RE: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
Ini e-mail koq udah kayak spam masuk berhari-hari dan berkali-kali... _ From: media-dakwah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Ema Amalia Sent: Wednesday, December 27, 2006 7:32 PM To: media-dakwah@yahoogroups.com Subject: Re: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani Assalaamu'alaikum wr. wb., Saya sebagai seorang Muslim tapi bukan dari etnis Jawa Tengah, izinkanlah saya mengomentari tulisan dan pendapat Pak Eko ini. Dari yang saya tahu dari pemikiran-pemikiran Pak Umar Kayam (almarhum) dari seri "mangan ora mangan kumpul" dan juga dari pemikiran-pemikiran Prof. Komarudin Hidayat yang keduanya dari etnis Jawa Tengah, saya menyimpulkan ada gap yang cukup besar antara Islam sebagai peradaban dan budaya Jawa (Tengah). Salah satu prinsip yang menurut saya harus diubah adalah prinsip "ngono yo ngono ning ojo ngono". Ini menghalangi prinsip penegakan hukum yang sangat dipentingkan dalam Islam. Prof. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa pada umumnya orang beretnis Jawa Tengah secara budaya atau "way of life" dapat dikatakan sebagai pada dasarnya Hindu/Budha (pada prinsip-prinsip terdalamnya) dan dibungkus oleh ritual ibadah Islam. Mungkin karena proses Islamisasi oleh Wali Songo belum selesai, keburu datang penjajah Portugis dan Belanda. So, karena ketiga prinsip yang dibahas ini adalah notabene dari pendiri Taman Siswa: Ki Hajar Dewantoro, menurut saya baik lagi dikaji kembali dihubungkan dengan pemikiran saya di atas mengingat mailist ini adalah media dakwah Islam. Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari budaya Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk mencoba lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak ribuan... Pendiri negara kitapun beragam etnisnya, bahkan termasuk etnis WNI Keturunan Cina, Arab, India, dsb... Bukankah para pejuang kemerdekaan kita dari Aceh dan Sumatera banyak yang keturunan etnis WNI keturunan seperti di atas ? Lagipula, bukankah dalam periode orde baru banyak dari konsep-konsep budaya Jawa Tengah tersebut sudah dicoba dan tidak berhasil ? Mungkin ada baiknya mencoba berbesar hati dan introspeksi diri barangkali ada kekurangan dari konsep-konsep tersebut dan penerapannya. Juga memberi kesempatan kepada konsep-konsep dari budaya etnis lain yang dari segi jumlah dan kualitas juga tidak kalah... hanya, mungkin etnis-etnis lain itu terlalu introvert sehingga dianggap tidak ada konsepnya karena tidak pernah ditanyakan kontribusinya. Saya sendiri pernah mengalami pernikahan yang kandas dengan orang dari etnis Jawa Tengah. Mungkin ada bias karena masalah ini, tapi, terus terang saja, selama pernikahan itu saya terheran-heran sendiri melihat tipisnya lapisan Islam yang membungkus budaya Jawa Tengah yang dipakai sebagai "way of life" orang-orang dari etnis Jawa Tengah tersebut pada umumnya. Yang dapat dikecualikan dari penggambaran kondisi ini mungkin hanya yang dari kalangan Muhammadiyah atau segelintir pesantren saja. Begitu saja dulu, mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak berkenan... Wassalaam, Ema A Kutipan "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED] <mailto:ekobs%40ghifari.org> org>: > Fwded from : > http://groups. <http://groups.yahoo.com/group/i-ummah/> yahoo.com/group/i-ummah/ > > --- In [EMAIL PROTECTED] <mailto:i-ummah%40yahoogroups.com> .com, "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Assalamu'alaikum ... > > Jika kita perhatikan di media. Drive saat ini adalah "bagaimana > mempunyai pemimpin terbaik". Bagaimana mempunyai pemimpin yg "ing > ngarsa sung tulodho" ... > pemimpin yg memberi contoh. > > Juga di sisi lain, bagi mereka yg masih berkompetisi, berjuang buat > "naik daun". mereka yg berada di tengah-tengah, berkembang middle > class yg mencoba mengembangkan berbagai opini, saran, ide, kritik dan > aspirasi > > dalam budaya Jawa, ini dikenal sebagai "ing madya mangun karsa" ... di > lapisan tengah membangun semangat, spirit ... > > Media telah meng-cover secara terbuka ttg mereka yg "ing ngarsa" ... > bahkan kecendurangannya media kita yg "istana-sentris" hanya > mengedepankan peran-peran pemimpin ... > > Berbagai buku juga telah diterbitkan yg mengdepankan cara berpikir > bahwa kesuksesan sebuah organisasi tergantung pada satu atau dua orang > di atas. Bahwa mereka yg di ataslah yg layak diakui sebagai yg membuat > keberhasilan. > > Buku ttg Kisah Sukses google misalnya, mengedepankan dua orang Yahudi > Rusia yg memulai Google yaitu Larry dan Sergey. Atau Microsoft yg > dikenal sebagai keberhasilan seorang Gate. > > Kita masih kurang menyadari pentingnya
RE: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
Wah, maaf kalau Pak Rahmat merasa ini spam. Karena ada tanda "error" yang sampai ke saya soal tidak sampainya email ini. Mungkin kemarin-kemarin server mailist ini lagi ngadat... Mungkin pengaruh gempa yang memutus kabel optik di Taiwan... Kalau lihat email dari saya yang lain, kayaknya nggak ada tuh yang terkirim dua kali... Malah sudah beberapa kali saya banyak menerima email yang sama di mailist ini dua kali dari beberapa pengirim.. Mungkin servernya lagi ngadat lagi. So, begitulah penjelasannya...Mungkin... Wassalaam, Ema A Kutipan Rahmat <[EMAIL PROTECTED]>: > Ini e-mail koq udah kayak spam masuk berhari-hari dan berkali-kali... > > > > _ > > From: media-dakwah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] > On > Behalf Of Ema Amalia > Sent: Wednesday, December 27, 2006 7:32 PM > To: media-dakwah@yahoogroups.com > Subject: Re: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani > > > > Assalaamu'alaikum wr. wb., > > Saya sebagai seorang Muslim tapi bukan dari etnis Jawa Tengah, > izinkanlah > saya > mengomentari tulisan dan pendapat Pak Eko ini. > > Dari yang saya tahu dari pemikiran-pemikiran Pak Umar Kayam (almarhum) > dari > seri "mangan ora mangan kumpul" dan juga dari pemikiran-pemikiran > Prof. > Komarudin Hidayat yang keduanya dari etnis Jawa Tengah, saya > menyimpulkan > ada > gap yang cukup besar antara Islam sebagai peradaban dan budaya Jawa > (Tengah). > > Salah satu prinsip yang menurut saya harus diubah adalah prinsip "ngono > yo > > ngono ning ojo ngono". Ini menghalangi prinsip penegakan hukum yang > sangat > > dipentingkan dalam Islam. > Prof. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa pada umumnya orang beretnis > Jawa > Tengah secara budaya atau "way of life" dapat dikatakan sebagai pada > dasarnya > Hindu/Budha (pada prinsip-prinsip terdalamnya) dan dibungkus oleh ritual > > ibadah Islam. Mungkin karena proses Islamisasi oleh Wali Songo belum > selesai, > keburu datang penjajah Portugis dan Belanda. > > So, karena ketiga prinsip yang dibahas ini adalah notabene dari > pendiri > Taman > Siswa: Ki Hajar Dewantoro, menurut saya baik lagi dikaji kembali > dihubungkan > > dengan pemikiran saya di atas mengingat mailist ini adalah media > dakwah > Islam. > > Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari > budaya > > Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk > mencoba > lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? > Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak > ribuan... > > Pendiri negara kitapun beragam etnisnya, bahkan termasuk etnis WNI > Keturunan > > Cina, Arab, India, dsb... Bukankah para pejuang kemerdekaan kita dari > Aceh > dan > Sumatera banyak yang keturunan etnis WNI keturunan seperti di atas ? > > Lagipula, bukankah dalam periode orde baru banyak dari konsep-konsep > budaya > Jawa Tengah tersebut sudah dicoba dan tidak berhasil ? > Mungkin ada baiknya mencoba berbesar hati dan introspeksi diri > barangkali > ada > kekurangan dari konsep-konsep tersebut dan penerapannya. Juga memberi > kesempatan kepada konsep-konsep dari budaya etnis lain yang dari segi > jumlah > > dan kualitas juga tidak kalah... hanya, mungkin etnis-etnis lain itu > terlalu > > introvert sehingga dianggap tidak ada konsepnya karena tidak pernah > ditanyakan > kontribusinya. > > Saya sendiri pernah mengalami pernikahan yang kandas dengan orang dari > etnis > > Jawa Tengah. Mungkin ada bias karena masalah ini, tapi, terus terang > saja, > selama pernikahan itu saya terheran-heran sendiri melihat tipisnya > lapisan > Islam yang membungkus budaya Jawa Tengah yang dipakai sebagai "way of > life" > orang-orang dari etnis Jawa Tengah tersebut pada umumnya. Yang dapat > dikecualikan dari penggambaran kondisi ini mungkin hanya yang dari > kalangan > Muhammadiyah atau segelintir pesantren saja. > > Begitu saja dulu, mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak > berkenan... > > Wassalaam, > > Ema A > > Kutipan "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED] > <mailto:ekobs%40ghifari.org> org>: > > > Fwded from : > > http://groups. <http://groups.yahoo.com/group/i-ummah/> > yahoo.com/group/i-ummah/ > > > > --- In [EMAIL PROTECTED] <mailto:i-ummah%40yahoogroups.com> .com, > "Eko > Budhi S, Ghifari.Org" > <[EMAIL PROTECTED]> > > wrote: > > > > Assalamu'alaikum ... > > > > Jika kita perhatikan di media. Drive saat ini adalah "bagaimana > >
Re: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
On Tue, 26 Dec 2006 14:24:49 +0700 (JAVT), Ema Amalia <[EMAIL PROTECTED]> wrote : > > Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari budaya > Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk mencoba > lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? > Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak ribuan... Assalamu'alaikum ... Tentu saja mbak. Prinsip dalam belajar dari budaya lokal, di luar Al Qur'an dan As Sunnah,adalah selalu menge-check dgn Al Qur'an dan As Sunnah. Tidak ada budaya lokal yang 100% sesuai Al Qur'an/As Sunnah, sebagaimana juga di budaya manapun kita bisa menemukan local wisdom ... Termasuk budaya Arab misalnya. Kedatangan Rasulullah saw menunjukkan bahwa ada banyak budaya Arab yg perlu dibenahi melalui Al Quran dan As Sunnah. Hanya saja, mengikuti panduan Aa Gym, saya hanya coba 3M. Mulai dari diri sendiri, Mulai dari apa yg bisa dilakukan, Mulai dari Sekarang. Nah ! Jika ada masukan dari budaya lain, silahkan ... Kita tidak perlu MEMPERTENTANGKAN Islam dengan budaya lokal ... baik Jawa, Cina, Minang, Aceh, Dayak, Asmat, Sasak, Bali dll ... Islam jauh lebih tinggi dari semua itu, dan tidak ada yg lebih tinggi darinya. Bagaimanapun, saya misalnya juga membaca kisah-kisah dari Cina dll, bahkan dari Eropa ... Di manapun ada hikmah, itu milik Muslim yg hilang. Ini tantangan ART dalam mengelola KNOWLEDGE. Bagaimana kita bisa menjadi "chief knowledge officer" ... Wassalamu'alaikum Eko Budhi S On Tue, 26 Dec 2006 14:24:49 +0700 (JAVT), Ema Amalia <[EMAIL PROTECTED]> wrote : > Assalaamu'alaikum wr. wb., > > Saya sebagai seorang Muslim tapi bukan dari etnis Jawa Tengah, izinkanlah saya > mengomentari tulisan dan pendapat Pak Eko ini. > > Dari yang saya tahu dari pemikiran-pemikiran Pak Umar Kayam (almarhum) dari > seri "mangan ora mangan kumpul" dan juga dari pemikiran-pemikiran Prof. > Komarudin Hidayat yang keduanya dari etnis Jawa Tengah, saya menyimpulkan ada > gap yang cukup besar antara Islam sebagai peradaban dan budaya Jawa (Tengah). > > Salah satu prinsip yang menurut saya harus diubah adalah prinsip "ngono yo > ngono ning ojo ngono". Ini menghalangi prinsip penegakan hukum yang sangat > dipentingkan dalam Islam. > Prof. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa pada umumnya orang beretnis Jawa > Tengah secara budaya atau "way of life" dapat dikatakan sebagai pada dasarnya > Hindu/Budha (pada prinsip-prinsip terdalamnya) dan dibungkus oleh ritual > ibadah Islam. Mungkin karena proses Islamisasi oleh Wali Songo belum selesai, > keburu datang penjajah Portugis dan Belanda. > > So, karena ketiga prinsip yang dibahas ini adalah notabene dari pendiri Taman > Siswa: Ki Hajar Dewantoro, menurut saya baik lagi dikaji kembali dihubungkan > dengan pemikiran saya di atas mengingat mailist ini adalah media dakwah Islam. > > Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari budaya > Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk mencoba > lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? > Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak ribuan... > > Pendiri negara kitapun beragam etnisnya, bahkan termasuk etnis WNI Keturunan > Cina, Arab, India, dsb... Bukankah para pejuang kemerdekaan kita dari Aceh dan > Sumatera banyak yang keturunan etnis WNI keturunan seperti di atas ? > > Lagipula, bukankah dalam periode orde baru banyak dari konsep-konsep budaya > Jawa Tengah tersebut sudah dicoba dan tidak berhasil ? > Mungkin ada baiknya mencoba berbesar hati dan introspeksi diri barangkali ada > kekurangan dari konsep-konsep tersebut dan penerapannya. Juga memberi > kesempatan kepada konsep-konsep dari budaya etnis lain yang dari segi jumlah > dan kualitas juga tidak kalah... hanya, mungkin etnis-etnis lain itu terlalu > introvert sehingga dianggap tidak ada konsepnya karena tidak pernah ditanyakan > kontribusinya. > > Saya sendiri pernah mengalami pernikahan yang kandas dengan orang dari etnis > Jawa Tengah. Mungkin ada bias karena masalah ini, tapi, terus terang saja, > selama pernikahan itu saya terheran-heran sendiri melihat tipisnya lapisan > Islam yang membungkus budaya Jawa Tengah yang dipakai sebagai "way of life" > orang-orang dari etnis Jawa Tengah tersebut pada umumnya. Yang dapat > dikecualikan dari penggambaran kondisi ini mungkin hanya yang dari kalangan > Muhammadiyah atau segelintir pesantren saja. > > Begitu saja dulu, mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak berkenan... > > Wassalaam, > > Ema A > > Kutipan "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]>: > > > Fwded from : > > http://groups.yahoo.com/group/i-ummah/ > > > > --- In [EMAIL PROTECTED], "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]> > > wrote: > > > > Assalamu'alaikum ... > > > > Jika kita perhatikan di media. Drive saat ini adalah "bagaimana > > mempunyai pemimpin terbaik". Bagaimana mempunyai pemimpin yg "ing > > ngarsa sung tul
Re: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
Assalaamu'alaikum wr. wb., Saya sebagai seorang Muslim tapi bukan dari etnis Jawa Tengah, izinkanlah saya mengomentari tulisan dan pendapat Pak Eko ini. Dari yang saya tahu dari pemikiran-pemikiran Pak Umar Kayam (almarhum) dari seri "mangan ora mangan kumpul" dan juga dari pemikiran-pemikiran Prof. Komarudin Hidayat yang keduanya dari etnis Jawa Tengah, saya menyimpulkan ada gap yang cukup besar antara Islam sebagai peradaban dan budaya Jawa (Tengah). Salah satu prinsip yang menurut saya harus diubah adalah prinsip "ngono yo ngono ning ojo ngono". Ini menghalangi prinsip penegakan hukum yang sangat dipentingkan dalam Islam. Prof. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa pada umumnya orang beretnis Jawa Tengah secara budaya atau "way of life" dapat dikatakan sebagai pada dasarnya Hindu/Budha (pada prinsip-prinsip terdalamnya) dan dibungkus oleh ritual ibadah Islam. Mungkin karena proses Islamisasi oleh Wali Songo belum selesai, keburu datang penjajah Portugis dan Belanda. So, karena ketiga prinsip yang dibahas ini adalah notabene dari pendiri Taman Siswa: Ki Hajar Dewantoro, menurut saya baik lagi dikaji kembali dihubungkan dengan pemikiran saya di atas mengingat mailist ini adalah media dakwah Islam. Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari budaya Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk mencoba lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak ribuan... Pendiri negara kitapun beragam etnisnya, bahkan termasuk etnis WNI Keturunan Cina, Arab, India, dsb... Bukankah para pejuang kemerdekaan kita dari Aceh dan Sumatera banyak yang keturunan etnis WNI keturunan seperti di atas ? Lagipula, bukankah dalam periode orde baru banyak dari konsep-konsep budaya Jawa Tengah tersebut sudah dicoba dan tidak berhasil ? Mungkin ada baiknya mencoba berbesar hati dan introspeksi diri barangkali ada kekurangan dari konsep-konsep tersebut dan penerapannya. Juga memberi kesempatan kepada konsep-konsep dari budaya etnis lain yang dari segi jumlah dan kualitas juga tidak kalah... hanya, mungkin etnis-etnis lain itu terlalu introvert sehingga dianggap tidak ada konsepnya karena tidak pernah ditanyakan kontribusinya. Saya sendiri pernah mengalami pernikahan yang kandas dengan orang dari etnis Jawa Tengah. Mungkin ada bias karena masalah ini, tapi, terus terang saja, selama pernikahan itu saya terheran-heran sendiri melihat tipisnya lapisan Islam yang membungkus budaya Jawa Tengah yang dipakai sebagai "way of life" orang-orang dari etnis Jawa Tengah tersebut pada umumnya. Yang dapat dikecualikan dari penggambaran kondisi ini mungkin hanya yang dari kalangan Muhammadiyah atau segelintir pesantren saja. Begitu saja dulu, mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak berkenan... Wassalaam, Ema A Kutipan "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]>: > Fwded from : > http://groups.yahoo.com/group/i-ummah/ > > --- In [EMAIL PROTECTED], "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Assalamu'alaikum ... > > Jika kita perhatikan di media. Drive saat ini adalah "bagaimana > mempunyai pemimpin terbaik". Bagaimana mempunyai pemimpin yg "ing > ngarsa sung tulodho" ... > pemimpin yg memberi contoh. > > Juga di sisi lain, bagi mereka yg masih berkompetisi, berjuang buat > "naik daun". mereka yg berada di tengah-tengah, berkembang middle > class yg mencoba mengembangkan berbagai opini, saran, ide, kritik dan > aspirasi > > dalam budaya Jawa, ini dikenal sebagai "ing madya mangun karsa" ... di > lapisan tengah membangun semangat, spirit ... > > Media telah meng-cover secara terbuka ttg mereka yg "ing ngarsa" ... > bahkan kecendurangannya media kita yg "istana-sentris" hanya > mengedepankan peran-peran pemimpin ... > > Berbagai buku juga telah diterbitkan yg mengdepankan cara berpikir > bahwa kesuksesan sebuah organisasi tergantung pada satu atau dua orang > di atas. Bahwa mereka yg di ataslah yg layak diakui sebagai yg membuat > keberhasilan. > > Buku ttg Kisah Sukses google misalnya, mengedepankan dua orang Yahudi > Rusia yg memulai Google yaitu Larry dan Sergey. Atau Microsoft yg > dikenal sebagai keberhasilan seorang Gate. > > Kita masih kurang menyadari pentingnya middle-class. Meskipun saat ini > dalam euforia kebebasan partisipasi berbagai pihak dari middle class > mulai mewarnai Indonesia... dgn berbagai ide dan gagasan mereka di > media-media massa. Mencoba merubah Indonesia ... > > Apa yg jelas sangat kurang ter-expose, atau memang tidak perlu ? > Adalah informasi ttg mereka-mereka yg dibelakang. Mereka yg berhasil > menulis code-code di balik Google atau Ms Windows. > > Satu tantangan ke-6 adalah ttg "keberpihakan yang adil dalam > pengumpulan, pengelolaan dan penyebaran informasi" agar informasi > secara adil (tidak mesti proporsional) bisa menghargai semua peran > baik mereka yg "ing ngarsa", "ing madya" maupun "tut wuri" ... > > Terlalu meng
Re: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
Wa'alaikumussalaam wr. wb., Terima kasih atas tanggapannya. Saya tidak ingin berdebat, tujuan saya menyampaikan ide di email saya sebelumnya adalah karena saya melihat kecenderungan arogansi dari etnis Jawa Tengah. Maaf kalau saya katakan itu, mungkin pandangan saya dari luar sebagai bukan dari etnis tersebut.Juga, mungkin orang yang dari etnis itu karena ada di dalam budaya itu perlu juga pandangan dari fihak luar - kalau mau berbesar hati menerima dengan jernih. Mengenai mempertentangkan, saya kira tahap pertama dari menyaring segala macam budaya atau informasi adalah "mempertentangkan" hal-hal tersebut dengan yang ada di Al-Qur'an dan Hadits. Mungkin bahasa yang lebih halus dan disukai dalam kultur Indonesia secara umum adalah "menyaring", "mengkonfirmasi" atau "mengecek". Tentu saja untuk melakukan itu butuh pandangan dan pendapat dari para Ulama. Kalaupun kita sendiri punya pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Hadits yang cukup dalam, tentu tidak ada salahnya menanyakan "second opinion", "third opinion", dll. Saya kira itu saja dulu, Wassalaam, Ema A Kutipan ekobs <[EMAIL PROTECTED]>: > > On Tue, 26 Dec 2006 14:24:49 +0700 (JAVT), Ema Amalia <[EMAIL PROTECTED]> > wrote : > > > > Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari > budaya > > Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk > mencoba > > lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? > > Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak > ribuan... > > Assalamu'alaikum ... > > Tentu saja mbak. Prinsip dalam belajar dari budaya lokal, di luar Al > Qur'an > dan As Sunnah,adalah selalu menge-check dgn Al Qur'an dan As Sunnah. > Tidak > ada budaya lokal yang 100% sesuai Al Qur'an/As Sunnah, sebagaimana juga > di > budaya manapun kita bisa menemukan local wisdom ... > > Termasuk budaya Arab misalnya. Kedatangan Rasulullah saw menunjukkan > bahwa > ada banyak budaya Arab yg perlu dibenahi melalui Al Quran dan As > Sunnah. > > Hanya saja, mengikuti panduan Aa Gym, saya hanya coba 3M. Mulai dari > diri > sendiri, Mulai dari apa yg bisa dilakukan, Mulai dari Sekarang. Nah ! > Jika > ada masukan dari budaya lain, silahkan ... > > Kita tidak perlu MEMPERTENTANGKAN Islam dengan budaya lokal ... baik > Jawa, > Cina, Minang, Aceh, Dayak, Asmat, Sasak, Bali dll ... > > Islam jauh lebih tinggi dari semua itu, dan tidak ada yg lebih tinggi > darinya. > Bagaimanapun, saya misalnya juga membaca kisah-kisah dari Cina dll, > bahkan > dari Eropa ... Di manapun ada hikmah, itu milik Muslim yg hilang. > > Ini tantangan ART dalam mengelola KNOWLEDGE. Bagaimana kita bisa > menjadi > "chief knowledge officer" ... > > Wassalamu'alaikum > > > > Eko Budhi S > > On Tue, 26 Dec 2006 14:24:49 +0700 (JAVT), Ema Amalia <[EMAIL PROTECTED]> > wrote : > > > Assalaamu'alaikum wr. wb., > > > > Saya sebagai seorang Muslim tapi bukan dari etnis Jawa Tengah, > izinkanlah > saya > > mengomentari tulisan dan pendapat Pak Eko ini. > > > > Dari yang saya tahu dari pemikiran-pemikiran Pak Umar Kayam (almarhum) > dari > > seri "mangan ora mangan kumpul" dan juga dari pemikiran-pemikiran > Prof. > > Komarudin Hidayat yang keduanya dari etnis Jawa Tengah, saya > menyimpulkan ada > > gap yang cukup besar antara Islam sebagai peradaban dan budaya Jawa > (Tengah). > > > > Salah satu prinsip yang menurut saya harus diubah adalah prinsip > "ngono yo > > ngono ning ojo ngono". Ini menghalangi prinsip penegakan hukum yang > sangat > > dipentingkan dalam Islam. > > Prof. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa pada umumnya orang beretnis > Jawa > > Tengah secara budaya atau "way of life" dapat dikatakan sebagai pada > dasarnya > > Hindu/Budha (pada prinsip-prinsip terdalamnya) dan dibungkus oleh > ritual > > ibadah Islam. Mungkin karena proses Islamisasi oleh Wali Songo belum > selesai, > > keburu datang penjajah Portugis dan Belanda. > > > > So, karena ketiga prinsip yang dibahas ini adalah notabene dari > pendiri Taman > > Siswa: Ki Hajar Dewantoro, menurut saya baik lagi dikaji kembali > dihubungkan > > dengan pemikiran saya di atas mengingat mailist ini adalah media > dakwah Islam. > > > > Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari > budaya > > Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk > mencoba > > lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? > > Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak > ribuan... > > > > Pendiri negara kitapun beragam etnisnya, bahkan termasuk etnis WNI > Keturunan > > Cina, Arab, India, dsb... Bukankah para pejuang kemerdekaan kita dari > Aceh > dan > > Sumatera banyak yang keturunan etnis WNI keturunan seperti di atas ? > > > > Lagipula, bukankah dalam periode orde baru banyak dari konsep-konsep > budaya > > Jawa Tengah tersebut sudah dicoba dan tidak berhasil ? > > Mungkin ada baiknya mencoba berbesar hati dan introspeksi diri > barangkali ada > > kekura
Re: [media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
Assalaamu'alaikum wr. wb., Saya sebagai seorang Muslim tapi bukan dari etnis Jawa Tengah, izinkanlah saya mengomentari tulisan dan pendapat Pak Eko ini. Dari yang saya tahu dari pemikiran-pemikiran Pak Umar Kayam (almarhum) dari seri "mangan ora mangan kumpul" dan juga dari pemikiran-pemikiran Prof. Komarudin Hidayat yang keduanya dari etnis Jawa Tengah, saya menyimpulkan ada gap yang cukup besar antara Islam sebagai peradaban dan budaya Jawa (Tengah). Salah satu prinsip yang menurut saya harus diubah adalah prinsip "ngono yo ngono ning ojo ngono". Ini menghalangi prinsip penegakan hukum yang sangat dipentingkan dalam Islam. Prof. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa pada umumnya orang beretnis Jawa Tengah secara budaya atau "way of life" dapat dikatakan sebagai pada dasarnya Hindu/Budha (pada prinsip-prinsip terdalamnya) dan dibungkus oleh ritual ibadah Islam. Mungkin karena proses Islamisasi oleh Wali Songo belum selesai, keburu datang penjajah Portugis dan Belanda. So, karena ketiga prinsip yang dibahas ini adalah notabene dari pendiri Taman Siswa: Ki Hajar Dewantoro, menurut saya baik lagi dikaji kembali dihubungkan dengan pemikiran saya di atas mengingat mailist ini adalah media dakwah Islam. Lalu, walaupun selama beberapa dekade terakhir ini konsep-konsep dari budaya Jawa Tengah sangat dominan, apakah tidak pernah terfikirkan untuk mencoba lebih mengakomodasi konsep-konsep dari budaya etnis lain ? Harap diingat, etnis di Indonesia ini jumlahnya ratusan kalau tidak ribuan... Pendiri negara kitapun beragam etnisnya, bahkan termasuk etnis WNI Keturunan Cina, Arab, India, dsb... Bukankah para pejuang kemerdekaan kita dari Aceh dan Sumatera banyak yang keturunan etnis WNI keturunan seperti di atas ? Lagipula, bukankah dalam periode orde baru banyak dari konsep-konsep budaya Jawa Tengah tersebut sudah dicoba dan tidak berhasil ? Mungkin ada baiknya mencoba berbesar hati dan introspeksi diri barangkali ada kekurangan dari konsep-konsep tersebut dan penerapannya. Juga memberi kesempatan kepada konsep-konsep dari budaya etnis lain yang dari segi jumlah dan kualitas juga tidak kalah... hanya, mungkin etnis-etnis lain itu terlalu introvert sehingga dianggap tidak ada konsepnya karena tidak pernah ditanyakan kontribusinya. Saya sendiri pernah mengalami pernikahan yang kandas dengan orang dari etnis Jawa Tengah. Mungkin ada bias karena masalah ini, tapi, terus terang saja, selama pernikahan itu saya terheran-heran sendiri melihat tipisnya lapisan Islam yang membungkus budaya Jawa Tengah yang dipakai sebagai "way of life" orang-orang dari etnis Jawa Tengah tersebut pada umumnya. Yang dapat dikecualikan dari penggambaran kondisi ini mungkin hanya yang dari kalangan Muhammadiyah atau segelintir pesantren saja. Begitu saja dulu, mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak berkenan... Wassalaam, Ema A Kutipan "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]>: > Fwded from : > http://groups.yahoo.com/group/i-ummah/ > > --- In [EMAIL PROTECTED], "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Assalamu'alaikum ... > > Jika kita perhatikan di media. Drive saat ini adalah "bagaimana > mempunyai pemimpin terbaik". Bagaimana mempunyai pemimpin yg "ing > ngarsa sung tulodho" ... > pemimpin yg memberi contoh. > > Juga di sisi lain, bagi mereka yg masih berkompetisi, berjuang buat > "naik daun". mereka yg berada di tengah-tengah, berkembang middle > class yg mencoba mengembangkan berbagai opini, saran, ide, kritik dan > aspirasi > > dalam budaya Jawa, ini dikenal sebagai "ing madya mangun karsa" ... di > lapisan tengah membangun semangat, spirit ... > > Media telah meng-cover secara terbuka ttg mereka yg "ing ngarsa" ... > bahkan kecendurangannya media kita yg "istana-sentris" hanya > mengedepankan peran-peran pemimpin ... > > Berbagai buku juga telah diterbitkan yg mengdepankan cara berpikir > bahwa kesuksesan sebuah organisasi tergantung pada satu atau dua orang > di atas. Bahwa mereka yg di ataslah yg layak diakui sebagai yg membuat > keberhasilan. > > Buku ttg Kisah Sukses google misalnya, mengedepankan dua orang Yahudi > Rusia yg memulai Google yaitu Larry dan Sergey. Atau Microsoft yg > dikenal sebagai keberhasilan seorang Gate. > > Kita masih kurang menyadari pentingnya middle-class. Meskipun saat ini > dalam euforia kebebasan partisipasi berbagai pihak dari middle class > mulai mewarnai Indonesia... dgn berbagai ide dan gagasan mereka di > media-media massa. Mencoba merubah Indonesia ... > > Apa yg jelas sangat kurang ter-expose, atau memang tidak perlu ? > Adalah informasi ttg mereka-mereka yg dibelakang. Mereka yg berhasil > menulis code-code di balik Google atau Ms Windows. > > Satu tantangan ke-6 adalah ttg "keberpihakan yang adil dalam > pengumpulan, pengelolaan dan penyebaran informasi" agar informasi > secara adil (tidak mesti proporsional) bisa menghargai semua peran > baik mereka yg "ing ngarsa", "ing madya" maupun "tut wuri" ... > > Terlalu meng
[media-dakwah] Fwd: Tantangan ke 6 : Tut wuri handayani
Fwded from : http://groups.yahoo.com/group/i-ummah/ --- In [EMAIL PROTECTED], "Eko Budhi S, Ghifari.Org" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Assalamu'alaikum ... Jika kita perhatikan di media. Drive saat ini adalah "bagaimana mempunyai pemimpin terbaik". Bagaimana mempunyai pemimpin yg "ing ngarsa sung tulodho" ... pemimpin yg memberi contoh. Juga di sisi lain, bagi mereka yg masih berkompetisi, berjuang buat "naik daun". mereka yg berada di tengah-tengah, berkembang middle class yg mencoba mengembangkan berbagai opini, saran, ide, kritik dan aspirasi dalam budaya Jawa, ini dikenal sebagai "ing madya mangun karsa" ... di lapisan tengah membangun semangat, spirit ... Media telah meng-cover secara terbuka ttg mereka yg "ing ngarsa" ... bahkan kecendurangannya media kita yg "istana-sentris" hanya mengedepankan peran-peran pemimpin ... Berbagai buku juga telah diterbitkan yg mengdepankan cara berpikir bahwa kesuksesan sebuah organisasi tergantung pada satu atau dua orang di atas. Bahwa mereka yg di ataslah yg layak diakui sebagai yg membuat keberhasilan. Buku ttg Kisah Sukses google misalnya, mengedepankan dua orang Yahudi Rusia yg memulai Google yaitu Larry dan Sergey. Atau Microsoft yg dikenal sebagai keberhasilan seorang Gate. Kita masih kurang menyadari pentingnya middle-class. Meskipun saat ini dalam euforia kebebasan partisipasi berbagai pihak dari middle class mulai mewarnai Indonesia... dgn berbagai ide dan gagasan mereka di media-media massa. Mencoba merubah Indonesia ... Apa yg jelas sangat kurang ter-expose, atau memang tidak perlu ? Adalah informasi ttg mereka-mereka yg dibelakang. Mereka yg berhasil menulis code-code di balik Google atau Ms Windows. Satu tantangan ke-6 adalah ttg "keberpihakan yang adil dalam pengumpulan, pengelolaan dan penyebaran informasi" agar informasi secara adil (tidak mesti proporsional) bisa menghargai semua peran baik mereka yg "ing ngarsa", "ing madya" maupun "tut wuri" ... Terlalu meng-expose mereka yg "ing ngarsa sung tuladha" ... akan merupakan pembodohan masyarakat, krn bagaimanapun baiknya pemimpin, akan gagal tanpa rakyat yg baik. Terlalu meng-expose mereka yg "ing madya mangun karso" akan sangat-sangat berbahaya, krn mereka yg dipertengahan secara karakteristik memang suka kebebasan beropini, beride, mengeluarkan saran dan kritik ... tanpa sense-of-responsibility apa yg mereka ucapkan ... toh mereka bukan decision maker, dan di sisi lain, bukan juga worker. Di sisi lain terlalu meng-expose mereka yg "tut wuri handayani" kita akan kehilangan visi-visi besar sebuah peradaban. Tentu saja, akan sangat bermakna meng-expose kerja mereka yg menjadi tukang batu di sebuah proyek bangunan. Dan ini jarang dilakukan ! Tetapi akan lebih bermakna, jika ditambahi dgn exposure ttg visi dari proyek tsb : bahwa batu-batu bata itu disusun untuk sebuah masjid, satu pusat pengembangan peradaban. Tantangan untuk manajemen info dan media kita, bagaimana bisa meng-expose sebuah permainan sepak bola dari berbagai lapisan masyarakat atau organisasi kita ... Wassalamu'alaikum Eko Budhi S --- In [EMAIL PROTECTED], "Eko Budhi S, Ghifari.Org" wrote: > > Aww > Jika tantangan #4 adalah berkaitan dgn adanya "island of information", > yg terkait dgn berkembangnya berbagai thoifah dgn pendekatannya > masing-masing yg berbeda-beda dalam mencoba menyelesaikan masalah > ummah ... > > tantangan #5, IMHO, adalah ... berkaitan dgn SAKSI. Siapa yg bisa > menjadi saksi yg adil. Adalah yg sangat dibutuhkan saat ini ... > > > -Original Message- > > > From: [EMAIL PROTECTED] > > > > Aww > > > Sudah saya coba ajak diskusikan beberapa hal yg saat ini bisa lebih > > > dioptimalkan dalam pengelolaan informasi. > > > > > > #1 adalah FLOW. Saat ini arus informasi bisa dikatakan "berantakan" > > > ... Kita mendapatkan informasi dari berbagai pihak, untuk berbagai > > > pihak. Kacau. > > > > > > #2 adalah OBSERVER. Berbagai informasi ini sayangnya untuk semua > > > orang, sampai-sampai tidak ada yg merasa bertanggung jawab buat > > > mem-follow up sebuah informasi ... > > > > > > Nah hal ke #3, IMHO, adalah "MEANINGFUL" ... bagaimana sebuah > > > informasi perlu dipilah, disusun, dan diarahkan ke orang-orang > > > sehinggainformasi tsb memang bermakna, berguna, bermanfaat ... > --- End forwarded message ---