Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia
Pak Rovicky, Di beberapa tempat yang cuacanya sering buruk memang cuaca sering berpengaruh kepada jalannya operasi migas. Beberapa pengalaman misalnya seperti di bawah ini. (1) di Blok Rombebai Papua Utara, Nations Petroleum sampai hampir setahun stand by dan kesulitan memobilisasi peralatan rig-nya karena jalan yang sangat buruk kondisinya akibat hujan terus. Untuk masuk ke muara sungai yang cukup lebar pun harus berhitung-hitung karena beting pasir di sana berpindah-pindah. Bagaimana kalau tengah mobilisasi peralatan berat di muara sungai tiba2 wilayah itu dikepung pasir yang dibawa Lautan Pasifik masuk ke anak2 Sungai Mamberamo di sana ? Hm..tentu gak lucu... (2) Di Kepala Burung Papua, khususnya Pulau Salawati, hujannya banyak. Lokasi rig yang sudah keras tak jarang menjadi seperti bubur lumpur lagi. Jelas ini menghambat mobilisasi. Untuk berjalan dari portacamp wellsite geologist ke portacam mud logging unit atau rig terpaksa dipasang titian dari papan kayu agar safety shoes tak terbenam di lumpur. Ini lama-lama bisa membahayakan rig site kan. Tetapi karena banyak genangan di jalan, ada manfaatnya juga, banyak kolam dadakan yang bisa ditanami ikan gabus dan hidup dengan baik ternyata. (3) Sebuah kapal survey di Selat Makassar yang tengah shooting seismik oleh suatu operator di sana terpaksa ditarik ke Singapore beberapa bulan lalu untuk perbaikan sebab sistem listrik kapal rusak dihantam badai. Pekerjaan jadi tertunda, padahal tengah mengejar komitmen. Di beberapa daerah cuaca dapat diprediksi dengan baik sehingga pekerjaan2 lapangan bisa ditangguhkan bila cuaca di periode tertentu jelek; tetapi di banyak wilayah Indonesia Timur tak gampang menunggu cuaca baik. Terbang saja kalau dari Luwuk atau Jayapura harus berhitung-hitung dengan cuaca, jangan sampai didahului cuaca jelek. Ya, menurut hemat saya, kita ikuti saja prediksi para ahli cuaca. Saya melihat kualitas prediksi ahli-ahli cuaca kita semakin bagus dan detail. Salam, awang --- On Mon, 7/21/08, Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia To: iagi-net@iagi.or.id Date: Monday, July 21, 2008, 4:45 PM Wah menarik pak awang, Aku jadi inget sebuah tayangan di TV national geography atau discovery channel tentang peranan ramalan cuaca dalam sebuah perang ini. Dan tengok-tengok ternyata ada juga presentasi hal ini disini : http://www.ofcm.gov/wist_proceedings/pdf/panel1/mneyland.pdf Menarik juga ya ... dulu pernah kita bicara di mailist ini tentang peranan geologist dalam perang. Skali lagi perang ! Haddduh perang memang memerluka segalanya untuk menang. Btw, Bagaimana menurut Pak Awang peranan ahli cuaca dalam prakiraan cuaca dalam kondisi saat ini yang lebih susah diprediksi dalam operasi minyak bumi. Saya pernah denger bahwa window untuk melakukan shooting seismic di Natuna ini sangat tergantung cuaca juga. RDP On Mon, Jul 21, 2008 at 5:20 PM, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang rasanya kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan semua, semoga bermanfaat menambah pengetahuan. Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : Geschiedenis van Java dan Geografi Kesejarahan Daldjoeni (1984, 1992). Kedua penulis ini menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram menghitung-hitung rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di Batavia (1628-1629). Berikut ringkasannya. Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat itu musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang berhembus ke timur akan menyusahkan kapal-kapal Mataram berlayar ke barat dari pesisir utara Jawa Tengah menuju Batavia. Selain itu, Batavia harus digempur dari laut dan dari darat secara bersatu dan kompak. Ini tak mungkin dalam bulan-bulan musim hujan, tetapi harus dilakukan dalam musim kemarau yaitu Juli-September. Sebab, pada musim kemarau bertiup angin Timur ke barat yang akan mendorong kapal-kapal Mataram berlayar ke Batavia. Pada musim kemarau, angkatan darat Mataram akan memperoleh banyak bantuan dari para petani di sepanjang perjalanan sebab para petaninya baru selesai memanen padinya pada April-Mei (ingat sistem pranata mangsa para petani di Jawa, pernah saya ulas juga di milis ini berdasarkan Daldjoeni, 1984; 1992), mereka sedang menganggur sebab baru akan mulai menanam lagi pada bulan November saat hujan pertama datang. Lalu, bila serangan dilakukan pada bulan Juli-September, persediaan makanan sepanjang perjalanan akan cukup sebab di sepanjang perjalanan para petani baru selesai panen (April-Mei). Sultan Agung memerintahkan untuk mendirikan lumbung-lumbung beras sepanjang perjalanan dari Mataram ke Batavia. Perjalanan kaki tentara Mataram dari pusat kerajaan di sekitar Yogyakarta ke Batavia butuh waktu
Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia
Pak Mufti, Rencana raja-raja Mataram ingin membangun pelabuhan yang menghadap Segara Kidul (Laut Selatan) bukan sekedar dongeng. Itu, paling tidak, tercatat dalam buku sejarah de Graaf dan Pigeaud (1974) : De eerste moslimse voorstendommen op Java; juga dalam buku Slametmuljana (1968) : Runtuhnya Majapahit dan munculnya kerajaan2 Islam pertama di Jawa. Mataram adalah kerajaan agraris seperti juga pendahulunya : Pajang. Lokasinya yang tak jauh dari Merapi membuat tanahnya subur dan hasil bumi melimpah. Hasil bumi berlebih ingin dijualnya, tetapi ke mana. Melewati Bengawan Solo ke pelabuhan Tuban atau Gresik terlalu jauh. Melewati Kali, Opak, Oyo, atau Progo tak mungkin sebab bermuara ke Laut Selatan. Maka, munculah ide membangun pelabuhan di selatan. Ide ini juga sebenarnya untuk menyaingi kaum Cina muslim di Demak - para pedagang ulung di Jawa saat itu. Namun, kita tahu bahwa Segara Kidul punya gelombang dan ombak yang tinggi dibandingkan dengan gelombang dan ombak pantai utara dari Sunda Kelapa-Cirebon-Juwana-Demak-Tuban. Sungguhpun Senapati (raja kedua Mataram) dan Sultan Agung pernah melakukan riset di pantai selatan ini guna pembangunan pelabuhan kerajaan, tantangan alam mengurungkan niatnya. Riset zaman dulu dicampuradukkan dengan dunia adikodrati : Ratu Pantai Selatan. Diceritakan Poerwantana (1983) : Kehadiran Ratu Kidul dalam alam budaya Jawa bahwa sejak Senapati ada kebiasaan raja-raja Mataram bertapa di pantai selatan untuk memaklumkan kepada dunia bahwa raja-raja Mataram telah menaklukkan dunia adikodrati Laut Selatan - sebuah politik untuk menakuti armada2 Portugis, Spanyol dan Belanda yang saat itu suka melalui Laut Selatan. Slametmuljana (1968) membantah bahwa raja-raja Mataram ke pantai selatan bukan untuk bertapa, melainkan untuk melakukan riset membangun pelabuhan samudera. Andaikan ada pelabuhan di selatan Yogya, barangkali ia telah porak-poranda oleh gempa 27 Mei 2006. salam, awang --- On Tue, 7/22/08, Mufti M. Darissalam [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Mufti M. Darissalam [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia To: iagi-net@iagi.or.id Date: Tuesday, July 22, 2008, 7:53 AM Tulisan pak Awang yg subjectnya sejarah selalu saya baca habis. Saya jadi ingat, beberapa hari yang lalu saya kedatangan temen dari Kota Gede Yogyakarta, Om Wahjudi (Ahli Seismic proccessing ex Elnusa). Beliau cerita dari perihal Ki Ageng mangir, Riwayat Gal Gendu (orang terkaya di Yogya yang lantai rumahnya dari duit emas) sampai Sultan Agung. beliau juga bercerita bahwa Sultan Agung yang waktu itu juga ada kratonnya di Kradenan dekat Imogiri, mempunyai ide yang cemerlang, merencanakan membikin pelabuhan laut di pertemuan kali Opak dan Kali Oyo, untuk jalur kapal laut ke selatan, yang gampang kontrol kekuasaannya. Tentu saja dengan menggali kali Opak sampai laut selatan yang panjangnya sekitar 12 km. Kenapa tidak terlaksana ya? apa pernah tercatat di buku sejarah ya? Apa sekedar cerita kondo sja. Seharusnya mereka mampu wong membelokan K Ciliwung saja berhasil. Apa ada faktor geologi?, gempa?, erosi?, pendangkalan yang cepat? Pak Awang, Trims berat atas banyak pencerahannya selama ini. md - Original Message - From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, July 21, 2008 4:45 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia Wah menarik pak awang, Aku jadi inget sebuah tayangan di TV national geography atau discovery channel tentang peranan ramalan cuaca dalam sebuah perang ini. Dan tengok-tengok ternyata ada juga presentasi hal ini disini : http://www.ofcm.gov/wist_proceedings/pdf/panel1/mneyland.pdf Menarik juga ya ... dulu pernah kita bicara di mailist ini tentang peranan geologist dalam perang. Skali lagi perang ! Haddduh perang memang memerluka segalanya untuk menang. Btw, Bagaimana menurut Pak Awang peranan ahli cuaca dalam prakiraan cuaca dalam kondisi saat ini yang lebih susah diprediksi dalam operasi minyak bumi. Saya pernah denger bahwa window untuk melakukan shooting seismic di Natuna ini sangat tergantung cuaca juga. RDP On Mon, Jul 21, 2008 at 5:20 PM, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang rasanya kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan semua, semoga bermanfaat menambah pengetahuan. Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : Geschiedenis van Java dan Geografi Kesejarahan Daldjoeni (1984, 1992). Kedua penulis ini menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram menghitung-hitung rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di Batavia (1628-1629). Berikut ringkasannya. Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat itu musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang berhembus ke timur akan
[iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia
Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang rasanya kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan semua, semoga bermanfaat menambah pengetahuan. Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : ”Geschiedenis van Java” dan ”Geografi Kesejarahan” Daldjoeni (1984, 1992). Kedua penulis ini menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram menghitung-hitung rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di Batavia (1628-1629). Berikut ringkasannya. Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat itu musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang berhembus ke timur akan menyusahkan kapal-kapal Mataram berlayar ke barat dari pesisir utara Jawa Tengah menuju Batavia. Selain itu, Batavia harus digempur dari laut dan dari darat secara bersatu dan kompak. Ini tak mungkin dalam bulan-bulan musim hujan, tetapi harus dilakukan dalam musim kemarau yaitu Juli-September. Sebab, pada musim kemarau bertiup angin Timur ke barat yang akan mendorong kapal-kapal Mataram berlayar ke Batavia. Pada musim kemarau, angkatan darat Mataram akan memperoleh banyak bantuan dari para petani di sepanjang perjalanan sebab para petaninya baru selesai memanen padinya pada April-Mei (ingat sistem pranata mangsa para petani di Jawa, pernah saya ulas juga di milis ini berdasarkan Daldjoeni, 1984; 1992), mereka sedang menganggur sebab baru akan mulai menanam lagi pada bulan November saat hujan pertama datang. Lalu, bila serangan dilakukan pada bulan Juli-September, persediaan makanan sepanjang perjalanan akan cukup sebab di sepanjang perjalanan para petani baru selesai panen (April-Mei). Sultan Agung memerintahkan untuk mendirikan lumbung-lumbung beras sepanjang perjalanan dari Mataram ke Batavia. Perjalanan kaki tentara Mataram dari pusat kerajaan di sekitar Yogyakarta ke Batavia butuh waktu tempuh 90 hari, ini tentu akan lebih lama bila dilakukan pada musim hujan. Kemudian, Batavia akan diserang dengan cara membelokkan Sungai Ciliwung, sehingga Batavia akan menderita kekeringan dan wabah penyakit sebab tak ada air mengaliri kota. Membelokkan sungai bukan pekerjaan mudah dan tentu ini akan lebih mudah dilakukan pada saat musim kemarau saat debit sungai minimal. Sementara itu, perlu juga diperhitungkan kondisi geomorfologi dan geografi kota Batavia dan sekitarnya. Menurut de Haan (1912) : ”Priangan”, Batavia pada abad ke-17 terletak di muara Sungai Ciliwung, berawa-rawa, dengan vegetasi dominan pohon kelapa. Sampai tahun 1625, bila di Batavia hujan maka terjadi genangan setinggi lutut. Orang bahkan bisa naik sampan untuk masuk ke hutan-hutan di belakang Batavia. Sampai tahun 1655 ada pendapat bahwa Batavia pada musim hujan tak mungkin diserang kalau pada musim hujan sebab genangan air akan merupakan penghalang. Rawa-rawa di sekitar Jakarta itu telah ada sejak abad-abad awal Masehi maka para pedagang dari Hindustan (India) tak memilih menempati Jakarta sebab kondisinya tidak sehat. Pada tahun 1628, daerah Jatinegara sekarang masih merupakan hutan rimba yang dijadikan tentara Mataram untuk bersembunyi sebelum menyerang Batavia. Tahu begitu, maka Belanda menebangi banyak pohon di sekeliling benteng Batavia termasuk pohon-pohon kelapanya. Maka, Batavia pun kekurangan kelapa dan Belanda mendatangkan kelapa dari Pulau Cocos dekat Pulau Christmas di Samudera Hindia. Itu terjadi tahun 1632. Fruin Mees (1919) menulis bahwa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia dua kali, yaitu dari September 1628 dan September 1629. Keduanya sengaja dipilih pada musim kemarau. Serangan pertama gagal karena ketika pengepungan sedang dilakukan tiba-tiba turun hujan pertama, maka para tentara yang sebagian petani menjadi gelisah sebab mereka ingin segera bertani. Maka para tentara di bawah pimpinan Sura Agul-Agul itu kembali ke Mataram. Pada serangan kedua, Sungai Ciliwung berhasil dibelokkan sehingga kota dilanda penyakit. J.P. Coen, gubernur jenderal saat itu, meninggal pada 20 September 1629 karena serangan penyakit tersebut (sumber lain mengatakan bahwa ia dibunuh seorang tentara Mataram yang menyelinap masuk ke benteng). Tetapi, perang bubar pada 7 Oktober 1629 seiring turunnya hujan pertama pada masa labuh. Tentara petani memaksa pulang ingin mengerjakan sawahnya. Begitulah, perang masa lalu tak bisa dilepaskan dari irama permusiman di darat dan pergantian arus laut di Laut Jawa. Strategi Sultan Agung dari Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia sebenarnya cukup pelik dan berat sebab harus selalu memperhitungkan kerumitan faktor alam. Fungsi iklim dan geomorfologi akan mempengaruhi kesuksesan perang. Dua faktor ini juga mempengaruhi aktivitas manusia (khususnya) petani yang dijadikan tentara. Pada masa rendheng (Desember-Maret) tak diadakan perang sebab pertanian padi basah sedang berlangsung, tak ada tenaga petani yang mau jadi tentara. Pada mangsa mareng (April-Juni)
Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia
Wah menarik pak awang, Aku jadi inget sebuah tayangan di TV national geography atau discovery channel tentang peranan ramalan cuaca dalam sebuah perang ini. Dan tengok-tengok ternyata ada juga presentasi hal ini disini : http://www.ofcm.gov/wist_proceedings/pdf/panel1/mneyland.pdf Menarik juga ya ... dulu pernah kita bicara di mailist ini tentang peranan geologist dalam perang. Skali lagi perang ! Haddduh perang memang memerluka segalanya untuk menang. Btw, Bagaimana menurut Pak Awang peranan ahli cuaca dalam prakiraan cuaca dalam kondisi saat ini yang lebih susah diprediksi dalam operasi minyak bumi. Saya pernah denger bahwa window untuk melakukan shooting seismic di Natuna ini sangat tergantung cuaca juga. RDP On Mon, Jul 21, 2008 at 5:20 PM, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang rasanya kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan semua, semoga bermanfaat menambah pengetahuan. Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : Geschiedenis van Java dan Geografi Kesejarahan Daldjoeni (1984, 1992). Kedua penulis ini menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram menghitung-hitung rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di Batavia (1628-1629). Berikut ringkasannya. Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat itu musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang berhembus ke timur akan menyusahkan kapal-kapal Mataram berlayar ke barat dari pesisir utara Jawa Tengah menuju Batavia. Selain itu, Batavia harus digempur dari laut dan dari darat secara bersatu dan kompak. Ini tak mungkin dalam bulan-bulan musim hujan, tetapi harus dilakukan dalam musim kemarau yaitu Juli-September. Sebab, pada musim kemarau bertiup angin Timur ke barat yang akan mendorong kapal-kapal Mataram berlayar ke Batavia. Pada musim kemarau, angkatan darat Mataram akan memperoleh banyak bantuan dari para petani di sepanjang perjalanan sebab para petaninya baru selesai memanen padinya pada April-Mei (ingat sistem pranata mangsa para petani di Jawa, pernah saya ulas juga di milis ini berdasarkan Daldjoeni, 1984; 1992), mereka sedang menganggur sebab baru akan mulai menanam lagi pada bulan November saat hujan pertama datang. Lalu, bila serangan dilakukan pada bulan Juli-September, persediaan makanan sepanjang perjalanan akan cukup sebab di sepanjang perjalanan para petani baru selesai panen (April-Mei). Sultan Agung memerintahkan untuk mendirikan lumbung-lumbung beras sepanjang perjalanan dari Mataram ke Batavia. Perjalanan kaki tentara Mataram dari pusat kerajaan di sekitar Yogyakarta ke Batavia butuh waktu tempuh 90 hari, ini tentu akan lebih lama bila dilakukan pada musim hujan. Kemudian, Batavia akan diserang dengan cara membelokkan Sungai Ciliwung, sehingga Batavia akan menderita kekeringan dan wabah penyakit sebab tak ada air mengaliri kota. Membelokkan sungai bukan pekerjaan mudah dan tentu ini akan lebih mudah dilakukan pada saat musim kemarau saat debit sungai minimal. Sementara itu, perlu juga diperhitungkan kondisi geomorfologi dan geografi kota Batavia dan sekitarnya. Menurut de Haan (1912) : Priangan, Batavia pada abad ke-17 terletak di muara Sungai Ciliwung, berawa-rawa, dengan vegetasi dominan pohon kelapa. Sampai tahun 1625, bila di Batavia hujan maka terjadi genangan setinggi lutut. Orang bahkan bisa naik sampan untuk masuk ke hutan-hutan di belakang Batavia. Sampai tahun 1655 ada pendapat bahwa Batavia pada musim hujan tak mungkin diserang kalau pada musim hujan sebab genangan air akan merupakan penghalang. Rawa-rawa di sekitar Jakarta itu telah ada sejak abad-abad awal Masehi maka para pedagang dari Hindustan (India) tak memilih menempati Jakarta sebab kondisinya tidak sehat. Pada tahun 1628, daerah Jatinegara sekarang masih merupakan hutan rimba yang dijadikan tentara Mataram untuk bersembunyi sebelum menyerang Batavia. Tahu begitu, maka Belanda menebangi banyak pohon di sekeliling benteng Batavia termasuk pohon-pohon kelapanya. Maka, Batavia pun kekurangan kelapa dan Belanda mendatangkan kelapa dari Pulau Cocos dekat Pulau Christmas di Samudera Hindia. Itu terjadi tahun 1632. Fruin Mees (1919) menulis bahwa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia dua kali, yaitu dari September 1628 dan September 1629. Keduanya sengaja dipilih pada musim kemarau. Serangan pertama gagal karena ketika pengepungan sedang dilakukan tiba-tiba turun hujan pertama, maka para tentara yang sebagian petani menjadi gelisah sebab mereka ingin segera bertani. Maka para tentara di bawah pimpinan Sura Agul-Agul itu kembali ke Mataram. Pada serangan kedua, Sungai Ciliwung berhasil dibelokkan sehingga kota dilanda penyakit. J.P. Coen, gubernur jenderal saat itu, meninggal pada 20 September 1629 karena serangan penyakit tersebut (sumber lain mengatakan bahwa ia dibunuh seorang tentara Mataram yang menyelinap
Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia
Tulisan pak Awang yg subjectnya sejarah selalu saya baca habis. Saya jadi ingat, beberapa hari yang lalu saya kedatangan temen dari Kota Gede Yogyakarta, Om Wahjudi (Ahli Seismic proccessing ex Elnusa). Beliau cerita dari perihal Ki Ageng mangir, Riwayat Gal Gendu (orang terkaya di Yogya yang lantai rumahnya dari duit emas) sampai Sultan Agung. beliau juga bercerita bahwa Sultan Agung yang waktu itu juga ada kratonnya di Kradenan dekat Imogiri, mempunyai ide yang cemerlang, merencanakan membikin pelabuhan laut di pertemuan kali Opak dan Kali Oyo, untuk jalur kapal laut ke selatan, yang gampang kontrol kekuasaannya. Tentu saja dengan menggali kali Opak sampai laut selatan yang panjangnya sekitar 12 km. Kenapa tidak terlaksana ya? apa pernah tercatat di buku sejarah ya? Apa sekedar cerita kondo sja. Seharusnya mereka mampu wong membelokan K Ciliwung saja berhasil. Apa ada faktor geologi?, gempa?, erosi?, pendangkalan yang cepat? Pak Awang, Trims berat atas banyak pencerahannya selama ini. md - Original Message - From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, July 21, 2008 4:45 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan Batavia Wah menarik pak awang, Aku jadi inget sebuah tayangan di TV national geography atau discovery channel tentang peranan ramalan cuaca dalam sebuah perang ini. Dan tengok-tengok ternyata ada juga presentasi hal ini disini : http://www.ofcm.gov/wist_proceedings/pdf/panel1/mneyland.pdf Menarik juga ya ... dulu pernah kita bicara di mailist ini tentang peranan geologist dalam perang. Skali lagi perang ! Haddduh perang memang memerluka segalanya untuk menang. Btw, Bagaimana menurut Pak Awang peranan ahli cuaca dalam prakiraan cuaca dalam kondisi saat ini yang lebih susah diprediksi dalam operasi minyak bumi. Saya pernah denger bahwa window untuk melakukan shooting seismic di Natuna ini sangat tergantung cuaca juga. RDP On Mon, Jul 21, 2008 at 5:20 PM, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang rasanya kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan semua, semoga bermanfaat menambah pengetahuan. Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : Geschiedenis van Java dan Geografi Kesejarahan Daldjoeni (1984, 1992). Kedua penulis ini menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram menghitung-hitung rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di Batavia (1628-1629). Berikut ringkasannya. Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat itu musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang berhembus ke timur akan menyusahkan kapal-kapal Mataram berlayar ke barat dari pesisir utara Jawa Tengah menuju Batavia. Selain itu, Batavia harus digempur dari laut dan dari darat secara bersatu dan kompak. Ini tak mungkin dalam bulan-bulan musim hujan, tetapi harus dilakukan dalam musim kemarau yaitu Juli-September. Sebab, pada musim kemarau bertiup angin Timur ke barat yang akan mendorong kapal-kapal Mataram berlayar ke Batavia. Pada musim kemarau, angkatan darat Mataram akan memperoleh banyak bantuan dari para petani di sepanjang perjalanan sebab para petaninya baru selesai memanen padinya pada April-Mei (ingat sistem pranata mangsa para petani di Jawa, pernah saya ulas juga di milis ini berdasarkan Daldjoeni, 1984; 1992), mereka sedang menganggur sebab baru akan mulai menanam lagi pada bulan November saat hujan pertama datang. Lalu, bila serangan dilakukan pada bulan Juli-September, persediaan makanan sepanjang perjalanan akan cukup sebab di sepanjang perjalanan para petani baru selesai panen (April-Mei). Sultan Agung memerintahkan untuk mendirikan lumbung-lumbung beras sepanjang perjalanan dari Mataram ke Batavia. Perjalanan kaki tentara Mataram dari pusat kerajaan di sekitar Yogyakarta ke Batavia butuh waktu tempuh 90 hari, ini tentu akan lebih lama bila dilakukan pada musim hujan. Kemudian, Batavia akan diserang dengan cara membelokkan Sungai Ciliwung, sehingga Batavia akan menderita kekeringan dan wabah penyakit sebab tak ada air mengaliri kota. Membelokkan sungai bukan pekerjaan mudah dan tentu ini akan lebih mudah dilakukan pada saat musim kemarau saat debit sungai minimal. Sementara itu, perlu juga diperhitungkan kondisi geomorfologi dan geografi kota Batavia dan sekitarnya. Menurut de Haan (1912) : Priangan, Batavia pada abad ke-17 terletak di muara Sungai Ciliwung, berawa-rawa, dengan vegetasi dominan pohon kelapa. Sampai tahun 1625, bila di Batavia hujan maka terjadi genangan setinggi lutut. Orang bahkan bisa naik sampan untuk masuk ke hutan-hutan di belakang Batavia. Sampai tahun 1655 ada pendapat bahwa Batavia pada musim hujan tak mungkin diserang kalau pada musim hujan sebab genangan air akan merupakan penghalang. Rawa-rawa di sekitar Jakarta itu telah ada sejak abad-abad awal Masehi maka para