Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-06 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Alhamdulillah, tarimo kasih ateh komentar dinda Fitr.

Wass,

ANB


Pada 7 Februari 2014 05.36, Fitrianto  menulis:

> AslmWrWb
>
> Saketek komentar sajo,
>
> kalau indak salah, "Ayah" jo ta marbutah adolah bantuak tunggal. Sadang
> jamaknyo jadi "Ayat" (ya-nyo panjang dan diakhiri huruf ta biaso).
> Iko berlaku sacaro umum untuak kato female nan baakhiran ta marbutah ko,
> macam muslimah jadi muslimaat, dll.
>
> Wassalam
> fitr
>
> 2014-02-04 9:18 GMT-05:00 Akmal Nasery Basral :
>
>   Assalamu'alaikum Wr. Wb.
>> Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs
>> IslamIndonesia.co.id . Semoga bermanfaat.
>> Silakan dikomentari (dan disempurnakan) jika berkenan.
>> Wassalam,
>> ANB
>> * * *
>>  Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB
>>  MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA
>>  Penulis : Akmal Nasery Basral
>>
>> Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana
>>
>> Nastco/Photos.com
>>
>> AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w.
>> adalah: "*Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan*." (QS
>> 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif "bacalah" itu memecah
>> menjadi dua jenis: "mengaji" dan "mengkaji".
>>
>> Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata
>> kerja itu di bawah kata dasar "kaji". Dari kata dasar itu terbentuklah
>> "mengaji" yang berarti "membaca, mendaras" (tentu yang dibaca/didaras
>> adalah Al Qur'an) dan "mengkaji" yang bermakna "membahas, mempelajari,
>> menelaah, menganalisis, menyigi".
>>
>> Perbedaan lain dari "mengkaji" dan "mengaji" adalah jika dari kegiatan
>> pertama hasilnya berupa "kajian", maka dari kegiatan "mengaji" hasilnya
>> tidak menjadi "ajian". Sebab "ajian" umumnya diasosiasikan dengan satu
>> bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri
>> tertentu seperti ajian *welut* putih yang konon dimiliki Sultan Agung
>> Tirtayasa, atau ajian* lembu sekilan *yang dimiliki anak buah Patih
>> Gajah Mada. Ringkasnya, kosa kata "ajian" lebih mudah ditemukan di halaman
>> cerita silat dibandingkan di halaman Al Qur'an.
>>
>> Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa
>> "pengkajian" pastilah berasal dari "kajian".  Namun apakah "pengajian",
>> dengan logika yang sama, pasti berasal dari "ajian"? Padahal makna kata
>> terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
>> kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
>> sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
>> "tanda" dan "bencana".
>>
>> Al Qur'an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian
>> tertentu sebagai *"ayat" dengan bentuk jamaknya "ayah".* Dari beberapa
>> arti yang dikandungnya seperti "mukjizat (*mu'jizah*)", "pelajaran
>> *('ibrah*)", "sesuatu yang menakjubkan (*al amrul 'ajib*), atau "tanda (
>> *'alamah*)" yang merupakan makna paling populer. Sehingga, frasa
>> "mendaras ayat" memiliki maksud serupa dengan "mengaji tanda".
>>
>  --
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===
> UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
> * DILARANG:
> 1. Email besar dari 200KB;
> 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi;
> 3. Email One Liner.
> * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta
> mengirimkan biodata!
> * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama &
> mengganti subjeknya.
> ===
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/
> ---
> Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari
> Grup Google.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini,
> kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
> Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
==

Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-06 Terurut Topik Hanifah Damanhuri
Belajar dari Awan Panas Sinabung

Tak henti-henti bencana melanda Indonesia
Seperti tak habis-habisnya koruptor
Dari layar kacapun dipertontonkan
Kehidupan manusia yang semakin menjauh dari petunjuk Allah

Letusan gunung Sinabung
Mematikan rerumputan dan pepohonan
Seperti manusia mematikan pohon-pohon di rimba
Demi kepentingan pribadi dan golongan

Perhitungan yang cermat
Dibantu alat yang canggih
Untuk menging




Pada 5 Februari 2014 12.23, Akmal Nasery Basral menulis:

> Terima kasih sanak Andri Masri jika kolom sederhana  ambo dirasakan ada
> manfaatnya. Tentu sah juga kalau ada bagian-bagian dari kolom itu yang
> sanak Andri kurang setujui, dan ingin komentari lebih dalam. Justru ini hal
> bagus yang akan memperkaya diskusi dan pemahaman kita.
>
> Jadi untuk sementara pula, sambil menunggu sanak Andri mengomentari lagi
> dengan pendapat yang menggunakan referensi, ambo ucapkan terima kasih atas
> perhatian yang diberikan.
>
> Wass,
>
> ANB
> 45, Cibubur
>
>
> * * *
>
>
>
>
>
> Pada 5 Februari 2014 06.56,  menulis:
>
> Waalaikumsalam uda ANB,
>>
>> Sepertinya uda memang dilahirkan sebagai penulis handal. Berbahagialah
>> uda dikarunia kemampuan mengolah kata menjadi sangat indah, terang dan
>> jernih bagi yg membacanya.
>>
>> Setiap postingan uda sepertinya ditulis dengan sungguh2, serius, berdasar
>> referensi dan bukan dalam waktu senggang ketika minum kopi sore2.
>>
>> Pada tulisan kali ini sebenarnya saya kurang setuju kalau hanya sekedar
>> mendasarkan setiap kejadian bencana seperti yg uda sampaikan, namun krn uda
>> menulis ini secara serius dan penuh referensi, saya tidak mau
>> mengomentarinya dg seadanya tanpa referensi.
>>
>> Untuk sementara waktu saya terima pendapat uda ini.
>>
>> Terima kasih telah mencerahkan pemikiran saya dg tulisan2 berbobot dari
>> uda.
>>
>> Andri
>> L/42/Koto/Padang Pariaman
>>
>> Powered by Telkomsel BlackBerry(R)
>> --
>> *From: * Akmal Nasery Basral 
>> *Sender: * rantaunet@googlegroups.com
>> *Date: *Tue, 4 Feb 2014 21:18:34 +0700
>> *To: *rantaunet@googlegroups.com
>> *ReplyTo: * rantaunet@googlegroups.com
>> *Subject: *[R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana
>>
>>  Assalamu'alaikum Wr. Wb.
>> Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs
>> IslamIndonesia.co.id. Semoga bermanfaat. Silakan dikomentari (dan
>> disempurnakan) jika berkenan.
>> Wassalam,
>> ANB
>> * * *
>> Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB
>> MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA
>> Penulis : Akmal Nasery Basral
>>
>> Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana
>>
>> Nastco/Photos.com
>>
>> AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w.
>> adalah: "*Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan*." (QS
>> 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif "bacalah" itu memecah
>> menjadi dua jenis: "mengaji" dan "mengkaji".
>>
>> Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata
>> kerja itu di bawah kata dasar "kaji". Dari kata dasar itu terbentuklah
>> "mengaji" yang berarti "membaca, mendaras" (tentu yang dibaca/didaras
>> adalah Al Qur'an) dan "mengkaji" yang bermakna "membahas, mempelajari,
>> menelaah, menganalisis, menyigi".
>>
>> Perbedaan lain dari "mengkaji" dan "mengaji" adalah jika dari kegiatan
>> pertama hasilnya berupa "kajian", maka dari kegiatan "mengaji" hasilnya
>> tidak menjadi "ajian". Sebab "ajian" umumnya diasosiasikan dengan satu
>> bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri
>> tertentu seperti ajian *welut* putih yang konon dimiliki Sultan Agung
>> Tirtayasa, atau ajian* lembu sekilan *yang dimiliki anak buah Patih
>> Gajah Mada. Ringkasnya, kosa kata "ajian" lebih mudah ditemukan di halaman
>> cerita silat dibandingkan di halaman Al Qur'an.
>>
>> Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa
>> "pengkajian" pastilah berasal dari "kajian".  Namun apakah "pengajian",
>> dengan logika yang sama, pasti berasal dari "ajian"? Padahal makna kata
>> terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
>> kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
>> sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
>> "tanda" dan "bencana&qu

Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-06 Terurut Topik hamid_muchlis
  Original Message     From: Akmal Nasery BasralSent: Wednesday, 5 February 2014 12:23 PMTo: rantaunet@googlegroups.comReply To: rantaunet@googlegroups.comSubject: Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji BencanaTerima kasih sanak Andri Masri jika kolom sederhana  ambo dirasakan ada manfaatnya. Tentu sah juga kalau ada bagian-bagian dari kolom itu yang sanak Andri kurang setujui, dan ingin komentari lebih dalam. Justru ini hal bagus yang akan memperkaya diskusi dan pemahaman kita. 
Jadi untuk sementara pula, sambil menunggu sanak Andri mengomentari lagi dengan pendapat yang menggunakan referensi, ambo ucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan. 
Wass,ANB45, Cibubur
* * *
Pada 5 Februari 2014 06.56,  <andri.ma...@gmail.com> menulis:
Waalaikumsalam uda ANB,Sepertinya uda memang dilahirkan sebagai penulis handal. Berbahagialah uda dikarunia kemampuan mengolah kata menjadi sangat indah, terang dan jernih bagi yg membacanya.
Setiap postingan uda sepertinya ditulis dengan sungguh2, serius, berdasar referensi dan bukan dalam waktu senggang ketika minum kopi sore2.Pada tulisan kali ini sebenarnya saya kurang setuju kalau hanya sekedar mendasarkan setiap kejadian bencana seperti yg uda sampaikan, namun krn uda menulis ini secara serius dan penuh referensi, saya tidak mau mengomentarinya dg seadanya tanpa referensi.
Untuk sementara waktu saya terima pendapat uda ini.Terima kasih telah mencerahkan pemikiran saya dg tulisan2 berbobot dari uda.AndriL/42/Koto/Padang PariamanPowered by Telkomsel BlackBerry®
From:  Akmal Nasery Basral <ak...@rantaunet.org>
Sender:  rantaunet@googlegroups.com
Date: Tue, 4 Feb 2014 21:18:34 +0700To: rantaunet@googlegroups.com<rantaunet@googlegroups.com>
ReplyTo:  rantaunet@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

Assalamu'alaikum Wr. Wb.Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs IslamIndonesia.co.id. Semoga bermanfaat. Silakan dikomentari (dan disempurnakan) jika berkenan.

Wassalam,

ANB* * * 
Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB 

MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANAPenulis : Akmal Nasery Basral




Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

Nastco/Photos.com

AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w. adalah: “Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif “bacalah” itu memecah menjadi dua jenis: “mengaji” dan “mengkaji”.

Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja itu di bawah kata dasar “kaji”. Dari kata dasar itu terbentuklah “mengaji” yang berarti “membaca, mendaras” (tentu yang dibaca/didaras adalah Al Qur’an) dan “mengkaji” yang bermakna “membahas, mempelajari, menelaah, menganalisis, menyigi”.

Perbedaan lain dari “mengkaji” dan “mengaji” adalah jika dari kegiatan pertama hasilnya berupa “kajian”, maka dari kegiatan “mengaji” hasilnya tidak menjadi “ajian”. Sebab “ajian” umumnya diasosiasikan dengan satu bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri tertentu seperti ajian welut putih yang konon dimiliki Sultan Agung Tirtayasa, atau ajian lembu sekilan yang dimiliki anak buah Patih Gajah Mada. Ringkasnya, kosa kata “ajian” lebih mudah ditemukan di halaman cerita silat dibandingkan di halaman Al Qur’an.

Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa “pengkajian” pastilah berasal dari “kajian”.  Namun apakah “pengajian”, dengan logika yang sama, pasti berasal dari “ajian”? Padahal makna kata terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara “tanda” dan “bencana”.

Al Qur’an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian tertentu sebagai “ayat” dengan bentuk jamaknya “ayah”. Dari beberapa arti yang dikandungnya seperti “mukjizat (mu’jizah)”, “pelajaran (‘ibrah)”, “sesuatu yang menakjubkan (al amrul ‘ajib), atau “tanda (‘alamah)” yang merupakan makna paling p

Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-06 Terurut Topik Fitrianto
AslmWrWb

Saketek komentar sajo,

kalau indak salah, "Ayah" jo ta marbutah adolah bantuak tunggal. Sadang
jamaknyo jadi "Ayat" (ya-nyo panjang dan diakhiri huruf ta biaso).
Iko berlaku sacaro umum untuak kato female nan baakhiran ta marbutah ko,
macam muslimah jadi muslimaat, dll.

Wassalam
fitr

2014-02-04 9:18 GMT-05:00 Akmal Nasery Basral :

>  Assalamu'alaikum Wr. Wb.
> Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs
> IslamIndonesia.co.id . Semoga bermanfaat.
> Silakan dikomentari (dan disempurnakan) jika berkenan.
> Wassalam,
> ANB
> * * *
> Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB
> MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA
> Penulis : Akmal Nasery Basral
>
> Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana
>
> Nastco/Photos.com
>
> AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w.
> adalah: "*Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan*." (QS
> 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif "bacalah" itu memecah
> menjadi dua jenis: "mengaji" dan "mengkaji".
>
> Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja
> itu di bawah kata dasar "kaji". Dari kata dasar itu terbentuklah "mengaji"
> yang berarti "membaca, mendaras" (tentu yang dibaca/didaras adalah Al
> Qur'an) dan "mengkaji" yang bermakna "membahas, mempelajari, menelaah,
> menganalisis, menyigi".
>
> Perbedaan lain dari "mengkaji" dan "mengaji" adalah jika dari kegiatan
> pertama hasilnya berupa "kajian", maka dari kegiatan "mengaji" hasilnya
> tidak menjadi "ajian". Sebab "ajian" umumnya diasosiasikan dengan satu
> bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri
> tertentu seperti ajian *welut* putih yang konon dimiliki Sultan Agung
> Tirtayasa, atau ajian* lembu sekilan *yang dimiliki anak buah Patih Gajah
> Mada. Ringkasnya, kosa kata "ajian" lebih mudah ditemukan di halaman cerita
> silat dibandingkan di halaman Al Qur'an.
>
> Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa
> "pengkajian" pastilah berasal dari "kajian".  Namun apakah "pengajian",
> dengan logika yang sama, pasti berasal dari "ajian"? Padahal makna kata
> terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
> kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
> sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
> "tanda" dan "bencana".
>
> Al Qur'an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian
> tertentu sebagai *"ayat" dengan bentuk jamaknya "ayah".* Dari beberapa
> arti yang dikandungnya seperti "mukjizat (*mu'jizah*)", "pelajaran
> *('ibrah*)", "sesuatu yang menakjubkan (*al amrul 'ajib*), atau "tanda (
> *'alamah*)" yang merupakan makna paling populer. Sehingga, frasa
> "mendaras ayat" memiliki maksud serupa dengan "mengaji tanda".
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-04 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Terima kasih sanak Andri Masri jika kolom sederhana  ambo dirasakan ada
manfaatnya. Tentu sah juga kalau ada bagian-bagian dari kolom itu yang
sanak Andri kurang setujui, dan ingin komentari lebih dalam. Justru ini hal
bagus yang akan memperkaya diskusi dan pemahaman kita.

Jadi untuk sementara pula, sambil menunggu sanak Andri mengomentari lagi
dengan pendapat yang menggunakan referensi, ambo ucapkan terima kasih atas
perhatian yang diberikan.

Wass,

ANB
45, Cibubur


* * *





Pada 5 Februari 2014 06.56,  menulis:

> Waalaikumsalam uda ANB,
>
> Sepertinya uda memang dilahirkan sebagai penulis handal. Berbahagialah uda
> dikarunia kemampuan mengolah kata menjadi sangat indah, terang dan jernih
> bagi yg membacanya.
>
> Setiap postingan uda sepertinya ditulis dengan sungguh2, serius, berdasar
> referensi dan bukan dalam waktu senggang ketika minum kopi sore2.
>
> Pada tulisan kali ini sebenarnya saya kurang setuju kalau hanya sekedar
> mendasarkan setiap kejadian bencana seperti yg uda sampaikan, namun krn uda
> menulis ini secara serius dan penuh referensi, saya tidak mau
> mengomentarinya dg seadanya tanpa referensi.
>
> Untuk sementara waktu saya terima pendapat uda ini.
>
> Terima kasih telah mencerahkan pemikiran saya dg tulisan2 berbobot dari
> uda.
>
> Andri
> L/42/Koto/Padang Pariaman
>
> Powered by Telkomsel BlackBerry(R)
> --
> *From: * Akmal Nasery Basral 
> *Sender: * rantaunet@googlegroups.com
> *Date: *Tue, 4 Feb 2014 21:18:34 +0700
> *To: *rantaunet@googlegroups.com
> *ReplyTo: * rantaunet@googlegroups.com
> *Subject: *[R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana
>
> Assalamu'alaikum Wr. Wb.
> Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs
> IslamIndonesia.co.id. Semoga bermanfaat. Silakan dikomentari (dan
> disempurnakan) jika berkenan.
> Wassalam,
> ANB
> * * *
> Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB
> MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA
> Penulis : Akmal Nasery Basral
>
> Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana
>
> Nastco/Photos.com
>
> AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w.
> adalah: "*Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan*." (QS
> 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif "bacalah" itu memecah
> menjadi dua jenis: "mengaji" dan "mengkaji".
>
> Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja
> itu di bawah kata dasar "kaji". Dari kata dasar itu terbentuklah "mengaji"
> yang berarti "membaca, mendaras" (tentu yang dibaca/didaras adalah Al
> Qur'an) dan "mengkaji" yang bermakna "membahas, mempelajari, menelaah,
> menganalisis, menyigi".
>
> Perbedaan lain dari "mengkaji" dan "mengaji" adalah jika dari kegiatan
> pertama hasilnya berupa "kajian", maka dari kegiatan "mengaji" hasilnya
> tidak menjadi "ajian". Sebab "ajian" umumnya diasosiasikan dengan satu
> bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri
> tertentu seperti ajian *welut* putih yang konon dimiliki Sultan Agung
> Tirtayasa, atau ajian* lembu sekilan *yang dimiliki anak buah Patih Gajah
> Mada. Ringkasnya, kosa kata "ajian" lebih mudah ditemukan di halaman cerita
> silat dibandingkan di halaman Al Qur'an.
>
> Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa
> "pengkajian" pastilah berasal dari "kajian".  Namun apakah "pengajian",
> dengan logika yang sama, pasti berasal dari "ajian"? Padahal makna kata
> terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
> kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
> sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
> "tanda" dan "bencana".
>
> Al Qur'an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian
> tertentu sebagai "ayat" dengan bentuk jamaknya "ayah". Dari beberapa arti
> yang dikandungnya seperti "mukjizat (*mu'jizah*)", "pelajaran *('ibrah*)",
> "sesuatu yang menakjubkan (*al amrul 'ajib*), atau "tanda (*'alamah*)"
> yang merupakan makna paling populer. Sehingga, frasa "mendaras ayat"
> memiliki maksud serupa dengan "mengaji tanda".
>
> Teori Semiotika yang dikembangkan C.S. Peirce mengembangkan teori Segitiga
> Makna (*Triangle Meaning*) yang terdiri dari tanda (*sign*), acuan tanda (
> *object*) dan pengguna tanda (*interpretant*) dalam memahami sebuah
> pesan. Jadi, seandainya seorang perempuan yang mengenakan jilbab lewat di
>

Re: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-04 Terurut Topik andri . masri
Waalaikumsalam uda ANB,

Sepertinya uda memang dilahirkan sebagai penulis handal. Berbahagialah uda 
dikarunia kemampuan mengolah kata menjadi sangat indah, terang dan jernih bagi 
yg membacanya.

Setiap postingan uda sepertinya ditulis dengan sungguh2, serius, berdasar 
referensi dan bukan dalam waktu senggang ketika minum kopi sore2.

Pada tulisan kali ini sebenarnya saya kurang setuju kalau hanya sekedar 
mendasarkan setiap kejadian bencana seperti yg uda sampaikan, namun krn uda 
menulis ini secara serius dan penuh referensi, saya tidak mau mengomentarinya 
dg seadanya tanpa referensi.

Untuk sementara waktu saya terima pendapat uda ini.

Terima kasih telah mencerahkan pemikiran saya dg tulisan2 berbobot dari uda.

Andri
L/42/Koto/Padang Pariaman


Powered by Telkomsel BlackBerry®

-Original Message-
From: Akmal Nasery Basral 
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Tue, 4 Feb 2014 21:18:34 
To: rantaunet@googlegroups.com
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs
IslamIndonesia.co.id. Semoga bermanfaat. Silakan dikomentari (dan
disempurnakan) jika berkenan.
Wassalam,
ANB
* * *
Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB
MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA
Penulis : Akmal Nasery Basral

Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

Nastco/Photos.com

AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w.
adalah: "*Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan*." (QS
96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif "bacalah" itu memecah
menjadi dua jenis: "mengaji" dan "mengkaji".

Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja
itu di bawah kata dasar "kaji". Dari kata dasar itu terbentuklah "mengaji"
yang berarti "membaca, mendaras" (tentu yang dibaca/didaras adalah Al
Qur'an) dan "mengkaji" yang bermakna "membahas, mempelajari, menelaah,
menganalisis, menyigi".

Perbedaan lain dari "mengkaji" dan "mengaji" adalah jika dari kegiatan
pertama hasilnya berupa "kajian", maka dari kegiatan "mengaji" hasilnya
tidak menjadi "ajian". Sebab "ajian" umumnya diasosiasikan dengan satu
bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri
tertentu seperti ajian *welut* putih yang konon dimiliki Sultan Agung
Tirtayasa, atau ajian* lembu sekilan *yang dimiliki anak buah Patih Gajah
Mada. Ringkasnya, kosa kata "ajian" lebih mudah ditemukan di halaman cerita
silat dibandingkan di halaman Al Qur'an.

Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa
"pengkajian" pastilah berasal dari "kajian".  Namun apakah "pengajian",
dengan logika yang sama, pasti berasal dari "ajian"? Padahal makna kata
terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
"tanda" dan "bencana".

Al Qur'an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian
tertentu sebagai "ayat" dengan bentuk jamaknya "ayah". Dari beberapa arti
yang dikandungnya seperti "mukjizat (*mu'jizah*)", "pelajaran *('ibrah*)",
"sesuatu yang menakjubkan (*al amrul 'ajib*), atau "tanda (*'alamah*)" yang
merupakan makna paling populer. Sehingga, frasa "mendaras ayat" memiliki
maksud serupa dengan "mengaji tanda".

Teori Semiotika yang dikembangkan C.S. Peirce mengembangkan teori Segitiga
Makna (*Triangle Meaning*) yang terdiri dari tanda (*sign*), acuan tanda (
*object*) dan pengguna tanda (*interpretant*) dalam memahami sebuah pesan.
Jadi, seandainya seorang perempuan yang mengenakan jilbab lewat di depan
sekelompok orang, maka mereka akan memahami "pesan yang disampaikan" sang
perempuan bahwa dia adalah seorang muslimah.

Dalam Al Qur'an, salah satu tema "pesan yang ingin disampaikan" Allah agar
dipahami manusia adalah menyangkut kisah-kisah kaum terdahulu.  Khususnya
lagi, kisah *kehancuran* mereka.

Kaum Tsamud - kaum Nabi Shaleh a.s. -- musnah setelah mendengar suara yang
sangat keras dari langit (petir dan guntur yang sambar menyambar),
sedangkan kaum 'Ad - kaum Nabi Hud a.s. -- binasa setelah dirajam angin
dingin selama delapan hari tujuh malam tanpa henti, sehingga mereka mati
bergelimpangan seperti batang kurma lapuk. Allah mengabadikan kehancuran
kedua kaum itu dalam QS 69:4-7. Kaum Nabi Nuh lenyap dengan sapuan air bah
yang menenggelamkan mereka satu per satu, tak ada yang tersisa, kecuali
yang mengikuti anjuran Nabi Nuh a.s. untuk naik ke atas bahtera.

Apa kesamaan dari ketiga kaum yang menga

[R@ntau-Net] (OOT) Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

2014-02-04 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Adidunsanak Palanta RN n.a.h, terlampir adalah kolom ambo di situs
IslamIndonesia.co.id. Semoga bermanfaat. Silakan dikomentari (dan
disempurnakan) jika berkenan.
Wassalam,
ANB
* * *
Selasa, 04 Februari 2014 11:44 WIB
MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA
Penulis : Akmal Nasery Basral

Mengaji Tanda, Mengkaji Bencana

Nastco/Photos.com

AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w.
adalah: "*Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan*." (QS
96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif "bacalah" itu memecah
menjadi dua jenis: "mengaji" dan "mengkaji".

Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja
itu di bawah kata dasar "kaji". Dari kata dasar itu terbentuklah "mengaji"
yang berarti "membaca, mendaras" (tentu yang dibaca/didaras adalah Al
Qur'an) dan "mengkaji" yang bermakna "membahas, mempelajari, menelaah,
menganalisis, menyigi".

Perbedaan lain dari "mengkaji" dan "mengaji" adalah jika dari kegiatan
pertama hasilnya berupa "kajian", maka dari kegiatan "mengaji" hasilnya
tidak menjadi "ajian". Sebab "ajian" umumnya diasosiasikan dengan satu
bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri
tertentu seperti ajian *welut* putih yang konon dimiliki Sultan Agung
Tirtayasa, atau ajian* lembu sekilan *yang dimiliki anak buah Patih Gajah
Mada. Ringkasnya, kosa kata "ajian" lebih mudah ditemukan di halaman cerita
silat dibandingkan di halaman Al Qur'an.

Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa
"pengkajian" pastilah berasal dari "kajian".  Namun apakah "pengajian",
dengan logika yang sama, pasti berasal dari "ajian"? Padahal makna kata
terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
"tanda" dan "bencana".

Al Qur'an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian
tertentu sebagai "ayat" dengan bentuk jamaknya "ayah". Dari beberapa arti
yang dikandungnya seperti "mukjizat (*mu'jizah*)", "pelajaran *('ibrah*)",
"sesuatu yang menakjubkan (*al amrul 'ajib*), atau "tanda (*'alamah*)" yang
merupakan makna paling populer. Sehingga, frasa "mendaras ayat" memiliki
maksud serupa dengan "mengaji tanda".

Teori Semiotika yang dikembangkan C.S. Peirce mengembangkan teori Segitiga
Makna (*Triangle Meaning*) yang terdiri dari tanda (*sign*), acuan tanda (
*object*) dan pengguna tanda (*interpretant*) dalam memahami sebuah pesan.
Jadi, seandainya seorang perempuan yang mengenakan jilbab lewat di depan
sekelompok orang, maka mereka akan memahami "pesan yang disampaikan" sang
perempuan bahwa dia adalah seorang muslimah.

Dalam Al Qur'an, salah satu tema "pesan yang ingin disampaikan" Allah agar
dipahami manusia adalah menyangkut kisah-kisah kaum terdahulu.  Khususnya
lagi, kisah *kehancuran* mereka.

Kaum Tsamud - kaum Nabi Shaleh a.s. -- musnah setelah mendengar suara yang
sangat keras dari langit (petir dan guntur yang sambar menyambar),
sedangkan kaum 'Ad - kaum Nabi Hud a.s. -- binasa setelah dirajam angin
dingin selama delapan hari tujuh malam tanpa henti, sehingga mereka mati
bergelimpangan seperti batang kurma lapuk. Allah mengabadikan kehancuran
kedua kaum itu dalam QS 69:4-7. Kaum Nabi Nuh lenyap dengan sapuan air bah
yang menenggelamkan mereka satu per satu, tak ada yang tersisa, kecuali
yang mengikuti anjuran Nabi Nuh a.s. untuk naik ke atas bahtera.

Apa kesamaan dari ketiga kaum yang mengalami "bencana ekologis" ini? Apakah
karena mereka merupakan orang-orang yang tak bisa menjaga kelestarian alam,
atau gagal menata lingkungan? Ternyata pandangan *environmentalism* tak
menemukan landasan yang kuat dalam Al Qur'an.

Sebab mustahil menjelaskan penyebab banjir besar di masa Nuh a.s. - yang
disebut Ibnu Katsir sebagai "rasul pertama bagi penduduk bumi" -- adalah
karena adanya mismanajemen pengelolaan sampah, gagalnya pembuatan waduk
sebagai pengontrol debit air, atau hal-hal teknis lain yang terkait dengan
tidak lancarnya arus air menuju muara terakhirnya: laut. Apalagi mengingat
jumlah penduduk bumi yang waktu itu masih sedikit. Karena itu dibutuhkan
sebuah "tanda" lain untuk membuat kita, sebagai pembaca tanda-tanda, agar
paham mengapa kehancuran kaum Nuh terjadi.

Al Qur'an menjelaskan bahwa penyebab datangnya air bah yang mendadak itu
(kira-kira seperti pengertian "banjir bandang" sekarang, namun dalam skala
yang lebih mengerikan dari yang bisa dibayangkan), terkait dengan keyakinan
mereka yang mulai mencampuradukkan kepercayaan terhadap Tuhan dengan
kepercayaan terhadap  lima orang saleh seperti Wadd, Suwa'a, Yaghuts, Ya'uq
dan Nasr, yang mereka buatkan patungnya dan mereka sembah, setelah
kelimanya meninggal. Tersebab kesalahan itulah mereka ditenggelamkan (QS
71:23-25), bukan karena faktor-faktor kegagalan mengelola alam dan
lingkungan.

Begitu juga dengan kejadian yang mener