[ppiindia] Dari milis tetangga: Jilbab Mendag Mari Elka Pangestu dan Indahnya Puncak
ReJa <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Jilbab Mendag Mari Elka Pangestu dan Indahnya Puncak > > Kala membuka-buka harian Bisnis Indonesia edisi 1 Mei 2006 lalu, > ada sebuah foto yang menurutku cukup menarik. Menteri Perdagangan > Mari Elka Pangestu berjilbab ria. Kala itu ia sedang menghadiri > sebuah pameran pariwisata Indonesia yang berlangsung di Mal Heraa, > Jeddah, Arab Saudi. Yang pasti karena adanya peraturan di negeri itu, makanya ia menutupi rambutnya (baca: aurat), walau ia bukan muslimah. > > Yang juga menarik disimak adalah penjelasan dari foto tersebut. > Menurut wartawati Hilda Sabri Sulistyo, pameran itu mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat. Warga Arab Saudi yang pernah mengunjungi Indonesia mengaku sangat menyukai sejuknya udara dan keindahan alam di kawasan Puncak, Jawa Barat. > > Duh Hilda, bener nggak tuh pernyataan seperti itu? Apakah Anda pernah baca data bahwa mayoritas wisatawan Arab yang berkunjung ke Puncak adalah kaum lelaki? Dan kebanyakan dari mereka tak peduli dengan "keindahan alam" Puncak, tapi ingin menikmati keindahan lain yaitu perawan-perawan Sunda yang lazim dijuluki neng geulis? Jadi agak meragukan kalau pria-pria Arab yang berbondong-bondong ke Puncak itu semata ingin menikmati keindahan alam sahaja. > > Walau ustadz berperan besar dalam "menjodohkan" plus menjadi wali nikah antara pria Arab dengan si neng geulis, tapi ini jelas-jelas perzinahan terselubung karena motivasi utamanya adalah uang (baca: devisa negara). Maklum, libido pria-pria Arab di negerinya tak mudah tersalurkan di negerinya sehingga musti cari perempuan di negara- negara miskin, salah satunya Indonesia. > > Lalu bagaimana dengan nasib ratusan bahkan ribuan neng geulis yang "dikawini" barang sekejap oleh pria-pria Arab lalu ditinggal begitu saja? Kalau mereka hamil, siapa yang akan menafkahi anaknya yang berdarah setengah Arab itu? Apakah para neng geulis yang kebanyakan usianya masih di bawah umur itu sekadar komoditas dagang unggulan Indonesia seperti halnya TKI? > > Dihubungkan dengan RUU Porno yang mematok umur perempuan dewasa adalah di atas 12 tahun, adakah punya kaitan dengan "perkawinan sekejap mata" yang kian marak itu? > > Nah, apa komentar Anda? > > > *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] SPONSORED LINKS Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn Indonesian language course YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "ppiindia" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
[ppiindia] dari milis tetangga: Multikulturalisme
MULTIKULTURALISME Oleh: Kenken* Multikulturalisme, secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Kebudayaan suku "primitif" dan peradaban masyarakat industri modern memiliki kesetaraan nilai, sekalipun tidak bermaksud mengabaikan kekhususan peran sosial- historis masing-masing. Multikulturalisme berkesimpulan bahwa kebudayaan Barat dan ras Anglo Saxon tidak lebih superior daripada Tribalis Afrika dan cara hidup para pemburu walrus Eskimo. Konseptualisasi multikulturalisme menolak metapora `melting pot' yang hanya berperan sebagai cover konsep asimilasi opresif. Indonesia merupakan negeri multikultural dengan ribuan pulau, lebih dari 300 etnisitas, berbagai paham dan aliran kepercayaan serta ideologi politik, sekaligus pusat "pluralitas konflik". Kesadaran multikultural telah tertanam sejak Mpu Tantular menuliskan istilah "bhineka tunggal ika". Bagi Siauw Giok Tjhan, Bhineka Tunggal Ika merupakan "pencerminan realisasi proses integrasi wajar dari semua golongan Rakyat, yang menganut berbagai macam pandangan hidup, agama, kepercayaan, di samping berbeda dalam suku dan asal keturunan". Saat ini, kesadaran "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang seharusnya menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya dalam bingkai persatuan nasional. Sejak hari pertama berkuasa, Orde Baru mencoba melakukan penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Kemudian, kekerasan antar kelompok masyarakat meledak secara sporadis pada akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan. Semata-mata hanya untuk memperlihatkan betapa rentan homogenisasi yang hendak dibangun dalam mozaik Negara- Bangsa seperti Indonesia, sekaligus sebagai tanda awal kejatuhan rezim Orde baru. Tentu saja, usaha homogenisasi ini bertentangan dengan perspektif multikultural yang menolak asumsi adanya sebuah doktrin politik atau ideologi yang mampu merepresentasikan seluruh kebenaran. Satu-satunya pencapaian homogenisasi adalah masyarakat dengan budaya tertutup. Kekerasan adalah titik kulminasinya. Kebudayaan yang bersifat tertutup tidak berharap, berkeinginan, membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk berdialog dengan kebudayaan lain. Komunitas budaya tertutup sangat mudah merasa terancam. Dengan penuh kecurigaan, ia berusaha keras melindungi dirinya dengan menolak interaksi dengan kebudayaan lain yang dirasakan sebagai "pengganggu". Budaya tertutup mengakibatkan banjir darah di Cekoslovakia, Yugoslavia, Zaire hingga Rwanda dan Indonesia, lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat kediaman mereka, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah, pertikaian abadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Pada dasarnya tidak ada satu pun budaya "sui generis". Seluruh kebudayaan berasal dari interaksi dan proses saling absorbsi dengan kebudayaan lain dan dibentuk oleh kekuatan hegemonik ekonomi dan politik. Saat bumi menjadi `desa global'-nya P. Wyndham Lewis dan peradaban memasuki "gelombang ketiga"-nya Alvin Toffler, interaksi dengan kebudayaan lain adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Komunitas dengan budaya tertutup menolak realitas ini. Ia memilih isolasionisme sebagai solusi dan menjadi komunitas anakronistis. Dengan kata lain, ia menjadi entitas dengan mentalitas xenophobia i.e. mentalitas penuh ketakutan atau kebencian terhadap orang asing atau sesuatu yang dirasakan asing. Istilah Xenophobic dipergunakan sebagai istilah politik untuk mendeskripsikan kaum rasis, isolasionis dan fasis. Xenophobia, dalam prakteknya, sering kali mengacu pada penggunaan "bahasa kekerasan" untuk menghadapi perbedaan. "Bahasa kekerasan" ini hanya akan mewariskan memoria passionis-ingatan kolektif atas penderitaan- kepada generasi yang akan datang. Sejarah kekejaman perbudakan menyebabkan Kongres USA, semasa Presiden Clinton, mengajukan proposal permintaan maaf atas nama bangsa dan pemerintah kepada golongan Afrika-Amerika. Dan, kita pun prihatin atas kecanggungan generasi muda Jerman saat berbicara mengenai kekejian Hitler dan kekejaman Nazi. Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan orde baru yang memaksakan keseragaman "monokulturalisme", memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi- implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Rezim Reformasi tidak semerta-merta mengakhiri warisan tendensi xenophobia dan homogenisasi kultur, terutama di tataran psikis. Di tataran praxis, Indonesia belum bebas dari ancaman bahaya tirani dan anarkisme mayoritas atas nama "demokrasi". Argumentasi bahwa `masyarakat multikultural hendaknya tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh masyarakat monokultural dengan memaksa seluruh komunitas mengadobsi paham multikultural' menjadi tantangan akademis yang perlu diperhatikan dalam rangka m
Re: [ppiindia] dari milis tetangga
sy jd inget temen sy yg tinggal di jkt, mereka sekeluarga terdiri dari 5 anak beranak, termasuk temen saya ini, tp mobil pribadi dikeluarga mereka ada 5, dengan merk² mobil terkenal, sungguh, ga ada tuh yg jenis rakitan indo, spt kijang misalnya, ditambah 2 mobil dinas ortunya (bokapnya direksi sebuah bank pemerintah), trus di jakarta selatan itu saja, rumah pribadi ortunya ada 3 (di daerah elit, masih di jalan nama² pahlawan, kan elit tuh)..trus ada villanya di bukit sentul..pernah saya nikmati kenyamanan villa tsb, wow..mimpi kali sy waktu itu..:D trus untuk baju pestanya aja yg stelan, order dr perancang busana yg punya nama di indo, seharga 17 jt, hanya untuk one night.. (jd sedih ingat yg ga mampu melanjutkan sekolah krn ketiadaan dana buat bayar uang masuk yg hanya ratusan ribu itu..:(( ..) waktu sy diajak jjl keliling jkt naik mobil plus sopir pribadinya, sy yg wong lugu ini berfikir..darimana ortu temen sy ini memperoleh dana untuk membiayai kehidupannya sehari² dgn 5 mobil pribadi dan 2 sopir pribadi dan segala macam pernak-perniknya dan dapat membeli rumah sedemikian itu, dan villa, dan rumahnya di daerah lain (spt yg diceritakan temen saya ini)?? apakah yg mereka peroleh ini merupakan harta turunan? turunan siapa? bukankah pada zaman kakek dan nenek buyut saya dulu semua orang indo itu hidupnya susah, dan melarat? sampai makan jagung, bekicot segala? (itu yg diceritakan kakek/nenek sy tentang kakek buyut sy..cian yah kakek buyut sy itu..semoga Allah melapangkan mereka di dalam kubur..amiinn.. ) di dalam mobil temen sy yg serba nyaman itu, sy berfikir, apakah teman sy ini pernah memikirkan bahwa alangkah banyaknya orang yg menderita lapar diluaran sana, sementara di dalam mobil yg full ac dan full music tersebut temen sy ini asyik tertawa hahahahah hihihihi dgn temen lainnya via hp? Sy ragu temen sy ini akan sempat memikirkan hal² demikian itu, krn waktu sy buka kaca mobil untuk sekedar memberi recehan kepada seorang pengemis saja temen sy ini mengatakan " Aduh upik (nama samaran hihihih..) jangan dibuka dunk kacanya, pengemis² itu kebiasaan deh, lagian panas, bau n bla...bla.."..yg membuat ulu hati hati sy nyerii.. Sy jd berkesimpulan, beginilah rupanya nasib saudara² sy yg miskin itu dimata temen sy yg kaya² dan beruntung ini (semoga tidak semua orang yg kaya dan beruntung mempunyai sifat seperti temen sy ini, amii..) kapan nasib mereka akan berubah, kalau semua orang kaya hanya sibuk memikirkan kenyamanannya sendiri dan keberuntungannya, dan berusaha untuk mempertahankan semuanya itu, tanpa pernah berfikir untuk merasakan kemiskinan orang lain? kebayang deh jkt semakin tumplek plek dgn kemacetan, dikarenakan, ada sebagian orang, jumlah kendaraannya lebih banyak dr penghuni rumahnya..ancu deh.. sorry dah curhat.. (icon malu²in..) tr.- zalwa setiyadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: ---Original Message--- From: Milis-nova@news.gramedia-majalah.com Date: 07/14/05 14:58:12 To: milis-nova List Member Subject: [milis-nova] Different point of view {01} Artikel bagus dan sebentar lagi keluar bukunya. Maaf bagi yang sudah pernah baca. Thanks TENTANG 'ORANG KOTA' DARI ORANG RIMBA Saat kami bertemu untuk kedua kalinya pada pertengahan Mei 2005 lalu, banyak cerita menarik dituturkan Butet Manurung---aktivis pendidikan suku anak dalam. Cerita tersebut begitu dahsyat sehingga langsung saya "mengompori" Butet untuk menuliskannya menjadi novel atau semacam memoar. "Itu akan menjadi buku yang hebat dan bahan belajar untuk banyak orang!" kata saya. "Tulislah!" Di antara kisah dramatis yang ia ceritakan, banyak yang sampai sekarang terus berdengung-dengung di hati dan kepala saya. Di antaranya yang satu ini. Cerita ini berawal dari pertanyaan saya padanya: "Butet, pernah kamu bawa anak-anak didikmu ke kota? Apa pendapat mereka tentang kota dan orang kota?" Butet tertawa. "Wah, Mbak, mereka kaget sekali melihat kota yang begitu ramai dengan gedung menjulang dan kendaraan yang lalu lalang. Mereka juga suka sekali turun naik menggunakan lift. Mereka tak habis pikir bisa masuk ke sebuah kotak dari tempat tertentu, dan ketika keluar dari kotak tersebut sudah berada di tempat yang berbeda sama sekali!" Saya tersenyum membayangkan wajah murid-murid Butet yang pasti riang sekali saat itu. "Tapi mereka juga sedih melihat kehidupan kota, Mbak.." "O ya? Bagaimana? Apa mereka sedih melihat kemiskinan?" Butet menghela napasnya panjang. "Mereka menanyakan soal kebersamaan dan keadilan di kalangan masyarakat kota.." Hari itu saya bisa membayangkan wajah-wajah anak didik Butet saat mengamati kota. Saat jalan berkeliling, mereka melihat orang-orang yang berdesak- desakan di dalam bis kota hingga bis tersebut cenderung miring. Di sisi lain, mereka melihat banyak pula mobil mewah berseliweran tanpa penumpang alias hanya satu orang dalam satu mobil. Dengan polos mereka bertanya pada Butet yang bunyinya kurang lebih begini, "Bu
[ppiindia] dari milis tetangga
---Original Message--- From: Milis-nova@news.gramedia-majalah.com Date: 07/14/05 14:58:12 To: milis-nova List Member Subject: [milis-nova] Different point of view {01} Artikel bagus dan sebentar lagi keluar bukunya. Maaf bagi yang sudah pernah baca. Thanks TENTANG 'ORANG KOTA' DARI ORANG RIMBA Saat kami bertemu untuk kedua kalinya pada pertengahan Mei 2005 lalu, banyak cerita menarik dituturkan Butet Manurung---aktivis pendidikan suku anak dalam. Cerita tersebut begitu dahsyat sehingga langsung saya "mengompori" Butet untuk menuliskannya menjadi novel atau semacam memoar. "Itu akan menjadi buku yang hebat dan bahan belajar untuk banyak orang!" kata saya. "Tulislah!" Di antara kisah dramatis yang ia ceritakan, banyak yang sampai sekarang terus berdengung-dengung di hati dan kepala saya. Di antaranya yang satu ini. Cerita ini berawal dari pertanyaan saya padanya: "Butet, pernah kamu bawa anak-anak didikmu ke kota? Apa pendapat mereka tentang kota dan orang kota?" Butet tertawa. "Wah, Mbak, mereka kaget sekali melihat kota yang begitu ramai dengan gedung menjulang dan kendaraan yang lalu lalang. Mereka juga suka sekali turun naik menggunakan lift. Mereka tak habis pikir bisa masuk ke sebuah kotak dari tempat tertentu, dan ketika keluar dari kotak tersebut sudah berada di tempat yang berbeda sama sekali!" Saya tersenyum membayangkan wajah murid-murid Butet yang pasti riang sekali saat itu. "Tapi mereka juga sedih melihat kehidupan kota, Mbak.." "O ya? Bagaimana? Apa mereka sedih melihat kemiskinan?" Butet menghela napasnya panjang. "Mereka menanyakan soal kebersamaan dan keadilan di kalangan masyarakat kota.." Hari itu saya bisa membayangkan wajah-wajah anak didik Butet saat mengamati kota. Saat jalan berkeliling, mereka melihat orang-orang yang berdesak- desakan di dalam bis kota hingga bis tersebut cenderung miring. Di sisi lain, mereka melihat banyak pula mobil mewah berseliweran tanpa penumpang alias hanya satu orang dalam satu mobil. Dengan polos mereka bertanya pada Butet yang bunyinya kurang lebih begini, "Bu Guru, mengapa orang-orang itu harus berdesak-desakan dalam kendaraan roda empat yang besar itu, hingga susah bernapas?" "Bu Guru, mengapa orang yang lain naik mobil kosong itu sendirian? Padahal banyak tempat bisa digunakan untuk orang-orang yang berdesakan itu?" Butet menjelaskan pada anak-anak didiknya tentang masyarakat kota yang berbeda, termasuk dalam hal ekonomi. Ada yang mampu membeli mobil pribadi dan ada yang hanya mampu naik bis beramai-ramai. Ada yang mobil pribadinya bahkan lebih dari tiga. "Boleh kami minta mobil pribadi itu satu?" tanya salah seorang muridnya. Dan sebelum Butet menjawab, sang murid sudah berseru meminta mobil pada seorang pengendara mobil di perempatan lampu merah. "Minta mobilnya satu saja!" teriaknya dengan bahasa rimba. "Minta, untuk dipakai orang banyak!" Sang pengemudi kebingungan. Butet menggeleng, membelai kepala murid-muridnya. "Jangan," katanya tersenyum. "Orang-orang kota tidak adil!" "Orang kota tidak suka bersama!" kata muridnya yang lain. "Mengapa naik mobil sendiri? Kenapa tidak mengajak yang lain?" "Ya, kenapa tidak berbagi?" "Saya lebih suka di hutan!" Begitulah. Rupanya di tempat mereka, di rimba sana, siapa pun yang berlebih, selalu berbagi apa saja pada si miskin, termasuk harta yang paling berharga seperti kuda dan emas. Dan si kuat di sana selalu memegang komitmen untuk melindungi si lemah. "Saya bangga bersama mereka," bisik Butet kepada saya dengan mata kaca. "Saya belajar banyak.!" Tiba-tiba gerimis merembesi batin saya. Kebersamaan, semangat berbagi, keadilan., subhanallah! Bukankah sikap itu seharusnya terpatri di sepanjang usia manusia yang pendek ini? Saya pernah mendengar tentang itu lama sekali, ketika pria yang dapat membelah bulan, mengajarkannya pada ummatnya, empat belas abad yang lalu. Dan kini, lewat Butet, anak-anak dari hutan rimba mengingatkannya sekali lagi pada saya.. Di manapun kalian berada, terimakasih, Nak.. (Helvy Tiana Rosa) "Ku nu ma'an naas kasy syajar,yarmunahu bil hajar yarmihim bits tsamar ~ Jadilah kamu terhadap manusia itu bagai pohon, mereka melemparinya dengan batu tapi pohon itu membalasnya dengan menjatuhkan buah" (Hasan Al Banna) Gammar Irzandi Moenzil Indo Pacific Reputation Management Consultants Telephone: (62-21) 781-2436 Facsimile: (62-21) 781-2423 E-mail: [EMAIL PROTECTED] Website: www.indopacific.net ** Caution - This e-mail and its contents contain privileged information that is intended solely for the recipient. If you are not the intended recipient as evidenced by the salutation and/or content you are hereby notified that any use, dissemination, distribution or reproduction of this e-mail is prohibited. If you have received this e-mail in error please notify the Postmaster at [EMAIL PROTECTED] immediately. Any views expressed in this e-mail are