Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-09-03 Terurut Topik benyamin sembiring
. Para Wali kaget luar biasa ketika kata2 Siti
  Jenar benar2 terjadi, dari tubuhnya keluar sinar dan harum bunga.
  Diceritakan, seorang Wali segera mengganti mayat Siti Jenar malam itu
  dengan bangkai anjing kudisan dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa
  lihatlah ajal seorang penganut aliran sesat ia senajis anjing kudisan.
 
  Kematian Siti Jenar mungkin bukan sekedar masalah aliran sesat, tetapi
  karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa
  Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan
  Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki
  Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang
  bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar
  Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha
  beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam. Jadi antara Ki Ageng
  Pengging dengan Raden Patah adalah masih terhitung hubungan seperti
  keponakan dan paman,
 
  Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan
  Wali Sanga himpunan Wirjapanitra menceritakan asal-muasal Siti Jenar,
  sulit menerimanya sebab seperti dongeng saja. Ini pernah difilmkan
  dengan alm. Ratno Timoer sebagai Siti Jenar. Dikatakan bahwa saat Sunan
  Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu
  yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut,
  ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan
  Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat
  derajatnya sebagai Wali.
 
  Banyak sekali versi cerita tentang asal-muasal Siti Jenar ini. Ada yang
  menulis bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang ikut mendengar saat
  Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di
  tengah rawa. Ada buku yang menulis bahwa Siti Jenar adalah murid Sunan
  Giri yang sangat sakti yang lari dari perguruan Sunan Bonang sebab
  pendapatnya tentang ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui
  Sunan Bonang. Sulendraningrat - Sejarah Cirebon (1985) menjelaskan bahwa
  Siti Jenar berasal dari Bagdad beraliran Syi'ah di Pengging Jawa Tengah
  dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan
  masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia
  dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Cirebon.  Cerita di atas
  lain lagi, bahwa Siti Jenar dibawa ke Demak dan dihukum mati di Masjid
  Agung Demak.
 
  Dalam hubungan dengan Majapahit, Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah
  cucu Raja Brawijaya V/Kertabumi yang bertahta tahun 1468-1478 M. Ki
  Ageng Pengging adalah pembangkang kerajaan Demak, berarti Guru dan murid
  menentang Demak sebab Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging membangkang
  para Wali Songo yang menyokong Demak. Tahun 1581 M, putra Ki Ageng
  Pengging yaitu Mas Karebet (Joko Tingkir) menjadi Raja menggantikan
  Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari
  Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan
  Hadiwijoyo Pajang I.
 
  Ki Ageng Pengging yang membangkang terhadap Demak cocok dengan sang
  guru, Siti Jenar, yang juga membangkang terhadap Demak. Dengan sisa-sisa
  pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama
  Hindu-Budha yang mungkin secara diam-diam Ki Ageng Pengging hendak
  mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha
  Majapahit. Perlawanan Siti Jenar juga bisa ditafsirkan sebagai
  perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh
  dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat
  berpengaruh. Politik dan agama bercampur baur. Dalam sejarah di mana pun
  di muka Bumi kita biasa menemuinya, agama dipakai sebagai alat kekuasaan
  atau alat legitimasi untuk memusnahkan. Apa boleh buat, sejarah
  selanjutnya menunjukkan bahwa raja-raja Islam di Mataram Islam
  (Yogyakarta-Solo)- Sultan Agung dan seterusnya adalah justru keturunan
  Ki Ageng Pengging, bukannya keturunan Raden Patah.
 
  Menarik mengkaji filsafat Siti Jenar dari buku Bratakesawa (1954 -
  Falsafah Siti Jenar) atau Romo Zoetmulder (1935, Pantheisme en Monisme
  in de Java) dan Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder, 1965). Menarik,
  tetapi bersiaplah dengan goncangan pemikiran yang kontroversial dari
  pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan.
 
  Salam,
  awang
  (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng
  sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !)
 
  -Original Message-
  From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
  Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++
  To: iagi-net@iagi.or.id
  Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur
  Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?
 
  Pak Awang,
 
  Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga
  paham
  sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang
  begitu populer di kalangan pini

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-09-02 Terurut Topik hermawan joko sutrisno
seingat saya, raden said masih keturunan raja jawa. pernah nonton dalam suatu 
film, dia sempet minta restu untuk keluar dari lingkungan kerajaan, mencari 
ilmu.
   
  versi yang lain, sebelum jadi sunan, sempet jadi garong/copet sampai pada 
suatu ketika ketemu seorang sunan (bonang?) yang mampu merubah 
kolang-kaling/aren jadi emas. pada akhirnya disuruh nunggu tongkat sunan 
tersebut sampai berbulan-bulan di pinggir sungai (asal kata jaga-sungai/kali = 
kalijaga) sebelum akhirnya diangkat jadi murid sunan.
   
  mana yg bener yak. mungkin memang semua pengkisah ada maksudnya

Taufik Manan [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Pak Awang, Syaiful dan lain-lain

Menarik juga membaca cerita dan komentar anda tentang
subyek ini.

Saya sendiri tertarik dengan sejarah Indonesia dari
Sriwijaya, Majapahit, Wali Songo, Kemerdekaan
Indonesia sampai dengan Reformasi. Ketika saya kuliah
di UI dulu sempat aktif di SM UI (sekarang BEM UI) dan
sempat komunikasi dan diskusi dengan teman saya di FS
(sekarang FIB), FISIP, Hukum dll termasuk dengan para
pakarnya saat itu. 

Juga waktu survei seismik di Jawa Timur tahun lalu
dengan salah satu perusahaan di Indonesia, saya sempat
mengunjungi daerah Ampel di Surabaya, Gresik sampai di
Tuban. Bahkan sempat membeli buku lengkap tentang Wali
Songo. Bukunya ada di rumah saya di Depok karena
sekarang sedang tugas di luar negri.

Menurut saya, inti tentang Keruntuhan Majapahit itu
merupakan tipikal bangsa Indonesia sampai kini. Ketika
tokoh utamanya tiada (Prabu Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada) maka mulai timbul keretakan internal yang
intinya perebutan kekuasaan. Sehingga akhirnya
kehancurannya.

Masyarakat saat itu tentunya bisa merasakannya dan
memilih yang terbaik bagi mereka sendiri. 

Tentang Wali Songo memang banyak versi dan
kontroversi. Namun menurut saya mereka para wali
mempunyai budi dan tindakan yang baik sehingga secara
tidak langsung banyak yang mengikutinya. Memang ada
yang mempunyai kemampuan khusus di luar kemampuan
manusia normal. Hanya dalam menyampaikan pada
masyarakat saat itu menggunakan media yang populer
sehingga bisa diserap olah masyarakatnya. Khusus
tentang Syech Siti Jenar dianggap secara prinsip
akidah menyimpang sehingga perlu dikoreksi yang benar.

Saya tidak ingin berpolemik tentang Beliau namun satu
yang sangat indah dari wali songo adalah tembang yang
saat itu populer dan sekarang populer juga, yaitu
Tombo Ati yang dulu dibuat Sunan Bonang dan kembali
disyairkan oleh Opic.

Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.

Salam hangat

TAM

--- Awang Satyana wrote:

 Betul Pak Syaiful, Wali tak hanya sembilan, tetapi
 yang terkenal memang hanya Wali Songo itu. Yang
 mendatangi Syekh Siti Jenar di perguruannya adalah
 lima wali, yaitu : Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
 Sunan Kudus, Pangeran Modang, dan Sunan Geseng. Dua
 nama terakhir adalah wali juga; tetapi jarang
 didengar namanya. 
 
 Kelihatannya, yang bukan keturunan Cina atau
 Mongol hanyalah Siti Jenar. Raden Said (Sunan
 Kalijaga) adalah Gan Si Cang, kapten kapal Cina yang
 berdomisili di Semarang. Ayah Sunan Kalijaga adalah
 Gan Eng Cu, kapten kapal di Tuban yang pernah
 dijadikan bupati Wilwatikta semasa akhir Majapahit.
 Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) adalah ipar Sunan
 Kalijaga. 
 
 Dapat dibaca di buku Slamet Muljana (1968, 2005) :
 Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
 Negara-Negara Islam di Nusantara (buku ini kini
 stock-nya lumayan banyak di Gramedia karena banyak
 yang mencarinya, sejak dipublikasi ulang tahun 2005
 sudah dicetak ulang), penjelasan sangat detil
 tentang peranan muslim2 Cina di Jawa ini pada masa
 akhir Majapahit dan awal Demak. Bahkan di dalamnya
 ada pendapat yang meyakinkan dari Slamet Muljana
 bahwa Samudra Pasai di Aceh di-Islam-kan oleh
 muslim2 Cina dari Jawa dan bukan sebaliknya.
 Pedagang2 dari Gujarat tak pernah sampai ke Jawa,
 hanya ke ujung baratlaut Sumatra.
 
 Banyak2 hal2 yang terasa kontroversial dikemukakan
 Slamet Muljana, dirasakan kontroversial karena tak
 cocok dengan sejarah yang selama ini diajarkan
 seperti kasus Fatahillah dan Sunan Gunung Jati, itu
 adalah dua orang yang berbeda, tetapi di
 buku2sejarah sekolah dikatakan sama. Mana yang
 benar, biarlah di antara para ahli sejarah terjadi
 perdebatan untuk menemukan kebenaran. Yang penting,
 jangan suka menutut-nutupi kebenaran.
 
 sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran
 sejarah juga tak selalu final (Mohammad Sobary)
 
 salam,
 awang
 
 mohammad syaiful wrote:
 sekedar info, bahwa seringkali saya temui ternyata
 banyak orang
 (termasuk muslim) yg tidak tahu bahwa yg namanya
 'wali songo' itu
 pernah sampai terdiri dari 6 (enam) periode, yg juga
 sempat overlap
 antara beberapa periode. hanya setiap periode atau
 waktu, jumlah
 anggota wali songo adalah sembilan sesuai dengan
 namanya.
 
 pada periode ke-4 (atau ke-5 kalo nggak salah), siti
 jenar adalah
 salah seorang anggota wali songo. sedangkan kalo
 kita jalan2 ke makam2
 para wali (kudus dll) akan ditawari lukisan wali
 songo, yg 

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-09-01 Terurut Topik Taufik Manan
Pak Awang, Syaiful dan lain-lain

Menarik juga membaca cerita dan komentar anda tentang
subyek ini.

Saya sendiri tertarik dengan sejarah Indonesia dari
Sriwijaya, Majapahit, Wali Songo, Kemerdekaan
Indonesia sampai dengan Reformasi. Ketika saya kuliah
di UI dulu sempat aktif di SM UI (sekarang BEM UI) dan
sempat komunikasi dan diskusi dengan teman saya di FS
(sekarang FIB), FISIP, Hukum dll termasuk dengan para
pakarnya saat itu. 

Juga waktu survei seismik di Jawa Timur tahun lalu
dengan salah satu perusahaan di Indonesia, saya sempat
mengunjungi daerah Ampel di Surabaya, Gresik sampai di
Tuban. Bahkan sempat membeli buku lengkap tentang Wali
Songo. Bukunya ada di rumah saya di Depok karena
sekarang sedang tugas di luar negri.

Menurut saya, inti tentang Keruntuhan Majapahit itu
merupakan tipikal bangsa Indonesia sampai kini. Ketika
tokoh utamanya tiada (Prabu Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada) maka mulai timbul keretakan internal yang
intinya perebutan kekuasaan. Sehingga akhirnya
kehancurannya.

Masyarakat saat itu tentunya bisa merasakannya dan
memilih yang terbaik bagi mereka sendiri.  

Tentang Wali Songo memang banyak versi dan
kontroversi. Namun menurut saya mereka para wali
mempunyai budi dan tindakan yang baik sehingga secara
tidak langsung banyak yang mengikutinya. Memang ada
yang mempunyai kemampuan khusus di luar kemampuan
manusia normal. Hanya dalam menyampaikan pada
masyarakat saat itu menggunakan media yang populer
sehingga bisa diserap olah masyarakatnya. Khusus
tentang Syech Siti Jenar dianggap secara prinsip
akidah menyimpang sehingga perlu dikoreksi yang benar.

Saya tidak ingin berpolemik tentang Beliau namun satu
yang sangat indah dari wali songo adalah tembang yang
saat itu populer dan sekarang populer juga, yaitu
Tombo Ati yang dulu dibuat Sunan Bonang dan kembali
disyairkan oleh Opic.

Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.

Salam hangat

TAM

--- Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Betul Pak Syaiful, Wali tak hanya sembilan, tetapi
 yang terkenal memang hanya Wali Songo itu. Yang
 mendatangi Syekh Siti Jenar di perguruannya adalah
 lima wali, yaitu : Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
 Sunan Kudus, Pangeran Modang, dan Sunan Geseng. Dua
 nama terakhir adalah wali juga; tetapi jarang
 didengar namanya. 

   Kelihatannya, yang bukan keturunan Cina atau
 Mongol hanyalah Siti Jenar. Raden Said (Sunan
 Kalijaga) adalah Gan Si Cang, kapten kapal Cina yang
 berdomisili di Semarang. Ayah Sunan Kalijaga adalah
 Gan Eng Cu, kapten kapal di Tuban yang pernah
 dijadikan bupati Wilwatikta semasa akhir Majapahit.
 Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) adalah ipar Sunan
 Kalijaga. 

   Dapat dibaca di buku Slamet Muljana (1968, 2005) :
 Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
 Negara-Negara Islam di Nusantara (buku ini kini
 stock-nya lumayan banyak di Gramedia karena banyak
 yang mencarinya, sejak dipublikasi ulang tahun 2005
 sudah dicetak ulang), penjelasan sangat detil
 tentang peranan muslim2 Cina di Jawa ini pada masa
 akhir Majapahit dan awal Demak. Bahkan di dalamnya
 ada pendapat yang meyakinkan dari Slamet Muljana
 bahwa Samudra Pasai di Aceh di-Islam-kan oleh
 muslim2 Cina dari Jawa dan bukan sebaliknya.
 Pedagang2 dari Gujarat tak pernah sampai ke Jawa,
 hanya ke ujung baratlaut Sumatra.

   Banyak2 hal2 yang terasa kontroversial dikemukakan
 Slamet Muljana, dirasakan kontroversial karena tak
 cocok dengan sejarah yang selama ini diajarkan
 seperti kasus Fatahillah dan Sunan Gunung Jati, itu
 adalah dua orang yang berbeda, tetapi di
 buku2sejarah sekolah dikatakan sama. Mana yang
 benar, biarlah di antara para ahli sejarah terjadi
 perdebatan untuk menemukan kebenaran. Yang penting,
 jangan suka menutut-nutupi kebenaran.

   sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran
 sejarah juga tak selalu final (Mohammad Sobary)

   salam,
   awang
   
 mohammad syaiful [EMAIL PROTECTED] wrote:
   sekedar info, bahwa seringkali saya temui ternyata
 banyak orang
 (termasuk muslim) yg tidak tahu bahwa yg namanya
 'wali songo' itu
 pernah sampai terdiri dari 6 (enam) periode, yg juga
 sempat overlap
 antara beberapa periode. hanya setiap periode atau
 waktu, jumlah
 anggota wali songo adalah sembilan sesuai dengan
 namanya.
 
 pada periode ke-4 (atau ke-5 kalo nggak salah), siti
 jenar adalah
 salah seorang anggota wali songo. sedangkan kalo
 kita jalan2 ke makam2
 para wali (kudus dll) akan ditawari lukisan wali
 songo, yg sebenarnya
 hanyalah memuat 9 wali yg paling terkenal saja. dari
 puluhan wali yg
 pernah menjadi anggota wali songo, semuanya adalah
 keturunan mongol
 atau cina. hanya ada 2 (dua) yg asli pribumi
 (jawa?), yaitu syekh siti
 jenar dan satunya lagi adalah raden mas said yg
 lebih dikenal sbg
 sunan kalijogo.
 
 seorang draftsman senior yg sudah pensiun dari
 kumpeni mafioso dan
 sekarang bekerja utk kumpeni berlabel kadal, punya
 banyak referensi
 sejarah, baik tanah jawa maupun pasundan.
 
 semoga bermanfaat dan salam,
 syaiful
 
 On 8/31/07, Awang Harun 

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-31 Terurut Topik Sugeng Hartono
Pak Awang,

Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham
sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang
begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang pernah
saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna, sedangkan
bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi
diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya.

Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit
mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur Watugunung;
mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha? Kalau
diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama
antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang kok
yha ingat KOmpas edisi 2-5-83?
Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit
karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa)
walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini hanya
cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2 penerus
Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah. Setelah
Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya
Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho) dengan
rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain dan
tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja.

Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana,
mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat biasa.
Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak
tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap berkeinginan
agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka mas
Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang masih
trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama di
istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus dekat dengan
pusat kekuasaan. Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering
untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi) sangat
erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar
(kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?).

Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau
dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan
mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit yang
sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai keistimewaan
bermacam-macam: ada yang dapat dimintai untuk mencari kekayaan (pesugihan),
kenaikan pangkat (rasanya kita tidak perlu ke sana, lha Pak Awang kan
pangkatnya sudah cukup, sedangkan saya sudah pensiun-he-he), gampang jodoh,
perdamaian orang berperkara, dan bahkan ada yang dimintai bantuan kalau
menjelang pemilihan lurah (kepala desa).
Saya agak lupa bagaimana bukunya Prof.Slamet Mulyana mengulas Majapahit.
Namun buku-2 Prof De Graaf sangat bagus. Saya mengoleksi: Masa Kejayaan
Mataram dan Runtuhnya Kerajaan Mataram. Saya tidak dapat membayangkan
bagaimana Sultan Agung menyandra pelaut-2 Belanda untuk bercerita
pengalamannya, menggambar Peta Dunia. Kelihatannya Sultan Agung sangat haus
pengetahuan. Di situ juga diceritakan bagaimana tawanan Belanda yang dihukum
mati lalu dilemparkan ke kandang buaya piaraannya. Anehnya binatang yang
mengerikan itu tidak mau menyentuhnya, maka almarhum terus dinyatakan tidak
bersalah (not gulity), lalu dimakamkan.
Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Mataram lebih bnyak cerita yang memilukan
(ingat kelaliman Amangkurat). Betapa kuasanya seorang raja pada waktu itu.
Buku-2 De Graaf ini sudah ditulis sebagai trilogi novel sejarah oleh Romo
Mangunwijaya (Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri) dengan bahasa
gaul yang jenaka tetapi tetap memikat (ketika saya baca novel ini di rig,
kawan yang tidur di dipan di atas saya suka terbangun karena dipannya
tergoncang...alur ceritanya dibuat sangat lucu).

Tokoh Joko Tingkir juga sangat pupuler di daerah saya. Walaupun hanya
prajurit krocuk, tetapi karena memang ada darah Majapahit, dia memang
berbeda dengan parajurit lainnya. Tidak heran kalau Bunga Istana Demak
(Sekar Pembayun?) dapat kesengsem sama dia. Hampir setiap malam Minggu si
prajurit ini suka apel dan mereka berduaan di taman sampai larut malam.
Dalam istana sudah biasa banyak gunjingan. Cerita ini pun sampai ke telinga
sang raja (Sultan Trenggana?). Sultan pun marah (mungkin tidak betulan) dan
ingin membuktikannya. Pada suatu malam, Sultan dengan memakai kain hitam
penutup wajah masuk, mengendap ke taman, dimana dua sejoli sedang duduk
berduaan sambil berpegangan tangan. Dalam hati Sultan terkejut, kok
bisa-bisanya parjurit ini masuk keputren. Sultan lebih terkejut lagi setelah
Karebet segera mendongakkan kepala pertanda dia tahu ada seseorang hadir,
padahal Sultan sudah menerapkan ilmu kesaktiannya. Sebelum Sultan 

RE: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-31 Terurut Topik Awang Harun Satyana
 mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Cirebon.  Cerita di atas
lain lagi, bahwa Siti Jenar dibawa ke Demak dan dihukum mati di Masjid
Agung Demak.

Dalam hubungan dengan Majapahit, Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah
cucu Raja Brawijaya V/Kertabumi yang bertahta tahun 1468-1478 M. Ki
Ageng Pengging adalah pembangkang kerajaan Demak, berarti Guru dan murid
menentang Demak sebab Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging membangkang
para Wali Songo yang menyokong Demak. Tahun 1581 M, putra Ki Ageng
Pengging yaitu Mas Karebet (Joko Tingkir) menjadi Raja menggantikan
Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari
Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan
Hadiwijoyo Pajang I. 

Ki Ageng Pengging yang membangkang terhadap Demak cocok dengan sang
guru, Siti Jenar, yang juga membangkang terhadap Demak. Dengan sisa-sisa
pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama
Hindu-Budha yang mungkin secara diam-diam Ki Ageng Pengging hendak
mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha
Majapahit. Perlawanan Siti Jenar juga bisa ditafsirkan sebagai
perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh
dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat
berpengaruh. Politik dan agama bercampur baur. Dalam sejarah di mana pun
di muka Bumi kita biasa menemuinya, agama dipakai sebagai alat kekuasaan
atau alat legitimasi untuk memusnahkan. Apa boleh buat, sejarah
selanjutnya menunjukkan bahwa raja-raja Islam di Mataram Islam
(Yogyakarta-Solo)- Sultan Agung dan seterusnya adalah justru keturunan
Ki Ageng Pengging, bukannya keturunan Raden Patah. 

Menarik mengkaji filsafat Siti Jenar dari buku Bratakesawa (1954 -
Falsafah Siti Jenar) atau Romo Zoetmulder (1935, Pantheisme en Monisme
in de Java) dan Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder, 1965). Menarik,
tetapi bersiaplah dengan goncangan pemikiran yang kontroversial dari
pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan.

Salam,
awang
(pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng
sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !)

-Original Message-
From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur
Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

Pak Awang,

Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga
paham
sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang
begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang
pernah
saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna,
sedangkan
bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi
diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya.

Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit
mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur
Watugunung;
mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha?
Kalau
diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama
antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang
kok
yha ingat KOmpas edisi 2-5-83?
Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit
karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa)
walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini
hanya
cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2
penerus
Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah.
Setelah
Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya
Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho)
dengan
rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain
dan
tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja.

Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana,
mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat
biasa.
Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak
tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap
berkeinginan
agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka
mas
Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang
masih
trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama
di
istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus dekat dengan
pusat kekuasaan. Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering
untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi)
sangat
erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar
(kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?).

Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau
dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan
mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit
yang
sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-31 Terurut Topik mohammad syaiful
 Siti Jenar,
 sulit menerimanya sebab seperti dongeng saja. Ini pernah difilmkan
 dengan alm. Ratno Timoer sebagai Siti Jenar. Dikatakan bahwa saat Sunan
 Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu
 yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut,
 ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan
 Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat
 derajatnya sebagai Wali.

 Banyak sekali versi cerita tentang asal-muasal Siti Jenar ini. Ada yang
 menulis bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang ikut mendengar saat
 Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di
 tengah rawa. Ada buku yang menulis bahwa Siti Jenar adalah murid Sunan
 Giri yang sangat sakti yang lari dari perguruan Sunan Bonang sebab
 pendapatnya tentang ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui
 Sunan Bonang. Sulendraningrat - Sejarah Cirebon (1985) menjelaskan bahwa
 Siti Jenar berasal dari Bagdad beraliran Syi'ah di Pengging Jawa Tengah
 dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan
 masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia
 dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Cirebon.  Cerita di atas
 lain lagi, bahwa Siti Jenar dibawa ke Demak dan dihukum mati di Masjid
 Agung Demak.

 Dalam hubungan dengan Majapahit, Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah
 cucu Raja Brawijaya V/Kertabumi yang bertahta tahun 1468-1478 M. Ki
 Ageng Pengging adalah pembangkang kerajaan Demak, berarti Guru dan murid
 menentang Demak sebab Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging membangkang
 para Wali Songo yang menyokong Demak. Tahun 1581 M, putra Ki Ageng
 Pengging yaitu Mas Karebet (Joko Tingkir) menjadi Raja menggantikan
 Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari
 Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan
 Hadiwijoyo Pajang I.

 Ki Ageng Pengging yang membangkang terhadap Demak cocok dengan sang
 guru, Siti Jenar, yang juga membangkang terhadap Demak. Dengan sisa-sisa
 pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama
 Hindu-Budha yang mungkin secara diam-diam Ki Ageng Pengging hendak
 mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha
 Majapahit. Perlawanan Siti Jenar juga bisa ditafsirkan sebagai
 perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh
 dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat
 berpengaruh. Politik dan agama bercampur baur. Dalam sejarah di mana pun
 di muka Bumi kita biasa menemuinya, agama dipakai sebagai alat kekuasaan
 atau alat legitimasi untuk memusnahkan. Apa boleh buat, sejarah
 selanjutnya menunjukkan bahwa raja-raja Islam di Mataram Islam
 (Yogyakarta-Solo)- Sultan Agung dan seterusnya adalah justru keturunan
 Ki Ageng Pengging, bukannya keturunan Raden Patah.

 Menarik mengkaji filsafat Siti Jenar dari buku Bratakesawa (1954 -
 Falsafah Siti Jenar) atau Romo Zoetmulder (1935, Pantheisme en Monisme
 in de Java) dan Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder, 1965). Menarik,
 tetapi bersiaplah dengan goncangan pemikiran yang kontroversial dari
 pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan.

 Salam,
 awang
 (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng
 sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !)

 -Original Message-
 From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur
 Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

 Pak Awang,

 Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga
 paham
 sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang
 begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang
 pernah
 saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna,
 sedangkan
 bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi
 diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya.

 Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit
 mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur
 Watugunung;
 mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha?
 Kalau
 diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama
 antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang
 kok
 yha ingat KOmpas edisi 2-5-83?
 Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit
 karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa)
 walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini
 hanya
 cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2
 penerus
 Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah.
 Setelah
 Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya
 Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho)
 dengan
 rajanya Sultan

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-31 Terurut Topik Awang Satyana
 goncangan pemikiran yang kontroversial dari
 pemikiran sehari-hari. Barangkali kapan-kapan bisa kita diskusikan.

 Salam,
 awang
 (pak Sugeng, Jabung banyak membawa sukses, tentu kontribusi pak Sugeng
 sebagai wellsite geologist abadi selalu besar !)

 -Original Message-
 From: Sugeng Hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Friday, August 31, 2007 2:55 C++
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur
 Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

 Pak Awang,

 Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga
 paham
 sirno ilang kertaning bhumi (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang
 begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang
 pernah
 saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna,
 sedangkan
 bhumi melambangkan angka satu sehingga sirno ilang kertaning bhumi
 diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya.

 Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit
 mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur
 Watugunung;
 mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha?
 Kalau
 diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama
 antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang
 kok
 yha ingat KOmpas edisi 2-5-83?
 Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit
 karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa)
 walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini
 hanya
 cerita) Raden Patah itu berani melawan orang tua sehingga, raja-2
 penerus
 Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah.
 Setelah
 Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya
 Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho)
 dengan
 rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain
 dan
 tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja.

 Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana,
 mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat
 biasa.
 Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak
 tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap
 berkeinginan
 agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka
 mas
 Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang
 masih
 trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama
 di
 istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus dekat dengan
 pusat kekuasaan. Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering
 untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi)
 sangat
 erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar
 (kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?).

 Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau
 dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan
 mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit
 yang
 sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai keistimewaan
 bermacam-macam: ada yang dapat dimintai untuk mencari kekayaan
 (pesugihan),
 kenaikan pangkat (rasanya kita tidak perlu ke sana, lha Pak Awang kan
 pangkatnya sudah cukup, sedangkan saya sudah pensiun-he-he), gampang
 jodoh,
 perdamaian orang berperkara, dan bahkan ada yang dimintai bantuan kalau
 menjelang pemilihan lurah (kepala desa).
 Saya agak lupa bagaimana bukunya Prof.Slamet Mulyana mengulas Majapahit.
 Namun buku-2 Prof De Graaf sangat bagus. Saya mengoleksi: Masa Kejayaan
 Mataram dan Runtuhnya Kerajaan Mataram. Saya tidak dapat membayangkan
 bagaimana Sultan Agung menyandra pelaut-2 Belanda untuk bercerita
 pengalamannya, menggambar Peta Dunia. Kelihatannya Sultan Agung sangat
 haus
 pengetahuan. Di situ juga diceritakan bagaimana tawanan Belanda yang
 dihukum
 mati lalu dilemparkan ke kandang buaya piaraannya. Anehnya binatang yang
 mengerikan itu tidak mau menyentuhnya, maka almarhum terus dinyatakan
 tidak
 bersalah (not gulity), lalu dimakamkan.
 Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Mataram lebih bnyak cerita yang memilukan
 (ingat kelaliman Amangkurat). Betapa kuasanya seorang raja pada waktu
 itu.
 Buku-2 De Graaf ini sudah ditulis sebagai trilogi novel sejarah oleh
 Romo
 Mangunwijaya (Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri) dengan bahasa
 gaul yang jenaka tetapi tetap memikat (ketika saya baca novel ini di
 rig,
 kawan yang tidur di dipan di atas saya suka terbangun karena dipannya
 tergoncang...alur ceritanya dibuat sangat lucu).

 Tokoh Joko Tingkir juga sangat pupuler di daerah saya. Walaupun hanya
 prajurit krocuk, tetapi karena memang ada darah Majapahit, dia memang
 berbeda dengan parajurit lainnya. Tidak heran kalau Bunga Istana Demak
 (Sekar Pembayun?) dapat kesengsem sama dia. Hampir setiap malam Minggu
 si
 prajurit ini suka apel dan mereka berduaan di taman sampai larut

RE: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-31 Terurut Topik Iman Argakoesoemah
Jurusan Sejarah dan Antropologi di universitas2 kita barangkali sudah
meneliti ini dan pendapatnya bisa berbeda berdasarkan data2 dan
pendekatan2 yg berbeda pula. Barangkali menarik kalau akhli sejarah bisa
cerita juga, misal Pak Gonggong (maaf kalau salah spelling).

Apakah ada hubungannya juga dengan perang dengan Siliwangi ? Lupa
sejarah kita sendiri euy .

Thanks. Iman

-Original Message-
From: Awang Harun Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, August 30, 2007 4:08 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung
=Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka
(1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka
dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan
dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan
catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada
saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M,
seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII
(1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi,
dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak
yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah
didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.

 

Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah
Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van
Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau
1478 M  sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati
dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400)
dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan
mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi.
Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia
susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : 

 

krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti  :
1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan
tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang binasa.
Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus
linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel =  kata yang
biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung
makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif
partitif =  penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari
keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif  adalah kasus
yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang sejenisnya.
Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), kerta =
hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera.

 

Maka, terbuka untuk menafsirkan sirna ilang krtaning bhumi sebagai :
(1) sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi  atau (2) sirna hilang
kemakmuran bumi/di bumi. Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah
makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna
kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1
lebih tepat sebab sirna hilang akibat pekerjaan bumi. Apa pekerjaan
bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi
gununglumpur.

 

Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang
menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang
(dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum
tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah.

 

Ada satu lagi penyerta sirna ilang krtaning bhumi, yang kalah populer
dari sengkalan ini tetapi tercatat di suatu risalah kerajaan Majapahit
yang ditemukan belakangan. Risalah tersebut mencatat suatu peristiwa
Guntur Pawatugunung. Peristiwa apa ini dan kapan terjadinya ? Ricklefs
(1999) - Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak
meneliti sejarah Indonesia, bukunya Sejarah Indonesia Moderen
1200-2004 sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya
oleh UGM - berdasarkan tulisan2 ahli sejarah Belanda C.C. Berg,
menyatakan bahwa peristiwa Guntur Pawatugunung terjadi pada tahun 1403
Saka (1481 M). 

 

Apa makna guntur pawatugunung ? Banyak yang mengartikan, itu adalah
peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi
(C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran
Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung i
merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di
Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa
sejarah2 penting di Indonesia banyak ditandai dengan peristiwa2 alam.

 

Sekarang kita lihat tahun2 sirna ilang krtaning bhumi (1400 Caka) dan
guntur pawatugunung (1403 Caka), sangat berdekatan - hanya beda 3
tahun. Benar berbeda tiga tahun atau ada kesalahan pencatatan ? Dua2nya
mungkin. Ratusan tahun yang lalu kesalahan pencatatan waktu 3 tahun ya
wajar 

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-30 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Wah kajian sejarah yang sangat menarik. Namun yang lebih menarik untuk para
geologist adalah BUKTI FISIS dari semua dugaan ini. Seperti yang aku tulis
tentang Candi Kedulan tentang ditinggalkannya candi,
http://rovicky.wordpress.com/2006/08/18/candi-kedulan/
Juga crita Situs Batujaya yang Pak Awang ceriterakan sebelumnya yang
menyebutkan adanya endapan pantai yang menguburkan, barangkali memang
ditinggalkan akibat muka air laut yg relatif naik. Namun apa bukti fisis
(geologi) utk Majapahit ini ?

Tulisan2 seperti ini sangat disukai terutama kalau ada gambar serta
keterangan grafis yang menunjang. Termasuk tulisan dari Pak Awang kemarin
itu :
http://rovicky.wordpress.com/2007/08/29/hilang-amblas-ditelan-bumi-sirna-ilang-kertaning-bumi/

Dongeng ini bahkan di komentari juga oleh Pak Suparka (LIPI) yang ternyata
juga punya blog khusus di http://aki2005.multiply.com/

Salam

RDP

On 8/30/07, Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka
 (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka
 dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan
 dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan
 catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada
 saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M,
 seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII
 (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi,
 dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak
 yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah
 didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.



 Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah
 Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van
 Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau
 1478 M  sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati
 dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400)
 dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan
 mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi.
 Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia
 susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. :



 krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti  :
 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan
 tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang binasa.
 Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus
 linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel =  kata yang
 biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung
 makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif
 partitif =  penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari
 keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif  adalah kasus
 yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang sejenisnya.
 Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), kerta =
 hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera.



 Maka, terbuka untuk menafsirkan sirna ilang krtaning bhumi sebagai :
 (1) sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi  atau (2) sirna hilang
 kemakmuran bumi/di bumi. Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah
 makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna
 kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1
 lebih tepat sebab sirna hilang akibat pekerjaan bumi. Apa pekerjaan
 bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi
 gununglumpur.



 Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang
 menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang
 (dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum
 tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah.



 Ada satu lagi penyerta sirna ilang krtaning bhumi, yang kalah populer
 dari sengkalan ini tetapi tercatat di suatu risalah kerajaan Majapahit
 yang ditemukan belakangan. Risalah tersebut mencatat suatu peristiwa
 Guntur Pawatugunung. Peristiwa apa ini dan kapan terjadinya ? Ricklefs
 (1999) - Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak
 meneliti sejarah Indonesia, bukunya Sejarah Indonesia Moderen
 1200-2004 sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya
 oleh UGM - berdasarkan tulisan2 ahli sejarah Belanda C.C. Berg,
 menyatakan bahwa peristiwa Guntur Pawatugunung terjadi pada tahun 1403
 Saka (1481 M).



 Apa makna guntur pawatugunung ? Banyak yang mengartikan, itu adalah
 peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi
 (C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran
 Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung i
 merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di
 Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa
 

RE: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-30 Terurut Topik Awang Harun Satyana
Pak Rovicky,

Kalau kita mau bersungguh-sungguh mencari tahu apakah benar faktor
bencana alam penting dalam sandhyakala ning Majapahit, jelas harus ada
pekerjaan lapangan untuk mencari bukti fisik. Kita telah bisa
meyimpulkan bahwa ibukota Majapahit di antara poros Trowulan dan Tarik,
di antara Jombang dan Sidoarjo sekarang. Banyak penggalian arkeologi ex
Majapahit dikumpulkan di museum Majapahit Trowulan di selatan Jombang
sekarang. 

Kalau kita berpremis bahwa ada beberapa titik erupsi gununglumpur saat
zaman Majapahit dulu (lokasinya sudah saya coba tempatkan di ulasan
pertama tentang ini), maka kita bisa melakukan pekerjaan lapangan di
sekitarnya; mencari sisa2 lumpur yang diletuskan 600 tahun yang lalu.
Kita datangi kampung2/bukit2 masa kini dengan nama toponim bernuansa mud
volcano, seperti Gunung Anyar dan Redi Anyar di antara Jombang - Tarik.
Lumpur yang diletuskan lebih kurang akan sama dengan yang diletuskan
LUSI sekarang, masih Pucangan yang berumur Plistosen atau bisa juga yang
Pliosen, kita bisa cek umurnya dengan fosil. Mungkin di deposit
lumpurnya ada barang2 berumur 600 tahun yang lalu, kita bisa mengeceknya
dengan radio carbon-14 dating. 

Kalau kita berpremis bahwa Majapahit diserbu rempah volkanik dari tiga
gunungapi di selatan Penanggungan (kompleks AWA - Anjasmoro, Welirang,
Arjuno), kita bisa cek literatur kegunungapian dulu; sayang dari ketiga
gunungapi itu yang baru terkatalogkan letusannya hanya Arjuno, itu pun
hanya di abad ke-20. Untuk premis ini, kabarnya Geologi ITB pada awal
1980-an pernah melakukan peneltian di situs Majapahit untuk mencari
bukti bahwa banyak endapan volkanik di sekitar situs tersebut, lembah2
aliran lavanya ikut dipetakan. 

Jelas kita harus meneruskannya dengan pencarian bukti fisik kalau mau
menyungguhi hal ini. Harus ada kolaborasi antara ahli geologi, ahli
arkeologi, dan ahli sejarah.

Salam,
awang
-Original Message-
From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, August 30, 2007 4:58 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur
Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

Wah kajian sejarah yang sangat menarik. Namun yang lebih menarik untuk
para
geologist adalah BUKTI FISIS dari semua dugaan ini. Seperti yang aku
tulis
tentang Candi Kedulan tentang ditinggalkannya candi,
http://rovicky.wordpress.com/2006/08/18/candi-kedulan/
Juga crita Situs Batujaya yang Pak Awang ceriterakan sebelumnya yang
menyebutkan adanya endapan pantai yang menguburkan, barangkali memang
ditinggalkan akibat muka air laut yg relatif naik. Namun apa bukti fisis
(geologi) utk Majapahit ini ?

Tulisan2 seperti ini sangat disukai terutama kalau ada gambar serta
keterangan grafis yang menunjang. Termasuk tulisan dari Pak Awang
kemarin
itu :
http://rovicky.wordpress.com/2007/08/29/hilang-amblas-ditelan-bumi-sirna
-ilang-kertaning-bumi/

Dongeng ini bahkan di komentari juga oleh Pak Suparka (LIPI) yang
ternyata
juga punya blog khusus di http://aki2005.multiply.com/

Salam

RDP

On 8/30/07, Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka
 (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka
 dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan
 dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan
 catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa
pada
 saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478
M,
 seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII
 (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M.
Tetapi,
 dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan
Demak
 yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah
 didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.



 Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah
 Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van
 Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka
atau
 1478 M  sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka
diperingati
 dengan sengkalan berbunyi Sirna Ilang Krtaning Bhumi atau 0041
(1400)
 dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan
 mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang,
bumi.
 Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia
 susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. :



 krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti
:
 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan
 tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. Ilang : hilang
binasa.
 Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah. Menurut kamus
 linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel =  kata yang
 biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang
mengandung
 makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan
genitif
 partitif =  penggunaan kasus genitif

Re: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung =Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?

2007-08-30 Terurut Topik yrsnki


 
Rekan rekan

Kajian yang beraneka ragam dimulai
dari geologi struktur - geo hazard - kepurbakalaan sampai ke sejarah
Majapahit , dengan situs - nya dsb ...dsb . Penelaahan
bahasa jawa kuno ,  penterjemahan berdasarkan nalar yang sangat
ilmiah ..
Sangat menarik dan menggugah keingin
tahuan !
Sayang - nya , terbuka hanya sedikit sedikit
dalam  iagi- net ini , bagaimana ya caranya agar ilmu ilmu yang
dipunyai rekan rekan yang lebih mendalami dapat disebarkan kepada umum
, khususya generasi muda 
Melalui club ? Omong
omong di organisasi sekolah ??? Atau bagaimana ?

Bukan-kah
dengan mengetahui sejarah bangsa-nya kita dapat lebih bangga
menjadi bangsa Indonesia ? Buan-kah kondisi saat ini , banyak yang lebih
senang meng-olok2 diri sendiri sembari tidak mau  dan tidak tahu
menyebutkan bagaimana bangsa ini harus berbuat ???

Si-Abah

_


   Wah kajian sejarah yang sangat menarik. Namun
yang lebih menarik untuk 
 para 
 geologist adalah BUKTI
FISIS dari semua dugaan ini. Seperti yang aku tulis 
 tentang
Candi Kedulan tentang ditinggalkannya candi, 

http://rovicky.wordpress.com/2006/08/18/candi-kedulan/ 
 Juga
crita Situs Batujaya yang Pak Awang ceriterakan sebelumnya yang 

menyebutkan adanya endapan pantai yang menguburkan, barangkali memang 
 ditinggalkan akibat muka air laut yg relatif naik. Namun apa bukti
fisis 
 (geologi) utk Majapahit ini ? 
 

Tulisan2 seperti ini sangat disukai terutama kalau ada gambar serta 
 keterangan grafis yang menunjang. Termasuk tulisan dari Pak Awang
kemarin 
 itu : 

http://rovicky.wordpress.com/2007/08/29/hilang-amblas-ditelan-bumi-sirna-ilang-kertaning-bumi/

 
 Dongeng ini bahkan di komentari juga oleh Pak
Suparka (LIPI) yang ternyata 
 juga punya blog khusus di
http://aki2005.multiply.com/ 
 
 Salam 
 
 RDP 
 
 On 8/30/07, Awang Harun Satyana
[EMAIL PROTECTED] wrote: 
 

Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun
1400 Caka 
 (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir
ulang. Tahun 1400 Caka 
 dipakai oleh beberapa ahli sejarah
sebagai akhir Majapahit berdasarkan 
 dua babad sejarah
terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan 
 catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke
Jawa pada 
 saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit
terakhir setelah 1478 M, 
 seperti raja Girindrawardhana
(1478-1498 M) dan Brawijaya VIII 
 (1498-1518 M), sebelum
Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, 
 dari
tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak 
 yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah

 didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati
Unus. 
 
 
 
 Manurut
buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah 

Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van 
 Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400
Caka atau 
 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun
1400 Saka diperingati 
 dengan sengkalan berbunyi Sirna
Ilang Krtaning Bhumi atau 0041 (1400) 
 dalam Serat
Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan 

mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi.

 Yang menarik adalah krta. Pengecekan dari buku
kamus Kawi-Indonesia 
 susunan Wojowasito (1980) adalah sbb.
: 
 
 
 

krta /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa
arti : 
 1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis,
baik, aman dan 
 tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah
mata. Ilang : hilang binasa. 

Ni/ning : partikel genitif. Bhumi : bumi, tanah.
Menurut kamus 
 linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) :
partikel = kata yang 
 biasanya tidak dapat diderivikasikan
atau diinfleksikan, yang mengandung 
 makna gramatikal dan
tidak mengandung makna leksikal; sedangkan genitif 

partitif = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari 
 keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah
kasus 
 yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang
sejenisnya. 
 Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan
Purwadi (2003), kerta = 
 hasil, kemakmuran;
kerta wadana : aman, sejahtera. 
 
 
 
 Maka, terbuka untuk menafsirkan sirna
ilang krtaning bhumi sebagai : 
 (1) sirna hilang
sudah selesai pekerjaan bumi atau (2) sirna hilang 
 kemakmuran bumi/di bumi. Makna yang banyak ditemukan di
buku2 adalah 
 makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak
semulus pengalimatan makna 
 kedua. Tetapi, kalau berkenaan
dengan suatu bencana, maka makna no. 1 
 lebih tepat sebab
sirna hilang akibat pekerjaan bumi. Apa pekerjaan 
 bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa,
atau erupsi 
 gununglumpur. 
 
 
 
 Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2
sebab lebih gampang 
 menerimanya, setelah Majapahit bubar,
kemakmuran di bumi memang hilang 
 (dalam kacamata orang2
Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum 
 tentu yang
benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah. 


 
 
 Ada