin, bukannya malah asal perusahaan yang kelihatan besar dan bisa memberikan gaung yang mereka teriakin..!) Salam, -abl- 2008/2/21 mohammad syaiful [EMAIL PROTECTED] pak ndaru, alah kalo isunya 'hutan', apakah memungkinkan 'mendekati' LSM yg bergerak di bidang hutan ini? tentunya mereka punya info yg lebih bisa dipercaya. yg saya maksud, CIFOR di mbogor adalah -katanya- LSM terbesar yg bergerak di bidang hutan. kalo jatam alias jaringan advokasi tambang, 'kan mereka memang dilahirkan utk mengurusi soal 'tambang' ini, jadi isu hutan tentunya hanyalah satu bagian saja (mereka bisa angkat isu lain: penduduk lokal sbg korban, dsb). maaf, nggak bisa membantu banyak. salam, syaiful 2008/2/21 Sukmandaru Prihatmoko [EMAIL PROTECTED]: Rekan2, Di bawah sana Opini di Kompas hari ini ttg PP No.2/ 2008 yang banyak disikapi negative oleh kawan-kawan LSM. Di luar esensi PP No.2/ 2008, tulisan di bawah terasa sekali menohok dan menjadikan pertambangan sebagai terdakwa utama perusakan/ kerusakan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi. ... Dan sudah berulang-ulang kawan2 yg aktif di pertambangan (sampai bosan..) menanggapi isu beginian kenapa tidak dilakukan penelitian rinci ttg penyebab kerusakan hutan kita ini.??. Sekitar awal 2000-an sebenarnyalah ada institusi yg sudah lakukan investigasi ini (lupa namanya... ada-kah yg ingat?) dan sector pertambangan hanya-lah menyumbang 0.1% (cmiiw). Dan ...semua yg diulas di tulisan itu ttg pertambangan adalah sisi negative-nya saja - tidak pernah (sangat sedikit) diulas bahwa kehidupan kita ini berjalan karena ditopang oleh produksi tambang (mobil, rumah, computer . lanjutin sendiri please.aku sering kehabisan energi nggedebus begini saking berulang-ulangnya). Bahkan pasokan batubara seret karena cuaca -pun . terpaksa listrik Jakarta - Banten padam bbrp jam kemarin (lihat Kompas hari ini). Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM ini untuk menandingi propaganda negative ttg tambang. Salam - Daru PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan dengan baik... Hutan Lindung dan Masyarakat Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB Siti Maemunah Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng. Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4 Februari lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan.
Re: [iagi-net-l] PP No.2/ 2008
Rekan, Menilik kalimat*:Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM ini untuk menandingi propaganda negative ttg tambang. * Hal tersebut tentunya sudah dilakukan oleh perusahaan-preusahaan secara mandiri, artinya mereka menghadapi secara defensive dan presentasi dikala mereka menghadapi LSM yang pro environment; seperti yang dilakukan oleh: arutmin, adaro, berau, kem, freeport, dll. Kebanyakan dari perusahaan yang bisa menghalau (walau sementara) adalah mereka yang mempunyai data kompilasi dari sejak 'rona awal' sampai pada kegiatan terakhir di kawasan hutan (eksplorasi/pasca tambang). Sekarang masalahnya bagaimana caranya menghimpun 'militant-militant' dari berbagai perusahaan untuk dijadikan suatu komunitas tertentu untuk merumuskan dan 'menandingi' propaganda negative ttg tambang serta melakukan penelitian rinci bersama tentang penyebab kerusakan hutan (ya . . . minimal kita memastikan data statistik dampak dunia pertambangan dengan kerusakan secara global di tanah air) - kalau hasilnya memang dunia pertambangan penyumbang terbesar kerusakan hutan, marilah kita berpikir?! Bagi 'militant' dari perusahaan pertambangan yang tidak mengikuti ketentuan pertambangan dan lingkungan, supaya tidak ikut dalam komunitas yang dimaksud?. (*PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan dengan baik...)* Salam, Slamet Riyadi On 2/21/08, Sukmandaru Prihatmoko [EMAIL PROTECTED] wrote: Rekan2, Di bawah sana Opini di Kompas hari ini ttg PP No.2/ 2008 yang banyak disikapi negative oleh kawan-kawan LSM. Di luar esensi PP No.2/ 2008, tulisan di bawah terasa sekali menohok dan menjadikan pertambangan sebagai terdakwa utama perusakan/ kerusakan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi. ... Dan sudah berulang-ulang kawan2 yg aktif di pertambangan (sampai bosan..) menanggapi isu beginian kenapa tidak dilakukan penelitian rinci ttg penyebab kerusakan hutan kita ini.??. Sekitar awal 2000-an sebenarnyalah ada institusi yg sudah lakukan investigasi ini (lupa namanya... ada-kah yg ingat?) dan sector pertambangan hanya-lah menyumbang 0.1% (cmiiw). Dan ...semua yg diulas di tulisan itu ttg pertambangan adalah sisi negative-nya saja - tidak pernah (sangat sedikit) diulas bahwa kehidupan kita ini berjalan karena ditopang oleh produksi tambang (mobil, rumah, computer . lanjutin sendiri please.aku sering kehabisan energi nggedebus begini saking berulang-ulangnya). Bahkan pasokan batubara seret karena cuaca -pun . terpaksa listrik Jakarta - Banten padam bbrp jam kemarin (lihat Kompas hari ini). Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM ini untuk menandingi propaganda negative ttg tambang. Salam - Daru PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan dengan baik... Hutan Lindung dan Masyarakat Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB Siti Maemunah Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng. Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4 Februari lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Seharga pisang goreng PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif untuk semua itu menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Itulah harga hutan lindung termurah-kalaupun fungsinya bisa diuangkan-yang resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per meter, lebih murah dari sepotong pisang goreng. Inilah cara amat buruk menghargai fungsi lindung hutan. Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam, khususnya hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor di pelosok negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke daerah-daerah korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat kebijakan yang dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya korban. PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar,
[iagi-net-l] PP No.2/ 2008
Rekan2, Di bawah sana Opini di Kompas hari ini ttg PP No.2/ 2008 yang banyak disikapi negative oleh kawan-kawan LSM. Di luar esensi PP No.2/ 2008, tulisan di bawah terasa sekali menohok dan menjadikan pertambangan sebagai terdakwa utama perusakan/ kerusakan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi. ... Dan sudah berulang-ulang kawan2 yg aktif di pertambangan (sampai bosan..) menanggapi isu beginian kenapa tidak dilakukan penelitian rinci ttg penyebab kerusakan hutan kita ini.??. Sekitar awal 2000-an sebenarnyalah ada institusi yg sudah lakukan investigasi ini (lupa namanya... ada-kah yg ingat?) dan sector pertambangan hanya-lah menyumbang 0.1% (cmiiw). Dan ...semua yg diulas di tulisan itu ttg pertambangan adalah sisi negative-nya saja - tidak pernah (sangat sedikit) diulas bahwa kehidupan kita ini berjalan karena ditopang oleh produksi tambang (mobil, rumah, computer . lanjutin sendiri please.aku sering kehabisan energi nggedebus begini saking berulang-ulangnya). Bahkan pasokan batubara seret karena cuaca -pun . terpaksa listrik Jakarta - Banten padam bbrp jam kemarin (lihat Kompas hari ini). Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM ini untuk menandingi propaganda negative ttg tambang. Salam - Daru PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan dengan baik... Hutan Lindung dan Masyarakat Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB Siti Maemunah Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng. Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4 Februari lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Seharga pisang goreng PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif untuk semua itu menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Itulah harga hutan lindung termurah-kalaupun fungsinya bisa diuangkan-yang resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per meter, lebih murah dari sepotong pisang goreng. Inilah cara amat buruk menghargai fungsi lindung hutan. Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam, khususnya hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor di pelosok negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke daerah-daerah korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat kebijakan yang dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya korban. PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar, sepanjang 2005 dan 2006. Kerusakan hutan terbesar terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Dua pulau ini memiliki konsesi tambang yang jumlah dan luasnya amat besar. Di Kalimantan Selatan saja, sedikitnya ada 400 perizinan tambang batu bara, sebagian besar keluar pascareformasi. Banyak peraturan dikeluarkan pemerintah bukannya membuat keselamatan dan produktivitas rakyat terjamin, tetapi justru sebaliknya. Peneliti Cifor menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir telah disahkan 500 lebih peraturan Menteri Kehutanan untuk mengurus hutan Indonesia. Dalam jangka yang sama, luas hutan menyusut 11,2 juta hektar. Yang paling bersorak tentu pelaku pertambangan. Sejak delapan tahun lalu, berbagai perusahaan tambang asing melakukan lobby hingga ancaman membawa Indonesia ke arbitrase internasional. Kontrak karya mereka terganjal status hutan lindung. Akhirnya, UU Kehutanan Tahun 1999, yang melarang tambang terbuka di hutan lindung, berhasil diamandemen dua tahun lalu. Ada 13 perusahaan yang mendapat pengecualian meneruskan tambangnya di hutan lindung. Sebagian besar adalah perusahaan tambang asing raksasa, sekelas Freeport dari AS, Rio Tinto dari Inggris, Inco dari Kanada, dan Newcrest dari Australia. Sejak itu, jika mau membuka tambang di hutan lindung, mereka harus mencari hutan kompensasi. Tetapi, itu tak cukup. Mereka mengeluhkan lahan kompensasi sulit didapat. Mereka mau cara lebih mudah dan murah, dan dijawab pemerintah dengan munculnya PP ini. Daya rusak tambang Berlawanan dengan kemanjaan yang