Re: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-22 Terurut Topik thoriq kusuma
assalamualaikum wr. wb.

saya mau tanya nih. saya belum mengenal maksud dari tasawuf.:

   1. Tasawuf itu sebetulya merupakan salah satu aliran (manhaj) dalam
   islam. ataukah suatu metode (cara) pemahaman agama islam?
   2. mengapa dalam tasawuf sering menggunakan perumpamaan dan bahasa yg
   rumit? kenapa nggak pakai bahasa yg sederhana aja agar mudah dipahami oleh
   orang awam?
   3. katanya tadi tidak semua tasawuf sesat dan tidak semua nya lurus.
   ..jadi mana saja yg lurus dan mana yang sesat?
   4. kalau tasawuf itu intinya adalah zuhud, kenapa enggak sekalian aja
   namanya pendalaman zuhud?
   5. apakah Nabi Muhammad SAW. mengajarkan tasawuf? kalau ya. kok
   istilah tasawuf itu sendiri nggak ada di Alqur'an atau bahasa arab..




On 12/22/05, .:.cintasaja.:. [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Assalamu'alaikum wr.wb.,

 Ikhwani yang dirahmati Allah,

 Menurut saya, sebenarnya yang bisa menjawab apa itu tasawuf atau sufi ya
 mereka yang 'menggeluti'-nya ...  sehingga informasi yang diterima lebih
 akurat.  Tidak semua tarikat itu sesat, dan juga tidak semuanya itu lurus
 ..  CMIIW

 Berkaitan dengan munajat kaum sufi terhadap syurga dan neraka, berikut ada

 pendapat lain dari seorang sahabat ...  semoga menjadi bahan masukan dan
 telaahan.  Kalau kurang berkenan, mohon maaf sebelumnya.

 ---

 Dalam Al-Qur'an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali
 dalam
 berbagai ayat dan surat . Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah
 swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat
 dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks
 hadits
 saja.
 Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur'an disebut beberapa kali bentuk takut
 itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan
 ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta'ala
 yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan
 kapasitas hamba dengan Allah Ta'ala. Makna takut dengan penyebutan yang
 berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam

 responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
 lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.

 Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan
 kata Naar dalam Al-Qur'an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda.
 Naar
 disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang
 munafik,
 orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan
 dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada
 Neraka
 Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa'ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan
 penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka

 tertentu.

 Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena
 faktanya
 tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi
 hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang
 memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.

 Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang
 ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, Wattaqun
 Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah dengan ayat yang sering kita
 baca,
 Waqinaa 'adzaban-Naar, memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama,
 menunjukkan
 betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi
 Wahai
 manusia. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan
 kata
 Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, Lindungi kami dari siksa neraka,
 maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan
 kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah
 Azabnya
 neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api
 yang membakar Ibrahim as.

 Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya
 kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang
 mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka,
 dengan perspektifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah
 yang
 pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan

 agar kita hanya menyembah Lillahi Ta'ala. Tetapi kalau punya harapan lain
 selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk
 kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun,
 kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling
 rendah.

 Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik
 untuk
 menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan
 paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah sudah
 dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di perusahaan
 juga
 berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.

 Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci dan
 mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan 

FW: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-22 Terurut Topik Kartika, Bambang
Assalamu'alaikum wr.wb.,

Saudara-saudaraku,saya heran mengapa kok masih ada orang yang membenci bahkan 
ada yang mengecam tentang tassawuf dengan berdalil Qur'an dan Hadis, padahal Al 
Qur'an dan Hadis adalah sumber utama segala ilmu, sebagai seorang Muslim 
mengapa hanya mengupas bagian luar Al Qur'an dan Hadis saja? tanpa mencoba 
menggali lebih dalam. Saudaraku kalau saya melihat suatu benda seperti buah 
apel maka saya tidak akan langsung mengatakan itu buah apel karena bisa saja 
itu apel-apelan yang dari plastik. Bagaimana cara memakan buah apel? ada yang 
lansung di gigit,ada yang dicuci terus digigit,ada yang dikupas dahulu,dst, 
barulah kita memasukanya ke mulut kemudian kita merasakan buah apel, disinilah 
contoh kehati-hatian orang tassawuf, artinya kalau orang yang sudah menggali Al 
Qur'an dan Hadis jauh lebih dalam maka dia akan selalu menjaga mulut, lidah dan 
hatinya untuk meghujat orang, bahkan sekalipun ada orang yang menghujatnya dia 
selalu mengembalikanya kepada Allah, Apakah orang tassawuf termasuk orang 
pintar ? Ya Bisakah semua orang belajar tassawuf? Bisa hanya mungkin 
tingkatanya berbeda, mengapa ? karena nafsu seseorang berbeda-beda, olehkarena 
itu hindari sombong, takabur, kepada siapapun,hati-hati dalam segala ucapan, 
perbuatan,apa lagi mengecam para Sufi dll agar lebih mudah terjadi kontak 
Manunggaling kawula Gusti Gusti lan kawulane.
Ingat kejadian di Ambon tahun lalu ?.. Orang-orang Mumin yang datang kesana 
bukanlah hanya sekedar orang yang pandai Berkoar saja diantara mereka ada yang 
bisa menetralisir arus listrik yang dimasukan kedalam sungai oleh orang kafir 
yang airnya mengalir sehingga menewaskan banyak orang ketika mereka mau 
menyeberangi sungai tsb namun hanya dengan Do'a dan Allah pun mengabulkan 
sehingga saudara-saudara kita muslim yang lain bisa menyelamatkan diri dari 
pengejaran orang kafir. yang jelas dari pada mulut,hati,nalar kita gunakan 
untuk menghujat/mengadili orang lebih baik untuk mendekatkan diri kepada Allah 
dan mengadili diri sendiri dengan Intropeksi dan kemudian mohon ampunanNya.
 
Salam
BBK

-Original Message-
From: media-dakwah@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of .:.cintasaja.:.
Sent: Thursday, December 22, 2005 2:32 PM
To: media-dakwah@yahoogroups.com
Subject: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf


Assalamu'alaikum wr.wb.,

Ikhwani yang dirahmati Allah,

Menurut saya, sebenarnya yang bisa menjawab apa itu tasawuf atau sufi ya
mereka yang 'menggeluti'-nya ...  sehingga informasi yang diterima lebih
akurat.  Tidak semua tarikat itu sesat, dan juga tidak semuanya itu lurus
..  CMIIW

Berkaitan dengan munajat kaum sufi terhadap syurga dan neraka, berikut ada
pendapat lain dari seorang sahabat ...  semoga menjadi bahan masukan dan
telaahan.  Kalau kurang berkenan, mohon maaf sebelumnya.

---

Dalam Al-Qur'an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam
berbagai ayat dan surat . Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah
swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat
dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits
saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur'an disebut beberapa kali bentuk takut
itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan
ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta'ala
yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan
kapasitas hamba dengan Allah Ta'ala. Makna takut dengan penyebutan yang
berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam
responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.

Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan
kata Naar dalam Al-Qur'an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda. Naar
disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang munafik,
orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan
dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka
Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa'ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan
penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka
tertentu.

Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena faktanya
tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi
hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang
memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.

Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang
ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, Wattaqun
Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah dengan ayat yang sering kita baca,
Waqinaa 'adzaban-Naar, memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan
betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi Wahai
manusia. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata
Naar

Re: FW: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-22 Terurut Topik A Nizami
Wa'alaikum salam wr wb,

--- Kartika, Bambang [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Assalamu'alaikum wr.wb.,
 
 Saudara-saudaraku,saya heran mengapa kok masih ada
 orang yang membenci bahkan ada yang mengecam tentang
 tassawuf dengan berdalil Qur'an dan Hadis, padahal
 Al Qur'an dan Hadis adalah sumber utama segala ilmu,
 sebagai seorang Muslim mengapa hanya mengupas bagian
 luar Al Qur'an dan Hadis saja? tanpa mencoba
 menggali lebih dalam. Saudaraku kalau saya melihat
 suatu benda seperti buah apel maka saya tidak akan
 langsung mengatakan itu buah apel karena bisa saja
 itu apel-apelan yang dari plastik. Bagaimana cara
 memakan buah apel? ada yang lansung di gigit,ada
 yang dicuci terus digigit,ada yang dikupas
 dahulu,dst, barulah kita memasukanya ke mulut
 kemudian kita merasakan buah apel, disinilah contoh
 kehati-hatian orang tassawuf, artinya kalau orang
 yang sudah menggali Al Qur'an dan Hadis jauh lebih
 dalam maka dia akan selalu menjaga mulut, lidah dan
 hatinya untuk meghujat orang, bahkan sekalipun ada
 orang yang menghujatnya dia selalu mengembalikanya
 kepada Allah, 

Kenapa di Al Qur'an dan Hadits tidak sekalipun disebut
kata tasawuf? Bahkan kata tasawuf itu sama sekali
bukan bahasa Arab?

Dalil dalam Islam adalah Qur'an dan Hadits. Adakah
dalil yang mengatakan orang Tasawuf itu benar2
mengkaji dgn dalam Al Qur'an dan Hadits?

Maaf, menurut pengamatan saya, kebanyakan pelajaran
dalam Tasawuf justru bukan dari Al Qur'an dan Hadits
yang sahih. Tapi cerita2 orang dulu/mimpi yang tidak
ada derajad sahih/dloif sama sekali. Jadi tak bisa
dijadikan pegangan.

 Apakah orang tassawuf termasuk orang
 pintar ? Ya Bisakah semua orang belajar tassawuf?
 Bisa hanya mungkin tingkatanya berbeda, mengapa ?
 karena nafsu seseorang berbeda-beda, olehkarena itu
 hindari sombong, takabur, kepada siapapun,hati-hati
 dalam segala ucapan, perbuatan,apa lagi mengecam
 para Sufi dll agar lebih mudah terjadi kontak
 Manunggaling kawula Gusti Gusti lan kawulane.

Itu artinya bersatunya manusia dengan Tuhan/Allah.
Akibatnya bisa seperti Al Hallaj atau Syekh Siti Jenar
yang mengaku Allah. Padahal Nabi Muhammad SAW yang
merupakan insan kamil, uswatun hasanah tidak pernah
sekali pun mengaku sebagai Allah.

Bukankah dalam surat Al Ikhlas disebut wa lam yakun
lahu kufuwwan ahad? Dan tak ada sesuatu pun yang
setara/sekufu dengan Allah?

Wassalam

 Salam
 BBK
 
 -Original Message-
 From: media-dakwah@yahoogroups.com
 [mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of
 .:.cintasaja.:.
 Sent: Thursday, December 22, 2005 2:32 PM
 To: media-dakwah@yahoogroups.com
 Subject: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah]
 Tanya : Tassawuf
 
 
 Assalamu'alaikum wr.wb.,
 
 Ikhwani yang dirahmati Allah,
 
 Menurut saya, sebenarnya yang bisa menjawab apa itu
 tasawuf atau sufi ya
 mereka yang 'menggeluti'-nya ...  sehingga informasi
 yang diterima lebih
 akurat.  Tidak semua tarikat itu sesat, dan juga
 tidak semuanya itu lurus
 ..  CMIIW
 
 Berkaitan dengan munajat kaum sufi terhadap syurga
 dan neraka, berikut ada
 pendapat lain dari seorang sahabat ...  semoga
 menjadi bahan masukan dan
 telaahan.  Kalau kurang berkenan, mohon maaf
 sebelumnya.
 
 ---
 
 Dalam Al-Qur'an dan Hadits soal syurga dan neraka
 disebut berkali-kali dalam
 berbagai ayat dan surat . Tentu saja, sebagai janji
 dan peringatan Allah
 swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits
 Nabi saw, harus dilihat
 dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar
 formalisme ayat atau teks hadits
 saja.
 Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur'an disebut
 beberapa kali bentuk takut
 itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang
 menggunakan kata Khauf dan
 ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang
 ditampilkan Allah Ta'ala
 yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu
 sendiri, sesuai dengan
 kapasitas hamba dengan Allah Ta'ala. Makna takut
 dengan penyebutan yang
 berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda
 pula, khususnya dalam
 responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda
 antara satu dengan yang
 lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat
 keimanan seseorang.
 
 Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka.
 Penekanan-penekanan
 kata Naar dalam Al-Qur'an juga memiliki struktur
 hubungan yang berbeda. Naar
 disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan
 berbeda dengan orang munafik,
 orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat.
 Itu berarti berhubungan
 dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam
 ruang neraka: Ada Neraka
 Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa'ir, Neraka Saqar,
 Neraka Abadi, dan
 penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada
 sifat dan karakter neraka
 tertentu.
 
 Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi
 zalim, karena faktanya
 tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi
 memahami Naar dari segi
 hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan.
 Apalagi jika seseorang
 memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.
 
 Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda
 dengan Neraka yang
 ansickh belaka

Tasawwuf - was: RE: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-22 Terurut Topik Teguh, Imanullah \(PSU\)
Wa'alaikumussalam warohmatulloh wabarokatuh,

Alhamdulillah saudara Nizami sudah membantu menjelaskan tentang Tassawuf dan 
atau sufi dan tidak aneh dan heran jika menilai sesuatu dengan landasan dalil 
Al Qur'an dan Sunnah. Itu sudah menjadi kewajiban setiap muslim.

Saudara Nizami mengaku Muslim dan saudara Kartika juga mengaku Muslim khan?
Selayaknya segala apa yang muslim lakukan haruslah bersandar pada landasan 
hokum Islam yakni Al Qur'an dan As Sunnah bukan yang lainnya.

Saudara Nizami mengingatkan kita semua apa yang beliau pelajari dari Al Qur'an 
dan As Sunnah tidaklah menunjukkan perlunya kita mengikuti ajaran-ajaran sufi 
yang baru diadakan setelah syariat Islam itu completed.

Saudara kartika membantahnya hanya dengan pendapat dan logika belaka bagaimana 
bisa perkataan Allah dan Rosul-Nya dikalahkan hasil pendapat manusia?

Saudara Nizami Muslim dan anda Muslim maka jika berbeda pendapat kembalikan 
kepada Allah dan Rosul-Nya itulah orang beriman disitu tidak disebutkan 
dikembalikan kepada akal logika kita yang satu sama lain berbeda-beda tingkat 
pemahamannya.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil 
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, 
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu 
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih 
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa':59)

Metode memahami agama melalui konsep sufi malah semakin jauh dari prinsip Islam 
sebagaimana yang telah dipaparkan syaikh Muhammad Jamil Zainu mantan pengikut 
Sufi atau Tasawwuf.

Coba saja perhatikan sirah nabawiyyah adakah yang serupa cara menjalankan 
syariatnya dengan para sufi seperti manunggaling kawula gusti? Coba ditunjukkan 
riwayat dalam riwayat shahih mana terdapat para shahabat atau penerusnya yang 
shalih (salafush shalih) melakukan ritual-ritual yang dilakukan para pengikut 
sufi.

Masalah dzikirpun ada kesamaan walaupun tidak semua. Dzikir dan doa yang 
dilakukan haruslah sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rosul-Nya selain 
itu tertolaklah karena bisa jadi dibuat-buat sendiri.

Tahu sendiri khan dalilnya dari Hadits larangan membuat-buat sendiri amalan 
tanpa ada dasar syar'ie?

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أحْدَثَ فيِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ 
رَدٌّ. 
وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa 
Sallam bersabda, Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) 
di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak 
disyari'atkan), maka ia tertolak. (HR.al-Bukhari) 

Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, Barangsiapa yang melakukan suatu 
amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak. 

Lalu ilmu-ilmu kesaktian yang salah satunya anda contohkan bisa menetralkan 
arus listrikpun tidak dicontohkan oleh nabi sholallahu 'alaihi wasalam.
Kalopun dicontohkan maka Nabi tidak akan berdarah-darah ketika beliau berjihad 
sehingga riwayatnya akan berubah. Nabi akan kebal ditimpukin batu di bukit 
Thaif saat mendakwahkan Islam. Kalo memang ilmu itu dicontohkan Rosul.

Sufi juga menihilkan Jihad fie sabilillah bil ma'na qital. Jihad dalam artian 
perang. Padahal sepanjang sejarah para salafush shalih itu banyak yang menjadi 
ahluts tsughur. Sudah 'aliim termasuk ahluts tsughur pula. Ulama yang berjihad 
membela agama Allah pula tidak berdiam saja di masjid tholabul 'ilmi, beribadah 
sesuai Qur'an dan Sunnah. Sudah puluhan peperangan yang diikuti Rosul dan 
shahabat dan salafush shalih dalam menegakkan dan menjaga Hukum Allah tetap 
tegak berdiri sampai ada kesesatan-kesesatan yang melemahkan kekuatan kaum 
muslimin sendiri.

Pernah saya baca di koran bahwa para sufi kalo menanggapi jihad di Irak malah 
mengirimkan jin muslim untuk membantu muslim irak dari gempuran teroris Amerika 
dan sekutunya. Yang disuruh maju Jin Muslim. Dalam riwayat yang ada manusianya 
dulu yang maju berjihad maka pasukan ghaib tanpa disuruh juga ikut mendukung.

Bisa antum teliti lagi persaksian Syaikh Muhammad Jamil Zainu yang pernah 
menggeluti ajaran Sufi di negerinya. Kitab terjemahannya yang cukup murah mudah 
di dapat dipasaran. 

FYI, Sayapun pernah menjadi pengikut sufi.

Mohon periksalah lagi lebih teliti lagi mana yang boleh dilakukan Allah dan 
Rosul-Nya agar kedepannya kita tidak menyesal.

Wallahu'alam bishshowwab
Abu Fahmi

-Original Message-
From: media-dakwah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
Kartika, Bambang
Sent: Friday, December 23, 2005 10:31 AM
To: media-dakwah@yahoogroups.com
Subject: FW: syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

Assalamu'alaikum wr.wb.,

Saudara-saudaraku,saya heran mengapa kok masih ada orang yang membenci bahkan 
ada yang mengecam

[media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-21 Terurut Topik Anto Sulistianto

Mau tanya, apa sih sesungguhnya Tassawuf itu, juga yg
disebut para Sufi. Dalam pengertian saya yg masih awam
ini terkesan mereka adalah orang terpilih dan suci.
Apakah demikian halnya?

Adakah dalil/AlQura'an, hadits Rasulullah tentang
tassawuf ini.
Apakah tassawuf sesuai ajaran Allah SWT melalui Rasul
Muhammad SAW ?

Terimakasih...

__
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]





 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
~- 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-21 Terurut Topik Aria Subekti
Assalamu'alaikum wr.wb... 
  Dari milis tetangga tentang tasawuf :
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari 
tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali. 
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun 
batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, 
bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa 
dan jasmani, mendapat perhatian pula. 
  Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang 
dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan 
juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat 
yang semakin hari kian bertambah besar. Dalam hal ini, terdapat orang-orang 
yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada 
yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya 
saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan 
foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
  Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas 
pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa 
untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya. Demi 
tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan 
mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada 
Allah.
  Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah 
(mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, 
dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat 
sebagai berikut:
  Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan 
keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan 
mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya.
  Dalam syairnya, Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
  Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin 
menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku 
cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya.
  Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan 
jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu 
filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud 
(paham bersatunya hamba dengan Allah).
  Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga 
dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata, Saya adalah Tuhan.
  Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan paham 
kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
  Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan 
hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin 
pada umumnya.
  Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab 
dan beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan 
yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli 
(kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
  Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam, ada 
yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka 
dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya, 
menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu 
diambil dari agama Masehi, agama Budha, dan lain-lainnya.
  Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut: Tasawuf 
ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan 
disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah Rasul saw. dan 
para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi 
hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali 
r.a, Abu Darda', Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya.
  Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang 
berupa kesenangan atau fitnah dunia.
  Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah 
swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan 
azab neraka. Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan 
mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. 
Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:
  Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah ... 
(Q.s. Al-Baqarah: 165). 
  ... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ... (Q.s. 
Al-Maidah: 54). 
  Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam 
barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ... (Q.s. Ash-Shaff: 4). 
  Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, 
tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya 
dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
  Tidak ada golongan lain yang memberi 

Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-21 Terurut Topik A Nizami
Wa'alaikum salam wr wb,

--- Aria Subekti [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Assalamu'alaikum wr.wb... 
   Dari milis tetangga tentang tasawuf :
 Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin
 serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam
 dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa
 kecuali. 

Jika kita kaji Al Qur'an dan Hadits, kita tidak akan
menemui satu kata pun tentang tasawuf. Bahkan tasawuf
itu sendiri bukan berasal dari bahasa Arab. Klaim di
atas tidak ada dasarnya.

Cukuplah sudah Al Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai
pedoman kita. Janganlah kita berpegang kepada bid'ah
atau selain dari 2 yang di atas.

   Dalam syairnya, Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
   Semua orang yang menyembah Allah karena takut
 akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku
 tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku
 cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya.

Di situ Rabi'ah seperti pamer atau riya. Salah satu
pernyataan Rabi'ah: Jika aku menyembahMu karena ingin
masuk surga, maka tutuplah pintu surga bagiku. Jika
aku menyembahMu karena takut neraka, masukkanlah aku
ke dalam neraka itu berbau sombong pamer dan
bertentangan dgn do'a yang diajarkan Nabi:

Robbana aatina fid dunya hasanah. Wa fil akhiroti
hasanah. Wa qiina 'adzaaban naar (Ya Allah berilah
kami kebaikan di dunia dan akhirat. Dan hindarkanlah
kami dari api neraka)

   Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari
 pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi
 paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu
 filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu
 bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham bersatunya hamba
 dengan Allah).
   Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang
 tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H.
 karena ia berkata, Saya adalah Tuhan.

Itulah akibatnya karena belajar Islam bukan bersumber
dari Al Qur'an dan Hadits. Tapi dari sumber lain
seperti kisah2 yang tidak jelas riwayatnya.

   Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam
 makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani terhadap
 Isa Al-Masih.
   Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak
 paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang
 menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum
 Muslimin pada umumnya.
   Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat
 menghilangkan rasa tanggung jawab dan beranggapan
 bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun
 yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak,
 semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf)
 Al-Haq, yaitu Allah.
   Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi
 yang bermacam-macam, ada yang menilai masalah
 tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji
 mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik
 sekali. Ada pula yang mencelanya, menganggap semua
 ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran
 tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha,
 dan lain-lainnya.
   Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan
 sebagai berikut: Tasawuf ada dalam Islam dan
 mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari
 dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam
 Al-Qur'an, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya
 yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau
 menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah,
 sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu
 Darda', Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan
 lainnya.
   Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas
 diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah
 dunia.
   Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan
 yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba
 memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah
 akan azab neraka. Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi
 saw. juga telah diterangkan mengenai cinta Allah
 kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada
 Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:
   Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat
 besar kepada Allah ... (Q.s. Al-Baqarah: 165). 
   ... Allah mencintai mereka dan mereka pun
 mencintai-Nya ... (Q.s. Al-Maidah: 54). 
   Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
 berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur
 (tidak tercerai-berai) ... (Q.s. Ash-Shaff: 4). 
   Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis
 mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur,
 sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan
 lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
   Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian
 penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan
 terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini
 selain para sufi. Merekalah yang paling mahir dan
 mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan
 kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli
 dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
   Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja
 dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya
 kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan
 hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah
 swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim
 Al-Jauzi, yaitu: Ilmu tasawuf itu, kemudian akan
 meningkat ke bidang 

syurga - neraka ... was Re: [media-dakwah] Tanya : Tassawuf

2005-12-21 Terurut Topik .:.cintasaja.:.
Assalamu'alaikum wr.wb.,

Ikhwani yang dirahmati Allah,

Menurut saya, sebenarnya yang bisa menjawab apa itu tasawuf atau sufi ya
mereka yang 'menggeluti'-nya ...  sehingga informasi yang diterima lebih
akurat.  Tidak semua tarikat itu sesat, dan juga tidak semuanya itu lurus
..  CMIIW

Berkaitan dengan munajat kaum sufi terhadap syurga dan neraka, berikut ada
pendapat lain dari seorang sahabat ...  semoga menjadi bahan masukan dan
telaahan.  Kalau kurang berkenan, mohon maaf sebelumnya.

---

Dalam Al-Qur'an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam
berbagai ayat dan surat . Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah
swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat
dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits
saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur'an disebut beberapa kali bentuk takut
itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan
ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta'ala
yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan
kapasitas hamba dengan Allah Ta'ala. Makna takut dengan penyebutan yang
berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam
responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.

Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan
kata Naar dalam Al-Qur'an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda. Naar
disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang munafik,
orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan
dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka
Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa'ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan
penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka
tertentu.

Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena faktanya
tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi
hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang
memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.

Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang
ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, Wattaqun
Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah dengan ayat yang sering kita baca,
Waqinaa 'adzaban-Naar, memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan
betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi Wahai
manusia. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata
Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, Lindungi kami dari siksa neraka,
maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan
kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya
neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api
yang membakar Ibrahim as.

Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya
kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang
mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka,
dengan perspektifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah yang
pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan
agar kita hanya menyembah Lillahi Ta'ala. Tetapi kalau punya harapan lain
selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk
kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun,
kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling
rendah.

Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk
menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan
paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah sudah
dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di perusahaan juga
berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.

Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci dan
mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan dan
mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama,
namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi seorang direktur
yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi
cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya,
disbanding para pekerja yang hanya mencari untung be laka, sehingga mereka
bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.

Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki
kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi syurga kaum
awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi
bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, adalah Tajalli
(penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja
berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan bilogis
seksual-hewani.

Syurga bagi kaum Sufi adalah