Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Tenang aja boss Indonesia Kaya. Cari tahu ramalan bintang kamu - Yahoo! Indonesia Search. http://id.search.yahoo.com/search?p=%22ramalan+bintang%22cs=bzfr=fp-top
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Pak Agus (dua-duanya), Tentu akan sangat naif kalau saya katakan tidak ada sulap-menyulap dalam urusan duit yang sedemikian besar ini. Tidak usah CR yang kadang banyak didukung bolong-bolongnya kontrak kita, lha wong BLBI aja bisa dikemplang...he..he..he... Justru di situ intinya, kalau hanya berharap dari aturan kita cuman bisa ngelus dada terus dan ujungnya kuciwa juga. jadi ya yang paling mungkin ya mulai dari diri kita sendiri saja lah...dari yang kecil kita bisa berusaha lebih efisien dan membantu mengurangi beban CR ini.. Kita ini menyoroti hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di industri lain juga: - Pupuk Kaltim bisa punya klub sepak bola dan juga stadiun itu pakai duit siapa coba harga pupuknya disubsidi, gasnya juga pakai harga subsidi (karena kalau dijual keluar tentu harganya lebih mahal) tapi nggak pernah ada yang mengkritik khan...? Jadi menurut saya agak aneh kalau ComDev yang dilakukan KPS menjadi bahan kritikan terus...sementara yang lainnya kita tutup mata. Yang penting harus ada kejujuran dari KPS bahwa uang yang dipakai itu sebagian adalah dari pemerintah Indonesia juga (bukan dari kantong mereka)...itulah kenapa setiap ada kegiatan semua KPS harus mencantumkan logo BPMIGAS (yang merupakan perwakilan pemerintah) supaya orang tahu bahwa duitnya itu bukan murni 100% dari KPS. Dan jangan lupa pada beberapa hal KPS juga ada ComDev yang sifatnya non-CR (ini mungkin yang dimaksud dengan zis-nya pak Agus ya...) Kelangsungan operasi menjadi kepentingan semua pihak: operator dan pemerintah Indonesia. Jadi menurut saya wajar saja kalau itu ditanggung bersama, selama hasilnya dinikmati oleh rakyat Indonesia juga toh. salam, - Original Message From: Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 12:29:11 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari zakat/ infaq/ sodaqoh dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR. Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC. salam, agus hendratno (wong kampus) --- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak To: iagi-net@iagi.or.id Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam, NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang, Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini. Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! Salam, Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
dari gas-engine based ke diesel-engine based. dari kalimat ini saja mustinya lampu kuning-nya harusnya sudah berkedip-kedip karena tidak sesuai dengan logika energi sekarang: gas lebih murah dari diesel. salam, - Original Message From: Eko Prasetyo [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 11:35:10 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak ini ada sebuah kisah: Sebuah operator lapangan minyak mempunyai cadangan gas yang cukup menjanjikan, dan mereka ingin mengkomersialkannya. Tapi ada sebuah pemikiran licik yang aneh: gas akan dijual semua, dan mereka ingin mengganti power supply system mereka dari gas-engine based ke diesel-engine based. Usut punya usut, ternyata pemilik perusahaan ingin bermain di fuel supply system cost recovery yang akan masuk ke diese-fuel-brokeraga yang ternyatamilik mereka sendiri. Skenario seperti ini akan kah lolos dari saringan BP-MIGAS? On 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam, NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang, Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini. Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! Salam, Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir. Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun Arin Widiyanti- detikFinance Tambang MInyak (ist) Jakarta- Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun. Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis (19/6/2008). Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun. Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun. Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan. Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini, ujarnya. Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas dalam pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan benar. Tak lupa dia juga meminta
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Pak Noor, harga pupuknya disubsidi, gasnya juga pakai harga subsidi : bukankah harga pupuk disubsidi karena ada kepentingan para petani kita disitu? Dengan demikian juga perlu adanya subsidi untuk COGS yang menjadi komponen utama produksi pupuk (dalam hal ini harga beli gas)? Yah, memang tetap perlu ada transparansi untuk kalkulasi persubsidian industri pupuk ini Nah kalo yang ini juga aku mau nanya: stadion dan kesebelasan bal-balane itu dari mana uangnya ya?? salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Pak Agus (dua-duanya), Tentu akan sangat naif kalau saya katakan tidak ada sulap-menyulap dalam urusan duit yang sedemikian besar ini. Tidak usah CR yang kadang banyak didukung bolong-bolongnya kontrak kita, lha wong BLBI aja bisa dikemplang...he..he..he... Justru di situ intinya, kalau hanya berharap dari aturan kita cuman bisa ngelus dada terus dan ujungnya kuciwa juga. jadi ya yang paling mungkin ya mulai dari diri kita sendiri saja lah...dari yang kecil kita bisa berusaha lebih efisien dan membantu mengurangi beban CR ini.. Kita ini menyoroti hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di industri lain juga: - Pupuk Kaltim bisa punya klub sepak bola dan juga stadiun itu pakai duit siapa coba (karena kalau dijual keluar tentu harganya lebih mahal) tapi nggak pernah ada yang mengkritik khan...? Jadi menurut saya agak aneh kalau ComDev yang dilakukan KPS menjadi bahan kritikan terus...sementara yang lainnya kita tutup mata. Yang penting harus ada kejujuran dari KPS bahwa uang yang dipakai itu sebagian adalah dari pemerintah Indonesia juga (bukan dari kantong mereka)...itulah kenapa setiap ada kegiatan semua KPS harus mencantumkan logo BPMIGAS (yang merupakan perwakilan pemerintah) supaya orang tahu bahwa duitnya itu bukan murni 100% dari KPS. Dan jangan lupa pada beberapa hal KPS juga ada ComDev yang sifatnya non-CR (ini mungkin yang dimaksud dengan zis-nya pak Agus ya...) Kelangsungan operasi menjadi kepentingan semua pihak: operator dan pemerintah Indonesia. Jadi menurut saya wajar saja kalau itu ditanggung bersama, selama hasilnya dinikmati oleh rakyat Indonesia juga toh. salam, - Original Message From: Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 12:29:11 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari zakat/ infaq/ sodaqoh dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR. Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC. salam, agus hendratno (wong kampus) --- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak To: iagi-net@iagi.or.id Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam, NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang, Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Pak Agus, Betul kalau semua pupuk dipakai petani kita... lha supaya untung khan sebagian pupuk dieksporjadilah petani kita kesulitan dapat pupuk... jadi aneh khan, produksinya di subsidi tapi produknya malah diekspor nah kalau stadiun dan klub bal-balan...ya itu yang menjadi pertanyaan saya juga:-) salam, - Original Message From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 3:20:35 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Pak Noor, harga pupuknya disubsidi, gasnya juga pakai harga subsidi : bukankah harga pupuk disubsidi karena ada kepentingan para petani kita disitu? Dengan demikian juga perlu adanya subsidi untuk COGS yang menjadi komponen utama produksi pupuk (dalam hal ini harga beli gas)? Yah, memang tetap perlu ada transparansi untuk kalkulasi persubsidian industri pupuk ini Nah kalo yang ini juga aku mau nanya: stadion dan kesebelasan bal-balane itu dari mana uangnya ya?? salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Pak Agus (dua-duanya), Tentu akan sangat naif kalau saya katakan tidak ada sulap-menyulap dalam urusan duit yang sedemikian besar ini. Tidak usah CR yang kadang banyak didukung bolong-bolongnya kontrak kita, lha wong BLBI aja bisa dikemplang...he..he..he... Justru di situ intinya, kalau hanya berharap dari aturan kita cuman bisa ngelus dada terus dan ujungnya kuciwa juga. jadi ya yang paling mungkin ya mulai dari diri kita sendiri saja lah...dari yang kecil kita bisa berusaha lebih efisien dan membantu mengurangi beban CR ini.. Kita ini menyoroti hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di industri lain juga: - Pupuk Kaltim bisa punya klub sepak bola dan juga stadiun itu pakai duit siapa coba (karena kalau dijual keluar tentu harganya lebih mahal) tapi nggak pernah ada yang mengkritik khan...? Jadi menurut saya agak aneh kalau ComDev yang dilakukan KPS menjadi bahan kritikan terus...sementara yang lainnya kita tutup mata. Yang penting harus ada kejujuran dari KPS bahwa uang yang dipakai itu sebagian adalah dari pemerintah Indonesia juga (bukan dari kantong mereka)...itulah kenapa setiap ada kegiatan semua KPS harus mencantumkan logo BPMIGAS (yang merupakan perwakilan pemerintah) supaya orang tahu bahwa duitnya itu bukan murni 100% dari KPS. Dan jangan lupa pada beberapa hal KPS juga ada ComDev yang sifatnya non-CR (ini mungkin yang dimaksud dengan zis-nya pak Agus ya...) Kelangsungan operasi menjadi kepentingan semua pihak: operator dan pemerintah Indonesia. Jadi menurut saya wajar saja kalau itu ditanggung bersama, selama hasilnya dinikmati oleh rakyat Indonesia juga toh. salam, - Original Message From: Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 12:29:11 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari zakat/ infaq/ sodaqoh dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR. Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC. salam, agus hendratno (wong kampus) --- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak To: iagi-net@iagi.or.id Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam, NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED] To: iagi
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Noor FYI memang betul kalau sebagian pupuk di ekspor, bahkan sebenarnya sebagian besar yg dijual keluar. Jadi makin sip kan, di subsidi dan dijual keluar. Jumlah pupuk yg tersedia di dalam negeri juga terbatas, dan inipun akhirnya banyak dikuasai perkebunan besar. Untuk petani ya tidak ada, atau ada tapi mahal sekaligimana mau swasembada pangan. On Fri, Jun 20, 2008 at 5:19 PM, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Agus, Betul kalau semua pupuk dipakai petani kita... lha supaya untung khan sebagian pupuk dieksporjadilah petani kita kesulitan dapat pupuk... jadi aneh khan, produksinya di subsidi tapi produknya malah diekspor nah kalau stadiun dan klub bal-balan...ya itu yang menjadi pertanyaan saya juga:-) salam, - Original Message From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 3:20:35 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Pak Noor, harga pupuknya disubsidi, gasnya juga pakai harga subsidi : bukankah harga pupuk disubsidi karena ada kepentingan para petani kita disitu? Dengan demikian juga perlu adanya subsidi untuk COGS yang menjadi komponen utama produksi pupuk (dalam hal ini harga beli gas)? Yah, memang tetap perlu ada transparansi untuk kalkulasi persubsidian industri pupuk ini Nah kalo yang ini juga aku mau nanya: stadion dan kesebelasan bal-balane itu dari mana uangnya ya?? salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Pak Agus (dua-duanya), Tentu akan sangat naif kalau saya katakan tidak ada sulap-menyulap dalam urusan duit yang sedemikian besar ini. Tidak usah CR yang kadang banyak didukung bolong-bolongnya kontrak kita, lha wong BLBI aja bisa dikemplang...he..he..he... Justru di situ intinya, kalau hanya berharap dari aturan kita cuman bisa ngelus dada terus dan ujungnya kuciwa juga. jadi ya yang paling mungkin ya mulai dari diri kita sendiri saja lah...dari yang kecil kita bisa berusaha lebih efisien dan membantu mengurangi beban CR ini.. Kita ini menyoroti hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di industri lain juga: - Pupuk Kaltim bisa punya klub sepak bola dan juga stadiun itu pakai duit siapa coba (karena kalau dijual keluar tentu harganya lebih mahal) tapi nggak pernah ada yang mengkritik khan...? Jadi menurut saya agak aneh kalau ComDev yang dilakukan KPS menjadi bahan kritikan terus...sementara yang lainnya kita tutup mata. Yang penting harus ada kejujuran dari KPS bahwa uang yang dipakai itu sebagian adalah dari pemerintah Indonesia juga (bukan dari kantong mereka)...itulah kenapa setiap ada kegiatan semua KPS harus mencantumkan logo BPMIGAS (yang merupakan perwakilan pemerintah) supaya orang tahu bahwa duitnya itu bukan murni 100% dari KPS. Dan jangan lupa pada beberapa hal KPS juga ada ComDev yang sifatnya non-CR (ini mungkin yang dimaksud dengan zis-nya pak Agus ya...) Kelangsungan operasi menjadi kepentingan semua pihak: operator dan pemerintah Indonesia. Jadi menurut saya wajar saja kalau itu ditanggung bersama, selama hasilnya dinikmati oleh rakyat Indonesia juga toh. salam, - Original Message From: Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 12:29:11 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari zakat/ infaq/ sodaqoh dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR. Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC. salam, agus hendratno (wong kampus) --- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak To: iagi-net@iagi.or.id Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Kalau hanya ngeliat subsidi ya hampir semua produk eksport itu ya memperoleh subsidi. Lah wong listriknya juga sudah subsidi. Tapi masih bisa di'minta dengan menaikkan pajak eksportnya. Hanya saja prosesnya menjadi mbulet-let. Lah masalah aslinya adalah proses yg mbulet itu seringkali menurunkan tingkat efisiensi. Apapun kalau prosesnya mbulet bisa dipàstikan tidak efisien. Jadi yang bener ya prosenya disederhanakan supaya duiknya tidak bocor kemana-mana. Itulah sebenernya subsidi komoditi (barang) menjadikan biaya tinggi dan menurunkan keuntungan. Rdp On 6/20/08, Iwan B [EMAIL PROTECTED] wrote: Noor FYI memang betul kalau sebagian pupuk di ekspor, bahkan sebenarnya sebagian besar yg dijual keluar. Jadi makin sip kan, di subsidi dan dijual keluar. Jumlah pupuk yg tersedia di dalam negeri juga terbatas, dan inipun akhirnya banyak dikuasai perkebunan besar. Untuk petani ya tidak ada, atau ada tapi mahal sekaligimana mau swasembada pangan. On Fri, Jun 20, 2008 at 5:19 PM, noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Agus, Betul kalau semua pupuk dipakai petani kita... lha supaya untung khan sebagian pupuk dieksporjadilah petani kita kesulitan dapat pupuk... jadi aneh khan, produksinya di subsidi tapi produknya malah diekspor nah kalau stadiun dan klub bal-balan...ya itu yang menjadi pertanyaan saya juga:-) salam, - Original Message From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 3:20:35 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Pak Noor, harga pupuknya disubsidi, gasnya juga pakai harga subsidi : bukankah harga pupuk disubsidi karena ada kepentingan para petani kita disitu? Dengan demikian juga perlu adanya subsidi untuk COGS yang menjadi komponen utama produksi pupuk (dalam hal ini harga beli gas)? Yah, memang tetap perlu ada transparansi untuk kalkulasi persubsidian industri pupuk ini Nah kalo yang ini juga aku mau nanya: stadion dan kesebelasan bal-balane itu dari mana uangnya ya?? salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Pak Agus (dua-duanya), Tentu akan sangat naif kalau saya katakan tidak ada sulap-menyulap dalam urusan duit yang sedemikian besar ini. Tidak usah CR yang kadang banyak didukung bolong-bolongnya kontrak kita, lha wong BLBI aja bisa dikemplang...he..he..he... Justru di situ intinya, kalau hanya berharap dari aturan kita cuman bisa ngelus dada terus dan ujungnya kuciwa juga. jadi ya yang paling mungkin ya mulai dari diri kita sendiri saja lah...dari yang kecil kita bisa berusaha lebih efisien dan membantu mengurangi beban CR ini.. Kita ini menyoroti hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di industri lain juga: - Pupuk Kaltim bisa punya klub sepak bola dan juga stadiun itu pakai duit siapa coba (karena kalau dijual keluar tentu harganya lebih mahal) tapi nggak pernah ada yang mengkritik khan...? Jadi menurut saya agak aneh kalau ComDev yang dilakukan KPS menjadi bahan kritikan terus...sementara yang lainnya kita tutup mata. Yang penting harus ada kejujuran dari KPS bahwa uang yang dipakai itu sebagian adalah dari pemerintah Indonesia juga (bukan dari kantong mereka)...itulah kenapa setiap ada kegiatan semua KPS harus mencantumkan logo BPMIGAS (yang merupakan perwakilan pemerintah) supaya orang tahu bahwa duitnya itu bukan murni 100% dari KPS. Dan jangan lupa pada beberapa hal KPS juga ada ComDev yang sifatnya non-CR (ini mungkin yang dimaksud dengan zis-nya pak Agus ya...) Kelangsungan operasi menjadi kepentingan semua pihak: operator dan pemerintah Indonesia. Jadi menurut saya wajar saja kalau itu ditanggung bersama, selama hasilnya dinikmati oleh rakyat Indonesia juga toh. salam, - Original Message From: Hendratno Agus [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 12:29:11 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari zakat/ infaq/ sodaqoh dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR. Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC. salam, agus hendratno (wong kampus) --- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak To: iagi-net@iagi.or.id Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap??? Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam, NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang, Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini. Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! Salam, Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir. Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun *Arin Widiyanti* - detikFinance [image: GB] Tambang MInyak (ist) *Jakarta* - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun. Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis (19/6/2008). Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun. Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun. Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan. Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini, ujarnya. Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas dalam pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan benar. Tak lupa dia juga meminta pelaksanaan audit investigasi penerimaan minyak secara menyeluruh. Riset ini bisa merupakan shock theraphy. Indonesia selalu dirugikan dengan cost recovery yang tidak erlu dibayarkan kepada pengusaha minyak, ujarnya. Hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005-2007 dimana ditemukan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan tanpa melalui APBN senilai Rp 120,329 triliun. *( ddn / qom ) * clip_image001.jpg
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
ini ada sebuah kisah: Sebuah operator lapangan minyak mempunyai cadangan gas yang cukup menjanjikan, dan mereka ingin mengkomersialkannya. Tapi ada sebuah pemikiran licik yang aneh: gas akan dijual semua, dan mereka ingin mengganti power supply system mereka dari gas-engine based ke diesel-engine based. Usut punya usut, ternyata pemilik perusahaan ingin bermain di fuel supply system cost recovery yang akan masuk ke diese-fuel-brokeraga yang ternyatamilik mereka sendiri. Skenario seperti ini akan kah lolos dari saringan BP-MIGAS? On 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap??? Salam, -abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam, NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang, Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini. Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! Salam, Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir. Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun *Arin Widiyanti* - detikFinance [image: GB] Tambang MInyak (ist) *Jakarta* - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun. Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis (19/6/2008). Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun. Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun. Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan. Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini, ujarnya. Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas dalam pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan benar. Tak lupa dia juga meminta pelaksanaan audit investigasi penerimaan minyak secara menyeluruh. Riset ini bisa merupakan shock theraphy. Indonesia selalu dirugikan dengan cost recovery yang tidak erlu dibayarkan kepada pengusaha minyak, ujarnya. Hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005-2007 dimana ditemukan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan tanpa
Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari "zakat/ infaq/ sodaqoh" dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi "tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR". Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC. salam, agus hendratno (wong kampus) --- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Agus Budiluhur [EMAIL PROTECTED]Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layakTo: iagi-net@iagi.or.idDate: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM Noor, Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam,-abl- 2008/6/19 noor syarifuddin [EMAIL PROTECTED]: Mas Firman yang penuh semangat, Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing,perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Darihal kecil inikita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini. salam,NSy - Original Message From: Firman Gea [EMAIL PROTECTED]To: "iagi-net@iagi.or.id" iagi-net@iagi.or.idSent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AMSubject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang, Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini. Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! Salam, Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir. Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun Arin Widiyanti - detikFinance Tambang MInyak (ist) Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun.Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis (19/6/2008).Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun. Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun.Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan."Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini," ujarnya.Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas dalam pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan benar.Tak lupa dia juga meminta pelaksanaan audit investigasi penerimaan minyak secara menyeluruh."Riset ini bisa merupakan shock theraphy. Indonesia selalu dirugikan dengan cost recovery yang tidak erlu dibayarkan kepada pengusaha minyak,"