Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

2007-05-01 Terurut Topik Pras
He he he  rame juga ya?
Tapi ... ngomong-ngomong, acara hiburan di televisi kita yang bergizi ada
nggak sih?
Rasanya koq penuh dengan sinetron [yang alur ceritanya nggak masuk akal],
gosip-gosip yang dibungkus judul yang keren  etc.
Prestasi dalam kamus ruang publik kita adalah selebritis, panggung, ...
lain tidak.
Ya, nggak sih???




On 4/30/07, Iswanto, Rudi [EMAIL PROTECTED] wrote:

   Terlepas dari masalah persaingan atau Iri hati .. atau gaya bahasa yang
 bernuansa kurang bersahabat - bahkan cenderung hiperbola dan sebagainya,
 saya yakin setiap tulisan ada makna positive nya, terutama jika kita
 membacanya dengan pikiran yang jernih
 (saya juga - suka nonton Empat Mata (untuk sementara... sampai saat
 ini...) - sy menyukai sebagai acara lawakan biasa (seperti yg lain)
 bukan Talkshow ... jadi sebenarnya acara itu jauh dari serius - just for
 fun just for laugh).. mungkin penulis lupa hal ini... , Ooops sampai
 saat ini saya menulis e-mail ini pun... terdengar dari kejauhan ruangan
 Head accounting kami ...sedang menutup pembicaraan telponnya dengan
 client ... dengan kata kata Kembali ke LapTop ... he he he he he

 

 From: idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com
 [mailto:idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com]
 On Behalf Of Jamsir Sabara
 Sent: Saturday, April 28, 2007 9:27 AM
 To: idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com
 Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

 Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda.
 Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang
 membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari
 sampai dengan yang penting tidak suka.

 Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu.

 Jamsir

 - Original Message 
 From: aciel isman [EMAIL PROTECTED] kucing_ngupil%40yahoo.com
 mailto:kucing_ngupil%40yahoo.com 
 To: idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com
 mailto:idakrisnashow%40yahoogroups.com
 Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM
 Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

 hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata..

 Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan
 Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow
 yang
 hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
 pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada
 kekeliruan
 dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari
 acara
 olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang
 mengeksploitasi
 fisik a la Tukul Arwana.
 Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh
 Tukul
 tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran
 sebagai
 cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
 penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup
 dan
 sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
 dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis,
 agama,
 ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
 kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya
 kekerasan
 psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
 Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi
 psikologi,
 Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
 kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan
 tertawaan
 tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
 produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan
 temen-temen
 di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
 saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai
 pada
 obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.

 Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat
 sebagai
 ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru
 dalam
 dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali
 oleh
 para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah
 Srimulat.
 Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
 melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.

 Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas
 mengemas
 acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu
 populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
 inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali
 ruang
 publik kita.
 Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses
 pendangkalan
 cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
 program yang reflektif dan edukatif

Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

2007-04-30 Terurut Topik anhar husain
Iya hidup ini kan penuh pilihan..
   
  Yang senangnya dengan hal-hal yang serius..talkshow yang katanya berbobot 
dan sejumlah stigma intelektualitas lainnya bisa pilih channel TV yang lain..
  Yang senang becanda.. tapi nggak di masukin ke hati..yaa nonton empatmata..
  Gitu aja koq reepooo

Jamsir Sabara [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda. 
Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang 
membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari sampai 
dengan yang penting tidak suka. 

Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu.

Jamsir

- Original Message 
From: aciel isman [EMAIL PROTECTED]
To: idakrisnashow@yahoogroups.com
Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM
Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata..

Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan 
Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang
hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan
dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara
olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi
fisik a la Tukul Arwana.
Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul
tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai
cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan
sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama,
ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan
psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi,
Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen
di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada
obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.

Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai
ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam
dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh
para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat.
Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.

Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas
acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu
populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang
publik kita.
Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan
cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.

***
Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial
di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face.
Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial;
individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak
seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas
(1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu
melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas
dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak
bersama secara diskursif.

Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok
sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka
dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian
seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang
publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair
pada semua kebudayaan tersebut.Persoalann ya adalah, pada masyarakat yang
kompleks sekarang ini

RE: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

2007-04-30 Terurut Topik Iswanto, Rudi
Terlepas dari masalah persaingan atau Iri hati .. atau gaya bahasa yang
bernuansa kurang bersahabat - bahkan cenderung hiperbola dan sebagainya,
saya yakin setiap tulisan ada makna positive nya, terutama jika kita
membacanya dengan pikiran yang jernih
(saya juga - suka nonton Empat Mata (untuk sementara... sampai saat
ini...)  - sy menyukai sebagai acara lawakan biasa (seperti yg lain)
bukan Talkshow ... jadi sebenarnya acara itu jauh dari serius - just for
fun just for laugh).. mungkin penulis lupa hal ini... ,  Ooops  sampai
saat ini saya menulis e-mail ini pun... terdengar dari kejauhan ruangan
Head accounting kami ...sedang menutup pembicaraan telponnya dengan
client  ... dengan kata kata Kembali ke LapTop  ... he he he he he



From: idakrisnashow@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Jamsir Sabara
Sent: Saturday, April 28, 2007 9:27 AM
To: idakrisnashow@yahoogroups.com
Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik



Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda.
Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang
membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari
sampai dengan yang penting tidak suka. 

Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu.

Jamsir

- Original Message 
From: aciel isman [EMAIL PROTECTED]
mailto:kucing_ngupil%40yahoo.com 
To: idakrisnashow@yahoogroups.com
mailto:idakrisnashow%40yahoogroups.com 
Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM
Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata..

Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan
Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow
yang
hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada
kekeliruan
dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari
acara
olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang
mengeksploitasi
fisik a la Tukul Arwana.
Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh
Tukul
tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran
sebagai
cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup
dan
sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis,
agama,
ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya
kekerasan
psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi
psikologi,
Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan
tertawaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan
temen-temen
di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai
pada
obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.

Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat
sebagai
ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru
dalam
dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali
oleh
para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah
Srimulat.
Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.

Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas
mengemas
acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu
populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali
ruang
publik kita.
Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses
pendangkalan
cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.

***
Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka
spatial
di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to
face.
Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas
sosial;
individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara
abstrak
seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh
Habermas
(1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana

Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

2007-04-28 Terurut Topik Jamsir Sabara
Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda. 
Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang 
membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari sampai 
dengan yang penting tidak suka. 

Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu.


Jamsir




- Original Message 
From: aciel isman [EMAIL PROTECTED]
To: idakrisnashow@yahoogroups.com
Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM
Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata..

Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan 
Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang
hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan
dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara
olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi
fisik a la Tukul Arwana.
Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul
tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai
cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan
sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama,
ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan
psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi,
Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen
di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada
obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.

Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai
ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam
dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh
para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat.
Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.

Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas
acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu
populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang
publik kita.
Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan
cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.

***
Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial
di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face.
Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial;
individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak
seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas
(1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu
melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas
dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak
bersama secara diskursif.

Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok
sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka
dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian
seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang
publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair
pada semua kebudayaan tersebut.Persoalann ya adalah, pada masyarakat yang
kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama;
negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar
otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke tengah
masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan negara
ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk

Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

2007-04-27 Terurut Topik Yandri Djahar
Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang
hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan
dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara
olok-olokan, lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi
fisik a la Tukul Arwana.
Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul
tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai
cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan
sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama,
ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan
psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi,
Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen
di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada
obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.


Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai
ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam
dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh
para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat.
Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.


Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas
acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran, sehingga begitu
populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang
publik kita.
Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan
cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.

***
Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial
di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face.
Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial;
individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak
seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas
(1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu
melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas
dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak
bersama secara diskursif.

Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok
sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka
dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian
seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang
publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair
pada semua kebudayaan tersebut.Persoalannya adalah, pada masyarakat yang
kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama;
negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar
otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke tengah
masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan negara
ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk
diciptakan atau dikelola oleh warganegara.
Kerapkali kita menyaksikan aneka kegiatan publik, seperti debat publik,
seminar, dan demonstrasi yang diformat dan ditumpangi oleh kepentingan elit
politik atau kaum pemodal. Bahkan, jika ruang publik itu berupa media massa
yang berskala masif, baik berupa TV, koran, atau radio, tak pelak akan
mengacu pada arus kapital yang bekerja di belakangnya. Masing-masing
industri media memiliki logika kapitalnya sendiri. Tak jarang kompetisi
mewarnai aneka media tersebut dalam rangka berebut pengaruh dan berlomba
meraup keuntungan.
Seperti industri TV. Dengan sebelas stasiun TV swasta nasional, maka

Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik

2007-04-27 Terurut Topik aciel isman
hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata..

Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] wrote:  Dalam 
tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang
 hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
 pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan
 dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara
 olok-olokan, lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi
 fisik a la Tukul Arwana.
 Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul
 tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai
 cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
 penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan
 sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
 dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama,
 ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
 kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan
 psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
 Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi,
 Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
 kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan
 tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
 produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen
 di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
 saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada
 obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.
 
 Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai
 ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam
 dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh
 para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat.
 Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
 melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.
 
 Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas
 acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran, sehingga begitu
 populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
 inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang
 publik kita.
 Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan
 cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
 program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.
 
 ***
 Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial
 di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face.
 Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial;
 individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
 dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak
 seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
 ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
 Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas
 (1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu
 melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas
 dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
 komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak
 bersama secara diskursif.
 
 Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok
 sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka
 dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian
 seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang
 publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair
 pada semua kebudayaan tersebut.Persoalannya adalah, pada masyarakat yang
 kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama;
 negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar
 otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke tengah
 masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan negara
 ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk
 diciptakan atau dikelola oleh warganegara.
 Kerapkali kita menyaksikan aneka kegiatan publik, seperti debat publik,
 seminar, dan demonstrasi yang diformat dan ditumpangi oleh kepentingan elit
 politik atau kaum pemodal. Bahkan, jika ruang publik itu berupa media massa
 yang berskala masif, baik berupa TV, koran, atau radio, tak pelak akan
 mengacu pada arus kapital yang bekerja di belakangnya. Masing-masing
 industri media memiliki logika