Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
. Para Wali kaget luar biasa ketika kata2 Siti Jenar benar2 terjadi, dari tubuhnya keluar sinar dan harum bunga. Diceritakan, seorang Wali segera mengganti mayat Siti Jenar malam itu dengan bangkai anjing kudisan dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa lihatlah ajal seorang penganut aliran sesat ia senajis anjing kudisan. Kematian Siti Jenar mungkin bukan sekedar masalah aliran sesat, tetapi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam. Jadi antara Ki Ageng Pengging dengan Raden Patah adalah masih terhitung hubungan seperti keponakan dan paman, Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra menceritakan asal-muasal Siti Jenar, sulit menerimanya sebab seperti dongeng saja. Ini pernah difilmkan dengan alm. Ratno Timoer sebagai Siti Jenar. Dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Banyak sekali versi cerita tentang asal-muasal Siti Jenar ini. Ada yang menulis bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Ada buku yang menulis bahwa Siti Jenar adalah murid Sunan Giri yang sangat sakti yang lari dari perguruan Sunan Bonang sebab pendapatnya tentang ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang. Sulendraningrat - Sejarah Cirebon (1985) menjelaskan bahwa Siti Jenar berasal dari Bagdad beraliran Syi'ah di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Cirebon. Cerita di atas lain lagi, bahwa Siti Jenar dibawa ke Demak dan dihukum mati di Masjid Agung Demak. Dalam hubungan dengan Majapahit, Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V/Kertabumi yang bertahta tahun 1468-1478 M. Ki Ageng Pengging adalah pembangkang kerajaan Demak, berarti Guru dan murid menentang Demak sebab Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging membangkang para Wali Songo yang menyokong Demak. Tahun 1581 M, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet (Joko Tingkir) menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I. Ki Ageng Pengging yang membangkang terhadap Demak cocok dengan sang guru, Siti Jenar, yang juga membangkang terhadap Demak. Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang mungkin secara diam-diam Ki Ageng Pengging hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha Majapahit. Perlawanan Siti Jenar juga bisa ditafsirkan sebagai perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Politik dan agama bercampur baur. Dalam sejarah di mana pun di muka Bumi kita biasa menemuinya, agama dipakai sebagai alat kekuasaan atau alat legitimasi untuk memusnahkan. Apa boleh buat, sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa raja-raja Islam di Mataram Islam (Yogyakarta-Solo)- Sultan Agung dan seterusnya adalah justru keturunan Ki Ageng Pengging, bukannya keturunan Raden Patah. Menarik mengkaji filsafat Siti Jenar dari buku Bratakesawa (1954 - Falsafah Siti Jenar) atau Romo Zoetmulder (1935, Pantheisme en Monisme in de Java) dan Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder, 1965). Menarik, tetapi bersiaplah dengan goncangan pemikiran yang kontroversial dari pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan. Salam, awang (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !) -Original Message- From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ? Pak Awang, Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang begitu populer di kalangan pini
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
seingat saya, raden said masih keturunan raja jawa. pernah nonton dalam suatu film, dia sempet minta restu untuk keluar dari lingkungan kerajaan, mencari ilmu. versi yang lain, sebelum jadi sunan, sempet jadi garong/copet sampai pada suatu ketika ketemu seorang sunan (bonang?) yang mampu merubah kolang-kaling/aren jadi emas. pada akhirnya disuruh nunggu tongkat sunan tersebut sampai berbulan-bulan di pinggir sungai (asal kata jaga-sungai/kali = kalijaga) sebelum akhirnya diangkat jadi murid sunan. mana yg bener yak. mungkin memang semua pengkisah ada maksudnya Taufik Manan [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Awang, Syaiful dan lain-lain Menarik juga membaca cerita dan komentar anda tentang subyek ini. Saya sendiri tertarik dengan sejarah Indonesia dari Sriwijaya, Majapahit, Wali Songo, Kemerdekaan Indonesia sampai dengan Reformasi. Ketika saya kuliah di UI dulu sempat aktif di SM UI (sekarang BEM UI) dan sempat komunikasi dan diskusi dengan teman saya di FS (sekarang FIB), FISIP, Hukum dll termasuk dengan para pakarnya saat itu. Juga waktu survei seismik di Jawa Timur tahun lalu dengan salah satu perusahaan di Indonesia, saya sempat mengunjungi daerah Ampel di Surabaya, Gresik sampai di Tuban. Bahkan sempat membeli buku lengkap tentang Wali Songo. Bukunya ada di rumah saya di Depok karena sekarang sedang tugas di luar negri. Menurut saya, inti tentang Keruntuhan Majapahit itu merupakan tipikal bangsa Indonesia sampai kini. Ketika tokoh utamanya tiada (Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada) maka mulai timbul keretakan internal yang intinya perebutan kekuasaan. Sehingga akhirnya kehancurannya. Masyarakat saat itu tentunya bisa merasakannya dan memilih yang terbaik bagi mereka sendiri. Tentang Wali Songo memang banyak versi dan kontroversi. Namun menurut saya mereka para wali mempunyai budi dan tindakan yang baik sehingga secara tidak langsung banyak yang mengikutinya. Memang ada yang mempunyai kemampuan khusus di luar kemampuan manusia normal. Hanya dalam menyampaikan pada masyarakat saat itu menggunakan media yang populer sehingga bisa diserap olah masyarakatnya. Khusus tentang Syech Siti Jenar dianggap secara prinsip akidah menyimpang sehingga perlu dikoreksi yang benar. Saya tidak ingin berpolemik tentang Beliau namun satu yang sangat indah dari wali songo adalah tembang yang saat itu populer dan sekarang populer juga, yaitu Tombo Ati yang dulu dibuat Sunan Bonang dan kembali disyairkan oleh Opic. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Salam hangat TAM --- Awang Satyana wrote: Betul Pak Syaiful, Wali tak hanya sembilan, tetapi yang terkenal memang hanya Wali Songo itu. Yang mendatangi Syekh Siti Jenar di perguruannya adalah lima wali, yaitu : Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Pangeran Modang, dan Sunan Geseng. Dua nama terakhir adalah wali juga; tetapi jarang didengar namanya. Kelihatannya, yang bukan keturunan Cina atau Mongol hanyalah Siti Jenar. Raden Said (Sunan Kalijaga) adalah Gan Si Cang, kapten kapal Cina yang berdomisili di Semarang. Ayah Sunan Kalijaga adalah Gan Eng Cu, kapten kapal di Tuban yang pernah dijadikan bupati Wilwatikta semasa akhir Majapahit. Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) adalah ipar Sunan Kalijaga. Dapat dibaca di buku Slamet Muljana (1968, 2005) : Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (buku ini kini stock-nya lumayan banyak di Gramedia karena banyak yang mencarinya, sejak dipublikasi ulang tahun 2005 sudah dicetak ulang), penjelasan sangat detil tentang peranan muslim2 Cina di Jawa ini pada masa akhir Majapahit dan awal Demak. Bahkan di dalamnya ada pendapat yang meyakinkan dari Slamet Muljana bahwa Samudra Pasai di Aceh di-Islam-kan oleh muslim2 Cina dari Jawa dan bukan sebaliknya. Pedagang2 dari Gujarat tak pernah sampai ke Jawa, hanya ke ujung baratlaut Sumatra. Banyak2 hal2 yang terasa kontroversial dikemukakan Slamet Muljana, dirasakan kontroversial karena tak cocok dengan sejarah yang selama ini diajarkan seperti kasus Fatahillah dan Sunan Gunung Jati, itu adalah dua orang yang berbeda, tetapi di buku2sejarah sekolah dikatakan sama. Mana yang benar, biarlah di antara para ahli sejarah terjadi perdebatan untuk menemukan kebenaran. Yang penting, jangan suka menutut-nutupi kebenaran. sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final (Mohammad Sobary) salam, awang mohammad syaiful wrote: sekedar info, bahwa seringkali saya temui ternyata banyak orang (termasuk muslim) yg tidak tahu bahwa yg namanya 'wali songo' itu pernah sampai terdiri dari 6 (enam) periode, yg juga sempat overlap antara beberapa periode. hanya setiap periode atau waktu, jumlah anggota wali songo adalah sembilan sesuai dengan namanya. pada periode ke-4 (atau ke-5 kalo nggak salah), siti jenar adalah salah seorang anggota wali songo. sedangkan kalo kita jalan2 ke makam2 para wali (kudus dll) akan ditawari lukisan wali songo, yg
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Pak Awang, Syaiful dan lain-lain Menarik juga membaca cerita dan komentar anda tentang subyek ini. Saya sendiri tertarik dengan sejarah Indonesia dari Sriwijaya, Majapahit, Wali Songo, Kemerdekaan Indonesia sampai dengan Reformasi. Ketika saya kuliah di UI dulu sempat aktif di SM UI (sekarang BEM UI) dan sempat komunikasi dan diskusi dengan teman saya di FS (sekarang FIB), FISIP, Hukum dll termasuk dengan para pakarnya saat itu. Juga waktu survei seismik di Jawa Timur tahun lalu dengan salah satu perusahaan di Indonesia, saya sempat mengunjungi daerah Ampel di Surabaya, Gresik sampai di Tuban. Bahkan sempat membeli buku lengkap tentang Wali Songo. Bukunya ada di rumah saya di Depok karena sekarang sedang tugas di luar negri. Menurut saya, inti tentang Keruntuhan Majapahit itu merupakan tipikal bangsa Indonesia sampai kini. Ketika tokoh utamanya tiada (Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada) maka mulai timbul keretakan internal yang intinya perebutan kekuasaan. Sehingga akhirnya kehancurannya. Masyarakat saat itu tentunya bisa merasakannya dan memilih yang terbaik bagi mereka sendiri. Tentang Wali Songo memang banyak versi dan kontroversi. Namun menurut saya mereka para wali mempunyai budi dan tindakan yang baik sehingga secara tidak langsung banyak yang mengikutinya. Memang ada yang mempunyai kemampuan khusus di luar kemampuan manusia normal. Hanya dalam menyampaikan pada masyarakat saat itu menggunakan media yang populer sehingga bisa diserap olah masyarakatnya. Khusus tentang Syech Siti Jenar dianggap secara prinsip akidah menyimpang sehingga perlu dikoreksi yang benar. Saya tidak ingin berpolemik tentang Beliau namun satu yang sangat indah dari wali songo adalah tembang yang saat itu populer dan sekarang populer juga, yaitu Tombo Ati yang dulu dibuat Sunan Bonang dan kembali disyairkan oleh Opic. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Salam hangat TAM --- Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul Pak Syaiful, Wali tak hanya sembilan, tetapi yang terkenal memang hanya Wali Songo itu. Yang mendatangi Syekh Siti Jenar di perguruannya adalah lima wali, yaitu : Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Pangeran Modang, dan Sunan Geseng. Dua nama terakhir adalah wali juga; tetapi jarang didengar namanya. Kelihatannya, yang bukan keturunan Cina atau Mongol hanyalah Siti Jenar. Raden Said (Sunan Kalijaga) adalah Gan Si Cang, kapten kapal Cina yang berdomisili di Semarang. Ayah Sunan Kalijaga adalah Gan Eng Cu, kapten kapal di Tuban yang pernah dijadikan bupati Wilwatikta semasa akhir Majapahit. Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) adalah ipar Sunan Kalijaga. Dapat dibaca di buku Slamet Muljana (1968, 2005) : Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (buku ini kini stock-nya lumayan banyak di Gramedia karena banyak yang mencarinya, sejak dipublikasi ulang tahun 2005 sudah dicetak ulang), penjelasan sangat detil tentang peranan muslim2 Cina di Jawa ini pada masa akhir Majapahit dan awal Demak. Bahkan di dalamnya ada pendapat yang meyakinkan dari Slamet Muljana bahwa Samudra Pasai di Aceh di-Islam-kan oleh muslim2 Cina dari Jawa dan bukan sebaliknya. Pedagang2 dari Gujarat tak pernah sampai ke Jawa, hanya ke ujung baratlaut Sumatra. Banyak2 hal2 yang terasa kontroversial dikemukakan Slamet Muljana, dirasakan kontroversial karena tak cocok dengan sejarah yang selama ini diajarkan seperti kasus Fatahillah dan Sunan Gunung Jati, itu adalah dua orang yang berbeda, tetapi di buku2sejarah sekolah dikatakan sama. Mana yang benar, biarlah di antara para ahli sejarah terjadi perdebatan untuk menemukan kebenaran. Yang penting, jangan suka menutut-nutupi kebenaran. sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final (Mohammad Sobary) salam, awang mohammad syaiful [EMAIL PROTECTED] wrote: sekedar info, bahwa seringkali saya temui ternyata banyak orang (termasuk muslim) yg tidak tahu bahwa yg namanya 'wali songo' itu pernah sampai terdiri dari 6 (enam) periode, yg juga sempat overlap antara beberapa periode. hanya setiap periode atau waktu, jumlah anggota wali songo adalah sembilan sesuai dengan namanya. pada periode ke-4 (atau ke-5 kalo nggak salah), siti jenar adalah salah seorang anggota wali songo. sedangkan kalo kita jalan2 ke makam2 para wali (kudus dll) akan ditawari lukisan wali songo, yg sebenarnya hanyalah memuat 9 wali yg paling terkenal saja. dari puluhan wali yg pernah menjadi anggota wali songo, semuanya adalah keturunan mongol atau cina. hanya ada 2 (dua) yg asli pribumi (jawa?), yaitu syekh siti jenar dan satunya lagi adalah raden mas said yg lebih dikenal sbg sunan kalijogo. seorang draftsman senior yg sudah pensiun dari kumpeni mafioso dan sekarang bekerja utk kumpeni berlabel kadal, punya banyak referensi sejarah, baik tanah jawa maupun pasundan. semoga bermanfaat dan salam, syaiful On 8/31/07, Awang Harun
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Pak Awang, Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang pernah saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna, sedangkan bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya. Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur Watugunung; mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha? Kalau diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang kok yha ingat KOmpas edisi 2-5-83? Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa) walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini hanya cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2 penerus Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah. Setelah Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho) dengan rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain dan tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja. Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana, mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat biasa. Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap berkeinginan agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka mas Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang masih trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama di istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus dekat dengan pusat kekuasaan. Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi) sangat erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar (kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?). Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit yang sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai keistimewaan bermacam-macam: ada yang dapat dimintai untuk mencari kekayaan (pesugihan), kenaikan pangkat (rasanya kita tidak perlu ke sana, lha Pak Awang kan pangkatnya sudah cukup, sedangkan saya sudah pensiun-he-he), gampang jodoh, perdamaian orang berperkara, dan bahkan ada yang dimintai bantuan kalau menjelang pemilihan lurah (kepala desa). Saya agak lupa bagaimana bukunya Prof.Slamet Mulyana mengulas Majapahit. Namun buku-2 Prof De Graaf sangat bagus. Saya mengoleksi: Masa Kejayaan Mataram dan Runtuhnya Kerajaan Mataram. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana Sultan Agung menyandra pelaut-2 Belanda untuk bercerita pengalamannya, menggambar Peta Dunia. Kelihatannya Sultan Agung sangat haus pengetahuan. Di situ juga diceritakan bagaimana tawanan Belanda yang dihukum mati lalu dilemparkan ke kandang buaya piaraannya. Anehnya binatang yang mengerikan itu tidak mau menyentuhnya, maka almarhum terus dinyatakan tidak bersalah (not gulity), lalu dimakamkan. Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Mataram lebih bnyak cerita yang memilukan (ingat kelaliman Amangkurat). Betapa kuasanya seorang raja pada waktu itu. Buku-2 De Graaf ini sudah ditulis sebagai trilogi novel sejarah oleh Romo Mangunwijaya (Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri) dengan bahasa gaul yang jenaka tetapi tetap memikat (ketika saya baca novel ini di rig, kawan yang tidur di dipan di atas saya suka terbangun karena dipannya tergoncang...alur ceritanya dibuat sangat lucu). Tokoh Joko Tingkir juga sangat pupuler di daerah saya. Walaupun hanya prajurit krocuk, tetapi karena memang ada darah Majapahit, dia memang berbeda dengan parajurit lainnya. Tidak heran kalau Bunga Istana Demak (Sekar Pembayun?) dapat kesengsem sama dia. Hampir setiap malam Minggu si prajurit ini suka apel dan mereka berduaan di taman sampai larut malam. Dalam istana sudah biasa banyak gunjingan. Cerita ini pun sampai ke telinga sang raja (Sultan Trenggana?). Sultan pun marah (mungkin tidak betulan) dan ingin membuktikannya. Pada suatu malam, Sultan dengan memakai kain hitam penutup wajah masuk, mengendap ke taman, dimana dua sejoli sedang duduk berduaan sambil berpegangan tangan. Dalam hati Sultan terkejut, kok bisa-bisanya parjurit ini masuk keputren. Sultan lebih terkejut lagi setelah Karebet segera mendongakkan kepala pertanda dia tahu ada seseorang hadir, padahal Sultan sudah menerapkan ilmu kesaktiannya. Sebelum Sultan
RE: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Cirebon. Cerita di atas lain lagi, bahwa Siti Jenar dibawa ke Demak dan dihukum mati di Masjid Agung Demak. Dalam hubungan dengan Majapahit, Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V/Kertabumi yang bertahta tahun 1468-1478 M. Ki Ageng Pengging adalah pembangkang kerajaan Demak, berarti Guru dan murid menentang Demak sebab Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging membangkang para Wali Songo yang menyokong Demak. Tahun 1581 M, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet (Joko Tingkir) menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I. Ki Ageng Pengging yang membangkang terhadap Demak cocok dengan sang guru, Siti Jenar, yang juga membangkang terhadap Demak. Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang mungkin secara diam-diam Ki Ageng Pengging hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha Majapahit. Perlawanan Siti Jenar juga bisa ditafsirkan sebagai perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Politik dan agama bercampur baur. Dalam sejarah di mana pun di muka Bumi kita biasa menemuinya, agama dipakai sebagai alat kekuasaan atau alat legitimasi untuk memusnahkan. Apa boleh buat, sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa raja-raja Islam di Mataram Islam (Yogyakarta-Solo)- Sultan Agung dan seterusnya adalah justru keturunan Ki Ageng Pengging, bukannya keturunan Raden Patah. Menarik mengkaji filsafat Siti Jenar dari buku Bratakesawa (1954 - Falsafah Siti Jenar) atau Romo Zoetmulder (1935, Pantheisme en Monisme in de Java) dan Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder, 1965). Menarik, tetapi bersiaplah dengan goncangan pemikiran yang kontroversial dari pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan. Salam, awang (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !) -Original Message- From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ? Pak Awang, Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang pernah saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna, sedangkan bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya. Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur Watugunung; mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha? Kalau diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang kok yha ingat KOmpas edisi 2-5-83? Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa) walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini hanya cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2 penerus Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah. Setelah Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho) dengan rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain dan tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja. Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana, mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat biasa. Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap berkeinginan agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka mas Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang masih trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama di istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus dekat dengan pusat kekuasaan. Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi) sangat erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar (kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?). Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit yang sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Siti Jenar, sulit menerimanya sebab seperti dongeng saja. Ini pernah difilmkan dengan alm. Ratno Timoer sebagai Siti Jenar. Dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Banyak sekali versi cerita tentang asal-muasal Siti Jenar ini. Ada yang menulis bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Ada buku yang menulis bahwa Siti Jenar adalah murid Sunan Giri yang sangat sakti yang lari dari perguruan Sunan Bonang sebab pendapatnya tentang ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang. Sulendraningrat - Sejarah Cirebon (1985) menjelaskan bahwa Siti Jenar berasal dari Bagdad beraliran Syi'ah di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Cirebon. Cerita di atas lain lagi, bahwa Siti Jenar dibawa ke Demak dan dihukum mati di Masjid Agung Demak. Dalam hubungan dengan Majapahit, Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V/Kertabumi yang bertahta tahun 1468-1478 M. Ki Ageng Pengging adalah pembangkang kerajaan Demak, berarti Guru dan murid menentang Demak sebab Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging membangkang para Wali Songo yang menyokong Demak. Tahun 1581 M, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet (Joko Tingkir) menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I. Ki Ageng Pengging yang membangkang terhadap Demak cocok dengan sang guru, Siti Jenar, yang juga membangkang terhadap Demak. Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang mungkin secara diam-diam Ki Ageng Pengging hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha Majapahit. Perlawanan Siti Jenar juga bisa ditafsirkan sebagai perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Politik dan agama bercampur baur. Dalam sejarah di mana pun di muka Bumi kita biasa menemuinya, agama dipakai sebagai alat kekuasaan atau alat legitimasi untuk memusnahkan. Apa boleh buat, sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa raja-raja Islam di Mataram Islam (Yogyakarta-Solo)- Sultan Agung dan seterusnya adalah justru keturunan Ki Ageng Pengging, bukannya keturunan Raden Patah. Menarik mengkaji filsafat Siti Jenar dari buku Bratakesawa (1954 - Falsafah Siti Jenar) atau Romo Zoetmulder (1935, Pantheisme en Monisme in de Java) dan Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder, 1965). Menarik, tetapi bersiaplah dengan goncangan pemikiran yang kontroversial dari pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan. Salam, awang (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !) -Original Message- From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ? Pak Awang, Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang pernah saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna, sedangkan bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya. Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur Watugunung; mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha? Kalau diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang kok yha ingat KOmpas edisi 2-5-83? Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa) walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini hanya cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2 penerus Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah. Setelah Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho) dengan rajanya Sultan
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
goncangan pemikiran yang kontroversial dari pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan. Salam, awang (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !) -Original Message- From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ? Pak Awang, Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang pernah saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna, sedangkan bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya. Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur Watugunung; mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha? Kalau diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang kok yha ingat KOmpas edisi 2-5-83? Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa) walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini hanya cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2 penerus Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah. Setelah Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho) dengan rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain dan tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja. Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana, mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat biasa. Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap berkeinginan agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka mas Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang masih trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama di istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus dekat dengan pusat kekuasaan. Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi) sangat erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar (kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?). Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit yang sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai keistimewaan bermacam-macam: ada yang dapat dimintai untuk mencari kekayaan (pesugihan), kenaikan pangkat (rasanya kita tidak perlu ke sana, lha Pak Awang kan pangkatnya sudah cukup, sedangkan saya sudah pensiun-he-he), gampang jodoh, perdamaian orang berperkara, dan bahkan ada yang dimintai bantuan kalau menjelang pemilihan lurah (kepala desa). Saya agak lupa bagaimana bukunya Prof.Slamet Mulyana mengulas Majapahit. Namun buku-2 Prof De Graaf sangat bagus. Saya mengoleksi: Masa Kejayaan Mataram dan Runtuhnya Kerajaan Mataram. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana Sultan Agung menyandra pelaut-2 Belanda untuk bercerita pengalamannya, menggambar Peta Dunia. Kelihatannya Sultan Agung sangat haus pengetahuan. Di situ juga diceritakan bagaimana tawanan Belanda yang dihukum mati lalu dilemparkan ke kandang buaya piaraannya. Anehnya binatang yang mengerikan itu tidak mau menyentuhnya, maka almarhum terus dinyatakan tidak bersalah (not gulity), lalu dimakamkan. Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Mataram lebih bnyak cerita yang memilukan (ingat kelaliman Amangkurat). Betapa kuasanya seorang raja pada waktu itu. Buku-2 De Graaf ini sudah ditulis sebagai trilogi novel sejarah oleh Romo Mangunwijaya (Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri) dengan bahasa gaul yang jenaka tetapi tetap memikat (ketika saya baca novel ini di rig, kawan yang tidur di dipan di atas saya suka terbangun karena dipannya tergoncang...alur ceritanya dibuat sangat lucu). Tokoh Joko Tingkir juga sangat pupuler di daerah saya. Walaupun hanya prajurit krocuk, tetapi karena memang ada darah Majapahit, dia memang berbeda dengan parajurit lainnya. Tidak heran kalau Bunga Istana Demak (Sekar Pembayun?) dapat kesengsem sama dia. Hampir setiap malam Minggu si prajurit ini suka apel dan mereka berduaan di taman sampai larut
RE: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Jurusan Sejarah dan Antropologi di universitas2 kita barangkali sudah meneliti ini dan pendapatnya bisa berbeda berdasarkan data2 dan pendekatan2 yg berbeda pula. Barangkali menarik kalau akhli sejarah bisa cerita juga, misal Pak Gonggong (maaf kalau salah spelling). Apakah ada hubungannya juga dengan perang dengan Siliwangi ? Lupa sejarah kita sendiri euy . Thanks. Iman -Original Message- From: Awang Harun Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, August 30, 2007 4:08 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ? Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus. Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi. Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti : 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang binasa. Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif partitif = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah kasus yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang sejenisnya. Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), kerta = hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera. Maka, terbuka untuk menafsirkan sirna ilang krtaning bhumi sebagai : (1) sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi atau (2) sirna hilang kemakmuran bumi/di bumi. Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1 lebih tepat sebab sirna hilang akibat pekerjaan bumi. Apa pekerjaan bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi gununglumpur. Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang (dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah. Ada satu lagi penyerta sirna ilang krtaning bhumi, yang kalah populer dari sengkalan ini tetapi tercatat di suatu risalah kerajaan Majapahit yang ditemukan belakangan. Risalah tersebut mencatat suatu peristiwa Guntur Pawatugunung. Peristiwa apa ini dan kapan terjadinya ? Ricklefs (1999) - Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak meneliti sejarah Indonesia, bukunya Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004 sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya oleh UGM - berdasarkan tulisan2 ahli sejarah Belanda C.C. Berg, menyatakan bahwa peristiwa Guntur Pawatugunung terjadi pada tahun 1403 Saka (1481 M). Apa makna guntur pawatugunung ? Banyak yang mengartikan, itu adalah peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi (C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung i merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa sejarah2 penting di Indonesia banyak ditandai dengan peristiwa2 alam. Sekarang kita lihat tahun2 sirna ilang krtaning bhumi (1400 Caka) dan guntur pawatugunung (1403 Caka), sangat berdekatan - hanya beda 3 tahun. Benar berbeda tiga tahun atau ada kesalahan pencatatan ? Dua2nya mungkin. Ratusan tahun yang lalu kesalahan pencatatan waktu 3 tahun ya wajar
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Wah kajian sejarah yang sangat menarik. Namun yang lebih menarik untuk para geologist adalah BUKTI FISIS dari semua dugaan ini. Seperti yang aku tulis tentang Candi Kedulan tentang ditinggalkannya candi, http://rovicky.wordpress.com/2006/08/18/candi-kedulan/ Juga crita Situs Batujaya yang Pak Awang ceriterakan sebelumnya yang menyebutkan adanya endapan pantai yang menguburkan, barangkali memang ditinggalkan akibat muka air laut yg relatif naik. Namun apa bukti fisis (geologi) utk Majapahit ini ? Tulisan2 seperti ini sangat disukai terutama kalau ada gambar serta keterangan grafis yang menunjang. Termasuk tulisan dari Pak Awang kemarin itu : http://rovicky.wordpress.com/2007/08/29/hilang-amblas-ditelan-bumi-sirna-ilang-kertaning-bumi/ Dongeng ini bahkan di komentari juga oleh Pak Suparka (LIPI) yang ternyata juga punya blog khusus di http://aki2005.multiply.com/ Salam RDP On 8/30/07, Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus. Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi. Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti : 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang binasa. Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif partitif = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah kasus yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang sejenisnya. Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), kerta = hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera. Maka, terbuka untuk menafsirkan sirna ilang krtaning bhumi sebagai : (1) sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi atau (2) sirna hilang kemakmuran bumi/di bumi. Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1 lebih tepat sebab sirna hilang akibat pekerjaan bumi. Apa pekerjaan bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi gununglumpur. Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang (dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah. Ada satu lagi penyerta sirna ilang krtaning bhumi, yang kalah populer dari sengkalan ini tetapi tercatat di suatu risalah kerajaan Majapahit yang ditemukan belakangan. Risalah tersebut mencatat suatu peristiwa Guntur Pawatugunung. Peristiwa apa ini dan kapan terjadinya ? Ricklefs (1999) - Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak meneliti sejarah Indonesia, bukunya Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004 sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya oleh UGM - berdasarkan tulisan2 ahli sejarah Belanda C.C. Berg, menyatakan bahwa peristiwa Guntur Pawatugunung terjadi pada tahun 1403 Saka (1481 M). Apa makna guntur pawatugunung ? Banyak yang mengartikan, itu adalah peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi (C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung i merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa
RE: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Pak Rovicky, Kalau kita mau bersungguh-sungguh mencari tahu apakah benar faktor bencana alam penting dalam sandhyakala ning Majapahit, jelas harus ada pekerjaan lapangan untuk mencari bukti fisik. Kita telah bisa meyimpulkan bahwa ibukota Majapahit di antara poros Trowulan dan Tarik, di antara Jombang dan Sidoarjo sekarang. Banyak penggalian arkeologi ex Majapahit dikumpulkan di museum Majapahit Trowulan di selatan Jombang sekarang. Kalau kita berpremis bahwa ada beberapa titik erupsi gununglumpur saat zaman Majapahit dulu (lokasinya sudah saya coba tempatkan di ulasan pertama tentang ini), maka kita bisa melakukan pekerjaan lapangan di sekitarnya; mencari sisa2 lumpur yang diletuskan 600 tahun yang lalu. Kita datangi kampung2/bukit2 masa kini dengan nama toponim bernuansa mud volcano, seperti Gunung Anyar dan Redi Anyar di antara Jombang - Tarik. Lumpur yang diletuskan lebih kurang akan sama dengan yang diletuskan LUSI sekarang, masih Pucangan yang berumur Plistosen atau bisa juga yang Pliosen, kita bisa cek umurnya dengan fosil. Mungkin di deposit lumpurnya ada barang2 berumur 600 tahun yang lalu, kita bisa mengeceknya dengan radio carbon-14 dating. Kalau kita berpremis bahwa Majapahit diserbu rempah volkanik dari tiga gunungapi di selatan Penanggungan (kompleks AWA - Anjasmoro, Welirang, Arjuno), kita bisa cek literatur kegunungapian dulu; sayang dari ketiga gunungapi itu yang baru terkatalogkan letusannya hanya Arjuno, itu pun hanya di abad ke-20. Untuk premis ini, kabarnya Geologi ITB pada awal 1980-an pernah melakukan peneltian di situs Majapahit untuk mencari bukti bahwa banyak endapan volkanik di sekitar situs tersebut, lembah2 aliran lavanya ikut dipetakan. Jelas kita harus meneruskannya dengan pencarian bukti fisik kalau mau menyungguhi hal ini. Harus ada kolaborasi antara ahli geologi, ahli arkeologi, dan ahli sejarah. Salam, awang -Original Message- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, August 30, 2007 4:58 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ? Wah kajian sejarah yang sangat menarik. Namun yang lebih menarik untuk para geologist adalah BUKTI FISIS dari semua dugaan ini. Seperti yang aku tulis tentang Candi Kedulan tentang ditinggalkannya candi, http://rovicky.wordpress.com/2006/08/18/candi-kedulan/ Juga crita Situs Batujaya yang Pak Awang ceriterakan sebelumnya yang menyebutkan adanya endapan pantai yang menguburkan, barangkali memang ditinggalkan akibat muka air laut yg relatif naik. Namun apa bukti fisis (geologi) utk Majapahit ini ? Tulisan2 seperti ini sangat disukai terutama kalau ada gambar serta keterangan grafis yang menunjang. Termasuk tulisan dari Pak Awang kemarin itu : http://rovicky.wordpress.com/2007/08/29/hilang-amblas-ditelan-bumi-sirna -ilang-kertaning-bumi/ Dongeng ini bahkan di komentari juga oleh Pak Suparka (LIPI) yang ternyata juga punya blog khusus di http://aki2005.multiply.com/ Salam RDP On 8/30/07, Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus. Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi. Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti : 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang binasa. Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif partitif = penggunaan kasus genitif
Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
Rekan rekan Kajian yang beraneka ragam dimulai dari geologi struktur - geo hazard - kepurbakalaan sampai ke sejarah Majapahit , dengan situs - nya dsb ...dsb . Penelaahan bahasa jawa kuno , penterjemahan berdasarkan nalar yang sangat ilmiah .. Sangat menarik dan menggugah keingin tahuan ! Sayang - nya , terbuka hanya sedikit sedikit dalam iagi- net ini , bagaimana ya caranya agar ilmu ilmu yang dipunyai rekan rekan yang lebih mendalami dapat disebarkan kepada umum , khususya generasi muda Melalui club ? Omong omong di organisasi sekolah ??? Atau bagaimana ? Bukan-kah dengan mengetahui sejarah bangsa-nya kita dapat lebih bangga menjadi bangsa Indonesia ? Buan-kah kondisi saat ini , banyak yang lebih senang meng-olok2 diri sendiri sembari tidak mau dan tidak tahu menyebutkan bagaimana bangsa ini harus berbuat ??? Si-Abah _ Wah kajian sejarah yang sangat menarik. Namun yang lebih menarik untuk para geologist adalah BUKTI FISIS dari semua dugaan ini. Seperti yang aku tulis tentang Candi Kedulan tentang ditinggalkannya candi, http://rovicky.wordpress.com/2006/08/18/candi-kedulan/ Juga crita Situs Batujaya yang Pak Awang ceriterakan sebelumnya yang menyebutkan adanya endapan pantai yang menguburkan, barangkali memang ditinggalkan akibat muka air laut yg relatif naik. Namun apa bukti fisis (geologi) utk Majapahit ini ? Tulisan2 seperti ini sangat disukai terutama kalau ada gambar serta keterangan grafis yang menunjang. Termasuk tulisan dari Pak Awang kemarin itu : http://rovicky.wordpress.com/2007/08/29/hilang-amblas-ditelan-bumi-sirna-ilang-kertaning-bumi/ Dongeng ini bahkan di komentari juga oleh Pak Suparka (LIPI) yang ternyata juga punya blog khusus di http://aki2005.multiply.com/ Salam RDP On 8/30/07, Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus. Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi. Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti : 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang binasa. Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif partitif = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah kasus yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang sejenisnya. Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), kerta = hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera. Maka, terbuka untuk menafsirkan sirna ilang krtaning bhumi sebagai : (1) sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi atau (2) sirna hilang kemakmuran bumi/di bumi. Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1 lebih tepat sebab sirna hilang akibat pekerjaan bumi. Apa pekerjaan bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi gununglumpur. Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang (dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah. Ada