[ppiindia] Dari milis tetangga: Jilbab Mendag Mari Elka Pangestu dan Indahnya Puncak

2006-05-08 Terurut Topik RM Danardono HADINOTO



ReJa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Jilbab Mendag Mari Elka Pangestu dan Indahnya Puncak
>
>   Kala membuka-buka harian Bisnis Indonesia edisi 1 Mei 2006 lalu,
> ada sebuah foto yang menurutku cukup menarik. Menteri Perdagangan
> Mari Elka Pangestu berjilbab ria. Kala itu ia sedang menghadiri
> sebuah pameran pariwisata Indonesia yang berlangsung di Mal Heraa,
> Jeddah, Arab Saudi. Yang pasti karena adanya peraturan di negeri
itu, makanya ia menutupi rambutnya (baca: aurat), walau ia bukan
muslimah.
>
>   Yang juga menarik disimak adalah penjelasan dari foto tersebut.
> Menurut wartawati Hilda Sabri Sulistyo, pameran itu mendapat
sambutan positif dari masyarakat setempat. Warga Arab Saudi yang
pernah mengunjungi Indonesia mengaku sangat menyukai sejuknya udara
dan keindahan alam di kawasan Puncak, Jawa Barat.
>
>   Duh Hilda, bener nggak tuh pernyataan seperti itu? Apakah Anda
pernah baca data bahwa mayoritas wisatawan Arab yang berkunjung ke
Puncak adalah kaum lelaki? Dan kebanyakan dari mereka tak peduli
dengan "keindahan alam" Puncak, tapi ingin menikmati keindahan lain
yaitu perawan-perawan Sunda  yang lazim dijuluki neng geulis? Jadi
agak meragukan kalau pria-pria  Arab yang berbondong-bondong ke
Puncak itu semata ingin menikmati  keindahan alam sahaja.
>
>   Walau ustadz berperan besar dalam "menjodohkan" plus menjadi wali
nikah antara pria Arab dengan si neng geulis, tapi ini jelas-jelas
perzinahan terselubung karena motivasi utamanya adalah uang (baca:
devisa negara). Maklum, libido pria-pria Arab di negerinya tak mudah
tersalurkan di negerinya sehingga musti cari perempuan di negara-
negara miskin, salah satunya Indonesia.
>
>   Lalu bagaimana dengan nasib ratusan bahkan ribuan neng geulis 
yang "dikawini" barang sekejap oleh pria-pria Arab lalu ditinggal 
begitu saja? Kalau mereka hamil, siapa yang akan menafkahi anaknya 
yang berdarah setengah Arab itu? Apakah para neng geulis yang 
kebanyakan usianya masih di bawah umur itu sekadar komoditas dagang 
unggulan Indonesia seperti halnya TKI?
>
>   Dihubungkan dengan RUU Porno yang mematok umur perempuan dewasa
adalah di atas 12 tahun, adakah punya kaitan dengan "perkawinan
sekejap mata" yang kian marak itu?
>
>   Nah, apa komentar Anda?
>
>
>










***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]









  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Cultural diversity
  
  
Indonesian languages
  
  
Indonesian language learn
  
  


Indonesian language course
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "ppiindia" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  











[ppiindia] dari milis tetangga: Multikulturalisme

2006-04-28 Terurut Topik Ikranagara



MULTIKULTURALISME 
Oleh: Kenken*
 
Multikulturalisme, secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang 
kesetaraan semua ekspresi budaya. Kebudayaan suku "primitif" dan 
peradaban masyarakat industri modern memiliki kesetaraan nilai, 
sekalipun tidak bermaksud mengabaikan kekhususan peran sosial-
historis masing-masing. Multikulturalisme berkesimpulan bahwa 
kebudayaan Barat dan ras Anglo Saxon tidak lebih superior daripada 
Tribalis Afrika dan cara hidup para pemburu walrus Eskimo. 
Konseptualisasi multikulturalisme menolak metapora `melting pot' 
yang hanya berperan sebagai cover konsep asimilasi opresif. 
 
Indonesia merupakan negeri multikultural dengan ribuan pulau, lebih 
dari 300 etnisitas, berbagai paham dan aliran kepercayaan serta 
ideologi politik, sekaligus pusat "pluralitas konflik". Kesadaran 
multikultural telah tertanam sejak Mpu Tantular menuliskan 
istilah "bhineka tunggal ika". Bagi Siauw Giok Tjhan, Bhineka 
Tunggal Ika merupakan "pencerminan realisasi proses integrasi wajar 
dari semua golongan Rakyat, yang menganut berbagai macam pandangan 
hidup, agama, kepercayaan, di samping berbeda dalam suku dan asal 
keturunan". Saat ini, kesadaran "multikultural" tersebut berhadapan 
dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan 
nasional Indonesia" yang seharusnya menjadi "integrating force" yang 
mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya dalam bingkai persatuan 
nasional.  
 
Sejak hari pertama berkuasa, Orde Baru mencoba melakukan 
penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Kemudian, kekerasan 
antar kelompok masyarakat meledak secara sporadis pada akhir tahun 
1990-an di berbagai kawasan. Semata-mata hanya untuk memperlihatkan 
betapa rentan homogenisasi yang hendak dibangun dalam mozaik Negara-
Bangsa seperti Indonesia, sekaligus sebagai tanda awal kejatuhan 
rezim Orde baru. Tentu saja, usaha homogenisasi ini bertentangan 
dengan perspektif multikultural yang menolak asumsi adanya sebuah 
doktrin politik atau ideologi yang mampu merepresentasikan seluruh 
kebenaran. Satu-satunya pencapaian homogenisasi adalah masyarakat 
dengan budaya tertutup. Kekerasan adalah titik kulminasinya. 
 
Kebudayaan yang bersifat tertutup tidak berharap, berkeinginan, 
membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk berdialog dengan kebudayaan 
lain. Komunitas budaya tertutup sangat mudah merasa terancam. Dengan 
penuh kecurigaan, ia berusaha keras melindungi dirinya dengan 
menolak interaksi dengan kebudayaan lain yang dirasakan 
sebagai "pengganggu". Budaya tertutup mengakibatkan banjir darah di 
Cekoslovakia, Yugoslavia, Zaire hingga Rwanda dan Indonesia, lebih 
dari 38 juta jiwa terusir dari tempat kediaman mereka, paling 
sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah, 
pertikaian abadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. 
 
Pada dasarnya tidak ada satu pun budaya "sui generis". Seluruh 
kebudayaan berasal dari interaksi dan proses saling absorbsi dengan 
kebudayaan lain dan dibentuk oleh kekuatan hegemonik ekonomi dan 
politik. Saat bumi menjadi `desa global'-nya P. Wyndham Lewis dan 
peradaban memasuki "gelombang ketiga"-nya Alvin Toffler, interaksi 
dengan kebudayaan lain adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. 
Komunitas dengan budaya tertutup menolak realitas ini. Ia memilih 
isolasionisme sebagai solusi dan menjadi komunitas anakronistis. 
Dengan kata lain, ia menjadi entitas dengan mentalitas xenophobia 
i.e. mentalitas penuh ketakutan atau kebencian terhadap orang asing 
atau sesuatu yang dirasakan asing. 
 
Istilah Xenophobic dipergunakan sebagai istilah politik untuk 
mendeskripsikan kaum rasis, isolasionis dan fasis. Xenophobia, dalam 
prakteknya, sering kali mengacu pada penggunaan "bahasa kekerasan" 
untuk menghadapi perbedaan. "Bahasa kekerasan" ini hanya akan 
mewariskan memoria passionis-ingatan kolektif atas penderitaan-
kepada generasi yang akan datang. Sejarah kekejaman perbudakan 
menyebabkan Kongres USA, semasa Presiden Clinton, mengajukan 
proposal permintaan maaf atas nama bangsa dan pemerintah kepada 
golongan Afrika-Amerika. Dan, kita pun prihatin atas kecanggungan 
generasi muda Jerman saat berbicara mengenai kekejian Hitler dan 
kekejaman Nazi. 
 
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme 
kekuasan orde baru yang memaksakan keseragaman "monokulturalisme", 
memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-
implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang 
multikultural. Rezim Reformasi tidak semerta-merta mengakhiri 
warisan tendensi xenophobia dan homogenisasi kultur, terutama di 
tataran psikis. Di tataran praxis, Indonesia belum bebas dari 
ancaman bahaya tirani dan anarkisme mayoritas atas nama "demokrasi". 
Argumentasi bahwa `masyarakat multikultural hendaknya tidak 
melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh masyarakat 
monokultural dengan memaksa seluruh komunitas mengadobsi paham 
multikultural' menjadi tantangan akademis yang perlu diperhatikan 
dalam rangka m

Re: [ppiindia] dari milis tetangga

2005-07-15 Terurut Topik trúlÿsøúl
sy jd inget temen sy yg tinggal di jkt, mereka sekeluarga terdiri dari 5 anak 
beranak, termasuk temen saya ini, tp mobil pribadi dikeluarga mereka ada 5, 
dengan merk² mobil terkenal, sungguh, ga ada tuh yg jenis rakitan indo, spt 
kijang misalnya, ditambah 2 mobil dinas ortunya (bokapnya direksi sebuah bank 
pemerintah), trus di jakarta selatan itu saja, rumah pribadi ortunya ada 3 (di 
daerah elit, masih di jalan nama² pahlawan, kan elit tuh)..trus ada villanya di 
bukit sentul..pernah saya nikmati kenyamanan villa tsb, wow..mimpi kali sy 
waktu itu..:D
 
trus untuk baju pestanya aja yg stelan, order dr perancang busana yg punya nama 
di indo, seharga 17 jt, hanya untuk one night.. (jd sedih ingat yg ga mampu 
melanjutkan sekolah krn ketiadaan dana buat bayar uang masuk yg hanya ratusan 
ribu itu..:(( ..)
 
waktu sy diajak jjl keliling jkt naik mobil plus sopir pribadinya, sy yg wong 
lugu ini berfikir..darimana ortu temen sy ini memperoleh dana untuk membiayai 
kehidupannya sehari² dgn 5 mobil pribadi dan 2 sopir pribadi dan segala macam 
pernak-perniknya dan dapat membeli rumah sedemikian itu, dan villa, dan 
rumahnya di daerah lain (spt yg diceritakan temen saya ini)??
 
apakah yg mereka peroleh ini merupakan harta turunan? turunan siapa? bukankah 
pada zaman kakek dan nenek buyut saya dulu semua orang indo itu hidupnya susah, 
dan melarat? sampai makan jagung, bekicot segala? (itu yg diceritakan 
kakek/nenek sy tentang kakek buyut sy..cian yah kakek buyut sy itu..semoga 
Allah melapangkan mereka di dalam kubur..amiinn.. )
 
di dalam mobil temen sy yg serba nyaman itu, sy berfikir, apakah teman sy ini 
pernah memikirkan bahwa alangkah banyaknya orang yg menderita lapar diluaran 
sana, sementara di dalam mobil yg full ac dan full music tersebut temen sy ini 
asyik tertawa hahahahah hihihihi dgn temen lainnya via hp? Sy ragu temen sy ini 
akan sempat memikirkan hal² demikian itu, krn waktu sy buka kaca mobil untuk 
sekedar memberi recehan kepada seorang pengemis saja temen sy ini mengatakan " 
Aduh upik (nama samaran hihihih..) jangan dibuka dunk kacanya, pengemis² itu 
kebiasaan deh, lagian panas, bau n bla...bla.."..yg membuat ulu hati hati sy 
nyerii..
 
Sy jd berkesimpulan, beginilah rupanya nasib saudara² sy yg  miskin itu dimata 
temen sy yg kaya² dan beruntung ini (semoga tidak semua orang yg kaya dan 
beruntung mempunyai sifat seperti temen sy ini, amii..) kapan nasib mereka 
akan berubah, kalau semua orang kaya hanya sibuk memikirkan kenyamanannya 
sendiri dan keberuntungannya, dan berusaha untuk mempertahankan semuanya itu, 
tanpa pernah berfikir untuk merasakan kemiskinan orang lain? 
 
kebayang deh jkt semakin tumplek plek dgn kemacetan, dikarenakan, ada sebagian 
orang, jumlah kendaraannya lebih banyak dr penghuni rumahnya..ancu deh..
 
sorry dah curhat.. (icon malu²in..)
tr.-

 

zalwa setiyadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

---Original Message---

From: Milis-nova@news.gramedia-majalah.com
Date: 07/14/05 14:58:12
To: milis-nova List Member
Subject: [milis-nova] Different point of view {01}







Artikel bagus dan sebentar lagi keluar bukunya. Maaf bagi yang sudah 
pernah baca.

Thanks





TENTANG 'ORANG KOTA' DARI ORANG RIMBA

Saat kami bertemu untuk kedua kalinya pada pertengahan Mei 2005 lalu,
banyak cerita menarik dituturkan Butet Manurung---aktivis pendidikan
suku anak dalam. Cerita tersebut begitu dahsyat sehingga langsung saya
"mengompori" Butet untuk menuliskannya menjadi novel atau semacam
memoar. "Itu akan menjadi buku yang hebat dan bahan belajar untuk 
banyak
orang!" kata saya. "Tulislah!"

Di antara kisah dramatis yang ia ceritakan, banyak yang sampai 
sekarang
terus berdengung-dengung di hati dan kepala saya. Di antaranya yang 
satu
ini. Cerita ini berawal dari pertanyaan saya padanya: "Butet, pernah
kamu bawa anak-anak didikmu ke kota? Apa pendapat mereka tentang kota
dan orang kota?"

Butet tertawa. "Wah, Mbak, mereka kaget sekali melihat kota yang 
begitu
ramai dengan gedung menjulang dan kendaraan yang lalu lalang. Mereka
juga suka sekali turun naik menggunakan lift. Mereka tak habis pikir
bisa masuk ke sebuah kotak dari tempat tertentu, dan ketika keluar 
dari
kotak tersebut sudah berada di tempat yang berbeda sama sekali!"

Saya tersenyum membayangkan wajah murid-murid Butet yang pasti riang
sekali saat itu.

"Tapi mereka juga sedih melihat kehidupan kota, Mbak.."

"O ya? Bagaimana? Apa mereka sedih melihat kemiskinan?"

Butet menghela napasnya panjang. "Mereka menanyakan soal kebersamaan 
dan
keadilan di kalangan masyarakat kota.."

Hari itu saya bisa membayangkan wajah-wajah anak didik Butet saat
mengamati kota.

Saat jalan berkeliling, mereka melihat orang-orang yang berdesak-
desakan
di dalam bis kota hingga bis tersebut cenderung miring. Di sisi lain,
mereka melihat banyak pula mobil mewah berseliweran tanpa penumpang
alias hanya satu orang dalam satu mobil.

Dengan polos mereka bertanya pada Butet yang bunyinya kurang lebih
begini,
"Bu 

[ppiindia] dari milis tetangga

2005-07-14 Terurut Topik zalwa setiyadi

---Original Message---
 
 From: Milis-nova@news.gramedia-majalah.com
Date: 07/14/05 14:58:12
To: milis-nova List Member
Subject: [milis-nova] Different point of view {01}
 
 

 

 

Artikel bagus dan sebentar lagi keluar bukunya. Maaf bagi yang sudah 
pernah baca.

Thanks

 

 

TENTANG 'ORANG KOTA' DARI ORANG RIMBA

Saat kami bertemu untuk kedua kalinya pada pertengahan Mei 2005 lalu,
banyak cerita menarik dituturkan Butet Manurung---aktivis pendidikan
suku anak dalam. Cerita tersebut begitu dahsyat sehingga langsung saya
"mengompori" Butet untuk menuliskannya menjadi novel atau semacam
memoar. "Itu akan menjadi buku yang hebat dan bahan belajar untuk 
banyak
orang!" kata saya. "Tulislah!"

Di antara kisah dramatis yang ia ceritakan, banyak yang sampai 
sekarang
terus berdengung-dengung di hati dan kepala saya. Di antaranya yang 
satu
ini. Cerita ini berawal dari pertanyaan saya padanya: "Butet, pernah
kamu bawa anak-anak didikmu ke kota? Apa pendapat mereka tentang kota
dan orang kota?"

Butet tertawa. "Wah, Mbak, mereka kaget sekali melihat kota yang 
begitu
ramai dengan gedung menjulang dan kendaraan yang lalu lalang. Mereka
juga suka sekali turun naik menggunakan lift. Mereka tak habis pikir
bisa masuk ke sebuah kotak dari tempat tertentu, dan ketika keluar 
dari
kotak tersebut sudah berada di tempat yang berbeda sama sekali!"

Saya tersenyum membayangkan wajah murid-murid Butet yang pasti riang
sekali saat itu.

"Tapi mereka juga sedih melihat kehidupan kota, Mbak.."

"O ya? Bagaimana? Apa mereka sedih melihat kemiskinan?"

Butet menghela napasnya panjang. "Mereka menanyakan soal kebersamaan 
dan
keadilan di kalangan masyarakat kota.."

Hari itu saya bisa membayangkan wajah-wajah anak didik Butet saat
mengamati kota.

Saat jalan berkeliling, mereka melihat orang-orang yang berdesak-
desakan
di dalam bis kota hingga bis tersebut cenderung miring. Di sisi lain,
mereka melihat banyak pula mobil mewah berseliweran tanpa penumpang
alias hanya satu orang dalam satu mobil.

Dengan polos mereka bertanya pada Butet yang bunyinya kurang lebih
begini,
"Bu Guru, mengapa orang-orang itu harus berdesak-desakan dalam 
kendaraan
roda empat yang besar itu, hingga susah bernapas?"

"Bu Guru, mengapa orang yang lain naik mobil kosong itu sendirian?
Padahal banyak tempat bisa digunakan untuk orang-orang yang berdesakan
itu?"

Butet menjelaskan pada anak-anak didiknya tentang masyarakat kota yang
berbeda, termasuk dalam hal ekonomi. Ada yang mampu membeli mobil
pribadi dan ada yang hanya mampu naik bis beramai-ramai. Ada yang 
mobil
pribadinya bahkan lebih dari tiga.

"Boleh kami minta mobil pribadi itu satu?" tanya salah seorang 
muridnya.
Dan sebelum Butet menjawab, sang murid sudah berseru meminta mobil 
pada
seorang pengendara mobil di perempatan lampu merah. "Minta mobilnya 
satu
saja!" teriaknya dengan bahasa rimba. "Minta, untuk dipakai orang
banyak!"

Sang pengemudi kebingungan.

Butet menggeleng, membelai kepala murid-muridnya. "Jangan," katanya
tersenyum.

"Orang-orang kota tidak adil!"

"Orang kota tidak suka bersama!" kata muridnya yang lain.

"Mengapa naik mobil sendiri? Kenapa tidak mengajak yang lain?"

"Ya, kenapa tidak berbagi?"

"Saya lebih suka di hutan!"

Begitulah.
Rupanya di tempat mereka, di rimba sana, siapa pun yang berlebih, 
selalu
berbagi apa saja pada si miskin, termasuk harta yang paling berharga
seperti kuda dan emas. Dan si kuat di sana selalu memegang komitmen
untuk melindungi si lemah.

"Saya bangga bersama mereka," bisik Butet kepada saya dengan mata 
kaca.
"Saya belajar banyak.!"

Tiba-tiba gerimis merembesi batin saya. Kebersamaan, semangat berbagi,
keadilan., subhanallah! Bukankah sikap itu seharusnya terpatri di
sepanjang usia manusia yang pendek ini? Saya pernah mendengar tentang
itu lama sekali, ketika pria yang dapat membelah bulan, mengajarkannya
pada ummatnya, empat belas abad yang lalu. Dan kini, lewat Butet,
anak-anak dari hutan rimba mengingatkannya sekali lagi pada saya..

Di manapun kalian berada, terimakasih, Nak..

(Helvy Tiana Rosa)



"Ku nu ma'an naas kasy syajar,yarmunahu bil hajar yarmihim bits 
tsamar ~ Jadilah
kamu terhadap manusia itu bagai pohon, mereka melemparinya dengan 
batu tapi
pohon itu membalasnya dengan menjatuhkan buah" (Hasan
Al Banna)

 

Gammar Irzandi Moenzil 
Indo Pacific 
Reputation Management Consultants 
Telephone: (62-21) 781-2436 
Facsimile: (62-21) 781-2423 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 
Website: www.indopacific.net  

** 
Caution - This e-mail and its contents contain privileged information 
that is intended solely for the recipient. If you are not the 
intended recipient as evidenced by the salutation and/or content you 
are hereby notified that any use, dissemination, distribution or 
reproduction of this e-mail is prohibited. If you have received this 
e-mail in error please notify the Postmaster at 
[EMAIL PROTECTED]  immediately. 

Any views expressed in this e-mail are