[iagi-net-l] Solusi bagi Penolakan Terhadap Survei Seismik di Porong

2011-05-28 Terurut Topik bosman batubara
tulisan berikut sayacopas dari note saya di FB:

***

Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, meminta warga di 45 RT di sekitar  lokasi Lumpur 
Lapindo untuk bersabar dan menerima uji seismik yang akan  dilakukan oleh 
kementerian ESDM di kawasan mereka. Namun, warga menolak  dengan alasan 
khawatir 
bahwa hasil uji seismik akan dipakai sebagai  basis bagi pengambilan kebijakan 
sehubungan dengan daerah mereka  (Tempointeraktif, 31 Maret 2011).
 
Pada dasarnya uji  seismik sangat penting dilakukan di Porong untuk mengetahui 
kondisi  bawah permukaan. Melalui rekaman seismik para ahli akan dapat  
menginterpretasi struktur bawah permukaan di sekitar semburan. Struktur  bawah 
permukaan ini, misalnya saja, berupa patahan-patahan yang ada di  sana yang, 
kalau mengikuti kerangka berfikir geolog, pasti sudah sangat  banyak, terutama 
karena terjadinya amblesan di beberapa tempat. Logika  sederhananya, sebuah 
amblesan akan diikuti oleh patahan.
 
Dalam  kasus Lumpur Lapindo uji seismik menjadi sangat penting karena data ini  
termasuk langka terutama pasca semburan. Berdasarkan publikasi ilmiah  tentang 
Lumpur Lapindo yang dapat saya ikuti, kondisi bawah permukaan  ini menjadi 
salah 
satu lubang karena minimnya data seismik yang  tersedia. Sementara, untuk 
menghasilkan model bawah permukaan yang  bagus, data seismik adalah salah satu 
hal yang sangat dibutuhkan.
 
Data  seismik banyak digunakan oleh para geolog yang bekerja di industri  
minyak 
dan gas untuk memprediksi perangkap-perangkap hidrokarbon yang  ada di bawah 
permukaan. Ini bukan berarti bahwa data seismik hanya dapat  digunakan untuk 
mencari perangkap minyak dan gas, tetap bisa juga untuk  hal yang lain. Salah 
satunya adalah untuk modelling bawah permukaan seperti yang dibutuhkan di 
Porong.
 
Lantas,  seperti apa kita harus memposisikan permintaan Pakdhe Karwo dan  
penolakan warga dalam kasus ini? Benar, dari perspektif sains, saya  percaya 
setiap orang yang belajar geologi akan sangat mendukung  dilakukannya survei 
seismik tersebut. Akan tetapi, perlu kita ingat juga  bahwa kenyataan hidup ini 
bukanlah masalah sains belaka. Banyak hal  lain yang juga perlu 
dipertimbangkan, 
apalagi dalam mengambil sebuah  kebijakan yang menyangkut orang banyak seperti 
korban lumpur.
 
Bagi  saya penolakan yang dilakukan warga sangat masuk akal. Terutama mungkin  
karena mereka belajar dari pengalaman warga dari beberapa Desa yang  sudah 
memiliki payung hukum sebelumnya. Dari tiga generasi Perpres yang  sudah 
dikeluarkan sehubungan dengan Lumpur Lapindo, yaitu Perpres  14/2007, Perpres 
48/2008, dan Perpres 49/2009, belum ada satu pun yang  tuntas dilaksanakan.
 
Untuk Perpres 14/2007, kondisi umum  per Januari 2011, dari sekitar 13.000 
warga 
korban Lumpur Lapindo yang  berada di bawah payung hukum ini, baru sekitar 55% 
yang sudah lunas  dalam artian menerima dana kompensasi untuk jual beli aset 
mereka.  Dengan catatan, mereka yang sudah dilunasi kebanyakan adalah bekas 
warga  Perumtas yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang kecil kalau  
dibandingkan dengan mereka yang berasal dari desa (non-perumahan) yang  
rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang besar.
 
Lebih  jauh, karena adanya skema pembayaran cicilan yang diciptakan oleh PT  
Minarak Lapindo Jaya, ada korban Lumpur yang dana kompensasinya baru  akan 
lunas 
dalam 38 tahun ke depan. Itupun dengan catatan pembayaran  cicilan lancar 
setiap 
bulannya. Kalau pembayaran cicilan macet-macet  seperti yang sering terjadi, 
maka jangka waktu pelunasan itu akan  semakin lama. Padahal, dalam redaksi 
Perpres 14/2007 Pasal 15 Ayat (2)  dinyatakan bahwa pembayaran dilakukan 
selambat-lambatnya sebulan sebelum  masa kontrak rumah dua tahun habis. Mengacu 
ke waktu pemberian uang  kontrak rumah yang didapatkan oleh korban Lumpur 
Lapindo, maka  seharusnya pembayaran ini sudah selesai pada sekitar akhir tahun 
2008  yang lalu.
 
Bagi warga yang berada di bawah payung hukum  Perpres 48/2008 (Desa Besuki 
sebelah barat tol, Desa Pejarakan dan Desa  Kedungcangkring) nasib mereka tidak 
jauh berbeda. Karena Pasal 15B ayat  (5) Perpres 48/2008 mensyaratkan pelunasan 
dilakukan apabila PT Lapindo  Brantas Inc., (LBI) telah melunasi  
tanggungjawabnya terhadap pembayaran  dana kompensasi bagi korban Lumpur 
Lapindo 
yang tertera dalam Perpres  14/2007. Artinya, selama urusan dalam Perpres 
14/2007 belum tuntas, maka  urusan dalam Perpres 48/2008 juga akan ikut 
terbengkalai.
 
Sementara  bagi warga yang berada di bawah payung hukum Perpres 40/2009 (3 RT 
di  
Desa Mindi, Desa Siring Barat dan Desa Jatirejo Barat), nasib mereka  malah 
lebih buruk lagi. Karena pada saat ini tuntutan mereka baru pada  tahap 
merealisasikan Perpres 40/2009. Sampai saat ini warga belum  menerima dana 
kompensasi atas aset mereka.
 
Berdasarkan  rekam jejak penegakan hukum yang payah pada seputaran kasus Lumpur 
 
Lapindo ini, maka penolakan warga di 45 RT ini sangat dapat dipahami.  
Kekhawatiran mereka bahwa nantinya data 

Re: [iagi-net-l] Solusi bagi Penolakan Terhadap Survei Seismik di Porong

2011-05-28 Terurut Topik kartiko samodro
Bung Bosman,

apakah memang secara hukum untuk memutuskan kompensasi yang dibayarkan ke
masyarakat yang menjadi korban lumpur lapindo harus menunggu penelitian
geoscience tentang penyebab lumpur lapindo ini ?
karena kalau menunggu keputusan geoscience mungkin masih butuh bertahun
tahun lagi ( ijin dan biaya shot 3  D seismic dan procesingnya, lalu siapa
yang boleh menginterpretasi, dan saya kira objective 3D seismic ini lebih ke
upaya pencegahan perluasan dari lumpur lapindo dan bukan menentukan
penyebab dari lumpur lapindo ini).

Saya setuju dengan anda bahwa pihak lapindo dan pemerintah harus segera
memberikan kompensasi atas lahan masyarakat dan bukan lari dari masalah
dengan alasan mencari sebabnya dulu apakah ini disebabkan gempa / drilling.
Dan saya kira dana untuk membayar kompensasi ini sangat rendah dibandingkan
kekayaan grup lapindo.

Karena kalau situasi ini tidak cepat ditangani oleh pemerintah secara bijak,
bukan tidak mungkin akan makin banyak saja penolakan masyarakat terhadap
proyek energi pemerintah ( baik migas, geothermal, batu bara, nuklir  dsb).
Saya kira masyarakat tidak akan peduli apakah penyebabnya karena gempa bumi/
drilling, yang pasti bahwa setelah drilling banjar panji, mereka kehilangan
rumah, pekerjaan dan seakan semua pihak tidak ada yang mau bertanggung
jawab.


2011/5/29 bosman batubara bosman200...@yahoo.com

  tulisan berikut sayacopas dari note saya di FB:

 ***

 Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, meminta warga di 45 RT di sekitar lokasi
 Lumpur Lapindo untuk bersabar dan menerima uji seismik yang akan dilakukan
 oleh kementerian ESDM di kawasan mereka. Namun, warga menolak dengan alasan
 khawatir bahwa hasil uji seismik akan dipakai sebagai basis bagi pengambilan
 kebijakan sehubungan dengan daerah mereka (Tempointeraktif, 31 Maret 2011).



 Pada dasarnya uji seismik sangat penting dilakukan di Porong untuk
 mengetahui kondisi bawah permukaan. Melalui rekaman seismik para ahli akan
 dapat menginterpretasi struktur bawah permukaan di sekitar semburan.
 Struktur bawah permukaan ini, misalnya saja, berupa patahan-patahan yang ada
 di sana yang, kalau mengikuti kerangka berfikir geolog, pasti sudah sangat
 banyak, terutama karena terjadinya amblesan di beberapa tempat. Logika
 sederhananya, sebuah amblesan akan diikuti oleh patahan.



 Dalam kasus Lumpur Lapindo uji seismik menjadi sangat penting karena data
 ini termasuk langka terutama pasca semburan. Berdasarkan publikasi ilmiah
 tentang Lumpur Lapindo yang dapat saya ikuti, kondisi bawah permukaan ini
 menjadi salah satu lubang karena minimnya data seismik yang tersedia.
 Sementara, untuk menghasilkan model bawah permukaan yang bagus, data seismik
 adalah salah satu hal yang sangat dibutuhkan.



 Data seismik banyak digunakan oleh para geolog yang bekerja di industri
 minyak dan gas untuk memprediksi perangkap-perangkap hidrokarbon yang ada di
 bawah permukaan. Ini bukan berarti bahwa data seismik hanya dapat digunakan
 untuk mencari perangkap minyak dan gas, tetap bisa juga untuk hal yang lain.
 Salah satunya adalah untuk *modelling* bawah permukaan seperti yang
 dibutuhkan di Porong.



 Lantas, seperti apa kita harus memposisikan permintaan Pakdhe Karwo dan
 penolakan warga dalam kasus ini? Benar, dari perspektif sains, saya percaya
 setiap orang yang belajar geologi akan sangat mendukung dilakukannya survei
 seismik tersebut. Akan tetapi, perlu kita ingat juga bahwa kenyataan hidup
 ini bukanlah masalah sains belaka. Banyak hal lain yang juga perlu
 dipertimbangkan, apalagi dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut
 orang banyak seperti korban lumpur.



 Bagi saya penolakan yang dilakukan warga sangat masuk akal. Terutama
 mungkin karena mereka belajar dari pengalaman warga dari beberapa Desa yang
 sudah memiliki payung hukum sebelumnya. Dari tiga generasi Perpres yang
 sudah dikeluarkan sehubungan dengan Lumpur Lapindo, yaitu Perpres 14/2007,
 Perpres 48/2008, dan Perpres 49/2009, belum ada satu pun yang tuntas
 dilaksanakan.



 Untuk Perpres 14/2007, kondisi umum per Januari 2011, dari sekitar 13.000
 warga korban Lumpur Lapindo yang berada di bawah payung hukum ini, baru
 sekitar 55% yang sudah lunas dalam artian menerima dana kompensasi untuk
 jual beli aset mereka. Dengan catatan, mereka yang sudah dilunasi kebanyakan
 adalah bekas warga Perumtas yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang
 kecil kalau dibandingkan dengan mereka yang berasal dari desa
 (non-perumahan) yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang besar.



 Lebih jauh, karena adanya skema pembayaran cicilan yang diciptakan oleh PT
 Minarak Lapindo Jaya, ada korban Lumpur yang dana kompensasinya baru akan
 lunas dalam 38 tahun ke depan. Itupun dengan catatan pembayaran cicilan
 lancar setiap bulannya. Kalau pembayaran cicilan macet-macet seperti yang
 sering terjadi, maka jangka waktu pelunasan itu akan semakin lama. Padahal,
 dalam redaksi Perpres 14/2007 Pasal 15 Ayat (2) dinyatakan bahwa pembayaran
 dilakukan selambat-lambatnya